Sabtu, 18 Maret 2023

MANÉH DAN PRASANGKA BUDAYA YANG DANGKAL










Oleh Tarli Nugroho

Saya menilai respon serta ketersinggungan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil atas pertanyaan seorang guru SMK di Cirebon di akun Instagramnya, yang telah membuat sang guru akhirnya jadi kehilangan pekerjaan, adalah bentuk arogansi. Kang Emil telah mengadili pertanyaan guru itu dengan asumsi-asumsi linguistik yang jika kita periksa lebih dalam sebenarnya tidak cukup kuat untuk dipertanggungjawabkan. Bahkan, respon itu secara kultural sangatlah keliru.

Sebelum kita membahas soal linguistik dan kultural tersebut, ada beberapa alasan kenapa saya berpendapat jika respon Kang Emil tadi adalah bentuk arogansi.

Pertama, sebagai pejabat eksekutif tertinggi di Jawa Barat, Kang Emil mestinya paham jika semua ucapan, tulisan, ekspresi emosional, dan bahkan gestur yang diperlihatkannya selalu akan direspon dengan serius oleh jajaran birokrasi di bawahnya. Sehingga, berbeda dengan pembelaan dirinya yang mengklaim tidak pernah memerintahkan pemecatan terhadap guru bersangkutan, dari sisi kelembagaan kita bisa melihat dengan jelas jika aksi pemecatan tadi merupakan bentuk respon birokrasi atas tanggapan yang diberikan oleh gubernur, terlepas dari apakah gubernur memaksudkannya demikian atau tidak.

Jika Kang Emil memang benar-benar tidak memaksudkannya demikian, alih-alih terus berapologi, ia mestinya berusaha untuk menyelesaikan persoalan ini. Misalnya dengan memfasilitasi agar guru yang telah kehilangan pekerjakan itu bisa segera mengajar kembali, baik di tempat kerjanya semula, ataupun di tempat lain yang sesuai dengan kompetensinya.

Kedua, kritik yang disampaikan oleh guru SMK di Cirebon itu sebenarnya jauh dari kata tidak sopan. Apa yang disampaikannya, “Dalam zoom ini, Maneh teh keur jadi gubernur Jabar ato kader partai ato pribadi @ridwankamil???” (ditulis ulang sesuai posting asli), menurut saya justru sangat sopan, karena dilakukan bukan dengan menghakimi (judging), melainkan dengan mempertanyakan (questioning) fakta yang dilihatnya. Dan pertanyaan itu memang pantas untuk dilontarkan.

Kita tahu, jas berwarna kuning bukanlah pakaian yang lazim digunakan oleh pejabat publik dalam sebuah acara resmi. Kang Emil bukan alumni UI yang jas almamaternya berwarna kuning. Sehingga, orangpun pantas bertanya, apa alasan Kang Emil pakai jas kuning saat melakukan zoom bersama para siswa SMPN 3 Kota Tasikmalaya pada hari Selasa, 14 Maret 2023 lalu?!

Meskipun jas itu tak berlogo, atau mengandung kata-kata tertentu, secara semiotik semua orang tentunya paham bahwa warna kuning tersebut tidak dipilih secara acak, melainkan dipakai karena mewakili identitas politik tertentu. Dan poin ini memang pantas untuk dipertanyakan.

Terakhir, yang ketiga, berbeda dengan pandangan Kang Emil, pertanyaan yang disampaikan oleh guru SMK di Cirebon itu justru sangat pantas dilontarkan oleh seseorang yang berprofesi guru. Sebagai guru, ia setidaknya merasa bertanggung jawab untuk melindungi siswa—meskipun mereka bukan siswa sekolah tempatnya mengajar—dari potensi kampanye politik terselubung seorang pejabat publik. Sikap dan keberaniannya melontarkan pertanyaan itu bahkan harus dipuji.

Tanggapan Kang Emil bahwa “Tidak pantas seorang guru seperti itu”, sangatlah tidak tepat. Guru SMK di Cirebon itu justru telah memberi contoh baik kepada para siswanya terkait pentingnya bersikap kritis. Sejak kapan bersikap kritis dianggap sebentuk kejahatan atau perbuatan tidak senonoh?! Bahaya sekali jika anak-anak kita diajari untuk tabu bersikap kritis.

Dari sisi linguistik, yang sejauh ini selalu dijadikan pembenaran oleh Kang Emil atas respon yang diberikannya, kata “maneh” juga bukanlah kata ganti orang kedua yang bersifat kasar. Berbagai kamus bahasa Sunda dengan jelas menunjukkan jika kosakata itu tergolong sebagai bahasa Sunda ‘loma’, alias biasa, atau akrab. Memang, kosakata “maneh” tidak termasuk ke dalam bahasa Sunda halus. Namun, mencapnya sebagai kata yang “kasar” jelas manipulatif dan tidak sesuai dengan praktik berbahasa sehari-hari.

Kitapun pantas bertanya: jika Kang Emil merasa panggilan “maneh” untuk dirinya adalah kasar, dia sebenarnya sedang menempat dirinya sebagai apa?! Pantaskah seorang pejabat publik meninggikan dirinya semacam itu di depan rakyatnya?!

Lalu, ini juga penting, agar Kang Emil tidak tersinggung, rakyat Jawa Barat lantas harus memanggilnya dengan sebutan apa?!

Ketersinggungan Kang Emil secara politik kebudayaan justru buruk bagi kohesi politik Jawa Barat, karena ketersinggungannya itu—maaf—sangat “bias Priangan”. Ia mungkin mengira seluruh wilayah Jawa Barat sama dengan Priangan, terutama secara kultur dan bahasa, sehingga rasa berbahasa orang Bandung akan sama dengan rasa berbahasa orang Cirebon. Padahal, itu adalah asumsi kebudayaan yang sepenuhnya keliru.

Kalau kita membaca buku Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Le Carrefour Javanais), menarik untuk memperhatikan bagaimana sejarawan Perancis itu membagi masyarakat pulau Jawa ke dalam tiga entitas kebudayaan, yaitu Sunda, Jawa dan pesisir. Menurut Lombard, masyarakat pesisir pulau Jawa, baik yang bermukim di Jawa Barat, Jawa Tengah, atau Jawa Timur, memang tidak bisa sepenuhnya diidentikan sebagai Sunda atau Jawa. Jadi, meski berada di tengah masyarakat Sunda, orang Karawang, Indramayu, atau Cirebon, misalnya, tidak bisa disamakan dengan orang Sunda pedalaman sebagaimana yang bermukim di Priangan. Begitu juga dengan orang Pekalongan, atau Rembang, tidak bisa disamakan dengan orang Jawa di pedalaman sebagaimana yang bermukim di Solo atau Yogyakarta.

Satu ciri menonjol yang membedakan masyarakat pantai utara pulau Jawa dengan kebudayaan Sunda dan Jawa di pedalaman, menurut Lombard, adalah mereka jauh lebih egaliter. Pada zaman dulu, pesisir memang menjadi pintu masuk persilangan berbagai kebudayaan. Perjalanan sejarah ini kemudian telah membentuk masyarakat pantai utara Jawa sebagai kultur tersendiri, yang meskipun memiliki ciri kesundaan, atau kejawaan, namun kesundaan dan kejawaan itu memiliki perbedaan dengan kebudayaan Sunda dan Jawa yang tumbuh di wilayah pedalaman.

Jadi, bagi telinga Bandungnya Kang Emil, “maneh” mungkin saja terdengar agak “kasar”. Tetapi mungkin tidak demikian halnya bagi masyarakat pesisiran Jawa Barat, seperti Cirebon, atau Karawang. Persis di situ, sebagai pemimpin Jawa Barat mestinya Kang Emil bisa bersikap arif. Nilai rasa bahasa yang dijadikan patokan olehnya untuk menghakimi diksi guru SMK di Cirebon itu bukanlah nilai rasa bahasa yang berlaku universal.

Sepatunya Kang Emil, jelas tidak sama dengan ukuran sepatunya Sabil Fadillah, guru SMK di Cirebon yang kini kehilangan pekerjaannya itu. Sehingga, sebaiknya Partai Golkar juga bersikap bijak dengan berhenti melakukan pembelaan. Mereka perlu segera menyadari bahwa sosok Kang Emil mungkin tidak bisa diorbitkan ke level lebih jauh, jika ia tak berusaha memperbaiki keakraban di tengah masyarakat Jawa Barat yang dalam beberapa hari terakhir telah dirusaknya, meskipun pada mulanya ia sendiri mungkin tak memaksudkannya demikian.

Kenapa Kang Emil bisa dianggap sebagai telah "merusak" keakraban itu? 

Menurut pengakuan Sabil, ia memilih diksi "maneh" itu bukanlah untuk menghina, melainkan justru karena merasa Kang Emil adalah sosok egaliter yang tak pernah berjarak dengan para penggemarnya di dunia maya, di mana ia termasuk salah satunya. Jadi, janganlah keakraban yang sudah terbentuk itu dirusak kembali oleh prasangka-prasangka kebudayaan dan linguistik yang dangkal. 

Wallahu a'lam bish-shawab.

Karawang, 18 Maret 2023

Senin, 13 Maret 2023

INI KAWANKU, MANA KAWANMU?

 

Saya terhitung akrab bergaul dengan Kawanku, sejak masih menjadi majalah anak-anak selevel Si Kuncung, Ananda, Tomtom, Bobo, dan Siswa pada dekade 1980-an, hingga sesudah menjadi majalah remaja sejak manajemennya diambil alih oleh Grup Gramedia pada 1990. Saking akrabnya, saya sampai hapal nama-nama pengasuh yang ada dalam boks redaksinya.
Tepat dua puluh enam tahun lalu, Juli 1990, Kawanku berubah dari majalah anak-anak menjadi majalah remaja awal. Jargonnya yang terkenal waktu itu adalah STIL, alias "Sudah Tidak Ingusan Lagi". Jadilah Majalah Anak-anak Kawanku berubah menjadi Kawanku STIL.
Sewaktu masih menjadi majalah anak-anak, Kawanku pernah memuat cerita "Taras Boulba" karya Nikolai Gogol sebagai cerita bersambung. Dibanding majalah anak-anak lainnya, isi Kawanku memang banyak didominasi oleh karya-karya terjemahan. Meski begitu, saya juga pernah membaca cerita karya Ipe Maarouf di sana. Belakangan saya baru tahu jika Ipe ternyata adalah seorang pelukis.
Dulu, antara tahun 1990 hingga 1994, seluruh edisi Kawanku saya koleksi. Sayangnya, saat ditinggal kuliah ke Yogya, koleksi itu tak terurus lagi, sehingga jejaknya hilang entah kemana. Karena punya koleksi lengkap itulah saya jadi banyak memperhatikan majalah ini.
Dibandingkan dengan saudaranya, Majalah Hai, Kawanku terhitung senang sekali berganti logo. Hampir setiap tahun Kawanku mengubah logo. Itu juga yang dulu membuat saya menyukai majalah ini. Selain itu, perwajahannya juga atraktif, cepat berubah mengikuti perkembangan, berbeda dengan Hai, Mode, atau Aneka yang monoton. Kalau majalah berita, tata letak Kawanku kurang lebih sama dengan Majalah Jakarta-jakarta yang rame itu, atau seperti perwajahan Forum Keadilan yang cerah dan kontras.
Salah satu penyesalan terbesar saya adalah kehilangan sebuah edisi ulang tahun Kawanku, mungkin tahun 1994, dimana ia mengubah habis logo dan tampilannya pada satu edisi itu. Sayang, perubahan itu kemudian tak diteruskan pada nomor sesudahnya. Itu arsip penting saya kira. Dan saya menyesal tak merawatnya dengan baik.
Berubah menjadi majalah remaja ternyata bukan perubahan terakhir yang dilakukan oleh Kawanku. Majalah itu kemudian berubah lagi menjadi majalah khusus remaja puteri. Itu mungkin terjadi pada 1996, saat saya tak lagi intens mengikuti majalah itu. Hingga hari ini, Kawanku akhirnya menjadi epigon Majalah Gadis, majalah remaja puteri tertua yang diterbitkan oleh Grup Femina.
Kalau mengingat lagi masa dua puluh hingga dua puluh enam tahun silam, saya kira dekade 1990-an adalah periode booming media massa di Indonesia. Hal ini berbeda dengan booming tahun 2000-an yang diisi oleh media asing berbahasa Indonesia. Pada dekade 1990-an, muncul berbagai media untuk berbagai segmen pembaca dan topik. Mulai dari tabloid anak-anak (Fantasi), media khusus dangdut (Tabloid Dang Dut), termasuk berbagai media yang diterbitkan oleh grup bisnisnya Soetrisno Bachir, Ika Muda Grup.
Pada dekade itu pula para penulis cerita memiliki banyak sekali wahana. Jika sebelumnya Anita Cemerlang hampir memonopoli segmen majalah cerita remaja, maka pada dekade itu, misalnya, Majalah Kawanku juga menerbitkan Album Cerita Kawanku.
Ini adalah foto sebagian sisa-sisa koleksi Majalah Kawanku yang masih selamat. Dulu saya pernah punya mimpi membuat semacam rak khusus di rumah yang berisi bacaan-bacaan pertama yang pernah menghidupi saya sejak pertama kali mulai bisa membaca hingga beranjak remaja. Rak itu akan berisi komik-komik Petruk karya Tatang Suhendra, komik-komik superhero Indonesia karya Wid N.S., Kus Br., atau Hasmi, komik-komik silat karya Teguh Santosa atau Jan Mintaraga, komik-komik para nabi yang disusun Musannif Effendie, hingga majalah-majalah mulai dari Si Kuncung, Midi, hingga majalah remaja muslim yang kini sudah tak terbit lagi, Estafet.

Dari rak itu saya akan akan mudah menyampaikan nasihat ini pada anak cucu: "Jangan pernah membuang bacaan-bacaan yang pernah kamu baca. Belajarlah merawat sejarah, meski dari hal-hal sederhana."

17 Juli 2016

ADUH, HAI









Persisnya agak lupa, mungkin kelas empat atau lima, ketika pertama kali mulai bisa menikmati Majalah Hai. Saya membaca Hai sesudah bosan membaca semua majalah anak-anak. Pak Janggut, Paman Kikuk, dan Garfield lama-lama tak lagi memikat seperti saat pertama kali berjumpa. Saya butuh bacaan baru, dan Hai menyediakannya.

Rubrik yang saya sukai pertama kali adalah “Antara Kawan”, yang diasuh Arswendo Atmowiloto; dan komik serial “Roel Dijkstra”, komik tentang sosok fiksi pemain sepak bola profesional Roel Dijkstra, yang sebenarnya diilhami oleh kisah legenda Barcelona Johan Cruyff.
Dari serial Lupus Kecil yang juga ditulis Hilman, saya pun mulai menyukai membaca Lupus remaja dengan aneka skandal asmaranya. Jika oleh Majalah Kawanku saya hanya dicekoki NKOTB (New Kids on the Block), dalam semua edisi, maka melalui Hai saya mulai membaca Europe, Depp Purple, dan lain-lain. Jordan Knight tiba-tiba jadi terlihat kemayu dan tak lagi jantan.
Sayangnya, seperti halnya Kawanku yang telah pamit lebih dulu, Hai juga telah undur diri dari peredaran bulan lalu. Majalah ini telah mati.
Hai pertama kali terbit pada 1977. Ia menggantikan Majalah Midi. Penjaga dapur Midi dan Hai adalah orang-orang yang sama.
Saya tidak punya nomor perdana Majalah Hai, tapi punya nomor-nomor yang berasal dari tahun pertamanya. Dibandingkan dengan Kawanku yang genit dan sering gonta-ganti logo, termasuk gonta-ganti segmen, Majalah Hai relatif tak sering berganti logo dan segmen. Sejak awal ia adalah majalah remaja dengan concern yang kuat terhadap musik. Sesudah Kawanku diambil alih oleh Grup Gramedia, di era kejayaan majalah remaja akhir tahun 1980-an/1990-an, Hai hanya sekali mengubah segmennya, yaitu menjadi ‘Majalah Remaja Pria’, sebuah identitas yang terus dipertahankannya hingga almarhum kemarin.
Logo Hai yang legendaris, dan paling saya sukai, adalah logo dengan garis pantul yang mulai dipakai sejak tahun 1988 (atau 1987?). Mulanya jumlah garis pantul itu tak pernah sama dalam tiap edisi. Baru sesudah tahun 1989, jumlah garis pantul itu diseragamkan.
Saya hanya mengikuti Hai hingga tahun 1995. Edisi terakhir yang saya baca adalah edisi khusus Nicky Astria sebelum lady rocker itu pensiun sesudah dipinang oleh anaknya Solihin G.P. Sesudahnya saya tak lagi mengikuti Hai yang kemudian ganti logo. Sejak 1995, minat saya memang kembali berubah, mulai gandrung pada majalah-majalah berita, kebudayaan, dan majalah-majalah “dewasa” lainnya.
Ketika kuliah, saya pernah iseng membaca sebuah Majalah Hai saat antri di sebuah warnet. Majalah itu segera saja saya lempar. Saya kaget, karena Hai kemudian memilih untuk menggunakan bahasa lisan sebagai gaya bagi seluruh tulisannya. Saya tak lagi menenal Hai yang dulu, yang meskipun tulisan jurnalistiknya renyah, namun masih menggunakan bahasa Indonesia yang bagus. Terus terang saya tidak merasa nyaman dengan pengadopsian bahasa lisan sebagai bahasa tulis tersebut. Membuat capek pikiran yang membaca.
Sejak itu saya tak lagi mengikuti Hai. Namun, ketika membaca kabar bahwa pada akhirnya Hai juga harus tutup buku, mengikuti Kawanku—saudarinya yang telah mati lebih dulu, tak urung saya sempat merasa kehilangan.
Saya telah membaca Hai sejak sebelum remaja, dan mulai berhenti membacanya persis sesudah remaja.
Berikut adalah evolusi logo Hai dari sejak awal terbit hingga edisi terakhirnya.
Selamat jalan, Hai!

25 Juli 2017