Senin, 29 September 2014

TIKUNGAN DENG DAN GORBY



Oleh Tarli Nugroho
Peneliti Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)


Pengujung dekade 1980-an merupakan periode penting bagi siapa saja yang tertarik belajar politik, terutama dalam kerangka bagaimana menimbang sebuah kebijakan politik dalam horison jangka panjang, tidak sekadar on the spot.


Tak ada negara yang menyedot begitu besar perhatian pada dekade itu selain dua raksasa Uni Soviet dan Cina. Keduanya sama-sama negara komunis tapi selalu mengambil jalan yang bersimpangan.


Satu dasawarsa itu perekonomian Cina menanjak pesat. Berbeda dengan para pemimpin sebelumnya, Deng Xiaoping membuka perekonomian Cina sehingga bisa berkembang, namun ia tetap mengunci rapat-rapat laci politiknya. Apa yang terjadi di Cina berkebalikan dengan Soviet. Di penghujung dekade itu, melalui Perestroika dan Glasnost a la Mikhail Gorbachev, Soviet mereformasi baik politik maupun perekonomiannya. Tak ada lagi negeri tirai besi.

Meski perkembangan ekonominya menarik perhatian dunia, Deng gagal mendapat simpati dunia. Ia kalah sembada dibanding Gorby yang banyak dipuja-puji, terutama di negeri-negeri Barat. Tragedi Tiananmen 1989, kita tahu, kemudian menjadi tapal batas antara Deng dan Gorby.

Ironisnya, meski banyak dipuja-puji warga dunia, dan kelak mendapat hadiah Nobel Perdamaian, Gorby gagal mengangkat Soviet yang sedang terpuruk. Reformasi politik dan ekonominya tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Dan sebagai pemimpin, di negerinya sendiri ia dianggap sebagai pecundang yang tak berwibawa.

Apa yang kemudian dipetik Cina dan Soviet?

Usaha reformasi ekonomi sembari tetap mengontrol ketat politik, meski tak populer di mata warga dunia, telah mengantarkan Cina menjadi negara adidaya di abad ini. Sementara, reformasi politik dan ekonomi yang dilakoni Soviet, yang dulu disanjung-sanjung itu, telah mengubur Soviet ke dalam laci sejarah. Negeri itu bubar justru ketika pemimpinnya sedang disanjung-sanjung dunia.

Apa yang dilupakan Gorby dan para demonstran Tiananmen, dengan segala hormat terhadap seluruh ikhtiar kemanusiaannya, adalah menganggap demokrasi bisa disulap. Mereka mengira transformasi politik dan ekonomi bisa dilakukan sekadar dengan mengubah prosedur. Padahal, transformasi sosial tak mungkin bisa dilakukan jika infrastrukturnya belum siap. Soal prosedur dan infrastruktur ini memang sering kali dipertukarkan, seolah keduanya memiliki hubungan substitusi.

Dalam skala yang lebih mikro, kesalahan serupa juga yang telah membuat kenapa Adi Sasono dulu gagal menjalankan agenda ekonomi kerakyatan ketika menjadi menteri koperasi dalam kabinet Habibie. Anggaran dan political will saja tidak cukup untuk memberdayakan ekonomi rakyat, tanpa terlebih dahulu menyiapkan infrastrukturnya. Program-program itu akhirnya berhenti bekerja begitu dana dan pejabatnya berhenti.

Menengok kembali tikungan yang pernah dilewati Deng dan Gorby, jika memperhatikan karakter rakyat Indonesia hari ini, kebanyakan rakyat kita pasti lebih memilih tikungan Gorby daripada Deng. Repotnya, meski memilih tikungan Gorby, mereka selalu ingin mendapatkan hasil yang diperoleh tikungannya Deng.

Ya, begitulah kita. Hipokrisi adalah kita!


Yogyakarta, 22 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar