Kamis, 01 Mei 2014

KEBUDAYAAN DAN ABSENNYA KERJA KESARJANAAN


Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM


Dalam sebuah tulisannya, Daoed Joesoef pernah melontarkan sebuah pertanyaan bernada menggugat: kenapa di Indonesia seorang ilmuwan tidak bisa secara otomatis diakui sebagai budayawan, dimana kerja kesarjanaan mereka sebenarnya dapat dipersamakan sebagai sebuah karya kebudayaan.

Gagasan yang mencoba menautkan ilmu pengetahuan (sebuah produk dari kerja kesarjanaan) dengan kebudayaan (dimana berbagai pengetahuan telah melesap pada berbagai praktik yang pada umumnya tak lagi dipikirkan) sebenarnya telah tertabalkan pada karya banyak sarjana kita. Pada 1954, Soedjatmoko, misalnya, menulis sebuah risalah di majalah Konfrontasi yang menguar gagasan persis seperti apa yang terpacak sebagai judulnya: “Pembangunan sebagai Masalah Kebudayaan”. Ketika kita mendatangkan traktor untuk membajak sawah-sawah kita, demikian tulis Soedjatmoko, tanpa disadari sebenarnya kita juga sedang mendatangkan kebudayaan yang telah menciptakan traktor-traktor tadi. Dengan kata lain, pengetahuan dan teknologi pembuatan traktor tidak bisa disapih—sebagaimana diyakini oleh kebanyakaan orang—dari kebudayaan yang telah melahirkannya. Sederhananya, Anda tidak bisa menerima traktor tapi menolak inangnya, yaitu industrialisme.



Pada 1955 dan 1956 terbit pula dua jilid buku terjemahan karangan Kahrudin Yunus, seorang sarjana (Ph.D.) minang yang mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar, Mesir, hingga Universitas Columbia, Amerika. Disebut terjemahan karena pada mulanya buku itu ditulis dan disiarkan di luar negeri dalam bahasa arab. Dari tak kurang tujuh ratus halaman tulisannya, Yunus mengutarakan gagasan pokok bahwa “sistem ekonomi berakar di kebudayaan”. Oleh karenanya, bukan tanpa alasan jika dalam versi terjemahan Indonesia Yunus memilih judul Sistem Ekonomi Kemakmuran Bersama. Untuk meringkus seluruh teori yang disusunnya, Yunus hanya membutuhkan sebuah kata, "bersamaisme". Sebab, dalam pandangannya, kebudayaan masyarakat Indonesia secara umum memang berciri kelembagaan. Kini kita bisa mencatat bahwa pengakuan atas fakta sosial sejenis pula yang telah mendorong kenapa para ahli ekonomi pertanian kita pada awal dekade 1980-an menubuatkan bahwa unit analisis kajian ekonomi perdesaan bukanlah individu petani, melainkan rumah tangga petani (Kasryno, dkk. 1984).

Selain Soedjatmoko dan Yunus, Hidayat Nataatmadja, Daoed Joesoef, dan Mubyarto adalah sarjana lain yang juga pernah mengemukakan pertautan antara ilmu pengetahuan dengan kebudayaan. Pada akhir dekade 1970-an hingga akhir 1980-an, Hidayat berpolemik dengan banyak sarjana ihwal apakah ideologi merupakan bagian dari kebudayaan atau merupakan entitas yang terpisah darinya. Melalui banyak bukunya, Hidayat mengajukan pandangan bahwa ideologi merupakan bagian dari kebudayaan. Menurutnya kebudayaan adalah rumah pikiran, sehingga dengan sendirinya ideologi (dan anak kandungnya, ilmu pengetahuan) merupakan bagian darinya. Gagasan Ekonomi Pancasila sebagaimana yang dipopulerkan oleh Mubyarto sebenarnya juga bisa dipahami melalui kerangka ini. Dengan menggunakan nama Pancasila, Mubyarto mencoba menjadikan “kebudayaan” sebagai determinan dalam proyek keilmuannya, sebuah intensi yang akan mengingatkan kita pada pesan seorang ekonom Cambridge, Joan Robinson: “the very nature of economics is rooted in nationalism”. Daoed Joeosef sendiri, sebagaimana terbaca dalam banyak tulisannya, mengimani gagasan bahwa di balik ilmu pengetahuan adalah kebudayaan. 

+++

Jika kebudayaan adalah basis persoalan dari mana ilmu pengetahuan menstrukturasi gagasannya, kenapa para sarjana kita, atau ilmuwan kita, tidak bisa secara otomatis diakui sebagai budayawan, sebagaimana dipersoalkan oleh Daoed Joesoef?

Ada dua cara untuk mendiskusikan kemungkinan jawaban dari pertanyaan ini. Pertama adalah dengan menganggap bahwa pertanyaan tersebut ditujukan kepada publik kebudayaan, dimana soal diakui atau tidaknya seorang sarjana sebagai budayawan tergantung pada pengakuan yang diberikan oleh publik kebudayaan terhadap hasil kerja kesarjanaannya. Dalam kacamata ini, pertanyaan atau gugatan tadi dianggap sebagai persoalan otorisasi dan definisional. Artinya, soal masuk dan tidaknya kerja kesarjanaan sebagai sebuah karya kebudayaan adalah tergantung kepada apa yang dimaksud dengan kebudayaan dan budayawan oleh para hambanya sendiri. Dengan demikian, jika saat ini para sarjana atau ilmuwan kita tidak bisa secara otomatis diakui sebagai budayawan, maka itu disebabkan oleh definisi budayawan (dan karya kebudayaan) yang masih sempit dan terbatas. Sudut pandang ini kemudian melahirkan kritik bahwa pengertian budayawan dan kebudayaan harus mengalami perluasan makna dengan menyertakan ilmuwan dan kerja kesarjanaan sebagai bagian darinya. Secara sederhana, kita bisa menyebut ini sebagai “kritik kebudayaan”.


Cara pandang kedua adalah yang menganggap bahwa gugatan tadi sebenarnya ditujukan kepada publik kesarjanaan. Bila dibandingkan dengan sudut pandang pertama, sudut pandang ini sepertinya lebih jarang, untuk tidak menyebutnya sama sekali tidak-diperhatikan atau dianggap ada. Melalui sudut pandang ini, gugatan yang diintroduksi oleh Daoed Joesoef sebenarnya lebih banyak tertuju kepada para ilmuwan dan kerja kesarjanaan mereka. Maksudnya, telah seberapa jauhkah para ilmuwan atau sarjana kita melibatkan kebudayaan dalam kerja keilmuan mereka selama ini? Jika kerja kesarjanaan mereka hanya sedikit atau sama sekali tidak melibatkan kebudayaan yang menjadi inangnya, maka memang sudah sepatutnya mereka tidak layak untuk menyandang gelar sebagai budayawan atau kerja kesarjanaan mereka dihargai sebagai karya kebudayaan. Sebagaimana sudah disampaikan, kebudayaan adalah rumah pikiran, inang dalam mana ilmu pengetahuan menjadi bagian darinya, sehingga jika sampai sebuah kerja kesarjanaan tak melibatkan kebudayaan inangnya sebagai referensi, maka tradisi kesarjanaan yang demikian pada prinsipnya sedang membangun istananya di awan.

Tapi bisakah kerja kesarjanaan melepaskan dirinya dari kebudayaan sama sekali? Ia mungkin saja bisa terlepas dari kebudayaan ibunya, tapi mustahil ia sama sekali tidak terikat dengan kebudayaan lain. Artinya, persetubuhan sebuah tradisi kesarjanaan dengan kebudayaan mustahil disangkal, hanya saja apakah kebudayaan itu adalah kebudayaan “ibunya” atau bukan, itu adalah masalah yang berbeda.

Sudut pandang kedua ini membekali kita sebuah kritik bahwa bisa jadi tradisi kesarjanaan yang kita hidupi selama ini sama sekali tidak atau belum melibatkan kebudayaan ibu kita sendiri, sehingga karenanya para ilmuwan atau sarjana kitapun tak bisa otomatis disebut sebagai budayawan. Lebih jauh, tradisi yang demikian adalah tradisi kesarjanaan yang tidak didukung oleh “kerja kesarjanaan”, yaitu kerja dalam rangka penciptaan-otonom, karena meskipun inspirasi perkembangan ilmu pengetahuan bisa berasal atau dicari dari kebudayaan manapun, namun sebagai sarjana kita dibebani kewajiban (meminjam bahasa Soedjatmoko) untuk mencari dan membangkitkan di dalam kebudayaan kita sendiri asas-asas otonom, yang dengannya kita bisa mengembangkan dinamika sosial kita sendiri. Ringkasnya, hanya individu otonom yang bisa membangun tradisi kesarjanaan otonom. Tanpa sikap otonom kita hanya akan menjadi epigon, peniru, yang sekadar membebek pada tradisi orang lain. Kita bisa menyebut ini sebagai “kritik ideologi” atau “keilmuan”.


+++

Masalah kebudayaan dan kerja kesarjanaan ini mendesak untuk diperhatikan karena kita kini kian gemar mengamputasi sebuah konsep dari konteks kebudayaan (atau semesta gagasan) yang telah melahirkannya. Sehingga tidak heran jika pernah ada manifes dari sejumlah sarjana kita yang memacak Ekonomi Pasar Sosial (Social Market Economy) sebagai visi politik ekonomi, tapi di sisi lain mereka menolak neoliberalisme, tanpa memperhatikan bahwa keduanya merupakan saudara kembar (bdk. Giersch, 1968). Konsep-konsep yang seharusnya telah terikat kepada pengertian tertentu yang sudah baku tiba-tiba diadopsi seolah merupakan kosakata generik yang belum diberi pengertian. Semua itu disebabkan oleh absennya kerja kesarjanaan. Alih-alih bekerja untuk menyusun dan menemukan konsep sendiri secara otonom, para sarjana kita lebih suka mengkonsumsi dan mengadopsi konsep-konsep yang sudah jadi, itupun dengan cara yang ceroboh.

Oleh karena itu, jika ada kritik kenapa kebudayaan kita hanya sedikit sekali melahirkan ilmu pengetahuan, maka perlu disadari bahwa kritik itu sebenarnya bukan hanya ditujukan kepada domain kebudayaan, sebagaimana telah terlalu sering dibahas, melainkan terutama kritik terhadap tradisi kesarjanaan. Sehingga, kritik kebudayaan dan kritik keilmuan, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, harus dikerjakan secara serentak. Tanpa kritik keilmuan, kita hanya akan terperosok menjadi Sutan Takdir Alisjahbana yang baru, yang berhasil mendekonstruksi kebudayaan prae-Indonesia tapi gagal bersikap kritis terhadap kebudayaan baru (modernisme) yang dibelanya. Demikian juga dengan kritik keilmuan, tanpa dibarengi kritik kebudayaan, kritik keilmuan hanya akan menjadi seperti proyek hi-tech Habibie, yang gagal menjawab pertanyaan sederhana: “apakah yang kita butuhkan; pergi ke Singapura dengan pesawat buatan dalam negeri, atau pergi ke pasar dengan sandal jepit buatan sendiri?

Jadi, itulah sebab kenapa budayawan kita belum lagi pantas memakai toga, dan sarjana kita belum juga layak menjadi budayawan, hingga kini.


*) Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Kabare KAGAMA, No. 169/Vol. XXXVII, November 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar