Minggu, 28 September 2014

DEMOKRASI DAN PENDIDIKAN KITA
























Oleh Tarli Nugroho
Peneliti Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)


Memperhatikan perdebatan politik yang terjadi di tanah air sebelum dan setelah Pilpres kemarin, saya jadi semakin menemukan relevansi kenapa ketika pulang dari Negeri Belanda dulu, kegiatan politik yang pertama kali dikerjakan Hatta adalah mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru). Tanpa pendidikan, yang menjadi medium untuk melakukan pencerahan, politik hanya akan menjadi propaganda kosong yang bukan hanya bisa menyesatkan, melainkan juga mencelakakan.

Tentu saja Hatta bukan orang pertama yang menyadari itu. Jauh sebelumnya, Ki Hadjar Dewantara sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa, dan berbagai tokoh serta organisasi pergerakan juga telah mendirikan sejumlah studie klub.

Pendidikan produk politik etis yang sebetulnya cuma dimaksudkan (intended goal) untuk menciptakan kelas terdidik untuk memenuhi kebutuhan tenaga administratif pemerintahan kolonial, ternyata secara tak diduga (unintended goal) telah melahirkan kelas tercerahkan pribumi yang sanggup berpikir kritis mengenai nasib bangsanya. Pada tahun 1930-an, kelas terdidik produk politik etis ini telah menjadikan pendidikan sebagai kunci dalam pergerakan politik mereka. Memang, tak akan ada kemerdekaan yang hakiki tanpa pendidikan.

Apa bagian penting dari pendidikan yang membuatnya menempati posisi krusial bagi perjalanan sebuah bangsa?

Pendidikan, secara ringkas, adalah sebuah proses simultan yang menuntun individu untuk bisa mengolah (1) informasi menjadi pengetahuan, serta mengolah (2) pengetahuan menjadi kebijaksanaan. Produk akhir dan ideal dari pendidikan memang adalah kebijaksanaan, dan bukannya pengetahuan.

Informasi dengan pengetahuan memiliki distingsi yang cukup jelas dan mudah dipahami. Kita bisa memperoleh informasi tentang berbagai hal tanpa harus mendapatkan pengetahuan riil mengenai bidang yang bersangkutan. Pada hari ini, misalnya, internet telah memungkinkan kita menjaring dan menyerap jutaan informasi secara real time. Namun, satu hal yang sering dilupakan, informasi memang berisi fakta, namun kumpulan fakta tidaklah otomatis memiliki ide. Begitu juga halnya dengan kronik. Kumpulan peristiwa sejarah tidak dengan sendirinya menyampaikan atau mengandung sebuah ide.

Itu sebabnya, sejak jaman Yunani Antik, para filosof sudah membedakan antara mengetahui “the fact that” dengan “the reason why”. Persis di sini kita mulai memasuki distingsi antara “informasi” dengan “pengetahuan”.

Pengetahuan mengandaikan adanya sistem atau nalar yang tertata. Jika fakta bisa diperoleh dari pengalaman, maka pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui penalaran sistematis (ordered thinking). Hanya fakta-fakta atau informasi-informasi teruji saja yang bisa melahirkan pengertian, atau ide, dalam bentuk pengetahuan. Kemampaun untuk mengolah informasi menjadi pengetahuan ini merupakan karakteristik pertama dari keterdidikan (educated). Jadi, ini belum merupakan karakteristik keterdidikan yang penuh.




Dalam proses untuk mengolah informasi menjadi pengetahuan ini, seorang individu tidak boleh hanya secara pasif melihat, membaca, atau mendengarkan “informed teacher”. Setiap individu terdidik harus berusaha secara aktif untuk mengorganisasikan, menata dan menghubungkan informasi-informasi atau fakta-fakta yang ada di sekelilingnya menjadi pengetahuan. Proses pengorganisasian inilah yang disebut sebagai “kemampuan belajar”. Dan kemampuan belajar bukan hanya mensyaratkan kedisiplinan, melainkan juga imajinasi dan kreatifitas.

Faktor imajinasi dan kreatifitas ini membuat pengetahuan tak hanya dibentuk oleh “being able to learn”, sebuah pengertian paling antik mengenai pendidikan, melainkan juga oleh “being able to unlearn” dan termasuk “relearn”. Proses ini berjalan simultan, bertukar tangkap dengan lepas, dari satu modus ke modus lainnya, baik urut maupun acak.

Pada akhirnya, muara paling ujung dari proses pendidikan adalah produksi kebijaksanaan. “Being well educated” harus berisi lebih dari sekadar pengetahuan, dan nilai-lebih itu tak lain adalah kebijaksanaan. Inilah makna keterdidikan yang kedua.

Sampai di sini saya jadi teringat kepada ajaran Ernst Schumacher, bahwa sejak jaman antik dahulu tujuan ilmu pengetahuan sebenarnya memang bukanlah untuk menemukan kebenaran, melainkan kearifan. Kita bisa melihat bagaimana sinkronnya ajaran tersebut dengan filosofi pendidikan, bahwa produk akhir dari pendidikan bukanlah pengetahuan, melainkan kebijaksanaan.

Lantas, apakah “kebijaksanaan” yang dimaksud?

Kebijaksanaan, meminjam Daoed Joesoef (2005), tak lain adalah kebajikan atau keluhuran budi yang merupakan konsekuensi dari pengendalian nafsu dan emosi yang dikontrol oleh nalar. Kita tahu, pengetahuan, seperti halnya kebenaran, tak selalu bernilai maslahat. Persis di situ, di soal maslahat itu, kita membutuhkan pertolongan kebijaksanaan. Seperti sering saya singgung, relasi ilmu pengetahuan dengan kebenaran memang problematis. Kebenaran itu seperti bulan, dimana kebenaran ilmu pengetahuan hanyalah seperti jari yang sedang menunjuk bulan, bukan bulan itu sendiri. Kebijaksanaan adalah kesadaran bahwa kita hanyalah pemilik jari yang sekadar sedang menunjuk bulan, dimana  selain jari kita, di tempat yang berbeda juga ada jari-jari lainnya yang bisa dan sedang menunjuk bulan yang sama.




Apa jadinya jika jari yang di sini mengklaim bahwa bulan di atas sana hanyalah miliknya, sementara jari yang lain adalah sebuah kesalahan, dan bahkan kejahatan?! Persis di situ kita membutuhkan kebijaksanaan dan kearifan.

Seperti sudah disinggung, kemampuan belajar bukan hanya dibangun dengan “being able to learn”, tapi juga “being able to unlearn”, yaitu kemampuan untuk meninggalkan pengetahuan yang sebelumnya diyakini untuk beralih kepada pengetahuan-pengetahuan baru. Dan juga “relearn”, yaitu kemampuan untuk menemukan hikmah-hikmah baru dari pengetahuan-pengetahuan lama yang mungkin telah ditinggalkan. Dalam proses pertukaran modus belajar itulah persis kita membutuhkan kebijaksanaan dan kearifan.

Oleh karenanya, saya selalu tak habis pikir, betapa mendalamnya pemikiran para pendiri Republik ini ketika mereka merumuskan kalimat “Kerakyatan yang dipimpin oleh HIKMAT KEBIJAKSANAAN dalam permusyawaratan/perwakilan”. Demokrasi, dengan bermacam modelnya, memang tak otomatis membawa maslahat jika tidak dipimpin oleh “hikmat kebijaksanaan”. Sehingga, rumusan sila keempat Pancasila itu hanya mungkin dirumuskan oleh orang-orang yang bukan hanya memiliki pengetahuan mendalam, melainkan juga bijaksana.

Tak heran, ketika Soekarno datang ke Taman Siswa untuk berkonsultasi mengenai karut-marut demokrasi parlementer multi-partai, sebuah persoalan yang juga digelisahkan Hatta, Ki Hadjar Dewantara menyodorkan konsep “Demokrasi dan Leiderschap”. Agar demokrasi “tidak salah kedaden”, tulis Ki Hadjar (1959), atau “bertumbuh salah menjadi keadaan yang tak teratur”, persis di situ demokrasi membutuhkan pimpinan. Dan yang dimaksud dengan pimpinan itu tak lain adalah “kebijaksanaan”.

Kita tahu, Soekarno kemudian mengadaptasi gagasan “Demokrasi dan Leiderschap” dari Taman Siswa tersebut menjadi “Demokrasi Terpimpin”. Kemudian terjadilah unintended goal, dimana akhirnya Si Bung-lah yang lalu menjadi pimpinan dari konsepsi demokrasi itu, dan bukan “kebijaksanaan”. Tentu saja bukan tujuan tak diharapkan itu yang sebenarnya didesain dan dibayangkan oleh Soekarno. Ketik awal Demokrasi Terpimpin diperkenalkan, dengan tegas Si Bung juga mengatakan bahwa “demokrasi ini tidak dipimpin oleh Soekarno”, tetapi oleh “akal sehat”. Sayangnya, roda sejarah tak selalu bergulir sebagaimana yang dikehendaki.




Konsep “leiderschap” atau “kebijaksanaan” itu sebenarnya diserap Ki Hadjar dari ajaran Soetatmo Soerjokoesoemo, salah satu pendiri Taman Siswa. Filosofi ajaran Soetatmo bisa diketahui dari semboyan Majalah “Weder-opbouw” yang dipimpinnya. Majalah tersebut memiliki semboyan “Schoonheid die Macht regeert; Macht die Liefde looft; Wijsheid die Recht doet wedervaren”. Artinya, “Keindahan yang membatasi Kekuasaan; Kekuasaan yang memuja Cinta Kasih; Kebijaksanaan yang membawa Keadilan”. Itulah inti ajaran Soetatmo. Jadi, dilihat dari segi nilai, inti dari “kebijaksanaan” bukanlah hanya kebenaran per se, tapi juga keadilan dan kemaslahatan.

Kembali ke uraian awal tulisan ini, gaduhnya praktik demokrasi sebagaimana yang kita saksikan hari ini, merupakan cermin dari absennya kebijaksanaan tadi. Tanpa kebijaksanaan, perbedaan pendapat tak akan melahirkan ukir yang membawa keindahan, melainkan retak yang membawa pecah; tak akan membawa kita kepada kebenaran-kebenaran baru (melalui to unlearn, atau relearn), melainkan mengukuhkan masing-masing pendapat pada keyakinan awalnya. Itu sebabnya, meskipun banyak orang mengaku mengimani demokrasi, tapi pada saat yang sama mereka bisa seenaknya mendelegitimasi proses dan produk dari demokrasi itu sendiri. Sungguh ironis.

Tentu saja, absennya kebijaksanaan itu lahir dari problem yang diidap oleh dunia pendidikan kita. Itu sebabnya kita harus menolak keras rencana pemecahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi dua kementerian. Tanpa konsep yang jelas, pembahasan terbuka, serta analisis persoalan yang tepat, rencana itu patut kita khawatirkan hanya akan menambah kacau saja tata kelola pendidikan nasional kita yang sudah semrawut ini. Bisa dibayangkan, manusia macam apa lagi yang akan dihasilkan oleh pendidikan nasional yang diselenggarakan secara kacau itu? Dan praktik demokrasi macam mana yang akan merongrong kehidupan kita di masa depan?




Setiap kekurangan pada praktik demokrasi kita hari ini, pada dasarnya merupakan panggilan untuk membenahi filosofi dan praktik pendidikan di tanah air. Tanpa pendidikan yang sanggup mengajari kebijaksanaan, demokrasi hanya akan melahirkan sengketa, bukan kebajikan.


Yogyakarta, 28 September 2014

1 komentar: