Rabu, 25 Juni 2014

[JURNALISME] MESUM




Oleh Tarli Nugroho
Pembaca media



"Mesum atau tidak itu tidak tergantung pada perbuatannya, tapi tergantung tarif hotelnya," kalimat itu meluncur dari seorang kawan dalam sebuah obrolan di bulan Ramadhan, beberapa tahun silam. Tentu saja saya terbahak mendengarnya. Hanya sepelemparan batu dari gerbang kantor kami, waktu itu, terdapat sebuah rumah bergorden merah marun yang setiap lepas magrib diparkiri taksi dan kendaraan roda empat lainnya. Mobil-mobil itu hanya singgah barang lima atau sepuluh menit untuk kemudian segera meluncur ke berbagai penginapan yang ada di Yogya.

Kata teman-teman kantor sih begitu. Nah, saya sih biasanya pura-pura tidak memperhatikan obrolan mereka. Padahal... He he he. Tak jauh dari rumah itu, sekitar dua ratusan meter ke arah Barat, juga terdapat sebuah salon yang setelah beberapa kali secara sengaja saya lewat di depannya, setelah diberitahu teman-teman, sejumlah perempuan dengan hot pants setiap pagi menjelang siang pasti sedang duduk-duduk mengantri mandi. Saya mengira mereka pasti mau mandi karena hampir semuanya menyelempangkan handuk di bahunya.

Tak heran, jika menjelang tanggal muda, banyolan di antara kami hampir selalu menyerempet tempat-tempat tadi. Termasuk pada hari di bulan Ramadhan itu. Tapi bukan tempat-tempat itu yang ingin saya bagi di sini, he he he.

Setiap kali menjelang dan selama bulan Ramadhan, kita sering mendengar aparat kepolisian atau satuan polisi pamong praja di berbagai daerah mengadakan razia tempat-tempat mesum. Dan sasaran mereka, selain warung remang-remang, biasanya adalah hotel-hotel kelas melati. Di sana, mereka biasanya merazia apa yang mereka sebut "pasangan-pasangan mesum".

Kenapa yang dirazia hanya hotel kelas melati, bukannya hotel berbintang? Apakah aparat berasumsi kegiatan mesum hanya berlangsung di hotel kelas melati? Atau, apakah seperti banyolan kawan saya di atas, soal "mesum" dan "tidak mesum" pertama-tama memang bukan soal konstruksi moral atas sebuah perbuatan, melainkan sekadar soal "tarif hotel"?! Ah, itu adalah pertanyaan-pertanyaan jahil yang mungkin dianggap tidak penting oleh banyak orang. Saya juga mulanya menganggap tidak penting pertanyaan-pertanyaan itu. Sampai kemudian siang tadi saya membeli Majalah Tempo edisi terbaru yang menulis soal Obor Rakyat. Entah kenapa, kalau membaca bagaimana soal Obor Rakyat dibicarakan, saya jadi teringat pada soal "permesuman" tadi.

Tidak perlu belajar jurnalistik menahun untuk menemukan bahwa apa yang dilakukan oleh Obor Rakyat dan para "jurnalisnya" adalah contoh sebuah perbuatan "mesum" dalam dunia jurnalistik. Saya menyambut baik paernyataan AJI yang dengan tegas menyebut bahwa Obor Rakyat itu bukan merupakan bagian dari dunia "jurnalistik". Ya, tabloid itu memang sampah saja.

Tapi, sebagaimana halnya perbuatan mesum di hotel-hotel kelas melati, Obor Rakyat adalah contoh dari perbuatan mesum yang vulgar dan verbal. Bagaimana halnya dengan perbuatan "mesum" kelas "hotel berbintang" dalam dunia jurnalistik kita? Bagaimana dengan media-media raksasa yang mendaku dirinya sebagai "penjaga moral", "penyuara kebenaran", "pengadil yang tak memihak", yang setiap hari mengisi halaman dan layarnya dengan tulisan dan tayangan penuh hasut, insinuasi, yang sama sekali tak memenuhi kaidah jurnalistik paling sederhana sekalipun?!
 

Obor Rakyat itu kotoran! Anak sekolah dasar saja tahu hal itu. Tapi jika kita yang merasa dirinya terdidik lebih merisaukan kotoran semacam Obor Rakyat sembari menutup mata terhadap kotoran yang setiap hari diproduksi oleh media-media raksasa, dan malah mengambil keuntungan darinya hanya karena kotoran-kotoran itu "menyuburkan" aspirasi politik kita, tak bisa lain bahwa kita sesungguhnya hanyalah sejenis bangsa bakteri yang hanya bisa hidup di tengah kotoran.

Tapi, ya, seperti halnya tarif hotel, "kotoran" yang dibagi gratis dengan "kotoran" yang dibeli dengan duit puluhan ribu memang beda levelnya. Karena ada harganya, kotoran mungkin tak lagi dianggap kotoran. Jadi, soal "mesum" dan "kotoran" di negeri ini memang perkara tarif dan harga, bukan soal konstruksi etik atas sebuah perbuatan, pikiran, atau cara pandang.

Semoga saya keliru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar