Jumat, 29 Agustus 2014

IN MEMORIAM PROFESOR SUHARDI (1952-2014)

















Oleh Tarli Nugroho
 

Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Sugeng tindak, Pak Hardi. Hanya sedikit mahaguru di Bulaksumur yang ilmu dan lakunya bisa dijadikan teladan. Masih terngiang bagaimana kagum dan riangnya karib saya, Iqbal Aji Daryono, ketika berhasil mewawancaraimu tiga belas tahun lalu. Ia berhasil menuliskan profilmu dengan baik di mingguan yang kami kelola. Mana ada guru besar, dan apalagi dekan, yang komit untuk naik sepeda jika pergi ke kampus? Tapi itu sudah engkau lakukan jauh sebelum orang heboh dengan "sego segawe" dan "bike to work". Engkau hanya menggunakan mobil dan kendaraan bermotor jika pergi ke bandara atau ke luar kota. Sebuah komitmen yang langka.

Setahun yang lalu para kolega, sahabat, dan murid-muridmu memperingati 25 tahun "Sumpah Gandum" yang telah engkau lakoni. Ya, lebih dari seperempat abad yang lalu engkau bersumpah tidak akan mengkonsumsi gandum dan semua produk turunannya, karena bahan makanan itu tidak kita produksi sendiri. Kita menghabiskan devisa yang tak sedikit untuk mengimpor makanan-makanan itu, demikian ceritamu, suatu kali, ketika kita berbincang di sebuah toko buku, bertahun-tahun lalu. Engkau lebih suka makan ubi, singkong, dan bahan makanan lokal lainnya. Lagi-lagi, ini sebuah komitmen yang langka. Sebuah laku dari ilmu yang kau ajarkan.

Masih terngiang bagaimana setiap kali engkau hadir dalam acara di Balai Senat UGM, dalam setiap tanggapanmu, engkau tak pernah lupa mengingatkan yang hadir: "Alangkah lebih baiknya jika gorden-gorden dan jendela itu dibuka, agar kita tak perlu menggunakan AC dan terlalu banyak lampu di ruangan ini. Jika kita membuka jendela, kita bisa menikmati cicit burung dari hutan kampus di sebelah utara sana, dan juga tiupan angin yang berembus dari pintu dan jendela." Demikian katamu. Dan kami, yang ada di ruangan, biasanya hanya akan tertunduk malu.

Pada setiap seminar, engkau selalu menggugat, kenapa jalan-jalan kita semakin banyak dihiasi pohon lampu, padahal itu boros energi. Engkau juga menggugat kenapa jalan-jalan kita hanya ditanami tanaman-tanaman hias, padahal itu tak banyak gunanya. Bukankah, menurutmu, sebaiknya pinggir-pinggir jalan kita ditanami oleh tanaman-tanaman yang menjadi bahan pangan, yang tak hanya akan memberi rindang, namun juga bisa menjadi sumber pangan dan ekonomi bagi masyarakat. Ah, engkau mengatakannya dengan sungguh-sungguh, gagasan sederhana yang kebanyakan kami selalu meluputkan atau meremehkannya. Ya, engkau mengatakannya dengan sungguh-sungguh, karena engkau sudah mempraktikkannya, seperti biasa.

Ketika engkau harusnya tinggal menikmati puncak karir di kampus, seluruh kenyamanan dan kemapanan itu engkau tinggalkan enam tahun lalu. Tanpa harus berkoar-koar "orang baik harus terjun ke politik", engkau melakoninya dengan sungguh tegas. Kau tanggalkan jabatan guru besar, kau mundur dari kampus, dan sepenuhnya mengabdikan diri untuk membesarkan partai politik yang kau pimpin, yang kau hidupi dengan gagasan dan keyakinanmu. Laku pribadi tak akan banyak manfaatnya jika tak menjadi laku masyarakat, dan politik adalah jembatannya. Gagasan brilian di kampus tak akan bisa bekerja, jika tak punya saluran pada kebijakan, dan itu pasti melalui jembatan politik. Tak ada hal setengah-setengah dalam hidupmu. Semua hal ditunaikan dengan sepenuh hati, termasuk laku politikmu.

Malam ini Tuhan memanggilmu. Pungkas sudah tugasmu. Dan kami ingin bersaksi, betapa kami pantas malu kepadamu. Sungguh kami berutang banyak sekali teladan darimu. Tak ada yang engkau wariskan, kecuali keteladanan dan kebaikan.

"Allahhummaghfir lahu warhamhu wa'aafihi wa'fu anhu."

Selamat jalan, sugeng tindak, Prof.



Yogyakarta, Kamis, 28 Agustus 2014