Kamis, 01 Mei 2014

WARISAN MUBYARTO DAN UTANG UGM KEPADANYA


Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta


Ketika sekira tiga minggu yang lalu muncul pemikiran untuk mengadakan peringatan sewindu wafatnya Profesor Mubyarto, yang pertama kali dilontarkan Pak Bambang Ismawan, spontan muncul berbagai ide mengenai bagaimana momen itu akan diperingati. Sejumlah usulan acarapun bermunculan, mulai dari mengadakan sarasehan, diskusi buku, pemutaran film, hingga pameran buku. Semua usulan itu hampir menjadi trademark dari kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan dan Mubyarto Institute. Namun, ada satu lagi kegiatan yang sepertinya telah agak lama dilupakan, tapi kini sepertinya mulai bergairah kembali di Bulaksumur B-2—tempat dimana Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (d.h. Pusat Studi Ekonomi Pancasila, PUSTEP) yang didirikan almarhum Profesor Mubyarto berkantor, yaitu: penerbitan buku.

Selama hampir tiga tahun memimpin PUSTEP, hampir setiap bulan Profesor Mubyarto menerbitkan buku. Sehingga ketika ia berpulang pada 24 Mei 2005, sudah puluhan buku karyanya, baik yang ditulisnya sendiri maupun bersama tim peneliti yang lain, yang telah diterbitkan oleh lembaga yang didirikan dan dipimpinnya itu. Sejak kepergiannya itu pula program penerbitan buku oleh PUSTEP seperti berhenti berdenyut, sehingga meninggalkan kesan bahwa produksi pemikiran Ekonomi Pancasila sudah berhenti. Tentu saja itu anggapan yang keliru, karena produksi gagasan Ekonomi Pancasila sebenarnya terus berlanjut dan terpublikasikan, meski tak lagi melalui PUSTEP.

Oleh karena itu, bersamaan dengan munculnya gagasan untuk mengadakan peringatan sewindu wafatnya Profesor Mubyarto, muncul pula gagasan untuk menerbitkan buku terkait peringatan itu. Pertanyaan yang pertama kali muncul kemudian adalah: buku mengenai apa?

Sejak sebelum Pak Muby berpulang sebenarnya telah beredar gagasan di sejumlah kolega dan bekas muridnya untuk menerbitkan sebuah buku penghormatan yang akan diterbitkan bersamaan dengan ulang tahunnya yang ke-70. Sayangnya takdir berkehendak lain, beliau sudah pergi mendahului ketika usianya belum lagi genap 67 tahun. Namun itu tak membuat acara peringatan ulang tahunnya yang ke-70, 3 September 2008, dilewatkan begitu saja. Tepat pada hari itu malah disepakati berdirinya Yayasan Mubyarto, sebuah lembaga yang didirikan untuk merawat dan meneruskan warisan pemikiran almarhum. Ketika itu, gagasan untuk menerbitkan buku penghormatan telah bergeser menjadi penerbitan biografi almarhum. Sayangnya, mimpi itu bahkan hingga hari ini belum terwujud.

Oleh karena itu, ketika muncul gagasan untuk menerbitkan buku bertepatan dengan peringatan sewindu wafatnya Pak Muby, muncul pertanyaan yang sudah disebut tadi: buku mengenai apa? Mengingat waktu yang sangat mepet, tentunya tidak mungkin mengorganisasikan sebuah proyek penulisan baru. “Kalau sekarang baru ditulis, mau terbit kapan?” ucap seorang rekan. Maka satu-satunya pilihan yang mungkin dilakukan adalah mengolah tulisan-tulisan yang sudah ada. Dan pilihan itu jatuh pada mengkolek tulisan obituari Pak Muby. Sebagai pelengkap kemudian turut disertakan sejumlah tulisan, termasuk wawancara panjang dengan almarhum yang pernah dimuat sebuah jurnal mahasiswa, dimana dari kumpulan tulisan ini diharapkan bisa tercapai sejumlah maksud.

Pertama, bagi mereka yang telah mengenalnya, maka kumpulan tulisan ini diharapkan bisa mengingatkan kembali mengenai sosok Pak Muby dan pemikirannya. Meski buku peringatan sewindu wafatnya almarhum ini bertajuk “Warisan Pemikiran Mubyarto”, judul yang tepat bagi mereka yang pernah mengenalnya, terutama bagi bekas murid-muridnya, adalah: “Utang Kita kepada Mubyarto”. Ya, setelah mengingat kembali almarhum, sepertinya masing-masing kita kemudian memiliki utang, yaitu utang untuk meneruskan cita-cita dan menghidupi warisannya. Utang ini tentu saja tidak berlaku bagi mereka yang tak setuju dengan pemikirannya.

Kedua, bagi mereka yang tak sempat mengenal Mubyarto, maka buku ini bisa dijadikan semacam pengantar untuk memperkenalkan apa dan siapa guru besar Fakultas Ekonomi UGM tersebut. Melalui kesan-kesan yang ditinggalkan oleh Mubyarto pada sejumlah orang yang karangan atau komentarnya dimuat dalam buku ini, bisa disimak bahwa Pak Muby bukan hanya seorang pemikir yang tangguh, melainkan juga pribadi yang menyenangkan, dan guru yang banyak memfasilitasi murid-muridnya untuk maju. Pada sosok Mubyarto memang terdapat pengertian seorang “guru” yang sebenarnya, di mana di lingkungan perguruan tinggi kini tak lagi banyak yang tersisa orang-orang semacam ini. Bagi Pak Muby menjadi pendidik bukanlah pertama-tama soal pekerjaan, melainkan dedikasi.

Ketiga, buku ini disusun dengan keyakinan bahwa setiap pemikiran akan punah jika tak terus-menerus ditulis atau dibahas. Dan terbitnya buku ini, selain dimaksudkan untuk terus mengawetkan dan menghidupi pemikiran Mubyarto, juga dimaksudkan untuk mengingatkan kita bahwa tanpa kita sadari dalam usianya yang “baru” menginjak enam dekade, Universitas Gadjah Mada sepertinya telah kehilangan banyak pemikiran penting yang pernah dilahirkan oleh para begawannya. Apa fasal? Di usianya yang kepala enam, ada berapakah buku semacam ini yang pernah terbit di lingkungan Kampus Bulaksumur?! Semakin sedikit jumlah buku semacam ini yang pernah terbit, bisa dijadikan indikasi punahnya sejumlah pemikiran yang pernah dilahirkan di kampus ini. Siapa masih ingat Profesor Sardjito, Profesor Herman Johanes, Profesor Jacob atau Profesor Koesnadi?! Jika nama-nama itu disebut, sebagian besar orang mungkin masih mengingatnya, karena kebetulan mereka pernah jadi rektor UGM, alias mantan “pejabat”. Namun jika ditanyakan, apakah sumbangan pemikiran mereka bagi dunia keilmuan yang pernah tercatat, banyak orang pasti gelagapan. Salah satu sumber gelagapan itu adalah karena kita tidak pernah mencatatkan hal-hal terkait pemikiran tokoh-tokoh tadi secara baik. Jika hari ini ada yang hendak mencari karya-karya Mubyarto, orang masih bisa pergi ke perpustakaan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) atau perpustakaan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM. Namun, kemana kita bisa mencari karya-karya Herman Johanes, Djojodigoeno, Iman Soetiknjo, atau Soedarsono Hadisapoetro?! Pada masanya sumbangan pemikiran dan karya mereka sangat besar artinya bagi bidang keilmuan yang ditekuninya, dan bagi kemanusiaan secara umum. Namun, sekali lagi, dimana karya-karya mereka tersimpan?! Adakah yang merawat karya-karya mereka?!

Tanpa ikhtiar yang serius dan terus-terus untuk merawat dan menghidupi sebuah pemikiran, dalam dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan pemikiran Mubyarto juga mungkin akan bernasib sama. Dan agar hal itu tidak terjadi, maka buku semacam ini harus diterbitkan. Tentu saja kami menyadari bahwa penerbitan buku ini adalah ikhtiar paling sederhana dari upaya untuk merawat dan menghidupi pemikiran Pak Muby.

Akhir kata, buku ini adalah hasil gotong royong dari banyak pihak. Mas Satriyantono Hidayat telah mengirimkan foto-foto yang dimuat sebagai ilustrasi dalam buku ini. Pak Puthut Indroyono telah menyumbangkan transkrip wawancara dengan Pak Sartono dan Pak Koesnadi ketika kedua beliau itu masih sugeng. Sebuah wawancara yang langka dan telah menjadi antik. Dan ucapan terima kasih juga tak lupa disampaikan kepada kolega dan bekas murid Pak Muby yang karangannya bersedia dicuplik untuk buku ini.

Terakhir, kepada Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, dan Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Prof. Dr. Wihana Kirana Jaya, yang telah mendukung dan memberikan fasilitas bagi acara peringatan sewindu wafatnya Prof. Dr. Mubyarto, kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga buku ini ada manfaatnya.

Yogyakarta, Mei 2013


*) Ini adalah tulisan kata pengantar saya untuk buku "Warisan Pemikiran Mubyarto: Memperingati Sewindu Wafatnya Prof. Dr. Mubyarto, MA" (Mubyarto Institute & Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar