Kamis, 01 Mei 2014

MENYELAMATKAN ARTEFAK ATAU PEMBACA?


Oleh Tarli Nugroho
Mubyarto Institute, Yogyakarta


Menyunting sebuah buku lama berbahasa Indonesia dengan maksud untuk menghidangkannya kembali kepada khalayak pembaca hari ini, bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Kesulitan itu pula yang dihadapi penyunting ketika diminta untuk menyunting kembali buku ini, yang terbit pertama kali pada 1941. Sumber kesulitannya, jika dirumuskan, ada beberapa.

Pertama, ada persoalan tata bahasa yang tak gampang diatasi. Apa yang kini disebut sebagai bahasa Indonesia, dalam perjalanan hidupnya, telah mengalami banyak sekali perkembangan serta sejumlah pergeseran dari waktu ke waktu. Dari segi ejaan saja, misalnya, sejak diperkenalkannya “Ejaan van Ophuijsen” pada 1901, yang kemudian digantikan oleh “Edjaan Republik” atau “Edjaan Soewandi” pada 1947, hingga kemudian dipungkasi “Ejaan Yang Disempurnakan” pada 1972, bahasa Indonesia telah mengalami tiga kali perubahan. Dan perubahan ejaan tentunya membawa konsekuensi perubahan tata bahasa, yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pemaknaan (signifying) atas teks dimaksud. Pergeseran-pergeseran itu telah membuat proses penyuntingan harus melewati proses berjenjang yang tak bisa diringkas, yaitu mulai dari pemaknaan atas teks awal hingga mentranslasikan gramatika awalnya kepada gramatika baru yang digunakan hari ini, dan semua itu harus dilakukan sedemikian rupa agar makna awalnya tak bergeser.

Tapi, sesuai kaidah, semua ejaan nama orang dan nama surat kabar dalam buku ini dipertahankan menurut ejaan van Ophuijsen. Sedangkan ejaan nama lembaga disesuaikan dengan EYD.





Kedua, soal penggunaan istilah. Kita hari ini, misalnya, lazim menggunakan kata “penelitian” sebagai terjemahan dari kata “research” dalam bahasa Inggris, dengan pengertian yang kurang lebih sama. Tapi kata “penelitian” tidak akan kita temukan dalam sumber-sumber tertulis berbahasa Indonesia sebelum tahun 1950-an. Dan itu bukan karena pada masa itu orang belum mengenal kegiatan penelitian, melainkan karena pada masa itu orang menggunakan istilah yang berbeda dengan yang digunakan pada hari ini. Kata yang lazim digunakan pada masa itu adalah “penyelidikan”, sebuah kata yang pada hari ini makna dan penggunaannya semakin menyempit digunakan dalam bidang hukum. Jadi, “penyelidikan”, dalam risalah-risalah lama, adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada kegiatan penelitian, atau riset. Istilah lain yang mencolok adalah “kerajinan”. Dalam risalah-risalah lama, termasuk dalam buku ini, kata “kerajinan” tidak sama maksudnya dengan penggunaan dan pemaknaan yang kita kenal hari ini. Di masa lalu, kata “kerajinan” merupakan padanan dari istilah “industry” dalam bahasa Inggris, atau “nijverheid” dalam bahasa Belanda. Artinya, pergeserannya sangat jauh sekali. Begitu juga dengan kata “jabatan”. Dalam edisi pertama buku ini, kata “jabatan” digunakan untuk menyebut beberapa maksud yang berlainan, tergantung konteks kalimatnya. Kata ini, misalnya, digunakan untuk menyebut “kedudukan”, dalam makna sebagaimana yang kita pahami hari ini. Namun, kata “jabatan” juga digunakan untuk menunjuk kepada lembaga, sehingga maksudnya tak lain adalah “jawatan”. Pada bagian lain, kata ini juga digunakan untuk merujuk kepada konsep “pejabat”, dalam pengertian sebagaimana yang kita pahami hari ini.

Contoh lain adalah istilah “bahan barang”. Istilah yang banyak digunakan pada masa lalu ini, dalam kosa kata hari ini tak lain maksudnya adalah “bahan baku”. Atau juga “barang cat”, yang maksudnya tak lain adalah “bahan pewarna”.

Kadang-kadang pergeseran makna itu menerbitkan geli, dan bahkan gelak. Technische Hogeschool, misalnya, yang kini menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung), dahulu disebut sebagai “sekolah tukang”, tak lain karena pada masa itu padanan atas kata “tehnic” atau “engineering” dalam bahasa Inggris, atau “technische” dalam bahasa Belanda, adalah “tukang”. Maka jadilah ITB pada masa itu dikenal sebagai “sekolah pertukangan”. Jadi, ada banyak sekali kosa kata yang terlibat dalam pergeseran-pergeseran semacam itu, dan kesemuanya menuntut perhatian yang benar-benar.

Ketiga, soal penggunaan singkatan. Dalam edisi pertama buku yang sedang dipegang pembaca ini, penulis menggunakan beberapa singkatan (akronim) tanpa memberikan kepanjangan atau artinya. Untuk konteks masa ketika buku ini ditulis dan diterbitkan, singkatan-singkatan itu mungkin telah lazim diketahui orang, sehingga penulis kemudian merasa tidak perlu lagi memberikan keterangan. Persoalan muncul ketika buku ini dibaca lagi hari ini, singkatan-singkatan itu bisa membuat pembaca “kehilangan jejak”. Misalnya, dalam sejumlah uraian penulis banyak menyebut singkatan “B.B.”. Tanpa membuka-buka kembali arsip-arsip atau buku-buku lama, termasuk koran-koran atau majalah-majalah yang terbit ketika singkatan ini digunakan, mustahil kita bisa menemukan arti dari singkatan ini. “B.B.” tak lain adalah singkatan dari binnenlandsche bestuur, yang artinya adalah “pamong praja”, atau yang hari ini biasa kita sebut pegawai negeri sipil (PNS). Singkatan lain yang digunakan tanpa keterangan, misalnya, adalah “S.S.”. Melihat konteks penggunaannya, serta mencocokan dengan masa ketika singkatan itu digunakan, dan itu semua memerlukan waktu, baru kemudian diketahui bahwa yang dimaksud tak lain adalah “staatspoor”, alias “kereta api negara”, atau bisa juga dirujukkan kepada “jawatan kereta api”.

Hingga proses penyuntingan ini selesai, ada satu singkatan yang hampir saja tak bisa ditemukan kepanjangannya, yaitu “PBKBT”, sebuah singkatan nama pusat koperasi kredit di Tasikmalaya, yang dipimpin oleh R. Danoemihardja. Dalam buku Hanan Hardjasasmita (1982), Danoemihardja—yang disebut memiliki nama lengkap R. Kosim Danoemihardja—adalah ketua Bank Koperasi Simpan Pinjam Bumiputera. Setelah berbagai koperasi di Tasik membentuk sejumlah pusat koperasi, yang disesuaikan dengan ruang geraknya (yaitu kredit, konsumsi, dan produksi), maka pusat-pusat koperasi yang baru terbentuk itu kemudian membentuk PKKT (Pusat Koperasi Kredit Tasikmalaya). PKKT ini banyak disebut oleh sejumlah buku mengenai koperasi, seperti buku karangan Teko Sumodiwirjo (1954), tapi keterangan mengenai PBKBT ini nihil. Tentunya PBKBT ini tak sama dengan PKKT, karena jika dilihat statusnya sebagai “pusat koperasi kredit”, maka PBKBT adalah bagian dari PKKT. Apakah PBKBT adalah singkatan dari “Pusat Bank Koperasi Bumiputera Tasikmalaya”? Ternyata bukan! PBKBT tak lain adalah singkatan dari “Persatuan Bank Koperasi Bumiputera Tasikmalaya”. Keterangan ini diperoleh dari skema yang disusun pengarang buku ini mengenai hubungan antara koperasi-koperasi primer (disebut juga koperasi biasa) dengan koperasi-koperasi pusat (centrales) di bagian akhir buku yang sedang dipegang pembaca ini.





Keempat, penyuntingan ini harus memperhatikan konteks penggunaan bahasa dan peristilahan pada masa ketika buku ini pertama kali terbit, atau sesuai konteks peristiwa dan masa sebagaimana yang diceritakan oleh buku ini. Misalnya, dalam edisi pertama buku ini banyak sekali digunakan bahasa Belanda untuk menyebut jabatan, pekerjaan, dan nama lembaga pemerintahan. Dan itu semua digunakan dengan tidak menyebutkan padanannya dalam bahasa Indonesia. Istilah dalam bahasa Belanda itu tentu saja tidak bisa begitu saja diterjemaahkan menggunakan kamus (tepat-makna), melainkan harus dicarikan padanannya sesuai konteks penggunaannya (tepat-waktu). Dan padanan yang dimaksud tentu saja bukan padanannya dalam konteks hari ini, melainkan padanannya pada konteks-masa sebagaimana yang dinarasikan.

Binnenlandsche Handel”, misalnya, tidak bisa diterjemahkan menjadi “perdagangan dalam negeri” (meskipun secara “tepat-makna” adalah benar), karena istilah ini digunakan untuk menunjuk kepada sebuah bagian dari kementerian kolonial yang menangani urusan tertentu. Namun, pada masa ketika istilah ini berlaku, kata “dagang” dan “perdagangan” tidak lazim digunakan sebagai padanan kata “handel”. Istilah bahasa Indonesia yang digunakan pada masa itu adalah “perniagaan”, dan inilah istilah resmi yang dipergunakan pada banyak buku dan arsip resmi. Sehingga, padanan yang tepat dengan penggunaan pada masa itu bagi “Binnenlandsche Handel” adalah “Perniagaan Dalam Negeri”.

Contoh lain adalah kata “dienst”. Kata ini tidak bisa begitu saja diterjemahkan sebagai “dinas” dalam bahasa Indonesia. Sebab, kata ini digunakan melekat pada kata lain atau istilah lain yang merujuk nama lembaga di masa lalu. Misalnya, Visserijdienst, karena ini berkaitan dengan nama lembaga, maka tidak bisa diterjemahkan menjadi “Dinas Perikanan”, sebab pada masa ketika istilah ini digunakan, padanannya dalam bahasa Indonesia memang bukan itu, melainkan “Jawatan Perikanan”. Kata “dinas” baru dikenal dan digunakan belakangan. Menemukan padanan-padanan sesuai konteks masanya tadi adalah pekerjaan yang paling lama dan rumit dalam penyuntingan buku ini.

Namun, khusus untuk kata “banteras” yang banyak digunakan dalam buku ini, terutama ketika membahas schuldbevrijdingscooperatie, atau “koperasi pemberantas utang”, setelah penyebutan pertama kata itu, dalam uraian setelahnya kata itu telah diganti dengan kata “berantas”, agar pembaca tak menganggapnya sebagai salah ketik. Perlu diketahui, baik “banteras” maupun “berantas” sama-sama merupakan kosa kata bahasa Indonesia, dan pengertian keduanya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sama.

Dan kelima, setiap penyuntingan ulang buku-buku lama pasti akan ketemu dengan dilema antara mempertahankan gaya tutur dari masa ketika buku itu pertama kali terbit, dengan gaya tutur masa kini yang lebih memudahkan pembaca untuk memahaminya. Dilema ini memang tak berlaku untuk seluruh karya atau pengarang. Buku-buku atau karangan-karangan Mohammad Hatta, misalnya, tidak akan banyak mengalami dilema ini karena gaya tutur dan tata bahasa Indonesia yang digunakan Hatta, bahkan sejak 1930-an, karena demikian tertib dan tertatanya, relatif cukup dekat jaraknya dengan gaya tutur dan tata bahasa yang kini lazim kita pergunakan, sehingga penyuntingan ulang karya-karya Hatta hanya akan melibatkan konversi ejaan saja daripada translasi tata bahasa.

Berhadapan dengan dilema ini, dalam proses penyuntingan buku ini penyunting akhirnya mencari jalan keluar dengan tetap mempertahankan gaya tutur dan tata bahasa asli yang digunakan oleh pengarang, tapi dengan memberikan tambahan keterangan melalui sejumlah catatan (anotasi), baik dalam bentuk catatan kaki maupun dalam bentuk kurung-siku ([…]). Semua keterangan dalam tanda kurung-siku di buku ini berasal dari penyunting. Catatan-catatan itu diberikan untuk memudahkan para pembaca memahami apa yang disampaikan oleh teks asli, terutama ketika bertemu dengan sejumlah persoalan sebagaimana telah diuraikan di atas.

Mempertahankan gaya tutur asli buku ini adalah sangat penting, meski dengan risiko akan “dipersalahkan” menurut sudut pandang tata bahasa Indonesia hari ini. Hanya saja, sebuah buku, dan juga bahasa, tidak bisa dinilai hanya dari tata bahasanya, kejelasan informasi yang disampaikannya, atau dari kemudahan pembaca menyimaknya. Sebuah buku, dan juga bahasa, karena ia adalah bagian dari artefak, sehingga cukup penting juga untuk dipertahankan sebisa mungkin bentuk aslinya. Dan demikianlah cara buku ini kemudian disajikan kembali ke hadapan pembaca. Oleh karenanya, pembaca akan berjumpa dengan pilihan kata “girang hati” daripada “gembira”, serta banyak bertemu dengan sapaan “tuan”, sehingga suasana kebatinan yang antik dari buku ini tetap bertahan.

Sebagai buah dari catatan yang ditulis penyunting untuk menerangkan berbagai-bagai kata, istilah, atau uraian asli dari pengarang buku ini, pada akhirnya perlu disusunkan sebuah glosari untuk melengkapi buku ini. Glosari ini sekaligus untuk lebih memudahkan pembaca agar tidak kehilangan kompas. Dalam hal penyusunan glosari dan pemberian padanan atas istilah-istilah Belanda, buku-buku berikut harus disebut karena memberikan bantuan yang sangat besar (sesuai abjad nama pengarang):

  1. A. Hanan Hardjasasmita, Sejarah Lahirnya Gerakan Koperasi Indonesia dan Perkembangannya sampai dengan Awal Periode ’80-an (Bandung: Armico, 1983);
  2. Almanak Pertanian 1953 (Djakarta: Badan Usaha Penerbit Almanak Pertanian, 1953)
  3. Almanak Pertanian 1954 (Djakarta: Badan Usaha Penerbit Almanak Pertanian, 1954)
  4. J. Thomas Lindblad (Editor), New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia (Leiden: Programme of Indonesian Studies, 1993);
  5. Kamaralsjah, Tentang Pengertian Hal Organisasi Perkumpulan Ko-operasi (Djakarta: J.B. Wolters, 1954);
  6. Margono Djojohadikusumo, Kenang-kenangan dari Tiga Zaman: Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis (Jakarta: Indira, [cetak ulang tanpa tahun; edisi pertama terbit pada 1969]);
  7. Mohammmad Hatta, Menindjau Masalah Kooperasi (Djakarta: Pembangunan, 1954);
  8. Pandu Suharto, Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat (Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1988);
  9. Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen (Editor), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987);
  10. Sagimun M.D., Koperasi Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 1984);
  11. Sugiarta Sriwibawa (Editor), 100 Tahun Margono Djojohadikusumo (Jakarta: UI-Press, 1994);
  12.  Sumitro Djojohadikusumo, Kredit Rakyat di Masa Depresi (Jakarta: LP3ES, 1989);
  13. Suradjiman, Ideologi Koperasi membentuk Masjarakat Adil dan Makmur (Bandung: Ganaco, 1963);
  14. Teko Sumodiwirjo, Ko-operasi dan Artinja bagi Masjarakat Indonesia (Djakarta: GKBI, 1954); dan
  15. Tim Penyusun Buku Sejarah 100 Tahun BRI, Seratus Tahun Bank Rakyat Indonesia, 1895-1995 (Jakarta: Humas BRI, 1995);

Satu hal yang perlu ditambahkan, pada edisi baru ini semua tabel statistik telah dinomori ulang dan diberi judul oleh penyunting, karena pada edisi aslinya tabel-tabel itu sebagian tidak bernomor dan ditampilkan tanpa judul. Pemberian nomor dan judul tabel ini sangat penting karena merupakan sejenis standar akademis, yang meskipun pada masa ketika buku ini pertama kali ditulis standar itu belum berlaku, namun karena buku ini termasuk karya akademik yang berbobot, sebagaimana ditulis oleh pengantar M. Dawam Rahardjo untuk buku ini, maka penyesuaian itu harus dilakukan.

Demikian keterangan yang harus disampaikan terkait penyuntingan buku ini. Selamat membaca!

Maguwoharjo-Yogyakarta, November 2012



*) Karangan ini adalah tulisan pengantar saya sebagai penyunting bagi buku Margono Djojohadikusumo, Sepuluh Tahun Koperasi, 1930-1940. Buku ini pertama kali terbit pada 1941, mula-mula ditulis dalam bahasa Belanda, sebelum kemudian diterjemahkan oleh H.B. Jassin dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ini adalah buku klasik yang menuliskan perkembangan gerakan koperasi di Indonesia dalam lima puluh tahun pertama perkembangannya. Sebagai pegawai Jawatan Koperasi (sebelumnya bekerja di Jawatan Perkreditan Rakyat), Margono bekerja di bawah supervisi sarjana-sarjana Belanda terkemuka, seperti Boeke, Fruin dan van der Kolff, yang memiliki banyak simpati terhadap masyarakat Bumiputera. Pengantar edisi terbaru buku ini diberikan oleh M.Dawam Rahardjo, dengan tetap menyertakan kata pengantar edisi pertamanya, yang diberikan oleh J.J. Ochse, Kepala Jawatan Koperasi dan Perniagaan Dalam Negeri masa itu. Karena pengantar mengenai isi buku sudah diberikan, saya "hanya" bisa menuliskan pengantar sebagai penyunting bahasa.

1 komentar: