Jumat, 18 Juli 2014

SCHUMACHER


























Tarli Nugroho



Setiap kali membaca tulisan-tulisan Ernst Schumacher, saya selalu merasa tak habis pikir, betapa jernih dan mendalamnya orang ini dalam memikirkan segala sesuatu. Begitu juga ketika dia membahas Francis Bacon. Sejak jaman antik, demikian Schumacher, tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menemukan kearifan. Ya. Dia menyebut "kearifan", bukan "kebenaran", karena relasi ilmu pengetahuan dengan kebenaran sesungguhnya sangat problematis. Kebenaran itu seperti bulan, dan kebenaran ilmu pengetahuan hanyalah seperti jari yang menunjuk bulan, bukan bulan itu sendiri. Jadi, kearifan adalah kesadaran bahwa kita hanyalah pemilik jari yang sekadar sedang menunjuk bulan.

Namun, sejak Bacon mentadaruskan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan, sejak itu pula, menurut Schumacher, maka ilmu pengetahuan telah berubah menjadi manipulatif. "Peradaban Barat berdiri di atas kekeliruan filosofis bahwa sains manipulatif adalah kebenaran," ujarnya suatu kali. Maka, sejak itu ilmu pengetahuan berubah secara radikal menjadi alat untuk mendominasi dan menguasai, bukan lagi alat untuk menemukan kearifan.

Manusia sudah menemukan demokrasi untuk mengontrol kekuasaan politik. Tapi sepertinya kita belum memiliki alat kontrol terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan. Satu-satunya kontrol terhadap ilmu pengetahuan sejauh ini hanyalah bencana. Ya, bencana. Sama seperti halnya satu-satunya kontrol terhadap ilmu ekonomi adalah krisis dan depresi.

Oleh karenanya, membaca perdebatan seputar survei dan quick count, yang kemudian melebar dari soal etik dan metodologi ke soal kredibilitas, selain teringat kepada tulisan-tulisan Schumacher, saya juga teringat kepada Kurt Gödel. Ilmu pengetahuan mustahil membenarkan dirinya sendiri, demikian ujar matematikawan Austria tersebut.



Yogyakarta, 15 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar