tag:blogger.com,1999:blog-64194930849409782982024-03-06T10:30:33.176+07:00Melanjutkan IndonesiaUnknownnoreply@blogger.comBlogger60125tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-72828779394695550402023-03-18T12:17:00.007+07:002023-03-18T12:38:12.677+07:00 MANÉH DAN PRASANGKA BUDAYA YANG DANGKAL<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEio2kuVMJxV15U6sE7iuy5nb44f0EguRda7ZrLZjgQUhthjXwOpL8XRaMQ4zjrfXSRrbUerVJoaex7gsfeKircVEsNQke_XjJEkZaWTRjrzj87sefaUR6ieShbTm0A4iD_x2WKAtxYgWv2l3EvzhhraOavzdym3ZFs7ql3ZmK9hhIJKCfxTzC_sY6PoFA/s4128/20210512_091437.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2580" data-original-width="4128" height="250" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEio2kuVMJxV15U6sE7iuy5nb44f0EguRda7ZrLZjgQUhthjXwOpL8XRaMQ4zjrfXSRrbUerVJoaex7gsfeKircVEsNQke_XjJEkZaWTRjrzj87sefaUR6ieShbTm0A4iD_x2WKAtxYgWv2l3EvzhhraOavzdym3ZFs7ql3ZmK9hhIJKCfxTzC_sY6PoFA/w400-h250/20210512_091437.jpg" width="400" /></a></div><br /><span style="font-family: georgia;"><br /></span><p></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: georgia;">
Oleh <b>Tarli Nugroho</b><br />
<br />
Saya menilai respon serta ketersinggungan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil atas
pertanyaan seorang guru SMK di Cirebon di akun Instagramnya, yang telah membuat
sang guru akhirnya jadi kehilangan pekerjaan, adalah bentuk arogansi. Kang Emil
telah mengadili pertanyaan guru itu dengan asumsi-asumsi linguistik yang jika
kita periksa lebih dalam sebenarnya tidak cukup kuat untuk
dipertanggungjawabkan. Bahkan, respon itu secara kultural sangatlah keliru.<br />
<br />
Sebelum kita membahas soal linguistik dan kultural tersebut, ada beberapa
alasan kenapa saya berpendapat jika respon Kang Emil tadi adalah bentuk
arogansi. <br />
<br /><b><i>
Pertama</i></b>, sebagai pejabat eksekutif tertinggi di Jawa Barat, Kang Emil mestinya
paham jika semua ucapan, tulisan, ekspresi emosional, dan bahkan gestur yang
diperlihatkannya selalu akan direspon dengan serius oleh jajaran birokrasi di
bawahnya. Sehingga, berbeda dengan pembelaan dirinya yang mengklaim tidak
pernah memerintahkan pemecatan terhadap guru bersangkutan, dari sisi
kelembagaan kita bisa melihat dengan jelas jika aksi pemecatan tadi merupakan
bentuk respon birokrasi atas tanggapan yang diberikan oleh gubernur, terlepas
dari apakah gubernur memaksudkannya demikian atau tidak.<br />
<br />
Jika Kang Emil memang benar-benar tidak memaksudkannya demikian, alih-alih
terus berapologi, ia mestinya berusaha untuk menyelesaikan persoalan ini. Misalnya
dengan memfasilitasi agar guru yang telah kehilangan pekerjakan itu bisa segera
mengajar kembali, baik di tempat kerjanya semula, ataupun di tempat lain yang
sesuai dengan kompetensinya.<br />
<br /><b><i>
Kedua</i></b>, kritik yang disampaikan oleh guru SMK di Cirebon itu sebenarnya jauh
dari kata tidak sopan. Apa yang disampaikannya, “<i>Dalam zoom ini, Maneh teh keur
jadi gubernur Jabar ato kader partai ato pribadi @ridwankamil???</i>” (ditulis
ulang sesuai <i>posting </i>asli), menurut saya justru sangat sopan, karena dilakukan
bukan dengan menghakimi (<i>judging</i>), melainkan dengan mempertanyakan (<i>questioning</i>)
fakta yang dilihatnya. Dan pertanyaan itu memang pantas untuk dilontarkan.<br />
<br />
Kita tahu, jas berwarna kuning bukanlah pakaian yang lazim digunakan oleh
pejabat publik dalam sebuah acara resmi. Kang Emil bukan alumni UI yang jas
almamaternya berwarna kuning. Sehingga, orangpun pantas bertanya, apa alasan
Kang Emil pakai jas kuning saat melakukan <i>zoom </i>bersama para siswa SMPN 3 Kota
Tasikmalaya pada hari Selasa, 14 Maret 2023 lalu?! <br />
<br />
Meskipun jas itu tak berlogo, atau mengandung kata-kata tertentu, secara
semiotik semua orang tentunya paham bahwa warna kuning tersebut tidak dipilih
secara acak, melainkan dipakai karena mewakili identitas politik tertentu. Dan
poin ini memang pantas untuk dipertanyakan.<br />
<br />
Terakhir, yang <b><i>ketiga</i></b>, berbeda dengan pandangan Kang Emil, pertanyaan yang
disampaikan oleh guru SMK di Cirebon itu justru sangat pantas dilontarkan oleh
seseorang yang berprofesi guru. Sebagai guru, ia setidaknya merasa bertanggung
jawab untuk melindungi siswa—meskipun mereka bukan siswa sekolah tempatnya
mengajar—dari potensi kampanye politik terselubung seorang pejabat publik.
Sikap dan keberaniannya melontarkan pertanyaan itu bahkan harus dipuji. <br />
<br />
Tanggapan Kang Emil bahwa “<i>Tidak pantas seorang guru seperti itu</i>”, sangatlah tidak
tepat. Guru SMK di Cirebon itu justru telah memberi contoh baik kepada para
siswanya terkait pentingnya bersikap kritis. Sejak kapan bersikap kritis
dianggap sebentuk kejahatan atau perbuatan tidak senonoh?! Bahaya sekali jika
anak-anak kita diajari untuk tabu bersikap kritis.<br />
<br />
Dari sisi linguistik, yang sejauh ini selalu dijadikan pembenaran oleh Kang Emil atas respon yang diberikannya, kata
“<i>maneh</i>” juga bukanlah kata ganti orang kedua yang bersifat kasar. Berbagai
kamus bahasa Sunda dengan jelas menunjukkan jika kosakata itu tergolong sebagai
bahasa Sunda ‘<i>loma</i>’, alias biasa, atau akrab. Memang, kosakata “<i>maneh</i>” tidak
termasuk ke dalam bahasa Sunda halus. Namun, mencapnya sebagai kata yang
“<i>kasar</i>” jelas manipulatif dan tidak sesuai dengan praktik berbahasa
sehari-hari.<br />
<br />
Kitapun pantas bertanya: jika Kang Emil merasa panggilan “<i>maneh</i>” untuk dirinya
adalah kasar, dia sebenarnya sedang menempat dirinya sebagai apa?! Pantaskah
seorang pejabat publik meninggikan dirinya semacam itu di depan rakyatnya?!<br style="mso-special-character: line-break;" />
<!--[if !supportLineBreakNewLine]--><br style="mso-special-character: line-break;" />
<!--[endif]--><o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span style="font-family: georgia;">Lalu, ini juga penting, agar Kang Emil tidak tersinggung,
rakyat Jawa Barat lantas harus memanggilnya dengan sebutan apa?!<br />
<br />
Ketersinggungan Kang Emil secara politik kebudayaan justru buruk bagi kohesi
politik Jawa Barat, karena ketersinggungannya itu—maaf—sangat “bias Priangan”.
Ia mungkin mengira seluruh wilayah Jawa Barat sama dengan Priangan, terutama secara
kultur dan bahasa, sehingga rasa berbahasa orang Bandung akan sama dengan rasa
berbahasa orang Cirebon. Padahal, itu adalah asumsi kebudayaan yang sepenuhnya
keliru.<br />
<br />
Kalau kita membaca buku Denys Lombard, <i>Nusa Jawa: Silang Budaya</i> (<i>Le
Carrefour Javanais</i>), menarik untuk memperhatikan bagaimana sejarawan Perancis
itu membagi masyarakat pulau Jawa ke dalam tiga entitas kebudayaan, yaitu
Sunda, Jawa dan pesisir. Menurut Lombard, masyarakat pesisir pulau Jawa, baik
yang bermukim di Jawa Barat, Jawa Tengah, atau Jawa Timur, memang tidak bisa
sepenuhnya diidentikan sebagai Sunda atau Jawa. Jadi, meski berada di tengah
masyarakat Sunda, orang Karawang, Indramayu, atau Cirebon, misalnya, tidak bisa
disamakan dengan orang Sunda pedalaman sebagaimana yang bermukim di Priangan.
Begitu juga dengan orang Pekalongan, atau Rembang, tidak bisa disamakan dengan
orang Jawa di pedalaman sebagaimana yang bermukim di Solo atau Yogyakarta.<br />
<br />
Satu ciri menonjol yang membedakan masyarakat pantai utara pulau Jawa dengan
kebudayaan Sunda dan Jawa di pedalaman, menurut Lombard, adalah mereka jauh
lebih egaliter. Pada zaman dulu, pesisir memang menjadi pintu masuk persilangan
berbagai kebudayaan. Perjalanan sejarah ini kemudian telah membentuk masyarakat
pantai utara Jawa sebagai kultur tersendiri, yang meskipun memiliki ciri
kesundaan, atau kejawaan, namun kesundaan dan kejawaan itu memiliki perbedaan
dengan kebudayaan Sunda dan Jawa yang tumbuh di wilayah pedalaman.<br />
<br />
Jadi, bagi telinga Bandungnya Kang Emil, “<i>maneh</i>” mungkin saja terdengar agak
“kasar”. Tetapi mungkin tidak demikian halnya bagi masyarakat pesisiran Jawa
Barat, seperti Cirebon, atau Karawang. Persis di situ, sebagai pemimpin Jawa
Barat mestinya Kang Emil bisa bersikap arif. Nilai rasa bahasa yang dijadikan
patokan olehnya untuk menghakimi diksi guru SMK di Cirebon itu bukanlah nilai
rasa bahasa yang berlaku universal. <br />
<br />
Sepatunya Kang Emil, jelas tidak sama dengan ukuran sepatunya Sabil Fadillah,
guru SMK di Cirebon yang kini kehilangan pekerjaannya itu. Sehingga, sebaiknya Partai Golkar
juga bersikap bijak dengan berhenti melakukan pembelaan. Mereka perlu segera menyadari bahwa sosok Kang Emil mungkin tidak bisa
diorbitkan ke level lebih jauh, jika ia tak berusaha memperbaiki
keakraban di tengah masyarakat Jawa Barat yang dalam beberapa hari terakhir
telah dirusaknya, meskipun pada mulanya ia sendiri mungkin tak memaksudkannya demikian.</span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: georgia;">Kenapa Kang Emil bisa dianggap sebagai telah "merusak" keakraban itu? </span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: georgia;">Menurut pengakuan Sabil, ia memilih diksi "<i>maneh</i>" itu bukanlah untuk menghina, melainkan justru karena merasa Kang Emil adalah sosok egaliter yang tak pernah berjarak dengan para penggemarnya di dunia maya, di mana ia termasuk salah satunya. Jadi, janganlah keakraban yang sudah terbentuk </span><span style="font-family: georgia;">itu dirusak kembali oleh prasangka-prasangka
kebudayaan dan linguistik yang dangkal. </span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: georgia;"><i>Wallahu a'lam bish-shawab</i>.<br /><br /><i>Karawang, 18 Maret 2023</i></span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-57775708925232167002023-03-13T15:18:00.010+07:002023-03-13T15:20:02.517+07:00INI KAWANKU, MANA KAWANMU?<p><span style="font-family: georgia;"><span> </span><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMlgU95UStGhWncBphINCYhcOY0dwPecKzK99SG2U2utxHAH7CtnZXfdtJZ9I0TweEnm1kob7wyGp_u-jDPbk2NrrQN-1Jln2I6wwT3bRKkGlymUpCha0niY9FlvrBfy68DKO4JsjuxXFxwWHa0sl2lEHA2gkoAOE2mjo4peaxJL5Zm_6fEd2OXQAE2Q/s2048/Kawanku%20Rame.jpg" style="clear: left; display: inline !important; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="1209" data-original-width="2048" height="236" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMlgU95UStGhWncBphINCYhcOY0dwPecKzK99SG2U2utxHAH7CtnZXfdtJZ9I0TweEnm1kob7wyGp_u-jDPbk2NrrQN-1Jln2I6wwT3bRKkGlymUpCha0niY9FlvrBfy68DKO4JsjuxXFxwWHa0sl2lEHA2gkoAOE2mjo4peaxJL5Zm_6fEd2OXQAE2Q/w400-h236/Kawanku%20Rame.jpg" width="400" /></a></span></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya terhitung akrab bergaul dengan <i>Kawanku</i>, sejak masih menjadi majalah anak-anak selevel <i>Si Kuncung</i>, <i>Ananda</i>, <i>Tomtom</i>, <i>Bobo</i>, dan <i>Siswa </i>pada dekade 1980-an, hingga sesudah menjadi majalah remaja sejak manajemennya diambil alih oleh Grup Gramedia pada 1990. Saking akrabnya, saya sampai hapal nama-nama pengasuh yang ada dalam boks redaksinya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Tepat dua puluh enam tahun lalu, Juli 1990, <i>Kawanku </i>berubah dari majalah anak-anak menjadi majalah remaja awal. Jargonnya yang <a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a>terkenal waktu itu adalah STIL, alias "Sudah Tidak Ingusan Lagi". Jadilah Majalah Anak-anak <i>Kawanku </i>berubah menjadi <i>Kawanku </i>STIL.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sewaktu masih menjadi majalah anak-anak, <i>Kawanku</i> pernah memuat cerita "Taras Boulba" karya Nikolai Gogol sebagai cerita bersambung. Dibanding majalah anak-anak lainnya, isi Kawanku memang banyak didominasi oleh karya-karya terjemahan. Meski begitu, saya juga pernah membaca cerita karya Ipe Maarouf di sana. Belakangan saya baru tahu jika Ipe ternyata adalah seorang pelukis.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Dulu, antara tahun 1990 hingga 1994, seluruh edisi <i>Kawanku </i>saya koleksi. Sayangnya, saat ditinggal kuliah ke Yogya, koleksi itu tak terurus lagi, sehingga jejaknya hilang entah kemana. Karena punya koleksi lengkap itulah saya jadi banyak memperhatikan majalah ini.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Dibandingkan dengan saudaranya, Majalah <i>Hai</i>, <i>Kawanku </i>terhitung senang sekali berganti logo. Hampir setiap tahun <i>Kawanku </i>mengubah logo. Itu juga yang dulu membuat saya menyukai majalah ini. Selain itu, perwajahannya juga atraktif, cepat berubah mengikuti perkembangan, berbeda dengan <i>Hai</i>, <i>Mode</i>, atau <i>Aneka </i>yang monoton. Kalau majalah berita, tata letak <i>Kawanku </i>kurang lebih sama dengan Majalah <i>Jakarta-jakarta </i>yang rame itu, atau seperti perwajahan <i>Forum Keadilan </i>yang cerah dan kontras. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Salah satu penyesalan terbesar saya adalah kehilangan sebuah edisi ulang tahun <i>Kawanku</i>, mungkin tahun 1994, dimana ia mengubah habis logo dan tampilannya pada satu edisi itu. Sayang, perubahan itu kemudian tak diteruskan pada nomor sesudahnya. Itu arsip penting saya kira. Dan saya menyesal tak merawatnya dengan baik.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Berubah menjadi majalah remaja ternyata bukan perubahan terakhir yang dilakukan oleh <i>Kawanku</i>. Majalah itu kemudian berubah lagi menjadi majalah khusus remaja puteri. Itu mungkin terjadi pada 1996, saat saya tak lagi intens mengikuti majalah itu. Hingga hari ini, <i>Kawanku</i> akhirnya menjadi epigon Majalah <i>Gadis</i>, majalah remaja puteri tertua yang diterbitkan oleh Grup Femina.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Kalau mengingat lagi masa dua puluh hingga dua puluh enam tahun silam, saya kira dekade 1990-an adalah periode <i>booming </i>media massa di Indonesia. Hal ini berbeda dengan <i>booming </i>tahun 2000-an yang diisi oleh media asing berbahasa Indonesia. Pada dekade 1990-an, muncul berbagai media untuk berbagai segmen pembaca dan topik. Mulai dari tabloid anak-anak (<i>Fantasi</i>), media khusus dangdut (Tabloid <i>Dang Dut</i>), termasuk berbagai media yang diterbitkan oleh grup bisnisnya Soetrisno Bachir, Ika Muda Grup.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Pada dekade itu pula para penulis cerita memiliki banyak sekali wahana. Jika sebelumnya <i>Anita Cemerlang </i>hampir memonopoli segmen majalah cerita remaja, maka pada dekade itu, misalnya, Majalah <i>Kawanku </i>juga menerbitkan <i>Album Cerita Kawanku</i>.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ini adalah foto sebagian sisa-sisa koleksi Majalah <i>Kawanku </i>yang masih selamat. Dulu saya pernah punya mimpi membuat semacam rak khusus di rumah yang berisi bacaan-bacaan pertama yang pernah menghidupi saya sejak pertama kali mulai bisa membaca hingga beranjak remaja. Rak itu akan berisi komik-komik Petruk karya Tatang Suhendra, komik-komik superhero Indonesia karya Wid N.S., Kus Br., atau Hasmi, komik-komik silat karya Teguh Santosa atau Jan Mintaraga, komik-komik para nabi yang disusun Musannif Effendie, hingga majalah-majalah mulai dari <i>Si Kuncung</i>, <i>Midi</i>, hingga majalah remaja muslim yang kini sudah tak terbit lagi, <i>Estafet</i>.</span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Dari rak itu saya akan akan mudah menyampaikan nasihat ini pada anak cucu: "Jangan pernah membuang bacaan-bacaan yang pernah kamu baca. Belajarlah merawat sejarah, meski dari hal-hal sederhana."</span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>17 Juli 2016</i></span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-26996181696235278272023-03-13T15:11:00.005+07:002023-03-13T15:11:26.934+07:00 ADUH, HAI<p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEguQdlwjp_ZYwu58t61vTifwns9dqZBHBnIrUDOpIp9l22JOL0zqmWlwWZHWSzuwl4unFguYQiV5tPCSoC6Kssc9-9rMIHxSITCpaiHwzWMoUz2GTNj-wxxXb6roGdHk0XZThzg0lBYHmYlxNsRZhB5jxWi78pNPVw70yf9y-VN9MaaQsI9h6dcQTK3pg/s1440/Hai.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="810" data-original-width="1440" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEguQdlwjp_ZYwu58t61vTifwns9dqZBHBnIrUDOpIp9l22JOL0zqmWlwWZHWSzuwl4unFguYQiV5tPCSoC6Kssc9-9rMIHxSITCpaiHwzWMoUz2GTNj-wxxXb6roGdHk0XZThzg0lBYHmYlxNsRZhB5jxWi78pNPVw70yf9y-VN9MaaQsI9h6dcQTK3pg/w400-h225/Hai.jpg" width="400" /></a></div><br /><span style="font-family: georgia;"><br /></span><p></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;">Persisnya agak lupa, mungkin kelas empat atau lima, ketika pertama kali mulai bisa menikmati Majalah <i>Hai</i>. Saya membaca <i>Hai </i>sesudah bosan membaca semua majalah anak-anak. Pak Janggut, Paman Kikuk, dan Garfield lama-lama tak lagi memikat seperti saat pertama kali berjumpa. Saya butuh bacaan baru, dan <i>Hai </i>menyediakannya. </span></span></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Rubrik yang saya sukai pertama kali adalah “Antara Kawan”, yang diasuh Arswendo Atmowiloto; dan komik serial “Roel Dijkstra”, komik tentang sosok fiksi <a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a>pemain sepak bola profesional Roel Dijkstra, yang sebenarnya diilhami oleh kisah legenda Barcelona Johan Cruyff. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Dari serial <i>Lupus Kecil </i>yang juga ditulis Hilman, saya pun mulai menyukai membaca Lupus remaja dengan aneka skandal asmaranya. Jika oleh Majalah <i>Kawanku </i>saya hanya dicekoki NKOTB (New Kids on the Block), dalam semua edisi, maka melalui Hai saya mulai membaca Europe, Depp Purple, dan lain-lain. Jordan Knight tiba-tiba jadi terlihat kemayu dan tak lagi jantan. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sayangnya, seperti halnya <i>Kawanku </i>yang telah pamit lebih dulu, <i>Hai </i>juga telah undur diri dari peredaran bulan lalu. Majalah ini telah mati. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>Hai </i>pertama kali terbit pada 1977. Ia menggantikan Majalah <i>Midi</i>. Penjaga dapur <i>Midi </i>dan <i>Hai </i>adalah orang-orang yang sama. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya tidak punya nomor perdana Majalah <i>Hai</i>, tapi punya nomor-nomor yang berasal dari tahun pertamanya. Dibandingkan dengan <i>Kawanku </i>yang genit dan sering gonta-ganti logo, termasuk gonta-ganti segmen, Majalah <i>Hai </i>relatif tak sering berganti logo dan segmen. Sejak awal ia adalah majalah remaja dengan <i>concern </i>yang kuat terhadap musik. Sesudah <i>Kawanku </i>diambil alih oleh Grup Gramedia, di era kejayaan majalah remaja akhir tahun 1980-an/1990-an, <i>Hai </i>hanya sekali mengubah segmennya, yaitu menjadi ‘Majalah Remaja Pria’, sebuah identitas yang terus dipertahankannya hingga almarhum kemarin.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Logo <i>Hai </i>yang legendaris, dan paling saya sukai, adalah logo dengan garis pantul yang mulai dipakai sejak tahun 1988 (atau 1987?). Mulanya jumlah garis pantul itu tak pernah sama dalam tiap edisi. Baru sesudah tahun 1989, jumlah garis pantul itu diseragamkan.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya hanya mengikuti <i>Hai </i>hingga tahun 1995. Edisi terakhir yang saya baca adalah edisi khusus Nicky Astria sebelum <i>lady rocker </i>itu pensiun sesudah dipinang oleh anaknya Solihin G.P. Sesudahnya saya tak lagi mengikuti <i>Hai </i>yang kemudian ganti logo. Sejak 1995, minat saya memang kembali berubah, mulai gandrung pada majalah-majalah berita, kebudayaan, dan majalah-majalah “dewasa” lainnya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ketika kuliah, saya pernah iseng membaca sebuah Majalah <i>Hai </i>saat antri di sebuah warnet. Majalah itu segera saja saya lempar. Saya kaget, karena Hai kemudian memilih untuk menggunakan bahasa lisan sebagai gaya bagi seluruh tulisannya. Saya tak lagi menenal <i>Hai </i>yang dulu, yang meskipun tulisan jurnalistiknya renyah, namun masih menggunakan bahasa Indonesia yang bagus. Terus terang saya tidak merasa nyaman dengan pengadopsian bahasa lisan sebagai bahasa tulis tersebut. Membuat capek pikiran yang membaca.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sejak itu saya tak lagi mengikuti <i>Hai</i>. Namun, ketika membaca kabar bahwa pada akhirnya <i>Hai </i>juga harus tutup buku, mengikuti <i>Kawanku</i>—saudarinya yang telah mati lebih dulu, tak urung saya sempat merasa kehilangan.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya telah membaca <i>Hai </i>sejak sebelum remaja, dan mulai berhenti membacanya persis sesudah remaja. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Berikut adalah evolusi logo <i>Hai </i>dari sejak awal terbit hingga edisi terakhirnya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Selamat jalan, <i>Hai</i>!</span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>25 Juli 2017</i></span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-52088117341741536202023-03-13T15:05:00.008+07:002023-03-13T15:06:06.730+07:00 GADIS TERAKHIR<p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDudT9R7Mb6I56vriG9L-fQOw8LIPE7KJagFAflLM3KJhp4GB38wmeVVt9RA5HfCw_rAVv9V7Giz8hiHAj6D2F-6tkVE56OfA9ip5rpXkkHvbtn-zyBbdrm4vwpzDCRaNZFe-v_s4m9_ZWKHwXGDUdVCkz59VnvYgos0BlEZp9GnZHPrRwNe1ZrKmWeg/s2048/Gadis%20Terakhir%2001.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="2048" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDudT9R7Mb6I56vriG9L-fQOw8LIPE7KJagFAflLM3KJhp4GB38wmeVVt9RA5HfCw_rAVv9V7Giz8hiHAj6D2F-6tkVE56OfA9ip5rpXkkHvbtn-zyBbdrm4vwpzDCRaNZFe-v_s4m9_ZWKHwXGDUdVCkz59VnvYgos0BlEZp9GnZHPrRwNe1ZrKmWeg/w400-h225/Gadis%20Terakhir%2001.jpg" width="400" /></a></div><p></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;">Tujuh nomor Majalah <i>Gadis </i>yang terbit antara Januari 2019 hingga Desember 2020 menjadi nomor-nomor terakhir edisi cetak majalah remaja legendaris ini. Di rumah, saya membungkus jadi satu edisi bersejarah ini.</span></span></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Nah, Hers Protex yang Anda lihat dalam foto adalah bonus Majalah <i>Gadis </i>edisi penghabisan, No. 7, Desember 2020. Bonus itu tetap dipertahankan sesuai bentuk aslinya saat dibeli, melekat di karton khusus di samping majalah. Anda tentu bisa membayangkan, <a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a>bagaimana wajah saya saat membawa majalah ini ke kasir toko buku bukan?!</span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1wMOJzL8fR3wH14VITKvZPj6GmdyMywGhZiwBOnXAOy_VA-wSNfhryoK-FfH3SK3qnHkOhQduX19DfKnkh_3tYUS-3dywm3VbGfwQ74c2EJOTiUsS0TBHoNB0dEjtiaCYq4Qy5KXsS1k7zpuvzEY6ZIVJis7e5Kc8X9vqGFdg1SCqXrp8ukwkMA6o5w/s2048/Gadis%20Terakhir%2002.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="2048" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1wMOJzL8fR3wH14VITKvZPj6GmdyMywGhZiwBOnXAOy_VA-wSNfhryoK-FfH3SK3qnHkOhQduX19DfKnkh_3tYUS-3dywm3VbGfwQ74c2EJOTiUsS0TBHoNB0dEjtiaCYq4Qy5KXsS1k7zpuvzEY6ZIVJis7e5Kc8X9vqGFdg1SCqXrp8ukwkMA6o5w/w400-h225/Gadis%20Terakhir%2002.jpg" width="400" /></a></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">"Ya, itu untuk anak gadis saya," ujar saya, dalam hati, saat kasirnya mengerling aneh. <a class="x1i10hfl xjbqb8w x6umtig x1b1mbwd xaqea5y xav7gou x9f619 x1ypdohk xt0psk2 xe8uvvx xdj266r x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r xexx8yu x4uap5 x18d9i69 xkhd6sd x16tdsg8 x1hl2dhg xggy1nq x1a2a7pz xt0b8zv x1qq9wsj xo1l8bm" href="https://www.facebook.com/hashtag/akudanmedia?__eep__=6&__cft__[0]=AZVGx0Hom-NuZC-K6d1FReEHra2yfeOacC0MMfMpDi0f7Ats14xlkjru4oHmlICy2wY7luf6qfKhnp7_bbTZAuFkQE1DquZedJJLEhYbnR27N1aDqBUpGtCo43gzdUCCpgojspjknSM35a152HCmUA1HCXUd_TxS6VC0RE9Q9NuFBg&__tn__=*NK-R" role="link" style="-webkit-tap-highlight-color: transparent; background-color: transparent; border-color: initial; border-style: initial; border-width: 0px; box-sizing: border-box; color: #ff9900; cursor: pointer; display: inline; list-style: none; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: inherit; text-decoration-line: none; touch-action: manipulation;" tabindex="0">#AkuDanMedia</a></span></div><div><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div><span style="font-family: georgia;"><i>1 Maret 2022</i></span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-52942817427525351542023-03-13T15:01:00.008+07:002023-03-13T15:01:59.404+07:00PENANTIAN YANG TERBAYAR: KAWANKU EDISI KEMBAR<p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"></span></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: georgia;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWSWFmu11asL7sj7u13nIwVUKrEmodQ6eFcmzAMIOLLK6_j_HJe4JXSz8ThGmvpiBqYqOXK4et1RDmLOCYfRr7XywatbLItFmiy_XrnwAa-OvJq_TPKVu1K6MWZsC5wxm4tjF0OWnn2i9sPw6tvm7BOO6cGdedfyZskLQIQhCpULagFyz518wwd7PPQw/s2040/Kawanku%20Edisi%20Kembar.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1148" data-original-width="2040" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWSWFmu11asL7sj7u13nIwVUKrEmodQ6eFcmzAMIOLLK6_j_HJe4JXSz8ThGmvpiBqYqOXK4et1RDmLOCYfRr7XywatbLItFmiy_XrnwAa-OvJq_TPKVu1K6MWZsC5wxm4tjF0OWnn2i9sPw6tvm7BOO6cGdedfyZskLQIQhCpULagFyz518wwd7PPQw/w400-h225/Kawanku%20Edisi%20Kembar.jpg" width="400" /></a></span></div><span style="font-family: georgia;"><br /><br /></span><p></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;">Sebagai pembaca setia <i>Kawanku </i>hingga tahun 1994/1995, sebelum majalah ini malih rupa menjadi majalah para gadis, sejak lama saya dihantui oleh pertanyaan ini: kenapa ada dua sampul berbeda untuk edisi perdana <i>Kawanku </i>STIL, yang terbit 16 Juli 1990? Sampul pertama, sebelah kiri, bergambar George Bush. Sementara, sampul kedua, di sebelah kanan, bergambar Senopati Pamungkas.</span></span></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Kasus edisi kembar semacam ini, dalam dunia penerbitan di <a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a>negeri kita, biasanya hanya terjadi jika ada sengketa kepengurusan atau kepemilikan media. Kasus ini, misalnya, pernah dialami Majalah <i>Kartini</i>, <i>Horison</i>, atau <i>Forum</i>. Kapan-kapan saya akan pamer edisi-edisi kembar yang pernah bikin heboh di masa lalu. Namun, dua edisi kembar <i>Kawanku </i>ini, terbit bukan karena kasus tersebut, karena keduanya sama-sama diterbitkan oleh manajemen baru Grup Kompas Gramedia.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Lalu, kenapa sampai ada edisi perdana kembar semacam itu?!</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Pertanyaan ini dulu begitu mengusik. Ketika saya pertama kali menemukan edisi perdana <i>Kawanku</i> STIL bersampul George Bush pada sekira tahun 2016, pertanyaan itu tak segera berjawab. Jawabannya baru saya temukan tahun lalu, sesudah menemukan nomor-nomor awal <i>Kawanku </i>STIL lainnya secara lengkap. Sesudah membaca kembali edisi-edisi awal itu, soal sampul kembar ini pernah dibahas di rubrik "Halo Bung Daktur", yang berisi surat dari pembaca. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Majalah bersampul Senopati Pamungkas ternyata adalah nomor contoh yang dikirim bagian promosi <i>Kawanku</i> kepada para agen dan pengecer. Sementara, <i>Kawanku</i> STIL yang dijual untuk pembaca adalah yang bersampul George Bush. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Bayangkan, untuk mengetahui jawaban tentang sampul kembar edisi perdana <i>Kawanku</i> STIL ini, saya harus menunggu 26 tahun. Dan pekan lalu, saya beruntung akhirnya bisa menggenapi jawaban tadi dengan memiliki <i>Kawanku </i>bersampul Senopati Pamungkas tersebut, setelah lebih dari seperempat abad mencari dan menanti. <i>Ck ck ck</i>. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Yang jelas, penantian semacam ini pasti lebih dramatis dari cerita layangan putus! Ya, cerita tentang majalah saja ditungguin, apalagi cerita tentang kamu. Iya, kamuuu... </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>Mbleh</i>! <a class="x1i10hfl xjbqb8w x6umtig x1b1mbwd xaqea5y xav7gou x9f619 x1ypdohk xt0psk2 xe8uvvx xdj266r x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r xexx8yu x4uap5 x18d9i69 xkhd6sd x16tdsg8 x1hl2dhg xggy1nq x1a2a7pz xt0b8zv x1qq9wsj xo1l8bm" href="https://www.facebook.com/hashtag/akudanmedia?__eep__=6&__cft__[0]=AZVGx0Hom-NuZC-K6d1FReEHra2yfeOacC0MMfMpDi0f7Ats14xlkjru4oHmlICy2wY7luf6qfKhnp7_bbTZAuFkQE1DquZedJJLEhYbnR27N1aDqBUpGtCo43gzdUCCpgojspjknSM35a152HCmUA1HCXUd_TxS6VC0RE9Q9NuFBg&__tn__=*NK-R" role="link" style="-webkit-tap-highlight-color: transparent; background-color: transparent; border-color: initial; border-style: initial; border-width: 0px; box-sizing: border-box; color: #ff9900; cursor: pointer; display: inline; list-style: none; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: inherit; text-decoration-line: none; touch-action: manipulation;" tabindex="0">#AkuDanMedia</a></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>10 Januari 2022</i></span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-31770094989612597182023-03-13T14:57:00.004+07:002023-03-13T14:57:35.961+07:00 SELAMAT JALAN, KAWANKU<p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIfnR0MHYfYzEgBdLn47USknJP-75PYLILfEGF8P40lFXq_45aLOJ-QmgxnaNL22RfHoZOhSGZJi36-Y3AKxi2X7_A3WIiLLAiQ2fTDQfogYsUwtWUprR__iYDUdfEIhX_L4r6TyPjI5psZyeR_bdpIzN2qAcXqskvBFCbaMiwRX_dILdfmCMQ8BR-Bg/s1440/Kawanku%20Edisi%20Terakhir.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1440" data-original-width="1163" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIfnR0MHYfYzEgBdLn47USknJP-75PYLILfEGF8P40lFXq_45aLOJ-QmgxnaNL22RfHoZOhSGZJi36-Y3AKxi2X7_A3WIiLLAiQ2fTDQfogYsUwtWUprR__iYDUdfEIhX_L4r6TyPjI5psZyeR_bdpIzN2qAcXqskvBFCbaMiwRX_dILdfmCMQ8BR-Bg/w323-h400/Kawanku%20Edisi%20Terakhir.jpg" width="323" /></a></div><br /><span style="font-family: georgia;"><br /></span><p></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;">Ini adalah edisi terakhir Majalah <i>Kawanku</i>. Tahun depan, majalah ini tak lagi terbit. </span></span></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Meski sudah berhenti membaca majalah ini sejak dua puluh satu tahun lalu, saat majalah ini berubah menjadi sejenis Majalah <i>Gadis</i>, tadi pagi saya menyempatkan diri untuk mencari edisi terakhir majalah ini. Bukan apa-apa, ini adalah majalah yang telah menemani saya pada periode awal keranjingan membaca, saat sekolah dasar dulu. Waktu itu <i>Kawanku</i> masih merupakan sebuah <a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a>majalah anak-anak, sama seperti halnya Majalah <i>Bobo</i>, <i>Ananda</i>, <i>Tomtom</i>, <i>Siswa</i>, dan juga legenda majalah anak-anak Indonesia: Majalah <i>Si Kuncung</i>.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sesudah diambil-alih oleh Grup Gramedia, pada 1990 <i>Kawanku </i>berubah menjadi majalah remaja awal (baca: ABG), dengan segmen pembaca di atas pembaca Majalah <i>Bobo</i>, tapi di bawah usia pembaca Majalah <i>Hai</i>. Tapi ternyata itu bukan perubahan segmen <i>Kawanku </i>yang terakhir. Sesudahnya, <i>Kawanku </i>berubah lagi menjadi majalah khusus remaja puteri. Sejak saat itu, saya tak lagi mengikuti perkembangannya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Jadi, inilah edisi terakhir <i>Kawanku</i>. Rubrikasi dan tata mukanya memang tak lagi saya kenal. Tapi tadi pagi, sesudah dua puluh satu tahun silap, saya kembali membeli majalah ini, untuk bahan arsip dan kenangan. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Hormat mendalam untuk para mantan pengelola Majalah Anak-anak <i>Kawanku</i>. Terima kasih sudah menemani masa kanak-kanak yang luar biasa dulu. <a class="x1i10hfl xjbqb8w x6umtig x1b1mbwd xaqea5y xav7gou x9f619 x1ypdohk xt0psk2 xe8uvvx xdj266r x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r xexx8yu x4uap5 x18d9i69 xkhd6sd x16tdsg8 x1hl2dhg xggy1nq x1a2a7pz xt0b8zv x1qq9wsj xo1l8bm" href="https://www.facebook.com/hashtag/akudanmedia?__eep__=6&__cft__[0]=AZVGx0Hom-NuZC-K6d1FReEHra2yfeOacC0MMfMpDi0f7Ats14xlkjru4oHmlICy2wY7luf6qfKhnp7_bbTZAuFkQE1DquZedJJLEhYbnR27N1aDqBUpGtCo43gzdUCCpgojspjknSM35a152HCmUA1HCXUd_TxS6VC0RE9Q9NuFBg&__tn__=*NK-R" role="link" style="-webkit-tap-highlight-color: transparent; background-color: transparent; border-color: initial; border-style: initial; border-width: 0px; box-sizing: border-box; color: #ff9900; cursor: pointer; display: inline; list-style: none; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: inherit; text-decoration-line: none; touch-action: manipulation;" tabindex="0">#AkuDanMedia</a></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>22 Desember 2016</i></span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-31339487589874232972023-03-13T14:53:00.003+07:002023-03-13T14:53:17.640+07:00EDISI PERDANA KAWANKU<p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQAKeCKAcar3dLZBEFpwwz7hiBqlYGxqn3TBIqMFnJ5fmmGA84rPY5joy0NVzOWa8c9m2BUigVo5bPQGvksfkMbou504on3c8JzTdWCMqMrvVW5pdkU73Zk8fqPLDFuXVag4njFCKY5NEYfZAFPtEh6UPeTw9d3nrSb5GEuytxZyjYGu0-UpE_dJ8vug/s2040/Kawanku%2003.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1148" data-original-width="2040" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQAKeCKAcar3dLZBEFpwwz7hiBqlYGxqn3TBIqMFnJ5fmmGA84rPY5joy0NVzOWa8c9m2BUigVo5bPQGvksfkMbou504on3c8JzTdWCMqMrvVW5pdkU73Zk8fqPLDFuXVag4njFCKY5NEYfZAFPtEh6UPeTw9d3nrSb5GEuytxZyjYGu0-UpE_dJ8vug/w400-h225/Kawanku%2003.jpg" width="400" /></a></div><br /><span style="font-family: georgia;"><br /></span><p></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;">Saya punya hubungan emosional cukup panjang dengan Majalah Kawanku. Hingga duduk di bangku SMP, Kawanku bisa disebut bacaan utama saya. Artinya, yang paling banyak dibaca dibanding majalah anak-anak dan remaja lainnya. </span></span></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Kebetulan, masa peralihan dari SD ke SMP saya relatif berdekatan dengan perubahan manajemen majalah ini. Jika sebelum tahun 1990 Kawanku berstatus sebagai majalah anak-anak, maka sesudah diambil alih oleh Grup Kompas Gramedia pada akhir 1990, statusnya <a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a>naik menjadi majalah ABG, alias anak baru gede. Jadi praktis, ketika saya masuk SMP, saya tak perlu mengubah bacaan utama ke majalah lain. Sebagai catatan, hingga tahun 1995, Kawanku masih jadi majalah untuk semua gender, belum berubah jadi majalah remaja putri. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Itu sebabnya, saya merasa bahagia sekali ketika kemarin akhirnya bisa menemukan bundel edisi perdana dan lengkap edisi setahun pertama majalah ini. Rasanya sulit untuk dilukiskan kata-kata.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Kawanku terbit perdana pada bulan Agustus 1970. Pada awalnya majalah ini terbit sebulan sekali, kemudian menjadi dua kali sebulan.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Kapan-kapan, saya ingin bercerita panjang mengenai pengalaman bersentuhan dengan majalah ini. <a class="x1i10hfl xjbqb8w x6umtig x1b1mbwd xaqea5y xav7gou x9f619 x1ypdohk xt0psk2 xe8uvvx xdj266r x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r xexx8yu x4uap5 x18d9i69 xkhd6sd x16tdsg8 x1hl2dhg xggy1nq x1a2a7pz xt0b8zv x1qq9wsj xo1l8bm" href="https://www.facebook.com/hashtag/akudanmedia?__eep__=6&__cft__[0]=AZVGx0Hom-NuZC-K6d1FReEHra2yfeOacC0MMfMpDi0f7Ats14xlkjru4oHmlICy2wY7luf6qfKhnp7_bbTZAuFkQE1DquZedJJLEhYbnR27N1aDqBUpGtCo43gzdUCCpgojspjknSM35a152HCmUA1HCXUd_TxS6VC0RE9Q9NuFBg&__tn__=*NK-R" role="link" style="-webkit-tap-highlight-color: transparent; background-color: transparent; border-color: initial; border-style: initial; border-width: 0px; box-sizing: border-box; color: #ff9900; cursor: pointer; display: inline; list-style: none; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: inherit; text-decoration-line: none; touch-action: manipulation;" tabindex="0">#AkuDanMedia</a></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>20 Oktober 2021</i></span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-39018962100069449252023-03-13T14:43:00.006+07:002023-03-13T14:43:36.136+07:00BUKU, SEBUAH PERTEMUAN<div style="text-align: left;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj6z2co7C-4gVcNVwi_d--E4DF8Ho4RrFDfGwhuEEHV2H0NDYhc4yFqjRWO0hAzLXbbyjWyHkigLzTnYYvo_UlKpkL1-xlCaKgjZzUoue3XSSMICesKkMjp77OGXlVnWXckHMfkA5111CurWeN2oAo65B_nA_cdqdIzIAwiA211y8zWCHGUAXLK0-76gg/s1440/Aku%20dan%20Media.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em;"><img border="0" data-original-height="900" data-original-width="1440" height="250" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj6z2co7C-4gVcNVwi_d--E4DF8Ho4RrFDfGwhuEEHV2H0NDYhc4yFqjRWO0hAzLXbbyjWyHkigLzTnYYvo_UlKpkL1-xlCaKgjZzUoue3XSSMICesKkMjp77OGXlVnWXckHMfkA5111CurWeN2oAo65B_nA_cdqdIzIAwiA211y8zWCHGUAXLK0-76gg/w400-h250/Aku%20dan%20Media.jpg" width="400" /></a></div><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;">Jika sedang senggang di rumah, saya berusaha mengumpulkan dan mengingat kembali bacaan-bacaan yang pertama kali dipegang waktu kecil dulu. Cerita-cerita dengan tagar </span><a class="x1i10hfl xjbqb8w x6umtig x1b1mbwd xaqea5y xav7gou x9f619 x1ypdohk xt0psk2 xe8uvvx xdj266r x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r xexx8yu x4uap5 x18d9i69 xkhd6sd x16tdsg8 x1hl2dhg xggy1nq x1a2a7pz xt0b8zv x1qq9wsj xo1l8bm" href="https://www.facebook.com/hashtag/akudanmedia?__eep__=6&__cft__[0]=AZVGx0Hom-NuZC-K6d1FReEHra2yfeOacC0MMfMpDi0f7Ats14xlkjru4oHmlICy2wY7luf6qfKhnp7_bbTZAuFkQE1DquZedJJLEhYbnR27N1aDqBUpGtCo43gzdUCCpgojspjknSM35a152HCmUA1HCXUd_TxS6VC0RE9Q9NuFBg&__tn__=*NK-R" role="link" style="-webkit-tap-highlight-color: transparent; border-color: initial; border-style: initial; border-width: 0px; box-sizing: border-box; color: #ff9900; cursor: pointer; display: inline; font-family: georgia; list-style: none; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: inherit; text-decoration-line: none; touch-action: manipulation; white-space: pre-wrap;" tabindex="0">#AkuDanMedia</a><span style="font-family: georgia;"> </span><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;">adalah hasilnya. Ke depan, melalui catatan dalam tagar tersebut, saya ingin bernostalgia tentang riwayat pertemuan dengan sejumlah bacaan, mulai dari komik, majalah, koran, tabloid, hingga buku. Kapan saya pertama kali ketemu Kawanku, Hai, Tempo, Panji Masyarakat, </span><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;"><a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a></span><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;">Garfield, Teguh Santosa, Iwan Simatupang, Pasternak, dan sejenisnya. </span></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Di tengah pandemi yang memangkas hampir semua interaksi dengan banyak orang, dan sekadar menyisakan urusan-urusan pekerjaan yang tak selalu menyenangkan, saya merasakan penulisan hal-hal semacam ini jadi membangkitkan kembali kegairahan. Mungkin, karena menuliskan kembali hal-hal itu jadi membuat saya tercerabut dari kekinian dan bisa kembali ke masa lalu.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Buku, sama seperti halnya mesin waktu, memang bisa membawa kita pulang-pergi ke masa lalu. Bayangkan, betapa ajaibnya benda itu.</span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>2 Februari 2021</i></span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-9409604550544235502023-03-11T11:06:00.003+07:002023-03-11T11:06:20.873+07:00JAKARTA-JAKARTA DAN UTANG SAYA KE PAK WARDI<p><span style="font-family: georgia;"> </span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: georgia;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxqeJXC5GntfobCPbFCAfnGo2lQ_kK12KcKr0jJCvMznoCr517gk4K3Y11OKsKHRg5qiBRpjsry7S2z1bqxIpRpzYqrE5FZwHGirfsg0yuEoVh_emkpQP26FVRlu208PW09lx8AHeB4vEFAJ7gMMEwHDCU5tABLVW5PTPeJ8nesVU_VEKuFlpJ7pQd0Q/s825/Jakarta-Jakarta%2001.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="516" data-original-width="825" height="250" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxqeJXC5GntfobCPbFCAfnGo2lQ_kK12KcKr0jJCvMznoCr517gk4K3Y11OKsKHRg5qiBRpjsry7S2z1bqxIpRpzYqrE5FZwHGirfsg0yuEoVh_emkpQP26FVRlu208PW09lx8AHeB4vEFAJ7gMMEwHDCU5tABLVW5PTPeJ8nesVU_VEKuFlpJ7pQd0Q/w400-h250/Jakarta-Jakarta%2001.jpg" width="400" /></a></span></div><span style="font-family: georgia;"><br /></span><p></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Oleh <b>Tarli Nugroho</b></span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a>Lelaki paruh baya itu bernama Pak Wardi, atau sebut saja begitu. Sekilas, perawakannya selalu mengingatkan saya pada pelawak Darto Helm. Bagian depan kepalanya botak, dengan rambut tipis beruban di samping dan belakang. Suara baritonnya agak menggelegar. Jika sedang tersenyum, bibirnya akan mengembang, dan matanya menyipit, yang membuatnya jadi mirip Pak Harto. Namun, saat sedang ketus, saya mengingatnya sebagai sosok yang menakutkan. Satu kali saya pernah dihardiknya hanya gara-gara menyilangkan kaki di sofa rumahhya saat sedang numpang menonton televisi. Itu sebabnya, tiap kali jajan permen Cocorico, yang memang hanya dijual di tokonya, saya lebih suka dilayani oleh pembantunya, atau keponakannya, daripada oleh Pak Wardi.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Meskipun tinggal di kampung, penampilannya berbeda dengan penampilan orang kampung pada umumnya, atau orang seumurannya. Di rumahnya, ia selalu bercelana panjang dan memakai singlet. Sangat jarang, bahkan hampir tak pernah, saya melihatnya mengenakan sarung. Namun, yang paling membuatnya terlihat berbeda adalah sebuah kacamata berbingkai tebal yang selalu terkalung di lehernya. Dengan kacamata seperti itu, Pak Wardi bukan hanya terlihat seperti orang kaya, tapi juga terlihat intelek. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Dulu, kalau melihat Pak Wardi memakai kacamatanya, saya selalu membayangkan mungkin demikianlah tampang para profesor di perguruan tinggi yang anekdotnya sering saya baca di majalah-majalah dan koran. Mereka pastilah bertampang dingin dan angkuh seperti Pak Wardi. Terlalu banyak tahu, konon memang seringkali lebih bahyak mendatangkan beban daripada kebahagiaan.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Beberapa kali saya diceritai kakek kalau Pak Wardi adalah orang berpendidikan tinggi. Dia seharusnya menjadi jaksa di ibukota, atau profesi-profesi yang terkait dengan bidang hukum lainnya, kalau saja tidak ada peristiwa 1965. Menurut kakek, Pak Wardi tinggal di kampung kami karena diungsikan oleh ayahnya, Pak Kaning. Waktu itu ia masih mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Konon, jika tak diungsikan, Pak Wardi mungkin tak akan selamat, atau setidaknya tak mungkin lagi bisa menikmati udara bebas. Saya tak pernah mengingat keterangan yang cukup jelas mengenai apa dan bagaimana status Pak Wardi sehingga harus diungsikan seperti itu. Keterangan semacam itu sebenarnya mungkin pernah saya dengar, namun terlalu rumit untuk dicatat oleh pikiran anak kecil.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Yang jelas, ketika SMA, saya memiliki dugaan kalau Pak Wardi adalah anggota CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Statusnya yang masih mahasiswa saat pindah ke kampung kami adalah dasarnya. Dugaan ini juga saya sesuaikan dengan keterangan yang didengar belakangan, bahwa Pak Wardi diungsikan karena di kampusnya ia terkait dengan organisasi yang berhubungan dengan PKI. Artinya, ia bukan aktivis partai. Selain CGMI, saya kesulitan mencari kemungkinan status Pak Wardi di masa lalu.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Dugaan jika Pak Wardi termasuk golongan kiri memang bukan sekadar gosip. Saya merasa menemukan buktinya pada Pemilu 1999. Itu adalah pemilu pertama sesudah Reformasi, sekaligus menjadi pemilu pertama yang saya ikuti. Pada saat penghitungan suara, di TPS tempat saya mencoblos Partai Rakyat Demokratik (PRD) mendapatkan dukungan satu suara. Itu adalah satu-satunya suara PRD di TPS kami, dan belakangan diketahui juga merupakan satu-satunya suara PRD di kampung saya. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Di tengah para pemilih yang masih tak beranjak dari Golkar, PPP, dan PDI-P, satu suara untuk PRD tentu saja sangat istimewa. Apalagi, selain 3 partai sisa Orde Baru tadi, partai lain yang bisa mendapatkan suara di desa saya hanya PAN dan PKB. Di TPS saya, PAN hanya dapat 5 suara. Semuanya disumbang oleh keluarga saya. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ketika nama PRD disebut dalam penghitungan suara, saya segera tahu. Itu pasti suara Pak Wardi, demikian batin saya kala itu. Tak mungkin itu hasil salah coblos, karena PRD mendapatkan persis satu suara untuk masing-masing level perwakilan, mulai dari DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, hingga DPR RI. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sebenarnya, orang-orang tua di desa saya juga tak tahu apa persisnya organisasi yang pernah diikuti Pak Wardi. Dan saya kira mereka juga tak mungkin menanyakannya. Selain karena naif untuk mengulik hal yang coba disembunyikan itu, juga karena mereka sendiri mungkin tak terlalu ambil pusing. Bagi orang-orang desa, kejahatan politik pada dasarnya bukanlah sejenis kejahatan yang mudah diterima. Jangankan Pak Wardi, yang kesalahannya—kalau memang benar-benar ada—bersifat abstrak, bahkan Waryamin, seorang preman kampung yang dikenal bengis dan kerap merampok pun, karena tak pernah bikin onar dan melakukan kejahatan di kampungnya sendiri, ia tak pernah diusik oleh orang-orang kampung kami. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ketika dia ditembak mati polisi pada suatu malam di sebuah komplek pelacuran yang hanya berjarak sepelemparan batu dari kantor kepala desa, sebenaranya tak ada orang yang membocorkan keberadaannya. Penangkapan yang berujung eksekusi itu sepenuhnya karena ketelatenan polisi saja. Mereka konon sudah mengintai selama berhari-hari dengan menyamar sebagai tukang mancing. Ketika berhasil mengkonfirmasi buronannya, mereka segera mengepung lokalisasi tempat Waryamin berada. Tetapi lelaki bertato itu tak mau menyerah. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ia memang punya ilmu kebal. Saya pernah melihatnya dengan mata kepala sendiri. Suatu ketika ia sedang mabuk di warung kopi di sebelah rumah. Entah apa alasannya, ia lalu menyabet-nyabetkan celurit ke tangannya sendiri. Tidak, ia tak menyakiti orang lain ketika itu. Saya lihat, tak ada sedikitpun luka di tangannya. Kesaktiannya memang sering dibicarakan orang. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Namun, saat dikepung malam itu, Waryamin menemui ajalnya. Konon, ia ditembak dengan peluru emas, atau peluru yang sudah dijampi-jampi kyai. Ada juga yang bercerita kalau itu adalah hari apesnya. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya ingat, malam itu saya terbangun karena kaget mendengar bunyi ledakan dari seberang sungai. Bunyi ledakan seperti petasan itu terjadi beberapa kali. Tapi, mustahil itu petasan, batin saya kala itu. Siapa orang gila yang menyalakan petasan di tengah malam buta seperti itu? Waktu itu saya duduk di kelas lima. Esoknya, kabar kematian Waryamin jadi pembicaraan semua orang, termasuk teman-teman di sekolah. Ternyata, bunyi ledakan yang saya dengar malam itu adalah suara tembakan.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Kembali ke Pak Wardi, ia adalah anak seorang tuan tanah yang disegani. Sawah dan empangnya sangat luas. Bahkan, bisa dikatakan kalau lebih dari separuh empang di desa saya dulunya adalah tanah keluarga Pak Wardi. Barangkali, ini juga yang kemudian membuat Pak Wardi aman tinggal di kampung saya. Secara ekonomi, ayahnya, yang tinggal di kampung lain, sangat dihormati orang-orang di kampung kami. Jadilah kemudian Pak Wardi penduduk di kampung kami.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Dengan tanah yang luas, serta usaha tokonya yang maju, Pak Wardi kemudian bisa menyekolahkan para keponakannya hingga ke perguruan tinggi. Saat itu, bisa sekolah hingga ke perguruan tinggi sangatlah luar biasa. Saya ingat, jika sedang musim liburan, para keponakannya selalu pulang berlibur di rumah Pak Wardi. Tampang mereka klimis-klimis. Dandanannya juga parlente. Beberapa berstatus sebagai mahasiswa dan mahasiswi, sebagian lainnya masih SMA. Jumlahnya mungkin empat atau lima orang, saat itu.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Tiap pagi, mereka akan menggantikan tugas Pak Wardi menimbangi udang yang dijual para petambak. Pak Wardi hanya akan duduk menyaksikan sembari membaca koran. Saya bisa tahu, karena sebelum berangkat ke sekolah, tiap pagi selalu disuruh kakek untuk menjual udang terlebih dahulu ke rumah Pak Wardi. Melihat mereka yang terlihat ganteng dan cantik itu, kadang muncul rasa iri. Kapan ya, saya bisa bersekolah di kota seperti mereka?!</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Pak Wardi sendiri dengan isterinya tak dikaruniai anak. Dari sekian keponakan dan anak saudaranya yang lain yang dibiayai sekolah hingga ke perguruan tinggi, ada satu anak yang mereka adopsi sejak kecil. Namanya, sebut saja Sugandi. Usianya dua tahun di bawah saya. Karena hanya berselisih umur sedikit, sejak sekolah dasar ia menjadi teman sepermainan saya. Ketika saya duduk di kelas tiga sekolah dasar, Gandi duduk di kelas satu. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Anak ini terkenal royal dan boros. Ia sering mentraktir teman-temannya. Apalagi, sejak dini ia sudah memelihara semacam anak buah, yaitu anak-anak seumuran, atau lebih tua darinya, yang akan mengikutinya ke manapun dengan imbalan jajan dan makan gratis. Sehingga, meski uang sakunya besar, saya sering mendengar ia berutang ke orang lain. Urusan uang ini pula yang kemudian mempertemukan saya untuk pertama kalinya dengan Majalah <i>Jakarta-Jakarta</i>.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ceritanya begini. Ketika duduk di kelas tiga SD, minat baca saya terus berkembang. Jika semula hanya puas membaca komik dan majalah anak-anak, saya kemudian juga mulai membaca majalah-majalah remaja dan dewasa, termasuk koran. “Peningkatan” obyek bacaan itu sebenarnya bukan terutama karena dorongan pribadi, melainkan karena minimnya bacaan yang tersedia. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saat itu, satu Majalah <i>Bobo</i>, <i>Kawanku</i>, <i>Ananda</i>, <i>Tomtom</i>, atau <i>Siswa</i>, biasanya habis saya baca hanya dalam hitungan jam. Masalahnya, tak setiap hari saya bisa membeli majalah-majalah itu. Pedagang komik dan majalah juga tak setiap hari, bahkan tak setiap minggu mampir ke sekolah. Itu membuat saya jadi sering kehabisan bacaan. Buntutnya, saat sedang “sakau” membaca, saya kemudian jadi membaca apapun. Karena kebetulan ibu berjualan koran bekas kiloan di warung kelontongnya, maka jika sedang kehabisan bacaan, koran-koran itu jadi pelampiasannya. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Biasanya yang saya cari adalah <i>Pos Kota </i>atau koran hari minggu, karena di sana saya bisa menemukan komik, tulisan-tulisan ringan, atau lembaran untuk anak-anak. Koran minggu favorit saya ketika itu adalah <i>Buana Minggu </i>dan <i>Suara Karya Minggu </i>(SKM). Kedua koran itu memang punya tampilan yang <i>catchy </i>di edisi minggunya. Secara fisik, tampilan <i>Suara Pembaruan </i>dan <i>Kompas </i>kalah jauh. Selain banyak memuat gosip selebritas, kedua koran minggu itu kerap memajang foto perempuan-perempuan seksi dengan ukuran besar di halaman pertamanya. Pokoknya, wah!</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Koran-koran bekas itu dijual untuk para pedagang nasi, atau tukang gorengan, sebagai pembungkus makanan, atau pelapis daun dan kertas nasi. Ibu sendiri membelinya dalam bentuk bal-balan di pasar. Kurang lebih, tiap bal beratnya sekitar 30 kilogram. Koran-koran itu kemudian dijual kembali dalam bentuk kiloan lebih kecil, yaitu seperempat kilogram, setengah kilogram, dan satu kilogram. Sesudah saya sekolah dan bisa menggunakan timbangan, kurang lebih sejak kelas dua SD, pekerjaan menimbangi koran itu diserahkan pada saya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sebenarnya, kalau diingat-ingat kembali, sesudah komik, saya lebih dulu belajar membaca koran daripada majalah, meskipun rubrik yang dibaca memang masih terbatas pada komik, atau lembaran untuk anak-anak. Majalah pertama yang saya baca adalah Majalah <i>Bobo</i>. Dan majalah itupun saya temukan pertama kali ketika sedang menimbangi koran. Sesudah ketemu dengan benda bernama majalah itulah saya jadi keranjingan membaca. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Alasannya sederhana. Isi majalah lebih ringan daripada koran, lebih mudah ditenteng daripada tabloid, dan jauh lebih bervariasi daripada komik. Itulah yang membuat saya keranjingan membaca majalah saat kelas tiga sekolah dasar. Kebetulan, pada saat bersamaan, sekolah saya kerap didatangi oleh pedagang komik dan majalah bekas. Lelaki berperawakan kecil itu tak pernah saya ingat namanya, dan ini sering saya sesali hingga kini. Menilik logat sundanya yang kental dan halus, saya kira ia datang dari tempat yang jauh di girang. Dialah pedagang majalah pertama di sekolah saya. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Selain <i>Bobo</i>, <i>Kawanku</i>, <i>Si Kuncung</i>, serta majalah anak-anak lainnya, ia juga membawa komik-komik terbitan Gramedia, Dian Rakyat, Misurind, dan sejumlah penerbit lain. Di situlah saya pertama kali berkenalan dengan komik-komik berwarna dan berukuran besar seperti <i>Deni Manusia Ikan</i>, <i>Storm</i>, <i>Asterix</i>, <i>Agen Polisi 212</i>, <i>Mimin</i>, <i>Nina</i>, <i>Winnetou</i>, <i>Karl May</i>, atau seri Album Cerita Ternama. Sebelumnya, saya hanya mengenal komik-komik silat, Petruk Gareng, superhero, atau komik-komik H.C. Andersen yang semuanya hitam putih dan berukuran kecil.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Karena majalah dan komik-komik itu bisa saya selesaikan hanya dalam hitungan jam, maka tiap kali si mamang yang jualan datang ke sekolah, saya selalu membeli banyak, sekitar sepuluh atau lima belas biji. Jumlah itu saya anggap cukup untuk mengisi hari-hari saya hingga pedagangnya muncul kembali di sekolah. Rupanya kebiasaan membeli majalah dan komik dalam jumlah besar semacam itu dianggap tidak lazim oleh sejumlah orang. Saya ingat, seorang pedagang nasi di sekolah, yang kebetulan kenal dengan nenek, pernah melaporkan kebiasaan saya memborong bacaan semacam itu seolah itu adalah sebentuk kejahatan. Saya kadang geli jika mengingatnya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Memang, harga majalah dan komik ketika itu antara Rp100 hingga Rp200 per eksemplar. Sementara, harga sepiring kecil nasi goreng yang dijual di sekolah, misalnya, ketika itu hanya Rp75. Mungkin, karena harga bacaan tadi lebih mahal dari sepiring nasi yang dijualnya, pedagang nasi itu menganggap kebiasaan saya membeli banyak-banyak bahan bacaan sebagai pemborosan. Tapi, saya tidak peduli. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Uang saku saya sendiri ketika itu hanya Rp300. Hingga lulus SD, jumlahnya tak pernah berubah. Saya bisa membeli bacaan dalam jumlah banyak karena tiap hari, setelah membantu ibu di warungnya, saya selalu minta uang seratus atau dua ratus rupiah untuk dikumpulkan. Uang itulah, bersama dengan uang jajan Rp300 dari nenek, yang digunakan untuk belanja majalah dan komik. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ketika Gandi masuk SD, dia jadi tahu kegilaan saya belanja bacaan di sekolah. Mengetahui hal itu, suatu sore, sepulang sekolah, dia datang ke rumah sembari menyodorkan sebuah majalah. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">“Li, di rumahku ada banyak majalah seperti ini. Kalau kamu tertarik, aku mau menjualnya,” ujarnya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya menerima majalah itu dengan antusias. Sampulnya seorang prajurit Amerika sedang diseret seorang rekannya. Di sampulnya yang rame dengan tulisan, yang mengingatkan saya pada sampul Majalah <i>Kawanku </i>Stil yang baru saja terbit dan iklannya sering saya lihat di koran-koran bekas, semua judul tulisannya diakhiri tanda seru. Nama majalah itu <i>Jakarta-Jakarta</i>. Terus terang, saya belum pernah melihat majalah seperti itu sebelumnya. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Namun, yang membuat saya segera tertarik pada majalah itu adalah tanggal terbitnya. Saat Gandi membawa majalah itu ke rumah saya, waktunya hanya berselang dua minggu sesudah majalah itu terbit. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">“Wah, akhirnya bisa baca majalah baru,” batin saya, senang.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Bukan apa-apa, hingga sejauh itu, semua majalah yang pernah saya baca memang berselisih minimal tiga atau empat tahun ke belakang tanggal terbitnya. Sehingga, bisa membaca majalah yang hanya berselang belasan hari sejak terbit, rasanya jadi luar biasa. Ada rasa senang yang tiba-tiba membuncah saat mengalami hal itu. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Perasaan semacam itu belakangan terulang kembali saat saya duduk di bangku SMP. Sekolah saya ternyata dijangkau oleh tukang koran keliling, sehingga untuk pertama kalinya saya jadi bisa merasakan membaca koran persis pada tanggal terbitnya. Rasanya luar biasa. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Perasaan senang semacam itu mungkin terasa aneh untuk mereka yang sejak lahir telah hidup di pusat-pusat peradaban. Namun, kalau Anda lahir dan tumbuh di daerah pinggiran, percayalah, momen-momen kebahagiaan semacam itu memang benar-benar bisa terjadi.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Soal isi <i>Jakarta-Jakarta</i>, ketika itu sepertinya saya tak hirau benar. Apa sih yang bisa dipikirkan anak kelas tiga SD dari majalah seperti <i>Jakarta-Jakarta</i>? Saya memang tahu sedang ada Perang Teluk nun jauh di sana dari berita radio dan juga acara <i>Dunia Dalam Berita </i>yang ditonton di rumah Gandi. Saya tahu Presiden Irak bernama Saddam Husein. Namun, saat membuka-buka majalah itu, tulisan yang terasa dekat hanyalah mengenai Steven Seagal yang filmnya pernah ditayangkan RCTI itu.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Tanpa pikir panjang, saya setuju untuk membeli majalah-majalah itu. Awalnya Gandi menawarkan harga tinggi, Rp300. Tapi kemudian dia setuju untuk menjualnya seratus rupiah saja per majalah. Yang menyenangkan adalah Gandi berjanji akan rutin membawa majalah-majalah baru yang sudah selesai dibaca ayahnya, Pak Wardi. Saya tentu saja senang mendengarnya. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Pak Wardi memang rutin pergi ke kota. Bahkan, hampir tiap minggu. Kebanyakan, sepertinya untuk keperluan belanja isi tokonya. Setiap kembali dari kota itulah ia selalu membawa sejumlah koran atau majalah yang baru terbit, majalah-majalah yang kemudian dijual Gandi kepada saya. Agar tidak ketahuan, saya menyuruh Gandi menjualnya sesudah lebih dari satu minggu. Kalau masih seminggu, atau kurang dari itu, takutnya masih dicari oleh ayahnya. Gandi menuruti saran itu.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Belakangan, saya tahu kalau majalah yang dibeli Pak Wardi bukan hanya <i>Jakarta-Jakarta</i>, atau Majalah <i>Kartini </i>serta <i>Femina </i>untuk isterinya, tapi juga Majalah <i>Tempo </i>serta majalah-majalah berbahasa Inggris. Namun, ketika itu saya lebih menyukai <i>Jakarta-Jakarta </i>daripada <i>Tempo</i>. Sebab, selain lebih berwarna, porsi untuk fotonya juga lebih besar daripada porsi teksnya. Saya jadi seperti menonton berita kalau memegang majalah tersebut.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Hubungan jual beli majalah berita antara saya dengan Gandi berjalan terus hingga saya lulus SD. Setelahnya, saya kebetulan melanjutkan sekolah ke kecamatan yang agak jauh, yang mengharuskan saya indekos. Hanya dua minggu sekali, atau sebulan sekali, saya bisa pulang ke rumah. Ketika SMP itulah, seperti sudah disinggung, saya mulai berlangganan koran dan majalah sendiri. Bacaan saya jadi lebih <i>up to date </i>dibanding Pak Wardi, karena tiap hari saya membaca koran baru.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya ingat, entah bagaimana ceritanya, yang jelas ketika SMP itulah tiap kali saya sedang pulang ke rumah, Pak Wardi sering mampir ke rumah kakek, tempat saya tinggal. Selain ngobrol ke sana ke mari dengan kakek, ia mulai meminjam bacaan-bacaan yang saya bawa pulang. Ketika itu saya memang sudah rutin membaca Tabloid <i>Paron</i>, Tabloid <i>Aksi</i>, Tabloid <i>Adil</i>, dan juga Majalah <i>Forum</i>. Untuk koran, hampir semua koran nasional yang dibawa tukang koran langganan, juga saya langgani, mulai dari <i>Kompas</i>, <i>Republika</i>, <i>Merdeka</i>, hingga <i>Media Indonesia</i>. Setiap liburan, bacaan-bacaan itu saya bawa pulang. Pak Wardi merasa senang bisa meminjam bacaan-bacaan itu.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ketika saya diterima kuliah di UGM, Pak Wardi adalah satu-satunya orang bukan anggota keluarga yang sangat gembira menerima kabar itu. “Akhirnya ada anak kampung sini yang bisa kuliah,” ujarnya. Selama saya kuliah, tak banyak percakapan yang saya ingat dengan Pak Wardi. Satu-satunya percakapan yang saya ingat adalah ketika dia meminta saya mampir ke rumahnya dan kami ngobrol hingga berjam-jam lamanya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Alasan dia meminta saya mampir benar-benar tak terbayangkan. Saya waktu itu baru saja ditinggal kawin oleh pacar yang kebetulan orang sekampung. Pak Wardi mengaku sangat khawatir hal itu akan mempengaruhi studi saya. Saat mendengar pengakuannya itu, selain terharu—karena merasa diperhatikan, saya kontan tertawa terbahak-bahak.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Tentu saja saya berterima kasih kepadanya karena sudah memperhatikan. Namun, saya menjelaskan kalau sejujurnya peristiwa itu tak punya pengaruh besar apapun. Justru saya jadi merasa sangat ringan ketika itu. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Melihat ekspresi saya yang tak dibuat-buat, Pak Wardi terlihat lega. Dia kemudian bercerita mengenai sesuatu yang juga saya dengar dari orang lain. Ceritanya membuat saya kian lega. Sesudahnya, kami ngobrol kesana kemari, tentang politik, ekonomi, dan juga Pram. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Meskipun sempat terpikir untuk bertanya mengenai masa lalunya, hal itu kemudian saya urungkan. Saya lihat, Pak Wardi begitu menikmati percakapan kami. Saya tidak ingin merusaknya. Sebab, siapa tahu, hal itu mungkin bukan hal yang ingin ia ceritakan kembali. Ya, siapa yang tahu?!</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Beberapa pekan setelah saya kembali ke Yogya, adik saya mengabari kalau Pak Wardi berpulang. Ketika mendengarnya, tiba-tiba saya merasa sangat sedih. Tanpa sepengetahuannya, ia telah ikut menyumbang bacaan-bacaan yang kemudian menghidupi saya. Dia pergi sebelum saya sempat mengucapkan terima kasih, atau membuat “pengakuan dosa” atas kontrak jual-beli majalah antara saya dengan anaknya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sekira dua tahun yang lalu, Sugandi juga telah pergi menyusul ayahnya. Menurut adik saya, ia tiba-tiba jatuh pingsan saat sedang bekerja shif malam. Sebelum sampai di rumah sakit, nyawanya tidak tertolong. Kata dokter, ia terkena serangan jantung. Karena sedang berada di luar kota, saya tak sempat mengantarkannya ke pemakaman.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Hingga kini, setiap kali saya melihat Majalah <i>Jakarta-Jakarta </i>No. 240, 2-8 Februari 1991 ini, saya akan selalu teringat kembali pada almarhum Pak Wardi dan Sugandi. Ini adalah Majalah <i>Jakarta-Jakarta </i>yang pertama kali saya baca, dan majalah ini sampai ke tangan saya melalui keduanya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Semoga Allah mengasihi keduanya. </span><a class="x1i10hfl xjbqb8w x6umtig x1b1mbwd xaqea5y xav7gou x9f619 x1ypdohk xt0psk2 xe8uvvx xdj266r x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r xexx8yu x4uap5 x18d9i69 xkhd6sd x16tdsg8 x1hl2dhg xggy1nq x1a2a7pz xt0b8zv x1qq9wsj xo1l8bm" href="https://www.facebook.com/hashtag/akudanmedia?__eep__=6&__cft__[0]=AZVGx0Hom-NuZC-K6d1FReEHra2yfeOacC0MMfMpDi0f7Ats14xlkjru4oHmlICy2wY7luf6qfKhnp7_bbTZAuFkQE1DquZedJJLEhYbnR27N1aDqBUpGtCo43gzdUCCpgojspjknSM35a152HCmUA1HCXUd_TxS6VC0RE9Q9NuFBg&__tn__=*NK-R" role="link" style="-webkit-tap-highlight-color: transparent; background-color: transparent; border-color: initial; border-style: initial; border-width: 0px; box-sizing: border-box; color: #ff9900; cursor: pointer; display: inline; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; list-style: none; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: inherit; text-decoration-line: none; touch-action: manipulation;" tabindex="0"><span style="font-family: georgia;">#AkuDanMedia</span></a></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><i><span style="font-family: georgia;">1 Februari 2021</span></i></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-2924212744700708202023-03-11T10:37:00.009+07:002023-03-11T10:50:01.360+07:00MISTERI HILANGNYA SENOPATI PAMUNGKAS<div class="separator"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4ywy_fwHo7YW_TpUIqBHf80tGJg-HBbl_AWMCXbC4LoPB4lyztmnPdFnig6I4SfvWAcBVrHvF_9NLYAI7XHNd3VOcjMisNAcYrGpLtfff2trBASxfINdZDPrIrBtknZLhk1mlKwhwEzjpUpR0UHucnOeGQde-uGhwht6wNIzx3idh2LyMcg487jDjmQ/s1881/Senopati%20Pamungkas%2002.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="1831" data-original-width="1881" height="389" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4ywy_fwHo7YW_TpUIqBHf80tGJg-HBbl_AWMCXbC4LoPB4lyztmnPdFnig6I4SfvWAcBVrHvF_9NLYAI7XHNd3VOcjMisNAcYrGpLtfff2trBASxfINdZDPrIrBtknZLhk1mlKwhwEzjpUpR0UHucnOeGQde-uGhwht6wNIzx3idh2LyMcg487jDjmQ/w400-h389/Senopati%20Pamungkas%2002.jpg" width="400" /></a></div><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;">Oleh </span><b style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;">Tarli Nugroho</b></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;">Ketika manajemen Majalah <i>Kawanku </i>diambil alih oleh Gramedia pada tahun 1990, majalah anak-anak ini membangun segmen baru yang berbeda dengan <i>Bobo</i>, <i>Ananda</i>, <i>Siswa</i>, atau <i>Tomtom</i>. Pembaca <i>Kawanku </i>adalah mereka yang tak lagi bisa menikmati <i>Bobo</i>, namun masih terlalu muda untuk membaca <i>Hai</i>. Ia menyasar segmen yang kemudian dikenal sebagai ABG, alias Anak Baru Gede, yaitu anak-anak usia belasan tahun awal yang umumnya duduk di bangku kelas enam SD hingga kelas tiga SMP. Pada umumnya mereka memang tak lagi mau dianggap sebagai “anak-anak”.</span></span></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Majalah <i>Kawanku </i>versi baru ini, mem-<i>branding </i>dirinya sebagai “<i>Kawanku STIL</i>”. Kata “STIL” merupakan akronim dari “<i>Sudah Tidak Ingusan Lagi</i>”, sesuai segmen usia pembaca yang dibidiknya. Jika dibaca, kata “STIL” ini berasosiasi kuat dengan kata “<i>Style</i>”. <i>Kawanku </i>kini kian “<i>stylish</i>”, atau bergaya. <i>Branding </i>ini, menurut saya sangat kuat dan cerdas.</span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPEnZohuq9HxF7ty92aDOsDGXY1fCi8gtrmbTZIv0H0MdiaeDEEKqedV0r3pEIgGdNu0HTE4rWGxqqmohxN_1a_ea-VmJLtZtbqxA0Z5BixZEmEBX4OSWa2eUbsjgotOFoJ61998_fllEV-h6aZleydH24tFh1vLqohScv_MYcqkYxeta1cClGBGdauQ/s2048/Kawanku%2001.jpg" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1280" data-original-width="2048" height="250" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPEnZohuq9HxF7ty92aDOsDGXY1fCi8gtrmbTZIv0H0MdiaeDEEKqedV0r3pEIgGdNu0HTE4rWGxqqmohxN_1a_ea-VmJLtZtbqxA0Z5BixZEmEBX4OSWa2eUbsjgotOFoJ61998_fllEV-h6aZleydH24tFh1vLqohScv_MYcqkYxeta1cClGBGdauQ/w400-h250/Kawanku%2001.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Majalah Kawanku versi baru nomor perdana, 1990.</i></td></tr></tbody></table><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Pengalaman saya sendiri, sejak duduk di bangku kelas 5, membaca dongeng, legenda, atau cerita pahlawan, yang lazim mengisi halaman majalah anak-anak, memang sudah mulai terasa membosankan. Saya ingin sebuah bacaan baru yang berbeda. Ketika itu saya mulai tertarik membaca cerpen-cerpen romantis, </span><i style="font-family: georgia;">traveling </i><span style="font-family: georgia;">dan petualangan. Di situlah saya ketemu Majalah </span><i style="font-family: georgia;">Aneka Ria</i><span style="font-family: georgia;">, </span><i style="font-family: georgia;">Anita Cemerlang</i><span style="font-family: georgia;">, termasuk Majalah </span><i style="font-family: georgia;">Kawanku </i><span style="font-family: georgia;">dalam versi baru. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>Aneka </i>dan <i>Anita </i>sebenarnya usia pembacanya satu segmen dengan <i>Hai</i>. Namun, bagi pembaca kanak-kanak seperti saya, membaca cerita remaja, sebagaimana yang mendominasi halaman Majalah <i>Aneka </i>dan <i>Anita </i>di awal tahun 1990-an, jauh lebih menarik perhatian daripada membaca artikel-artikel yang membahas persoalan remaja. Itu sebabnya, saya baru bisa menikmati <i>Hai</i>, dengan ulasan-ulasan musiknya yang memikat itu, agak belakangan sesudah mulai bosan dengan <i>Kawanku</i>, <i>Aneka </i>dan <i>Anita</i>.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sesudah diambil alih Gramedia, <i>Kawanku </i>mencoba mengkopi resep keberhasilan Arswendo di Majalah <i>Hai</i>. Wendo memang arsitek penting di balik kesuksesan <i>Hai </i>dan sejumlah media yang diterbitkan Gramedia lainnya. Di <i>Kawanku</i>, ia didapuk menjadi Wakil Pemimpin Umum dan Wakil Pemimpin Perusahaan. Di tangan Wendo, <i>Kawanku </i>ikut menjual Lupus dan cerita Senopati Pamungkas, yang menjadi <i>trade mark </i>Majalah <i>Hai </i>di awal tahun 1980-an. Bahkan, rubrik tebak-tebakan di Majalah <i>Hai</i>, yaitu “Antara Kawan”, juga diboyong ke Kawanku menjadi rubrik “Asbak”, alias “Asal Tebak”. Saya pernah mengirim satu kali tebak-tebakan di Majalah <i>Kawanku </i>saat kelas 6 sekolah dasar. Tapi tidak dimuat.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Tentu ada sedikit modifikasi dalam resep-resep yang ditiru tadi. Jika Majalah <i>Hai </i>memuat Senopati Pamungkas sebagai cerita serial, maka <i>Kawanku </i>memuatnya sebagai komik, dengan ilustrator Teguh Santosa. Dan, jika <i>Hai </i>memuat Lupus sebagai anak SMA, maka di Majalah <i>Kawanku </i>Si Lupus-nya masih SMP. Keriuhannyapun seputar kebengalan anak SMP. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sebagai penikmat komik-komik Teguh Santosa di Majalah <i>Ananda</i>, kehadiran komik Senopati Pamungkas di <i>Kawanku </i>tentunya segera memikat saya juga. Dua rubrik ini, yaitu komik Senopati Pamungkas, dan juga Lupus, bahkan bisa disebut merupakan mantra pemikat untuk merebut pembaca pertama Majalah <i>Kawanku </i>versi baru ini.</span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgY_4iPpAabucyxMnKFUuUsIc9x3TxVXmw6loSTQyQrtx6axRWEptliV8pXCL4GdlZ9dKzxim50BUTInzXKjuvLKnCnvrgxO9oxqidkXcKFHioO6K2pQ4p5HfgabfVqcoPLeLgGTSyxDzsA8LX_Bu5i4ucGZ48flmQcet3zIH2GkeALxUy3LiRBY1z40g/s2048/Kawanku%2002.jpg" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="1280" data-original-width="2048" height="250" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgY_4iPpAabucyxMnKFUuUsIc9x3TxVXmw6loSTQyQrtx6axRWEptliV8pXCL4GdlZ9dKzxim50BUTInzXKjuvLKnCnvrgxO9oxqidkXcKFHioO6K2pQ4p5HfgabfVqcoPLeLgGTSyxDzsA8LX_Bu5i4ucGZ48flmQcet3zIH2GkeALxUy3LiRBY1z40g/w400-h250/Kawanku%2002.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Iklan Kawanku yang menggunakan Senopati Pamungkas<br />sebagai nilai jual.</i></td></tr></tbody></table></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sayangnya, sesudah terbit beberapa edisi, komik Senopati Pamungkas tiba-tiba menghilang dari Majalah <i>Kawanku</i>. Dulu, hilangnya komik ini sangat membingungkan saya. Sebagai pembaca yang hanya bisa menikmati majalah-majalah ibukota dari tukang majalah bekas, saya tak bisa menemukan keterangan kenapa komik ini tiba-tiba putus di tengah jalan. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Kita tahu, pada awal 1990-an, cerita Senopati Pamungkas telah mulai dibukukan menjadi novel berjilid-jilid tebalnya. Iklan penerbitannya juga menghiasi nomor-nomor awal <i>Kawanku </i>versi baru. Lha, tapi kok komiknya putus begitu saja sebelum tamat?!</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Puluhan tahun kemudian, sesudah saya tak lagi kanak-kanak, saya baru mengerti jika hilangnya komik Senopati Pamungkas dari Majalah <i>Kawanku </i>STIL terjadi sebagai efek kasus <i>Monitor</i>. Kasus Tabloid <i>Monitor </i>bukan hanya menjadikan Arswendo sebagai pesakitan, melainkan juga berimplikasi pada pencopotan dirinya dari berbagai jabatan dan posisi di Grup Gramedia. Dan ternyata bukan hanya itu. Komik yang diangkat dari karya Arswendo di Majalah <i>Kawanku </i>juga ikut digusur. <i>Oalah</i>…</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ketika saya bisa memiliki kembali edisi lengkap setengah tahun pertama Majalah <i>Kawanku </i>STIL, saya baru tahu komik Senopati Pamungkas mulai hilang di Majalah <i>Kawanku </i>No. 16, 29 Oktober 1990, yang sampul depannya Richard Dean Anderson, pemeran utama serial televisi <i>MacGyver</i>. Nomor ini terbit sepekan sesudah Tabloid <i>Monitor </i>dibredel. Sesudah saya telusuri, hilangnya komik Senopati Pamungkas dari Majalah <i>Kawanku </i>ini memang tanpa keterangan sama sekali. Di Majalah <i>Kawanku </i>No. 17, secara bersayap redaksi memang sempat menyinggung soal “mendung itu kelabu”. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya yakin, ketika itu sebenarnya ada banyak sekali surat pembaca yang pastinya mempertanyakan kenapa komik Senopati Pamungkas tak lagi dimuat <i>Kawanku</i>. Namun, sejauh yang bisa saya periksa dari koleksi <i>Kawanku </i>yang ada di rumah, surat semacam itu tak ada satupun yang pernah dimuat. Senopati Pamungkas benar-benar menghilang tanpa keterangan.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Kadang saya berpikir begini. Apa yang dilakukan Wendo dengan angketnya di Tabloid <i>Monitor </i>dulu memang sangat ceroboh. Tetapi, apakah perlu ia diperlakukan semacam itu oleh korporasi yang telah menikmati hasil dari jerih payah dan tangan dinginnya? <a class="x1i10hfl xjbqb8w x6umtig x1b1mbwd xaqea5y xav7gou x9f619 x1ypdohk xt0psk2 xe8uvvx xdj266r x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r xexx8yu x4uap5 x18d9i69 xkhd6sd x16tdsg8 x1hl2dhg xggy1nq x1a2a7pz xt0b8zv x1qq9wsj xo1l8bm" href="https://www.facebook.com/hashtag/akudanmedia?__eep__=6&__cft__[0]=AZVGx0Hom-NuZC-K6d1FReEHra2yfeOacC0MMfMpDi0f7Ats14xlkjru4oHmlICy2wY7luf6qfKhnp7_bbTZAuFkQE1DquZedJJLEhYbnR27N1aDqBUpGtCo43gzdUCCpgojspjknSM35a152HCmUA1HCXUd_TxS6VC0RE9Q9NuFBg&__tn__=*NK-R" role="link" style="-webkit-tap-highlight-color: transparent; background-color: transparent; border-color: initial; border-style: initial; border-width: 0px; box-sizing: border-box; color: #ff9900; cursor: pointer; display: inline; list-style: none; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: inherit; text-decoration-line: none; touch-action: manipulation;" tabindex="0">#AkuDanMedia</a></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>16 Juni 2021</i></span></div></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><br />Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-45533276342924984112023-03-11T10:01:00.008+07:002023-03-11T10:05:53.132+07:00 BOBO DAN MIMPI YANG TERPELIHARA<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgq05V46vPq1i1BtlCEAAcJZdbV4xD9wUgoXQU_2AO2tfpPFYMnHSrEVaSph_96YwYYI4WkqO_Qte5j5M2HyELCrbmYhF2GnEvdnqpySgZvQ_Z_0Hmx42j7wTh9iRMpq0eBJPxGjE2AsaUuqh_ottvBqekjwoKzBnYOHSHcVs5vmhqdCrqJdqpCAf_f1w/s960/Bobo%2001.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="600" data-original-width="960" height="250" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgq05V46vPq1i1BtlCEAAcJZdbV4xD9wUgoXQU_2AO2tfpPFYMnHSrEVaSph_96YwYYI4WkqO_Qte5j5M2HyELCrbmYhF2GnEvdnqpySgZvQ_Z_0Hmx42j7wTh9iRMpq0eBJPxGjE2AsaUuqh_ottvBqekjwoKzBnYOHSHcVs5vmhqdCrqJdqpCAf_f1w/w400-h250/Bobo%2001.jpg" width="400" /></a></div><br /><p><br /></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;">Oleh <b>Tarli Nugroho</b></span></span></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a>Seberapa besar pengaruh bacaan pada hidup seseorang? Saya bisa menjawab: <i>sangat besar</i>! </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sebagai anak yang dibesarkan oleh dua kakek-nenek buta huruf, dilahirkan dari kedua orang tua yang juga tak mengenyam bangku sekolahan; bisa membaca, dan kemudian bisa berkelana di tengah belantara kata-kata, selalu saya anggap sebagai keajaiban. Itu sebabnya, sejak pertama kali bisa mengeja, saya bukan hanya takjub kepada kata-kata yang bertaburan di halaman-halaman buku, tapi juga takjub kepada bentuk fisik buku, koran, majalah, serta semua kertas bertulisan lainnya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Alasannya sederhana. Jika kata-kata adalah keajaiban, maka keajaiban yang bisa ditenteng tentulah tak kalah menakjubkannya. Begitulah saya memandang buku, koran, majalah, serta semua kertas bertulisan lainnya, sejak hari itu, hari ketika nama Budi, serta Wati benar-benar bisa saya eja sendiri, tak sekadar menirukan suara dari mulut orang lain. Dan pandangan itu tak banyak berubah hingga kini.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sayangnya, di tengah kampung nelayan miskin, tak banyak keajaiban yang bisa ditenteng-tenteng. Di sekolah, satu-satunya sumber bacaan yang tersedia hanyalah tumpukan buku pelajaran dan Majalah <i>Suara Daerah </i>yang ada di meja guru. <i>Suara Daerah </i>adalah majalah kecil seukuran <i>Intisari </i>yang diterbitkan PGRI Jawa Barat. Isinya, dalam penilaian saya ketika itu, adalah tulisan-tulisan membosankan dengan tata letak yang jauh dari menarik. Satu-satunya rubrik yang saya sukai hanyalah kumpulan lelucon pendek yang bertebaran mengisi ruang-ruang halaman yang kosong. Dan ruang-ruang kosong itu jumlahnya ternyata cukup banyak.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya sering membawa pulang majalah-majalah itu. Tanpa izin tentunya. Bukan karena saya nakal, tetapi karena saat itu saya masih sangat pemalu. Saya bahkan rela menahan kencing di kelas hingga <i>anyang-anyangen </i>hanya karena malu untuk meminta izin pergi ke kali. Bukti lainnya, majalah-majalah itu selalu saya kembalikan. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sebagaimana halnya sekolah-sekolah kampung lainnya, tentu saja tak pernah ada yang namanya perpustakaan sekolah. Ah, jangan jauh-jauh perpustakaan, ruang kelas saya saja temboknya jebol di mana-mana, sehingga saat jam sekolah usai kelas-kelas itu bisa dimasuki oleh gerombolan kambing dan domba milik warga sekitar. Di ruang guru memang ada cukup banyak lemari. Tetapi saya tidak tahu apa isinya, dan enggan mencari tahu. Sebab, ketika itu, umumnya hanya ada dua jenis murid yang bisa dan biasa berurusan dengan ruang guru, yaitu murid nakal, serta murid yang suka cari perhatian. Dan saya tidak termasuk keduanya. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Namun, ketika dalam sebuah acara kerja bakti sekolah saya dan teman-teman diminta untuk membersihkan ruang guru, mungkin terjadi saat kelas 4, saya tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mencari tahu apa isi lemari di sana. Dengan otoritas yang diberikan, seluruh lemaripun saya geledah. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ternyata ada banyak sekali buku di sana. Sebagian besarnya bahkan kelihatan belum pernah digunakan sama sekali. Tetapi, kecuali buku-buku pelajaran, serta bacaan-bacaan pendukung yang terlihat monoton, saya hanya menemukan sebuah buku saja yang pantas untuk disebut menarik. Buku itu bercerita tentang tiga detektif cilik Indonesia, <i>Triona</i>. Ceritanya mirip dengan serial Trio Detektif-nya Alfred Hitchcock, serta Lima Sekawan-nya Enid Blyton yang pernah saya baca. Buku itupun segera saya bawa pulang.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Berbeda dengan Majalah <i>Suara Daerah</i>, buku itu tak pernah saya kembalikan. Tepatnya, tak pernah kembali. Cerita karangan Dwianto Setyawan itu seingat saya sangat menarik. Mungkin karena setingnya lokal, jadi terasa begitu dekat. Saking senangnya ketemu buku itu, saya tak tahan untuk menceritakannya ke teman sebangku. Ternyata ia jadi penasaran dan minta dipinjami. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Meski cenderung rewel, saya tak pernah pelit dalam berbagi bacaan. Apalagi, buku itu sebenarnya milik sekolah. Konon, tak mau berbagi hasil kejahatan adalah kejahatan yang sebenar-benarnya. Akhirnya buku "hasil kejahatan" itupun saya pinjamkan. Masalahnya, sesudah selesai di teman sebangku tadi, buku itu tak pernah kembali, karena kemudian ada lagi yang meminjamnya. Lagi, dan lagi, sampai akhirnya saya tak tahu lagi siapa yang memegangnya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Rasa takjub pada buku kian menjadi sesudah saya membaca Majalah <i>Bobo </i>No. 1/XVI, 16 April 1988. Itu adalah edisi khusus ulang tahun Bobo ke-15. Jika biasanya majalah itu terbit 34 halaman, maka pada edisi itu jumlah halamannya menjadi berlipat dua. Jika menengok kembali pengalaman hidup yang telah silam, saya bisa mengatakan, inilah majalah yang besar sekali pengaruhnya pada perjalanan hidup saya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Di edisi khusus itu <i>Bobo </i>berbagi kecap dapur. Apa dan bagaimana proses pembuatan majalah itu dikupas habis dalam artikel sepanjang 4 halaman. Itulah pertama kalinya saya mengenal istilah ‘editor’, ‘rapat redaksi’, ‘<i>dummy</i>’, ‘pelat’, dan sejenisnya. Membayangkan proses penerbitan tersebut, terus terang memancing sebentuk kegairahan dalam diri saya. Tiba-tiba saya jadi begitu menginginkan bisa menjadi bagian dari semua itu. Saya ingin terlibat dalam memproduksi “keajaiban yang bisa ditenteng” semacam itu.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Jadi, jauh sebelum mengenal nama Adinegoro, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, B.M. Diah, atau Goenawan Mohamad, sejak membaca <i>Bobo </i>edisi khusus itu, saya mulai membayang-bayangkan diri menjadi jurnalis. Ini adalah profesi pertama yang saya ketahui paling dekat dengan kata-kata. Saya belum punya bayangan jika menulis bisa dilakukan oleh profesi lainnya. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Imajinasi menjadi jurnalis itu bukan hanya dilamunkan. Saya lalu mulai membuat koran sendiri dari lembaran-lembaran buku gambar. Logonya saya buat dengan spidol, kadang dengan huruf-huruf yang digunting dari koran bekas, sementara beritanya disusun dari guntingan berita di koran yang kemudian disusun ulang. Di kemudian hari saya baru menyadari jika perkenalan saya dengan praktik mengkliping sebenarnya dimulai dari pura-pura menjadi penerbit surat kabar tadi. Saya masih ingat nama-nama media yang pernah dibuat, yaitu Harian ‘<i>Seputar Indonesia</i>’, Majalah ‘<i>WOW</i>’, Harian ‘<i>Aktual</i>’, Majalah ‘<i>Info</i>’, Tabloid ‘<i>Tegas</i>’, Mingguan ‘<i>Cakrawala</i>’, dan masih banyak lainnya. </span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNyeaZdjYgK1RnM1Cfzg1fj1W9pfNrzJ7mgy4paKV8bL3TTJAxTYIZY8bBJk_Q1JSuywrXN5y9Rz1PqNLa5M7vv8gzSLvZNJPbZZzZtAi0u6RNxKIyXvVCsxU9cUOegB8htZ1i29ed1gng15vNQ_41ippyQSFBZ7Yt-ITenZlhCFnZtQgpAtBjVxqg_A/s960/Bobo%2002.jpg" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="601" data-original-width="960" height="250" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNyeaZdjYgK1RnM1Cfzg1fj1W9pfNrzJ7mgy4paKV8bL3TTJAxTYIZY8bBJk_Q1JSuywrXN5y9Rz1PqNLa5M7vv8gzSLvZNJPbZZzZtAi0u6RNxKIyXvVCsxU9cUOegB8htZ1i29ed1gng15vNQ_41ippyQSFBZ7Yt-ITenZlhCFnZtQgpAtBjVxqg_A/w400-h250/Bobo%2002.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Nama beberapa media yang saya "terbitkan" saat SMP.<br />Buku mimpi ini masih terus saya simpan.</i> </td></tr></tbody></table><br /><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saat duduk di bangku SMP, teknik yang saya gunakan untuk membuat media juga mengalami peningkatan. Jika semula menggunakan kertas dari buku gambar, maka sejak SMP mulai dipakailah kertas HVS. Judul-judul berita juga dibuat dengan rugos, tak lagi dari guntingan koran. Sejak saat itu pula saya mulai belajar menulis esai dan membuat berita sendiri. Setelah jadi, masternya lalu saya fotokopi. Hasil fotokopian itulah yang kemudian dibagikan ke beberapa kawan dekat. Saat sedang membaca media-media fotokopian itu, saya selalu membayangkan sedang membaca media seperti <i>Kompas</i>, <i>Tempo</i>, atau <i>Republika</i>, dengan nama saya tercantum di boks redaksinya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya masih sering terkekeh kalau mengingatnya. Betapa ganjilnya imajinasi semacam itu. Ya, bagi sebagian besar orang, aktivitas tadi mungkin dianggap lebih dekat pada keanehan daripada keajaiban. Tetapi, mau bagaimana lagi? Hal-hal aneh semacam itulah yang telah membuat masa kecil dan remaja saya penuh dengan kebahagiaan.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya ingat, ketika diterima kuliah di Universitas Gadjah Mada, tempat yang pertama kali saya kunjungi adalah kantor penerbitan mahasiswanya, dan barang pertama yang saya beli di toko buku adalah majalah mahasiswanya. Saya sama sekali tak pernah punya bayangan masuk BEM atau Senat. Bukan karena merasa tak layak, atau tidak tertarik pada politik kemahasiswaan, tetapi karena sejak lama saya sudah menunggu-menunggu kesempatan itu, yaitu masuk ke dunia penerbitan yang sebenar-benarnya. Memang, ketika SMP dan SMA ada majalah dinding di sekolah. Tetapi, itu bukanlah sebentuk keajaiban yang bisa ditenteng-tenteng sebagaimana imajinasi masa kecil saya tentang buku dan bacaan. Jadi, ketika akhirnya kesempatan itu datang, saya tak ingin menduakannya dengan hal lain. Saya hanya ingin bergiat di penerbitan kampus. Titik.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Makanya, ketika sesudah Ospek sejumlah mahasiswa senior datang ke kosan untuk membujuk agar saya masuk ke organisasi ekstra yang mereka ikuti, dengan terus terang saya sampaikan bahwa imajinasi saya di dunia universiter sepertinya akan tertambat hanya pada dunia penerbitan, bukan pada aktivitas lainnya. Meskipun belakangan saya tak meneruskan mimpi menjadi jurnalis tadi, toh pergeseran itupun sebenarnya tak pernah membuat dunia saya menjauh. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Jadi, kalau hari ini ada yang bertanya seberapa besar pengaruh bacaan pada hidup seseorang, ketika membuka lagi Majalah <i>Bobo </i>No. 1/XVI, saya tahu, pengaruhnya bisa sangat besar dan tak terbayangkan. Majalah ini, yang pertama kali dibaca saat kelas 4 sekolah dasar, adalah saksinya. Bacaan kanak-kanak ini telah banyak mempengaruhi kompas kehidupan saya. </span><a class="x1i10hfl xjbqb8w x6umtig x1b1mbwd xaqea5y xav7gou x9f619 x1ypdohk xt0psk2 xe8uvvx xdj266r x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r xexx8yu x4uap5 x18d9i69 xkhd6sd x16tdsg8 x1hl2dhg xggy1nq x1a2a7pz xt0b8zv x1qq9wsj xo1l8bm" href="https://www.facebook.com/hashtag/akudanmedia?__eep__=6&__cft__[0]=AZVGx0Hom-NuZC-K6d1FReEHra2yfeOacC0MMfMpDi0f7Ats14xlkjru4oHmlICy2wY7luf6qfKhnp7_bbTZAuFkQE1DquZedJJLEhYbnR27N1aDqBUpGtCo43gzdUCCpgojspjknSM35a152HCmUA1HCXUd_TxS6VC0RE9Q9NuFBg&__tn__=*NK-R" role="link" style="-webkit-tap-highlight-color: transparent; background-color: transparent; border-color: initial; border-style: initial; border-width: 0px; box-sizing: border-box; cursor: pointer; display: inline; list-style: none; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: inherit; text-decoration-line: none; touch-action: manipulation;" tabindex="0"><span style="font-family: georgia;">#AkuDanMedia</span></a></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>22 Januari 2021</i></span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-89597008300143274942023-03-10T19:34:00.001+07:002023-03-11T09:44:20.403+07:00 GARA-GARA BUKU PRAM, IA PERNAH DISIKSA TENTARA<p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFpJlOlxOO8Glkg_IDgdT2trCImo3hGmBaG-BTgES6zu2cmI54Va6f3sHPxZbsOkC1FGvVc7zVyQtwii579w8gglJhBUr_QdGJnC1ZR9vbqUsm4IVzfd6I-caVTRxwPDjGs87JBt3uOsXC-ZCh-wYMxQ_3eb6zK5J7jQ52X_571FYqUdwxqnhnIbVXsA/s1280/Bambang%20Isti.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1280" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFpJlOlxOO8Glkg_IDgdT2trCImo3hGmBaG-BTgES6zu2cmI54Va6f3sHPxZbsOkC1FGvVc7zVyQtwii579w8gglJhBUr_QdGJnC1ZR9vbqUsm4IVzfd6I-caVTRxwPDjGs87JBt3uOsXC-ZCh-wYMxQ_3eb6zK5J7jQ52X_571FYqUdwxqnhnIbVXsA/w400-h225/Bambang%20Isti.jpg" width="400" /></a></div><br /><span style="font-family: georgia;"><br /></span><p></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;">Oleh <b>Tarli Nugroho</b></span></span></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Suatu siang saya diundang mampir ke salah satu rumah Pak <a class="x1i10hfl xjbqb8w x6umtig x1b1mbwd xaqea5y xav7gou x9f619 x1ypdohk xt0psk2 xe8uvvx xdj266r x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r xexx8yu x4uap5 x18d9i69 xkhd6sd x16tdsg8 x1hl2dhg xggy1nq x1a2a7pz xt0b8zv x1qq9wsj xo1l8bm" href="https://www.facebook.com/imam.yudotomo.3?__cft__[0]=AZVDS_gH0Uq35FrjFRQOzr9Jzyhljk7kA2Qdb569g0XA3a2mrIZEVC7nWA1h_UKOfP5-wZPDV_6bGquDH4d1WovafPIa0sR9HsqdVpr6u7UJYH1reJyoKwVBkr0j6R1QGh2lENwNfxInMUuSalHv0_IkYRmHQnO6pR-zTI7Y23RLFA&__tn__=-]K-R" role="link" style="-webkit-tap-highlight-color: transparent; background-color: transparent; border-color: initial; border-style: initial; border-width: 0px; box-sizing: border-box; cursor: pointer; display: inline; list-style: none; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: inherit; text-decoration-line: none; touch-action: manipulation;" tabindex="0"><span class="xt0psk2" style="display: inline;">Imam Yudotomo</span></a> yang terletak di belakang Polda DIY, daerah Condong Catur, Yogyakarta. Rumah besar yang menghadap sawah itu terdiri dari beberapa bangunan. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a>Bangunan dua lantai di bagian belakang dijadikan kos-kosan ekslusif, dengan area parkir mobil dan motor cukup lapang di tengahnya, sementara bangunan paling depan, yang juga terdiri dari dua lantai dan dibagi menjadi beberapa ruangan, difungsikan sebagai kantor. Di rumah itulah Pak Imam biasa menjamu para tamunya. Di rumah itu pula dulu kawan saya, <a class="x1i10hfl xjbqb8w x6umtig x1b1mbwd xaqea5y xav7gou x9f619 x1ypdohk xt0psk2 xe8uvvx xdj266r x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r xexx8yu x4uap5 x18d9i69 xkhd6sd x16tdsg8 x1hl2dhg xggy1nq x1a2a7pz xt0b8zv x1qq9wsj xo1l8bm" href="https://www.facebook.com/rudi.casrudi?__cft__[0]=AZVDS_gH0Uq35FrjFRQOzr9Jzyhljk7kA2Qdb569g0XA3a2mrIZEVC7nWA1h_UKOfP5-wZPDV_6bGquDH4d1WovafPIa0sR9HsqdVpr6u7UJYH1reJyoKwVBkr0j6R1QGh2lENwNfxInMUuSalHv0_IkYRmHQnO6pR-zTI7Y23RLFA&__tn__=-]K-R" role="link" style="-webkit-tap-highlight-color: transparent; background-color: transparent; border-color: initial; border-style: initial; border-width: 0px; box-sizing: border-box; cursor: pointer; display: inline; list-style: none; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: inherit; text-decoration-line: none; touch-action: manipulation;" tabindex="0"><span class="xt0psk2" style="display: inline;">Rudi Casrudi Soedjono</span></a>, tinggal sebagai penghuninya. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Pak Imam sendiri tidak meninggali rumah itu. Bersama dengan istrinya, mereka tinggal di daerah Janti, Banguntapan. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Meski dikenal sebagai aktivis kiri hingga hari tuanya, Pak Imam memang tergolong hidup berkecukupan. Kemakmuran itu, sebagaimana pernah diakuinya, terutama berasal dari istrinya yang berprofesi sebagai notaris. </span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgSfjKXi4Cu3YsgIDCJMEQygWsTx403Hsmd3Trq-L9SWY_iFNq-ZThnUsR5e1j0LRVJR-mth4yoRfHbTOfVvhu2yQL_-1X6VYTjHuRTQn3DrY4Xv91AjP_e-VOPF0AYL7o4RxXq9fRYPPsOooVdnEMdnt4SK2O9aa70U4IqCIShfaRSTlJmXKGoUKTKsw/s1280/Imam%20Yudotomo.jpg" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1280" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgSfjKXi4Cu3YsgIDCJMEQygWsTx403Hsmd3Trq-L9SWY_iFNq-ZThnUsR5e1j0LRVJR-mth4yoRfHbTOfVvhu2yQL_-1X6VYTjHuRTQn3DrY4Xv91AjP_e-VOPF0AYL7o4RxXq9fRYPPsOooVdnEMdnt4SK2O9aa70U4IqCIShfaRSTlJmXKGoUKTKsw/w400-h240/Imam%20Yudotomo.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Imam Yudotomo (kiri) sedang berbincang dengan <br />sahabatnya, M. Dawam Rahardjo</i></td></tr></tbody></table><br /><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">“Sebagai aktivis, saya ini miskin. Tapi, karena istri saya notaris, ya, bisalah saya mentraktir mahasiswa atau aktivis-aktivis miskin lainnya untuk sesekali ngopi di Starbucks,” kelakarnya, suatu ketika.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saat sampai di rumah di bilangan Condong Catur itu, saya melihat Pak Imam sudah datang dan tengah duduk berbincang dengan Mas Rudi dan seorang lelaki. Saya tidak kenal lelaki itu. Ia mengenakan kemeja putih bergaris. Perawakannya tidak terlalu tinggi. Di sela-sela kumisnya yang tipis, mulai tumbuh uban di sana-sini. Suara tawanya cukup lantang.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">“Mas Tarli, kenalkan, ini kawan saya. Namanya Bambang <a class="x1i10hfl xjbqb8w x6umtig x1b1mbwd xaqea5y xav7gou x9f619 x1ypdohk xt0psk2 xe8uvvx xdj266r x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r xexx8yu x4uap5 x18d9i69 xkhd6sd x16tdsg8 x1hl2dhg xggy1nq x1a2a7pz xt0b8zv x1qq9wsj xo1l8bm" href="https://www.facebook.com/m.nugraha.902604?__cft__[0]=AZVDS_gH0Uq35FrjFRQOzr9Jzyhljk7kA2Qdb569g0XA3a2mrIZEVC7nWA1h_UKOfP5-wZPDV_6bGquDH4d1WovafPIa0sR9HsqdVpr6u7UJYH1reJyoKwVBkr0j6R1QGh2lENwNfxInMUuSalHv0_IkYRmHQnO6pR-zTI7Y23RLFA&__tn__=-]K-R" role="link" style="-webkit-tap-highlight-color: transparent; background-color: transparent; border-color: initial; border-style: initial; border-width: 0px; box-sizing: border-box; cursor: pointer; display: inline; list-style: none; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: inherit; text-decoration-line: none; touch-action: manipulation;" tabindex="0"><span class="xt0psk2" style="display: inline;">Isti Nugroho</span></a>. Kalau Anda kini bisa bebas mengkoleksi buku-buku Pram, maka Bung Isti ini dulu pernah merasakan bagaimana disiksa tentara hanya gara-gara menyimpan dan mengedarkan fotokopian buku-buku Pram,” ujar Pak Imam, memperkenalkan lelaki yang duduk di sampingnya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya segera menyalami lelaki itu. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Meski baru pertama kali bertemu, nama Bambang Isti tidak sepenuhnya asing. Saya pertama kali mengetahui nama itu saat duduk di bangku sekolah menengah, melalui Majalah <i>Tempo</i>. Di beberapa edisi <i>Tempo </i>akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, berita mengenai Bambang Isti Nugroho memang pernah berseliweran ditulis. Namanya ketika itu selalu disebut setarikan nafas dengan nama Bonar Tigor Naipospos.</span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2qjmfns20Z39NEMRofSXVpeOakaA4gTCEEc1bf-D5PsGsHWO2TJBuw7P4_nRv3hOCfhRGmlD-0kcnLTDncWuZJ3c0Y2ertfLnPFTOIzC1JbVrhHQ1EVKkQVeN9tiFgHKBx8r5mWfaYMDxZhFbDbXezTbpMQnlmNZZNXhr_T6L-BS48pVoIWaHUVH_Tw/s960/Bambang%20Isti%202.jpg" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="956" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2qjmfns20Z39NEMRofSXVpeOakaA4gTCEEc1bf-D5PsGsHWO2TJBuw7P4_nRv3hOCfhRGmlD-0kcnLTDncWuZJ3c0Y2ertfLnPFTOIzC1JbVrhHQ1EVKkQVeN9tiFgHKBx8r5mWfaYMDxZhFbDbXezTbpMQnlmNZZNXhr_T6L-BS48pVoIWaHUVH_Tw/w399-h400/Bambang%20Isti%202.jpg" width="399" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Bambang Isti Nugroho</i></td></tr></tbody></table><br /><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">“Anda tahu, ada satu cerita yang selalu bisa membuat saya menangis sekaligus tertawa mengenai Bung Isti ini. Jadi, salah satu siksaan paling jahat dan menyakitkan waktu dia ditahan adalah jempol kakinya ditindihi kaki meja, lalu beberapa orang tentara duduk-duduk di atasnya sembari menginterogasi dirinya,” ujar Pak Imam. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Mukanya tiba-tiba menjadi keruh. Saya bisa membayangkan, betapa bengisnya siksaan itu.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">“Namun, sesudah para tentara itu keluar ruangan, Bung Isti ini malah menari-nari sambil menyanyi, ‘tiidak sakit, tiidak sakit,…’” lanjut Pak Imam, kali ini sembari terkekeh. “Padahal, itu sakitnya pasti luar biasa sekali,” imbuhnya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Bambang Isti Nugroho, yang duduk di samping Pak Imam, hanya tertawa kecut mendengar cerita itu.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Lelaki ini, sesudah saya mencari tahu kisahnya lebih jauh, memang liat luar biasa. Anak pensiunan tentara ini hanya lulusan SMP, tidak pernah menyelesaikan SMA-nya, namun bersama dengan dua orang temannya, Ons Untoro dan Panji Patah, ia bisa membesarkan sebuah kelompok studi yang isinya adalah para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Pada tahun 1980-an, Kelompok Studi Sosial Palagan cukup terkenal di Yogya. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Banyak intelektual Yogya, seperti Mochtar Mas’oed, Nasikun, Loekman Soetrisno, dan sejumlah nama lain, yang mengaku bangga pernah menghadiri diskusi-diskusi yang digelar oleh kelompok diskusi ini. Dan salah satu sumber kekaguman mereka terhadap kelompok ini adalah karena Kelompok Studi Sosial Palagan ternyata dipimpin dan digerakan salah satunya oleh seorang anak muda yang karena alasan ekonomi tidak sempat menyelesaikan SMA-nya, namun berhasil bisa menggerakan anggotanya yang merupakan para mahasiswa.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sesudah ayahnya meninggal pada tahun 1977, Bambang Isti sempat terputus sekolahnya. Agar bisa meneruskan sekolahnya, ia harus bekerja sebagai tukang batu dan tukang cat tembok di siang hari. Ia memilih SMP Yayasan Usaha Buruh yang membuka kelas malam hari sebagai tempat melanjutkan pelajaran.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Pada tahun 1980, saat masih duduk di bangku SMP, ia melamar menjadi pesuruh di Laboratorium Analis Kimia Fisika Pusat, Universitas Gadjah Mada. Sesudah melalui testing, ia akhirnya diterima bekerja di sana. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saat lulus SMP pada tahun 1981, Bambang Isti kemudian meneruskan pelajarannya di SMA YUB, juga kelas malam, agar siang harisnya bisa tetap bekerja mencari nafkah. Namun, karena asyik bergulat dengan dunia sastra dan kesenimanan, belum sempat lulus, ia kemudian memutuskan berhenti sekolah.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Lingkungan kerjanya, yaitu UGM, menurut pengakuan Bambang Isti, telah memperkenalkannya pada dunia pemikiran dan kesadaran sosial. Apalagi, tiap hari ia bergaul dengan intelektual kampus dan para mahasiswa. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Iapun semakin asyik dengan dunia kepenulisan. Ia menulis puisi, cerpen, kritik sastra, teater dan naskah drama anak. Sejak usia 17 tahun Bambang Isti sudah menulis naskah teater. Tak heran, pada tahun 1982, saat usianya belum genap 21 tahun, ia telah dipercaya menjadi redaktur sastra dan kebudayaan di Harian <i>Masa Kini</i>.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ada banyak cerita dan kesaksian yang menunjukkan jika Bambang Isti pada masanya memang sangat disegani oleh kawan-kawannya, yang sebagian besar adalah mahasiswa UGM. Pengetahuannya mengenai kesusastraan dianggap sangat menonjol.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Kasus yang menjerat Bambang Isti mungkin agak sulit dibayangkan oleh generasi yang lahir sesudah Reformasi. Tak lama sesudah novel “<i>Bumi Manusia</i>” terbit pada bulan Agustus 1980, pemerintah Orde Baru melalui Surat Edaran Nomor 73106/Sekjen PDK/1980 tanggal 27 September 1980 segera menjadikan novel tersebut sebagai buku terlarang. Karena ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, seorang tahanan Pulau Buru, oleh pemerintah novel itu dituduh menyebarkan ideologi komunisme.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Karena dilarang, publik intelektual dan penikmat sastra terpaksa harus bergerilya dan kucing-kucingan dengan aparat agar bisa membaca karya tersebut. Sebab, siapapun yang ketahuan menyimpan, apalagi mendistribusikan karya tersebut, mereka bakal menghadapi tuduhan serius. Tuduhan itu pula yang telah menjerat Bambang Isti Nugroho dan beberapa kawannya. Gara-gara mengedarkan karya Pram, Bambang Isti divonis 8 tahun penjara</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Buku ini, “<i>Memperjuangkan Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia</i>” (1991), merupakan pledoi yang disampaikan Bambang Isti Nugroho di hadapan Pengadilan Negeri Yogyakarta pada tanggal 16 Agustus 1989. Dalam kata pengantarnya, Kuntowijoyo tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sosok Bambang Isti Nugroho.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Gara-gara ditahan itu, Bambang Isti bukan hanya kehilangan kebebasannya. Ia juga jadi kehilangan seluruh isi perpustakan pribadinya.</span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>1 Agustus 2022</i></span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-71399473286444002352023-03-10T19:19:00.006+07:002023-03-10T19:19:28.057+07:00 BERNAS, KORAN YANG ENAM KALI GANTI NAMA<p><span style="font-family: georgia;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: georgia;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbAzDyO04erjjRxp7zbiztFhCi7Kw335XxhQy7cOWucBw7loEJ_Ive67N5WyzKvMcXZILuRvd_PUCQqeM4f4ZuX_SPhYcR5xqWkAPVE9pHoBm_F0YbvNFNW-wM7uOQe0udW3_HHspyfOt78waPhw699qrOb2Wq1tyBpvolW5OIlccP08FrMQ9JAqrSew/s1280/Bernas%2001.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1280" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbAzDyO04erjjRxp7zbiztFhCi7Kw335XxhQy7cOWucBw7loEJ_Ive67N5WyzKvMcXZILuRvd_PUCQqeM4f4ZuX_SPhYcR5xqWkAPVE9pHoBm_F0YbvNFNW-wM7uOQe0udW3_HHspyfOt78waPhw699qrOb2Wq1tyBpvolW5OIlccP08FrMQ9JAqrSew/w400-h225/Bernas%2001.jpg" width="400" /></a></span></div><span style="font-family: georgia;"><br /><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span><p></p><p><span style="font-family: georgia;"><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></p><p><span style="font-family: georgia;"><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></p><p><span style="font-family: georgia;"><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></p><p><span style="font-family: georgia;"><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></p><p><span style="font-family: georgia;"><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></p><p><span style="font-family: georgia;"><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;">Oleh </span><b style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;">Tarli Nugroho</b></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saat saya awal kuliah di Yogya, ibu kos saya, yang juga membuka warung di depan rumahnya, berlangganan dua buah surat kabar, yaitu <i>Kedaulatan Rakyat </i>dan <i>Bernas</i>. Tiap hari, sebelum berangkat ke kampus, sembari sarapan saya selalu numpang baca koran di warungnya. Jika saya masuk pagi dan warungnya belum buka, saya membaca kedua koran itu pada siang atau sore harinya. Dua koran ini hampir merupakan bacaan wajib masyarakat <a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a>Yogya. Di pojokan kampung, pos ronda, atau tempat-tempat nongkrong warga, salah satu dari dua koran ini selalu dipajang sebagai koran dinding. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sebelum berhenti terbit pada 1 Maret 2018 silam, Harian <i>Bernas </i>bisa disebut sebagai bacaan kedua masyarakat Yogyakarta. Bacaan pertama orang Yogya tentu saja adalah <i>Kedaulatan Rakyat</i>, atau biasa disebut “KR”. <i>Kedaulatan Rakyat </i>adalah korannya orang Yogya. Bahkan, saking menyatunya orang Yogya dengan koran tersebut, mereka menyebut semua “koran” dengan kata “KR”. Misalnya, koran <i>Kompas </i>atau <i>Jawa Pos</i>, disebut sebagai “<i>KR Kompas</i>” dan “<i>KR Jawa Pos</i>”. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Pendek kata, KR sudah dianggap sebagai bagian dari budaya dan keseharian masyarakat Yogya. Sehingga, setiap koran baru, atau koran dari luar, akan selalu dianggap nomor dua. Ini juga terjadi pada <i>Bernas</i>. Padahal, koran ini sebenarnya telah terbit di Yogya sejak 15 November 1946. Artinya, umurnya tak berselisih jauh dari KR yang pertama kali terbit 27 September 1945.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Meskipun sejak 13 Agustus 1990 <i>Bernas </i>pernah berada di bawah naungan manajemen Indopersda, salah satu divisi Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang menaungi koran-koran daerah, namun bos Kompas, Jakob Oetama, juga tidak pernah menginginkan koran ini menjadi nomor satu, apalagi sampai membunuh KR. Bernas memang harus maju dan berkembang, tetapi mengingat hubungan baik antara Jakob dengan Wonohito—pendiri KR, pemimpin <i>Kompas </i>itu menginginkan <i>Bernas </i>mencari segmen pembaca yang berbeda dari KR. Itu sebabnya, <i>Bernas </i>kemudian membidik segmen pembaca kelas menengah ke atas serta sivitas akademika di kampus. </span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihhtqWz0bxkyO88FKRlFUqtszyy20wc73U0XgRzLHjSu3R1tKMCCIjOz0hLgsxj3NJC_WJtcjmsgmR_wkMP9MU1Cyfq7jqrhoE6M9VyWy33z7LREgbWh31NN3fZemfloN9ZvfpZ5VBcYCohXGn3V2-n-qihpNIev83N-ZeGErS_oycREMGvEd7X2mRwg/s1280/Bernas%2002.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1280" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihhtqWz0bxkyO88FKRlFUqtszyy20wc73U0XgRzLHjSu3R1tKMCCIjOz0hLgsxj3NJC_WJtcjmsgmR_wkMP9MU1Cyfq7jqrhoE6M9VyWy33z7LREgbWh31NN3fZemfloN9ZvfpZ5VBcYCohXGn3V2-n-qihpNIev83N-ZeGErS_oycREMGvEd7X2mRwg/w400-h225/Bernas%2002.jpg" width="400" /></a></div><br /><div dir="auto"><br /></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Pada dekade 1990-an, karena keberaniannya dalam mengulik berita dan menggali fakta, koran ini pernah menjadi bacaan favorit mahasiswa dan aktivis kampus. Banyak aktivis mahasiswa zaman itu yang nyambi menjadi wartawan <i>Bernas</i>. Salah satu yang menonjol adalah Rizal Mallarangeng. Ketika terjadi Perang Teluk 1991, Rizal pernah ikut menjadi rombongan perdamaian internasional ke Irak. Laporan-laporan pandangan mata yang ditulisnya dari Baghdad sempat membuat <i>Bernas </i>laku keras. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Keberanian <i>Bernas </i>dalam menulis berita pada masa itu juga diwakili oleh tragedi yang menimpa salah satu wartawannya, yaitu Fuad Muhammad Syafruddin, alias Udin. Pada tanggal 13 Agustus 1996, Udin dianiaya orang tak dikenal di depan rumahnya sendiri, di Dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis km 13. Tiga hari kemudian ia dinyatakan meninggal dunia. Kendati kasus kematiannya secara hukum tidak pernah menemukan jalan terang hingga kini, namun banyak orang melihat jika kematiannya ada kaitannya dengan berita-berita yang ditulisnya di <i>Bernas</i>.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Meski berumur tua, nama <i>Bernas </i>sebenarnya baru dipakai setelah 10 November 1991. Seperti yang sudah disinggung, <i>Bernas </i>memang merupakan koran tua yang terbit di Yogya. Ia telah terbit sejak tahun 1946. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, koran ini pernah berganti nama beberapa kali, sehingga banyak orang jadi tidak menyadari jejak panjang yang telah ditorehkan oleh koran ini.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saat pertama kali terbit, 15 November 1946, koran ini bernama <i>Nasional</i>. Salah satu pendirinya adalah Soemanang, seorang tokoh pers nasional yang juga merupakan pendiri LKBN Antara. Nama <i>Nasional </i>terus digunakan hingga tahun 1966. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Pada tanggal 26 Maret 1965, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Penerangan No. 29/SK/M/65, yang isinya mewajibkan setiap surat kabar untuk berafiliasi dengan partai politik atau ormas anggota Front Nasional. Pada saat itu, Harian <i>Nasional </i>memilih bergabung dengan PNI (Partai Nasional Indonesia). Pilihan itu tidaklah kebetulan, karena Soemanang sendiri memang merupakan tokoh PNI.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Kebijakan afiliasi Harian <i>Nasional </i>kepada PNI ini kemudian membawa konsekuensi. Mengingat sejak tahun 1953 PNI telah memiliki koran nasional bernama <i>Suluh Indonesia </i>(<i>Sulindo</i>) di Jakarta, banyak sumber kemudian menyebut bahwa koran <i>Nasional </i>kemudian berubah menjadi <i>Suluh Indonesia </i>edisi Yogyakarta. Hingga akhir tahun 1960-an, koran-koran yang terbit di Indonesia memang lazim memiliki edisi nasional dan edisi daerah.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Tetapi dari arsip yang saya punya, hingga bulan September 1965, koran <i>Nasional </i>ternyata masih terbit menggunakan identitas aslinya. Artinya, koran <i>Nasional </i>tidak berganti nama menjadi <i>Suluh Indonesia </i>edisi Yogyakarta sebagaimana yang disebut oleh banyak sumber, termasuk oleh <i>Ensiklopedia Pers Indonesia </i>yang disusun oleh Dewan Pers.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Banyak referensi digital juga menyebutkan bahwa koran <i>Suluh Indonesia </i>berganti nama menjadi <i>Suluh Marhaen </i>pada tanggal 1 Juni 1965. Perubahan itu disebut telah diikuti juga oleh <i>Suluh Indonesia </i>edisi Yogya, yang berganti nama menjadi <i>Suluh Marhaen </i>edisi Yogyakarta. Namun, dari arsip yang saya miliki, hingga tanggal 28 Juli 1965, koran <i>Suluh Indonesia </i>masih terbit menggunakan nama yang sama. Sehingga, menurut saya, informasi-informasi mengenai perubahan-perubahan ini perlu diluruskan atau diperiksa kembali.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya menduga, koran <i>Nasional </i>hanya pernah berganti nama menjadi <i>Suluh Marhaen </i>edisi Yogyakarta saja, namun tidak pernah ganti nama menjadi <i>Suluh Indonesia </i>edisi Yogyakarta sebagaimana yang disebut oleh banyak sumber. Perubahan nama Harian <i>Nasional </i>menjadi <i>Suluh Marhaen </i>edisi Yogyakarta itu terjadi pada tahun 1966, seiring terbitnya peraturan-peraturan baru mengenai media massa pasca-tragedi 1965.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Koran <i>Nasional </i>sendiri memiliki catatan menarik terkait peristiwa tragis tersebut. Ketika peristiwa G-30-S meletus, koran <i>Nasional </i>diperintahkan untuk memuat pengumuman pembentukan dan susunan Dewan Revolusi. Namun, pemimpin redaksi dan seluruh stafnya menolak perintah tersebut. Akibatnya, kantor mereka di Jalan Tanjung 21, Yogyakarta, digeruduk oleh massa pro-komunis. Menghadapi tekanan tersebut, awak koran <i>Nasional </i>memilih untuk tidak terbit.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Peralihan dari rezim Demokrasi Terpimpin ke rezim Orde Baru ikut mempengaruhi nasib koran <i>Nasional </i>yang telah berganti nama menjadi <i>Suluh Marhaen</i>. Seiring tersingkirnya Presiden Soekarno dari kursi kekuasaannya, PNI, yang identik dengan Soekarno, juga ikut terkena imbasnya. Seluruh koran yang berafiliasi kepada PNI mengalami kesulitan, tak terkecuali <i>Suluh Marhaen</i>. Selain menghadapi tekanan dari pihak penguasa baru, seiring surutnya popularitas Bung Karno, koran Suluh Marhaen juga semakin ditinggalkan pembacanya. Jadilah kesulitan-kesulitan yang dialami menjadi berlipat-lipat.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Untungnya, melalui SK No. 01/MENPEN/1969, Departemen Penerangan kemudian mengeluarkan ketentuan yang menghapus kewajiban suratkabar berafiliasi dengan partai politik. Kebijakan itu segera digunakan oleh <i>Suluh Marhaen </i>edisi Yogyakarta untuk kembali berganti nama. Semula, mereka ingin kembali menggunakan nama “<i>Nasional</i>”. Namun, karena nama tersebut sudah terlanjur digunakan oleh sebuah koran yang terbit di Ambon, mereka kemudian menyiasatinya dengan menyelipkan kata “<i>Berita</i>” di depannya, sehingga menjadi “<i>Berita Nasional</i>”.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Jadi, perubahan nama dari koran <i>Nasional </i>menjadi <i>Suluh Marhaen </i>edisi Yogyakarta hanya berlangsung antara medio 1966 hingga 1969 saja. Sejak tahun 1969 hingga 1991, mereka terbit dengan nama <i>Berita Nasional</i>. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Kurang lebih setahun sejak <i>Berita Nasional </i>melakukan kerjasama dengan KKG, tepat pada Hari Pahlawan, 10 November 1991, koran itu kembali berganti nama menjadi “<i>Bernas</i>”. Nama <i>Bernas </i>ini punya dua makna. Pertama, <i>Bernas </i>bisa diartikan sebagai akronim dari “Berita Nasional”. Dan kedua, dalam bahasa Jawa, “<i>bernas</i>” sendiri berarti “<i>mentes</i>”, alias padat berisi. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ternyata, perubahan nama dari <i>Berita Nasional </i>menjadi <i>Bernas </i>pada 1991 itu bukan menjadi perubahan nama terakhir kalinya. Sesudahnya, seiring pergantian manajemen, koran ini kembali berganti nama sebanyak dua kali. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Pada tanggal 29 Agustus 2004, seiring masuknya manajemen baru, koran ini berganti nama menjadi <i>Bernas Jogja</i>. Penerbitnya, yang semula PT Bernas, berubah menjadi PT Media Bernas Jogja. Semenjak berubah nama menjadi <i>Bernas Jogja</i>, sejak itu pula <i>Bernas </i>yang semula terbit 9 kolom mengubah penampilannya menjadi koran berukuran 7 kolom.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Perubahan terakhir koran cetak ini terjadi pada 10 Juli 2015. Lagi-lagi di bawah pemilik dan manajemen baru, koran ini kembali berganti nama menjadi <i>Harian Bernas</i>. Dengan membuang embel-embel “Jogja”, koran itu, menurut klaim para pengasuhnya, ingin menghilangkan kesan sebagai koran daerah. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sayangnya, kurang dari tiga tahun sesudahnya, <i>Harian Bernas </i>harus berpamitan dari panggung media cetak. Pada bulan Februari 2018, manajemen koran tersebut mengumumkan bahwa <i>Harian Bernas </i>menghentikan edisi cetaknya terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018. Sesudahnya, mereka hanya akan hadir dalam bentuk media daring.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Hingga saat ini, <i>Bernas </i>barangkali adalah koran yang paling sering berganti nama. Sejak 1946 hingga 2018, koran ini tak kurang telah ganti nama sebanyak enam kali, mulai dari <i>Nasional</i>, <i>Suluh Marhaen</i>, <i>Berita Nasional</i>, <i>Bernas</i>, <i>Bernas Jogja</i>, hingga <i>Harian Bernas</i>. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saat koran ini pamitan, sayang sekali saya tak sempat mendokumentasikannya. Tujuh tahun terakhir memang ada banyak hal yang terjadi di Jakarta yang telah menjauhkan saya dari Yogya. Aih... </span><a class="x1i10hfl xjbqb8w x6umtig x1b1mbwd xaqea5y xav7gou x9f619 x1ypdohk xt0psk2 xe8uvvx xdj266r x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r xexx8yu x4uap5 x18d9i69 xkhd6sd x16tdsg8 x1hl2dhg xggy1nq x1a2a7pz xt0b8zv x1qq9wsj xo1l8bm" href="https://www.facebook.com/hashtag/akudanmedia?__eep__=6&__cft__[0]=AZVGx0Hom-NuZC-K6d1FReEHra2yfeOacC0MMfMpDi0f7Ats14xlkjru4oHmlICy2wY7luf6qfKhnp7_bbTZAuFkQE1DquZedJJLEhYbnR27N1aDqBUpGtCo43gzdUCCpgojspjknSM35a152HCmUA1HCXUd_TxS6VC0RE9Q9NuFBg&__tn__=*NK-R" role="link" style="-webkit-tap-highlight-color: transparent; background-color: transparent; border-color: initial; border-style: initial; border-width: 0px; box-sizing: border-box; cursor: pointer; display: inline; list-style: none; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: inherit; text-decoration-line: none; touch-action: manipulation;" tabindex="0"><span style="font-family: georgia;">#AkuDanMedia</span></a></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><i><span style="font-family: georgia;">5 Agustus 2022</span></i></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-76829253112134591772023-03-10T19:07:00.004+07:002023-03-10T19:07:21.898+07:00 TEDAK SITEN<p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgHd0WhHd9oLyoD2CexhMkgnR7PTdkU8PJDZHTwFfLRMCgueLl7bdh9Wmqc6dveFehoS1Vgui7umG2ByJu8Ox53UNR7cIokVjwuBZyzcw4ewCecNTzoHh_ty8DLDvImTRe1sn-HZOLupO-lTyTJiWYt9Td6IXn0aoALksNUhmD1Rnjv9yr1_NV6pw0AA/s2048/Nalar%20Anin.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="2048" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgHd0WhHd9oLyoD2CexhMkgnR7PTdkU8PJDZHTwFfLRMCgueLl7bdh9Wmqc6dveFehoS1Vgui7umG2ByJu8Ox53UNR7cIokVjwuBZyzcw4ewCecNTzoHh_ty8DLDvImTRe1sn-HZOLupO-lTyTJiWYt9Td6IXn0aoALksNUhmD1Rnjv9yr1_NV6pw0AA/w400-h225/Nalar%20Anin.jpg" width="400" /></a></div><br /><span style="font-family: georgia;"><br /></span><p></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;">Oleh <b>Tarli Nugroho</b></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;">Dulu nenek sering bercerita, bahwa dalam acara selamatan Tedak Siten, ketika saya berumur 7 atau 8 bulan, barang yang saya ambil adalah kertas dengan pulpen. Saya tidak mengambil cincin, uang, cermin, kapas, serta benda-benda lainnya yang disediakan untuk dipilih.</span></span></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Tedak Siten adalah upacara saat anak pertama kali diperkenankan menginjak tanah. Di tengah masyarakat desa yang masih memegang adat, anak memang baru diperkenankan untuk menapakan kakinya di atas tanah <a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a>sesudah memasuki usia tertentu, ketika kakinya sudah cukup kuat untuk berdiri dan mulai belajar jalan.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Momen tersebut dianggap penting, sehingga dalam masyarakat Sunda dan Jawa momen itu dirayakan dengan sebuah upacara khusus, yang disebut Tedak Siten. Di desa saya, karena dodol merupakan menu utama dalam upacara, bahkan sebelum Si Anak ditetahkan ke atas tanah kakinya harus diinjakkan di atas dodol terlebih dahulu, upacara ini kemudian sering juga disebut sebagai “ndodol”. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Salah satu fragmen penting dalam upacara Tedak Siten ada kaitannya dengan prediksi masa depan anak. Pada fragmen ini, bayi yang akan ditetahkan kakinya akan dihadapkan kepada sejumlah barang untuk dipilih, di mana tiap-tiap barang dianggap mewakili simbol pekerjaan atau profesi tertentu. Secara tradisional, barang-barang yang disajikan biasanya adalah uang, cincin, alat tulis, cermin, padi dan kapas.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Di desa saya, barang-barang itu diikat/digantungkan dengan sejumlah hiasan kertas pada batang-batang kayu dari bambu yang ditancapkan pada sebutir kelapa hijau. Dalam kepercayaan masyarakat, konon jika anak mengambil cincin atau uang, maka anak tersebut di masa depan diperkirakan akan hidup bergelimang harta dan kemungkinan besar berprofesi sebagai pedagang. Jika yang diambilnya adalah padi atau kapas, anak itu diperkirakan akan jadi petani. Atau, jika yang diambil adalah buku, kertas, atau pensil, si anak dipercaya akan menjadi orang terpelajar atau menjadi priyayi.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya tidak tahu apakah prediksi saat upacara Tedak Siten memang benar-benar akurat, atau ini hanyalah kebetulan belaka. Yang jelas, sejak kecil—terutama sejak pertama kali bisa membaca—hidup saya memang tak pernah jauh dari buku. Pekerjaan saya tiap hari juga tidak pernah jauh-jauh dari buku.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Anak-anak saya, sayangnya tidak ada satupun yang pernah melewati upacara Tedak Siten. Mereka semua dibesarkan secara urban. Pilihan itu lahir bukan karena saya menolak tradisi, tetapi lebih karena saya melihat bahwa semua upacara itu ribet dan tidak praktis. Persis di situ, belakangan, sesudah dipikirkan kembali, kadang saya jadi merasa bersalah.</span></div><div dir="auto"><i style="font-family: georgia;"><br /></i></div><div dir="auto"><i style="font-family: georgia;">16 Agustus 2022</i></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-21534472421016953632023-03-10T19:01:00.005+07:002023-03-10T19:02:59.850+07:00 DUA TIKUNGAN WAJAH KEPOLISIAN<p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhwcnEe1wZQhWb2S5OSgQZB_QMNBrvUEt73o_7i0fr26y0DmQfmXzgSd54xyjo3UmzW65tbToXUx5m3oFU7x9Tov8ErYpUfcL3YO23kaMRFPIKxr_8eaoJWZv4S6reWRzqvhGDMkEg6oQuymUhir6E4sARS2dVvmbzRoL8rbEH3Y94GBAKjZEcYoEh3vw/s2048/TN%20Ilus.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2048" data-original-width="1263" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhwcnEe1wZQhWb2S5OSgQZB_QMNBrvUEt73o_7i0fr26y0DmQfmXzgSd54xyjo3UmzW65tbToXUx5m3oFU7x9Tov8ErYpUfcL3YO23kaMRFPIKxr_8eaoJWZv4S6reWRzqvhGDMkEg6oQuymUhir6E4sARS2dVvmbzRoL8rbEH3Y94GBAKjZEcYoEh3vw/w246-h400/TN%20Ilus.jpg" width="246" /></a></div><br /><span style="font-family: georgia;"><br /></span><p></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;">O</span></span><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;">leh </span><b style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;">Tarli Nugroho</b></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;">Secara global, ada dua momentum yang telah mendorong institusi kepolisian di seluruh dunia terperosok menjadi lembaga kuasi-militer berwajah otoriter. </span></span></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Pertama, peristiwa 9/11 tahun 2001. Peristiwa tersebut memang telah mengubah wajah politik global selama dua dekade terakhir. Tak lama setelah peristiwa tersebut, pada 20 September 2001, Presiden AS George W. Bush, Jr. mendeklarasikan “perang terhadap teror” (war on terror). Bush telah menjadikan <a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a>war on terror sebagai baju bagi berbagai kebijakan luar negeri AS. Dan AS tidak melakukannya sendirian, melainkan melibatkan semua sekutunya di dunia. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Kebijakan war on terror yang dikampanyekan AS ini telah melahirkan kerak yang tidak mudah dibersihkan berupa terseretnya lembaga kepolisian di seluruh dunia menjadi kuasi-militer secara serentak. Dengan dalih war on terror dan preemptive strike, aparat kepolisian kemudian dipersenjatai layaknya militer serta diperkenankan menerabas batas-batas privasi warga negara yang seharusnya mereka lindungi. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Semua orang yang diduga sebagai teroris, termasuk keluarga, serta orang-orang yang pernah kontak dengannya, tanpa kecuali menjadi obyek pengawasan polisi. Dalih pemberantasan terorisme telah menjadi tiket bagi lembaga kepolisian untuk bertindak sewenang-wenang terhadap hak-hak sipil.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Di Indonesia, ajakan Bush untuk memerangi terorisme ini telah disambut oleh pemerintah dengan pembentukan sejumlah lembaga baru kuasi-militer, seperti BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), serta Densus Anti Teror 88. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Dan momen kedua yang telah menyeret lembaga kepolisian ke jalan otoritarianisme adalah pandemi Covid-19. Kebijakan pembatasan, karantina, juga penguncian (lockdown) selama pandemi berlangsung, telah dimanfaatkan oleh rezim-rezim non-demokratis untuk melakukan pembatasan kebebasan sipil. Dengan menggunakan tangan polisi, rezim-rezim non-demokratis telah menarik mundur demokrasi di seluruh dunia.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Menurut data The Economist Intelligence Unit (EIU), pandemi Covid-19 memang telah membuat Indeks Demokrasi secara global merosot. Menurut IEU, sepanjang tahun 2020, yang merupakan tahun pertama terjadinya pandemi, skor rata-rata Indeks Demokrasi secara global turun menjadi 5,37 (dalam skala 0-10), yang merupakan skor terburuk sejak indeks tersebut pertama kali disusun pada 2006. Dari 167 negara yang disurvei, 116 di antaranya (hampir 70 persen) mengalami penurunan skor. Hanya 38 negara (22,6 persen) yang skornya mengalami perbaikan, sementara 13 lainnya skornya stagnan. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Menurut parameter yang disusun IEU, hampir separuh dari populasi dunia (49,4 persen) hidup di tengah sistem demokrasi, dan lebih dari sepertiga populasi hidup di bawah pemerintahan otoriter. Sesuai dengan indikator kemerosotan skor demokrasi secara global, jumlah negara yang masuk kategori rezim otoriter sepanjang tahun kemarin memang mengalami peningkatan, dari semula 54 (2019) menjadi 57.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Karena pandemi juga diperlakukan sebagai isu keamanan, kecenderungan-kecenderungan tadi telah menempatkan lembaga kepolisian pada posisi dengan kekuasaan sangat besar dalam mengatur warga sipil.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Butuh waktu untuk bisa membersihkan dua kerak sejarah tersebut.</span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>Jakarta, 24 Agustus 2022</i></span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-2331429752727023252023-03-10T18:51:00.004+07:002023-03-10T18:52:22.677+07:00 TRAGEDI NOL BUKU<p><span style="color: #050505; font-family: georgia;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="color: #050505; font-family: georgia;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6dqAOatL0hOfxNxfepVi3fdfB_0GT9JmRuOTQaEOR0Qo-VNXw4un75_jgnr9V2m8jBwDnqB0C-j_p2TgZuhT4YJWjBy7mOKVqux37ppKvtRFECJ7kFLKfEFHUB2T_HcZSedkb5sjgdQ4iE-1i2i95DkvglcacR9V6oMtDERiJtO_Nc6yKXHj2hz-N3A/s2048/Aksara%20dan%20Buku.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1536" data-original-width="2048" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6dqAOatL0hOfxNxfepVi3fdfB_0GT9JmRuOTQaEOR0Qo-VNXw4un75_jgnr9V2m8jBwDnqB0C-j_p2TgZuhT4YJWjBy7mOKVqux37ppKvtRFECJ7kFLKfEFHUB2T_HcZSedkb5sjgdQ4iE-1i2i95DkvglcacR9V6oMtDERiJtO_Nc6yKXHj2hz-N3A/w400-h300/Aksara%20dan%20Buku.jpg" width="400" /></a></span></div><span style="color: #050505; font-family: georgia;"><br /><span style="background-color: white; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span><p></p><p><span style="color: #050505; font-family: georgia;"><span style="background-color: white; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></p><p><span style="color: #050505; font-family: georgia;"><span style="background-color: white; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></p><p><span style="color: #050505; font-family: georgia;"><span style="background-color: white; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></p><p><span style="color: #050505; font-family: georgia;"><span style="background-color: white; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></p><p><span style="color: #050505; font-family: georgia;"><span style="background-color: white; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></p><p><span style="color: #050505; font-family: georgia;"><span style="background-color: white; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></p><p><span style="color: #050505; font-family: georgia;"><span style="background-color: white; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></p><p><span style="color: #050505; font-family: georgia;"><span style="background-color: white; white-space: pre-wrap;"><br /></span></span></p><p><span style="color: #050505; font-family: georgia;"><span style="background-color: white; white-space: pre-wrap;">Oleh <b>Tarli Nugroho</b></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;">Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, Aksara, anak saya, kian menunjukkan minatnya dalam membaca karya-karya sastra. Ia kerap bertanya mengenai buku sastra apa yang harus dibaca oleh anak-anak sepantarannya. Saya tentu saja senang melayani pertanyaan semacam itu.</span></span></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Buku apapun, saya bilang, sebenarnya pantas untuk dibaca. Hanya saja, pada usianya, karya-karya yang tidak terlalu rumit dan panjang tentunya akan lebih enak dibaca dan lebih mudah dicerna. Saya kemudian <a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a>merekomendasikan sejumlah buku kumpulan cerpen sebagai awalan, sebelum ia mulai terlibat dengan novel-novel panjang. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saran itu diperhatikannya. Ia kemudian mulai membaca sendiri—atas dasar keinginannya, dan bukan atas dasar tugas sebagaimana yang sebelumnya saya berikan ketika ia masih sekolah dasar—sejumlah buku kumpulan cerpen, mulai dari antologi cerpen Amerika yang disusun Anton Kurnia, sebuah buku yang saya baca saat kuliah dulu, hingga majalah-majalah cerita pendek yang terbit pada dekade 1980-an hingga pertengahan 1990-an.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Selanjutnya, saya tidak tahu lagi apa yang dibacanya. Yang jelas, buku-buku yang dipegangnya tiap minggu dan hari terus-menerus berubah. Dan saya senang menyaksikan hal itu.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Membaca sastra, menurut saya, punya arti penting bagi tradisi literasi secara umum, yaitu tradisi baca-tulis dan apresiasi-teks, sesuatu yang menjadi urat nadi dunia keilmuan. Bagi anak-anak, karya sastra merupakan medium penting untuk menanamkan “ketagihan membaca”, di mana pada akhirnya mereka akan terangsang untuk membaca berbagai jenis karangan lainnya. Jika tradisi membaca sastra ini tak berkembang, maka akan putus jugalah semua rantai bacaan lainnya. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Kalau kita hari ini, misalnya, sering mengeluhkan hanya ada sedikit sekali sarjana di perguruan tinggi yang memiliki karya, berbeda dengan para sarjana di zaman lampau, maka kita bisa melacak sebab-sebabnya pada putusnya tradisi membaca sastra sejak usia dini tadi.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Selain itu, sastra juga punya hubungan erat dengan keterampilan berbahasa. Sama seperti halnya matematika, bahasa merupakan salah satu alat penalaran penting. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan dunia penalaran secara umum kita jika keterampilan berbahasa (dan juga matematika) anak-anak kita sangat rendah.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Lebih dari setengah abad lalu, tepatnya pada 1997, penyair Taufiq Ismail pernah merilis hasil penelitian mengenai jumlah buku sastra yang dibaca oleh siswa-siswa SMA di sejumlah negara. Dari survei terhadap lulusan SMA di 13 negara tersebut, ditemukan jika siswa-siswa SMA di Amerika Serikat membaca buku paling banyak jika dibandingkan teman-teman sebayanya di negara lain. Selama tiga tahun bersekolah, mereka rata-rata menyelesaikan 32 judul buku.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sesudah Amerika, siswa SMA di Belanda menamatkan 30 judul buku, disusul oleh Perancis (20-30 judul buku), Jerman (22 judul buku), Jepang (15 judul buku), Swiss (15 judul buku), Kanada (13 judul buku), Rusia (12 judul buku), Brunei Darussalam (7 judul buku), Malaysia (6 judul buku), Singapura (6 judul buku), dan Thailand (5 judul buku). </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Yang menarik adalah, dari survei tersebut siswa-siswa SMA di Indonesia ternyata tidak harus menamatkan satu judul bukupun untuk bisa lulus sekolah. Jadi, selama tiga tahun bersekolah, siswa-siswa kita hanya membaca nol judul!</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Fakta tersebut tentu saja memprihatinkan. Sebab, jika kita bandingkan dengan pendidikan di masa kolonial, kualitas literasi pendidikan nasional kita bisa dikatakan lebih buruk. Sebagai perbandingan, siswa-siswa AMS (Algemene Middelbare School, kini sederajat dengan SMA) di masa Hindia Belanda bahkan masih membaca 25 judul buku sastra dalam tiga tahun. Artinya, pada zaman kolonial dulu kemampuan membaca siswa-siswa kita tak ada bedanya dengan kemampuan rekan-rekannya di Perancis, Belanda, Jepang, Rusia, atau Swiss.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Menurut Taufiq Ismail, bukan hanya dalam tradisi membaca kita tidak kalah dibandingkan dengan Eropa, tapi juga dalam tradisi menulis. Sebelum tahun 1950-an, siswa-siswa SMA kita masih diwajibkan menulis satu halaman karangan tiap minggu. Sehingga, dalam setahun mereka minimal menulis 36 karangan, atau menjadi 108 karangan selama tiga tahun bersekolah. Itu jumlah yang cukup banyak.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Celakanya, sesudah kita merdeka, saat kita sebenarnya punya kesempatan untuk membangun sistem pendidikan yang ideal, semua tradisi literasi itu justru runtuh. Menurut survei UNESCO, indeks tingkat membaca masyarakat kita hanya 0,001. Artinya, hanya ada satu orang dari 1.000 penduduk yang membaca buku secara serius. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Tragedi nol buku ini, yang telah membuat anak-anak kita tak harus menyelesaikan bacaan apapun saat mereka meninggalkan bangku sekolah menengah, seharusnya merisaukan kita. Itu sebabnya, saya senang sekali kalau melihat anak-anak asyik duduk terpukau oleh bacaannya.</span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>21 Februari 2023</i></span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-10334620891864379052023-03-10T18:46:00.008+07:002023-03-10T18:48:17.083+07:00MENYOAL KEKUASAAN PARA BIROKRAT/TEKNOKRAT<p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdKAN7T7Nqm7TcRM61TSaATDcT9Bl_1k6UY2g6YfcmRngBxadDz0StlMMzz3gjaNGjfpp0ciDiJCH-n0lq5MKZAvo79g3FFR_vwEIxxxEzXidBs19IMD167okfQWlEo0Kpk2HYe3mbq4eLx87CzRr1xlxFkuuXqzUtlY6GF_IjxxCBZKg6B9Tt2pL-yQ/s2048/Menteri%20Keuangan.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1076" data-original-width="2048" height="210" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdKAN7T7Nqm7TcRM61TSaATDcT9Bl_1k6UY2g6YfcmRngBxadDz0StlMMzz3gjaNGjfpp0ciDiJCH-n0lq5MKZAvo79g3FFR_vwEIxxxEzXidBs19IMD167okfQWlEo0Kpk2HYe3mbq4eLx87CzRr1xlxFkuuXqzUtlY6GF_IjxxCBZKg6B9Tt2pL-yQ/w400-h210/Menteri%20Keuangan.jpg" width="400" /></a></div><br /><span style="font-family: georgia;"><br /></span><p></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;">Oleh </span><b style="background-color: white; color: #050505; font-family: georgia; white-space: pre-wrap;">Tarli Nugroho</b></p><p><span style="font-family: georgia;"><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;">Ramai-ramai berita mengenai harta kekayaan dan kepemilikan moge oleh Menteri Keuangan dan jajarannya, di luar soal kepatutan dan asal-usul perolehannya, kita mungkin akan terkejut jika mengulik betapa besarnya kekuasaan yang dikelola oleh para birokrat/teknokrat pemerintah itu. Kita sering membayangkan bahwa birokrasi itu seperti sekrup, atau lembaga yang sekadar menerima perintah, </span><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;"><a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a></span><span style="background-color: white; color: #050505; white-space: pre-wrap;">sebuah imajinasi inferior yang sebagian besarnya telah terbukti keliru. </span></span></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Birokrasi, di dalam kehidupan politik dan pemerintahan sehari-hari, sangatlah superior. Peran sekretaris/sekretaris jenderal, di berbagai institusi pemerintahan, mulai dari tingkat desa hingga kementerian, misalnya, meski di atas kertas terlihat sebagai orang nomor sekian, namun dalam praktiknya bisa lebih berkuasa daripada pejabat publik yang dipilih langsung oleh masyarakat.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Masalahnya, meski di satu sisi mengelola kekuasaan yang sangat besar, namun di tengah bobroknya sistem hukum dan pengawasan, praktis kontrol yang bisa diberikan publik kepada mereka sangatlah minim. Berbeda dengan kontrol terhadap politisi, publik tidak bisa memberikan kontrol—apalagi ‘punishment’—apa-apa kepada birokrat/teknokrat yang menyelewengkan kekuasaannya, kecuali untuk soal-soal etis yang bersifat minor, sebagaimana kasus yang kini mencuat. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Lemahnya kontrol publik juga bisa kita lihat dari lemahnya sensitivitas masyarakat sipil terhadap isu-isu reformasi birokrasi. Kita, misalnya, langsung tanggap terhadap agenda perpanjangan masa jabatan presiden, atau isu tiga periode, namun tidak banyak mempersoalkan sejumlah teknokrat/birokrat yang sudah bercokol di kursi kekuasaannya untuk jangka waktu yang sangat lama. Sehingga muncul seloroh: rezim boleh datang silih berganti, namun para birokrat tadi bisa terus-menerus menggenggam kursi kekuasaannya tanpa rotasi. Padahal, baik politisi yang dipilih (elected representatives) maupun birokrat yang tidak dipilih langsung oleh publik (non-elected officials), keduanya sama-sama butuh dikontrol oleh logika sistem yang sama. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Selama ini isu-isu demokrasi yang kita diskusikan masih saja bertolak dari satu sudut pandang, yaitu bagaimana menjaga independensi birokrasi untuk mencegah terjadinya penyimpangan politik. Artinya, kebanyakan ilmuwan politik hanya melihat bahwa birokrasi adalah landasan bagi demokrasi—atau dalam bahasa lain sebagai penghalang bagi kembalinya otoritarianisme—dan tidak pernah dilihat sebaliknya. Memang benar, demokrasi yang sehat mensyaratkan independensi birokrasi. Namun, birokrasi yang terlalu mandiri juga jelas mendatangkan persoalan bagi demokrasi.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Jadi, menyimak kehangatan publik yang kini tengah ramai mempersoalkan kekayaan para birokrat di Kementerian Keuangan, kita mestinya mulai menyadari bahwa meski musim terus berganti dan iklim politik telah berubah, mamun sejarah kementerian ini hampir sepenuhnya bersifat monolitik. Sebagai contoh, dari 32 tahun kekuasaan Orde Baru, selama 30 tahun di antaranya jabatan bendahara negara Republik ini selalu dipegang oleh dosen-dosen dan alumni kampus kuning. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Bayangkan, selama tiga puluh tahun jabatan itu hanya berputar-putar di tangan empat orang dalam simpul satu fakultas dari sebuah perguruan tinggi saja. Kenyataan ini mestinya bisa menyorongkan sebuah imajinasi politik, bahwa yang bisa menimbun kekuasaan di negeri ini bukan hanya tentara/polisi dan politisi, tapi juga para teknokrat!</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Bedanya, kalau tentara/polisi dan politisi sudah biasa dikontrol publik, tidak demikian halnya dengan para teknokrat. Satu kaki mereka yang masih berdiri di dunia universiter, kadang membuat banyak orang selalu melihat mereka sebagai orang-orang alim dan suci. Padahal, sebagai zoon politicon, mereka punya kecenderungan yang sama dengan para politisi lainnya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Oya, mungkin ada yang akan mengajukan keberatan, bahwa itu kan gambaran di masa Orde Baru. Betulkah?</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Jika Reformasi tahun 1998 dianggap sebagai milestone, maka hanya tujuh tahun pertama (hingga 2005) saja bangsa ini berani punya imajinasi berbeda dengan memilih para teknokrat non-kampus kuning untuk menduduki jabatan menteri keuangan. Selebihnya, artinya kurang lebih 18 tahun terakhir—dari 25 tahun usia Reformasi, jabatan itu tetap “dikembalikan” untuk dipegang oleh orang-orang dari kampus kuning. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Itupun, ini penting untuk dicatat, dari 18 tahun tersebut, 11 tahun di antaranya dipegang oleh satu orang saja, yaitu Sri Mulyani. Dalam catatan saya, sepanjang sejarah Republik ini, Sri Mulyani adalah menteri keuangan dengan periode dan durasi kekuasaan paling panjang. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Dari lama masa jabatan, Ali Wardhana memang tercatat berkuasa paling lama, yaitu 15 tahun. Namun, ia menjabat hanya di satu rezim saja selama 3 periode kabinet. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sementara, jika menjabat hingga Oktober 2024 nanti, dari sisi durasi Sri Mulyani memang hanya menduduki kursi menteri keuangan selama kurang lebih 12 tahun 8 bulan saja. Namun, dari sisi periode kekuasaan, ia menduduki jabatan tersebut di dua rezim pemerintahan yang berbeda, yaitu rezim Presiden SBY dan Presiden Joko Widodo, dan di empat kabinet (mulai dari Kabinet Indonesia Bersatu, Kabinet Indonesia Bersatu II, Kabinet Kerja, hingga Kabinet Indonesia Maju).</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Apa artinya?</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Mungkin ada dua. Pertama, hanya Sri Mulyani adalah orang yang paling mumpuni untuk menduduki jabatan tersebut. Tidak ada orang Indonesia lainnya yang pantas menduduki jabatan itu. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Atau, kedua, imajinasi para pemimpin politik kita di sektor keuangan memang sangat sempit, sehingga mereka tidak mampu melihat kebutuhan lain di luar sosok Sri Mulyani.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Oya, sebelum Sri Mulyani, di masa lalu memang pernah ada dua menteri keuangan yang bertahan dalam empat kabinet, yaitu Mr. A.A. Maramis dan Soemarno. Namun, masa jabatan total mereka hanya kurang dari tiga tahun, dan mereka menjabat di era demokrasi parlementer yang bisa jatuh-bangun hanya dalam hitungan bulan.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Jadi, berhadapan dengan isu Rubicon dan Harley-Davidson, kita sebenarnya sedang melihat betapa ringkihnya publik dalam mengontrol kekuasaan para birokrat/teknokrat di pemerintahan.</span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>Jakarta, 27 Februari 2023</i></span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-72698086922011499972023-03-06T10:41:00.004+07:002023-03-06T10:42:29.440+07:00SIONIL JOSÉ DAN TOKO BUKUNYA<p><span style="font-family: georgia;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: georgia;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi33Q0BBwp7t0e4rC7TuWweVRhTGHcGV69FO4WdA62JkmDiU6qkquwnXCgzbAoOWagYYasddUpgBr2D3hhvvnatq6xS6cRaLY0QIImYxVvfSH-SzZjXosR-JkPNS5iJvHQFmSfyfJD6fy8xRw1p5hjfZgMUeDDj--7xFHSHIHe-dGlYIsv-2eJ2GWLchg/s1992/Sionil%2001.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1121" data-original-width="1992" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi33Q0BBwp7t0e4rC7TuWweVRhTGHcGV69FO4WdA62JkmDiU6qkquwnXCgzbAoOWagYYasddUpgBr2D3hhvvnatq6xS6cRaLY0QIImYxVvfSH-SzZjXosR-JkPNS5iJvHQFmSfyfJD6fy8xRw1p5hjfZgMUeDDj--7xFHSHIHe-dGlYIsv-2eJ2GWLchg/w400-h225/Sionil%2001.jpg" width="400" /></a></span></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><p></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xdj266r x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Oleh </span><b style="font-family: georgia;">Tarli Nugroho</b></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Solidaridad adalah toko buku kecil yang didirikan dan dikelola oleh Francisco Sionil José, seorang sastrawan ternama Filipina. Sionil juga mestinya bukanlah nama asing bagi kita. Beberapa karyanya sejak lama telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti “Tokoh-tokoh Munafik” (1981)—yang diterjemahkan oleh Hartojo Andangdjaja, “Po-on” (1987), atau “Lelaki di Simpang Jalan” (1988). </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Di <a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a>negerinya, lelaki bertubuh subur itu sangat dihormati. Namanya selalu disebut setarikan nafas dengan Jose Rizal, Nick Joaquin, Paz Marquez, ataupun Gilda Cordero-Fernando dan rekan-rekan segenerasinya yang juga menjulang. Sebagai penulis, reputasi penerima Ramon Magsaysay tahun 1980 ini mendunia. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 20 bahasa. Sebagai catatan, selain menulis novel, cerpen, dan esai, Sionil juga menerjemahkan banyak sekali buku.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sebelum mengunjungi toko buku ini, saya telah mendengar banyak cerita menarik mengenai Solidaridad Book Shop. Banyak tokoh dari berbagai negara, mulai dari pemimpin politik, pejabat tinggi pemerintah, dan tentu saja para penulis terkemuka, disebut pernah mengunjungi toko ini. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Suatu pagi, misalnya, Sionil baru saja membuka tokonya dan masih mengenakan celana pendek, ketika sebuah limousine Mercedes-Benz tiba-tiba berhenti di depan tokonya. Dari dalam kendaraan itu segera keluar Adam Malik. Saat itu ia masih menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia. Karena kiprah internasionalnya yang menonjol, Adam Malik cukup dikenal di luar negeri, termasuk di Filipina. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sionil mengaku sangat tersanjung oleh kunjungan tersebut. Apalagi Adam Malik, yang belakangan naik menjadi Wakil Presiden Indonesia, mengatakan telah lama mendengar tentang toko buku miliknya, sehingga kemudian memutuskan untuk mampir. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Toko buku kecil ini juga menjadi langganan Ninoy Aquino, pejuang demokrasi Filipina. Bahkan, ketika Ninoy dipenjara oleh rezim Marcos, ujar Sionil, dia tak pernah berhenti mengumpulkan bacaan untuknya. Buku-buku itu akan diangkut ke penjara oleh Cory, istri Ninoy, untuk kemudian dipilihnya. Buku-buku yang tak dipilih akan dikembalikan lagi ke Solidaridad. Sionil berani mengklaim bahwa setengah dari koleksi perpustakaan Aquino berasal dari toko bukunya. </span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6p674HeCt7g2uAFq4ss9sCTnbEThLC6Bxs4C7B-KHBIioQyysqSZIt-p3aWNl5ubY2zkhpXM7U2ZJk9UhgIP0llfMQO4-fODVRpZe1673dFkeWJYVmvHRdF7PP2nNozLqA6BLVfmjcUNs4Ke_4Mbd5QfRu5dwoGxczPFMM5DhniyIHKIBC-EeRqlfHw/s1992/Sionil%2002.jpg" imageanchor="1" style="font-family: georgia; margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center; white-space: normal;"><img border="0" data-original-height="1121" data-original-width="1992" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6p674HeCt7g2uAFq4ss9sCTnbEThLC6Bxs4C7B-KHBIioQyysqSZIt-p3aWNl5ubY2zkhpXM7U2ZJk9UhgIP0llfMQO4-fODVRpZe1673dFkeWJYVmvHRdF7PP2nNozLqA6BLVfmjcUNs4Ke_4Mbd5QfRu5dwoGxczPFMM5DhniyIHKIBC-EeRqlfHw/w400-h225/Sionil%2002.jpg" width="400" /></a></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Meskipun pernah dikunjungi oleh tokoh-tokoh terkenal, termasuk oleh tiga orang pemenang Nobel Sastra, yaitu Wole Soyinka, Gunter Grass, dan Mario Vargas Llosa, pada kenyataannya toko buku ini telah lebih dulu dikenal orang sebelum dikunjungi oleh tokoh-tokoh tadi. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sionil sendiri pada awalnya mungkin tak pernah membayangkan semua itu. Selepas dari pekerjannya yang membosankan sebagai petugas informasi di kantor Colombo Plan di Srilanka, Sionil, yang kini berusia 96 tahun, semula hanyalah ingin memiliki kantor penerbitan saja. Dengan memiliki penerbitan, ia membayangkan dirinya bisa terus menulis sekaligus memiliki kantor. Karena tabungannya cukup besar, atas saran mertuanya ia akhirnya membeli sebuah rumah di distrik Ermita, Manila.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saran itu terbukti baik. Rumah yang terletak di Padre Faura Street, sebuah jalan yang kini terasa agak sempit itu, berada di pusat kota. Selain dikelilingi pusat perdagangan, jalan itu juga dekat dengan berbagai museum, kafe, galeri seni, dan pusat-pusat kebudayaan di Manila. Banyak yang menyebut kawasan itu mirip Montmartre di Paris, yang banyak digunakan oleh para seniman dan intelektual untuk berkumpul, mendirikan toko buku, dan menggelar pertemuan. Saya belum pernah ke Paris, tapi sepertinya setuju dengan penilaian tersebut.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Meskipun mimpinya hanyalah memiliki perusahaan penerbitan, namun karena rumah tua yang dibelinya agak terlalu besar, istrinya, Tessie, mengusulkan agar sebagian ruangan digunakan sebagai toko buku. Sionil langsung menyetujui usulan itu. Toko Buku Solidaridad pun resmi dibuka pada bulan Juni 1965. Saat itu, toko ini adalah toko buku keempat di kawasan Metro Manila. Dan Solidaridad Publishing House lahir tak lama sesudahnya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sebagai penulis, Sionil mengaku jika membuka toko buku adalah keputusan terbaik yang pernah dibuatnya. Melalui perantara tokonya, hingga kini ia jadi tetap terhubung kepada para penulis baru dan karyanya. Lebih dari itu, toko buku juga telah membuatnya terus-menerus dikelilingi buku, sebuah dunia yang sejak lama dicintainya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Di toko bukunya ini, Sionil meniupkan ruh yang tak akan ditemui di toko buku lainnya. Ia menjadikan tokonya sebagai rumah bagi karya-karya sastra Filipina, mulai dari yang klasik hingga kontemporer. Di sini, pengunjung bisa menemui karya klasik seperti “Noli Me Tangere” (1887) karangan Jose Rizal, hingga membaca “Blue Angel, White Shadow” karya Charlson Ong. Tak seorangpun yang meragukan kalau Solidaridad adalah satu-satunya toko buku di Filipina yang paling banyak menjual karya penulis Pilipino. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Melalui Solidaridad, Siolin José ingin memberi kehidupan kepada “jiwa Filipina”. Sejak muda ia memang telah dikuntit kegelisahan. Orang Filipina, dalam penilaiannya, tidak lagi membaca para penulis mereka sendiri. Ia mengecam kenyataan tersebut sebagai telah melanggengkan kolonisasi pemikiran di negaranya. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Itu sebabnya, meskipun toko buku pada dasarnya adalah sebuah bisnis, namun Sionil sepertinya mengkurasi barang dagangannya tidak sebagai pengusaha, melainkan lebih sebagai penulis. Ia, misalnya, menolak untuk menjual buku-buku yang tak disukainya, meskipun buku itu laku di pasaran. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Semua buku yang dijual di Solidaridad memang harus dibaca dan diteliti Sionil terlebih dahulu. Jadi, meskipun mungkin Anda bisa menemukan sejumlah buku tak terduga di sini, namun bisa dipastikan Anda tak akan pernah menemukan novel "Twilight" di dalamnya. Untuk menghidupi jiwa Filipina, sejak awal ia memang berprinsip hanya akan memberi orang Filipina bacaan-bacaan terpilih.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Selain berisi karya-karya sastra dari para penulis Filipina, Sionil juga menyediakan ruang yang cukup besar bagi khazanah kesusastraan dunia, terutama para penulis Asia. Karya-karya penulis Asia Tenggara, Asia Selatan, Jepang, Korea dan Cina, mudah sekali kita jumpai di sini. Dan selain buku-buku sastra, secara selektif Solidaridad juga menyediakan buku-buku politik, sejarah, psikologi, sains dan kedokteran. Barangkali itu adalah cara lain agar orang-orang kampus tetap datang ke tokonya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Tak heran, meskipun kecil, dengan misi yang diperjuangkan Sionil tadi, Solidaridad kemudian berkembang menjadi spot penting bagi para penulis dan juga dunia kepenulisan di Filipina. Apalagi, toko buku ini juga menjadi markas Philippine Center of International PEN (Poets and Playwrights, Essayists, Novelists), sebuah organisasi yang didirikan Sionil pada tahun 1957. Hingga kini, minimal sebulan sekali, para penulis, dramawan, penyair dan novelis, masih mengadakan pertemuan di Solidaridad, baik untuk berdiskusi maupun untuk meluncurkan buku.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ketika saya mengunjungi toko ini, tak bisa disangkal ini memang tempat yang menyenangkan. Karya-karya terbaru dipajang di meja yang menghadap keluar di samping kiri dan kanan pintu masuk, sehingga bisa dilihat orang-orang yang lalu lalang di trotoar jalan. Karya-karya Sionil, yang jumlahnya lebih dari 30 buku, diletakkan tak jauh dari kasir.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Banyak foto, poster, lukisan, dan kutipan terpajang di rak, atau pada dinding-dinding yang tak tertutup rak. Saya segera jatuh hati pada kutipan Cicero yang dibingkai dan digantungkan pada sebuah rak. “Sebuah ruangan tanpa buku adalah ibarat tubuh tanpa jiwa,” ujarnya. Ah, siapa yang tak menyukai kutipan itu?!</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sebagai toko buku tua, yang kini telah berusia lebih dari setengah abad, Solidaridad juga banyak didatangi para kolektor dan sarjana asing untuk mencari buku-buku antik. Menurut cerita Sionil, banyak orang asing yang datang ke tokonya dan mengaku terkejut karena akhirnya bisa menemukan sejumlah buku yang telah lama dicari.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Namun, Sionil menolak konsep tentang "buku tua". Menurutnya, buku apapun, meskipun dicetak dua ribu tahun lalu, misalnya, jika belum pernah kita baca, harus dianggap sebagai buku baru. Itu sebabnya, menurutnya, tidak pernah ada yang namanya buku baru atau buku tua. Yang ada hanyalah buku yang sudah dibaca dan belum dibaca.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sama seperti “bibliofili” lainnya, Sionil juga meyakini bahwa era perbukuan tak akan pernah bisa digantikan oleh teknologi digital. Orang boleh saja kian banyak yang berbelanja ebook, namun menurutnya toko buku konvensional akan terus ada. Sensasi memegang buku, bagaimanapun memang tak akan pernah bisa digantikan oleh gawai.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sionil memang sangat mencintai buku, sama seperti ia mencintai profesinya sebagai penulis. Pada tahun 1968, ketika ia mendapat tawaran modal besar untuk membuka cabang di tempat lain, Sionil menolaknya. Ia tidak mau urusan bisnis toko buku akan memangkas waktunya untuk menulis, dan juga tak mau jatah waktu istrinya untuk mengasuh anak-anaknya jadi tersita untuk bisnis. Jadi, tawaran menarik itu dengan halus ditampiknya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Mungkin semua cerita itulah yang telah menjadikan Solidaridad Book Shop banyak dibicarakan orang, dan kemudian bahkan dianggap sebagai “toko buku kecil terbaik di Asia”. Nyatanya, toko buku kecil itu memang punya jejak sejarah besar.</span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-16488051448055101672023-03-06T10:36:00.001+07:002023-03-06T10:37:07.648+07:00HANTU MÁRQUEZ<p><span style="font-family: georgia;"> </span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: georgia;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3GwR7V7yuRzwF5emSO5mTj6YXP4k_unz7f3w7u2w5Xfzqs9kcUN0wdJHXYOag_TpUEjjinlIswYf0UbPeg5RGI2w6LCTM4hgJE4iVcOR6m37P4o99Yfr9x7OuANuKbKcBWHW_FNKqB4tB5ATD8jQut2yH8VQlZBthlvSqPg7dEdBif1maovQow1HpOg/s688/Marquez%202.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="358" data-original-width="688" height="209" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3GwR7V7yuRzwF5emSO5mTj6YXP4k_unz7f3w7u2w5Xfzqs9kcUN0wdJHXYOag_TpUEjjinlIswYf0UbPeg5RGI2w6LCTM4hgJE4iVcOR6m37P4o99Yfr9x7OuANuKbKcBWHW_FNKqB4tB5ATD8jQut2yH8VQlZBthlvSqPg7dEdBif1maovQow1HpOg/w400-h209/Marquez%202.jpg" width="400" /></a></span></div><span style="font-family: georgia;"><br /></span><p></p><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xdj266r x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>“Sesudah membaca ‘Love in the Time of Cholera’, seorang lelaki menulis surat cinta untuk perempuan yang ditaksirnya. Isinya pendek, dan sangat Márquez. ‘Satu-satunya penyesalanku saat sekarat nanti adalah ketika aku tak pernah mencintaimu. Sungguh, aku ingin menua bersamamu.’</i></span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>Tapi surat itu tak pernah dikirimkannya. Dan perempuan itu tak pernah tahu, jika dirinya menjadi mimpi lelaki itu.</i></span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>…”</i></span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><a style="color: #385898; cursor: pointer;" tabindex="-1"></a>Saya tak kunjung menyelesaikan cerita-cerita itu, kumpulan fragmen-fragmen kecil hasil pembauran ingatan yang telah mulai saya tulis sejak zaman mahasiswa. Menulis memang adalah proses pembauran ingatan. Dan ingatan itu bisa dipungut dari mana saja. Dari buku apik, dari film yang skripnya ditulis secara bertanggung jawab, dari lelehan air hujan di luar kaca jendela kereta api, atau dari sebuah pertemuan kecil di kedai kopi dengan orang-orang yang sebelumnya tak kita kenal. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Pertemuan dengan karya-karya Márquez termasuk salah satu yang meninggalkan ingatan panjang itu. Novelnya yang pertama saya baca adalah “One Hundred Years of Solitude”. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Waktu pertama kali membaca novel itu, terus terang saya hampir frustrasi. Ini novel yang mengguncang, bertenaga, tapi sekaligus juga menjengkelkan. Sumber kejengkelannya sepele saja: kita akan direpotkan oleh nama-nama enam generasi keluarga José Arcadio Buendia yang mirip satu sama lain. Nama-nama itu akan membuat pening setelah Anda melewati seratus lima puluh halaman pertama. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Coba bayangkan, José Arcadio Buendia punya tiga anak, Aureliano Buendia, José Arcadio dan Amaranta. Aureliano Buendia punya anak, salah satunya Aureliano José. José Arcadio punya anak, namanya Arcadio. Arcadio, cucu José Arcadio Buendia, punya tiga anak, yaitu Remedios, Aureliano Segundo, dan José Arcadio Segundo. Aureliano Segundo, anak kedua Arcadio, punya tiga anak, yaitu Renata Remedios, José Arcadio, dan Amaranta Ursula. Bayangkan, semakin jauh membaca, agar tak kehilangan jejak soal posisi generasional kita harus selalu kembali ke halaman pertama yang berisi silsilah keluarga José Arcadio Buendia, karena semakin banyak nama yang muncul secara bersamaan. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Itulah karya Gabriel García Márquez yang pertama saya baca. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Sebelum membaca novel itu, saya kebetulan sedang membaca risalah-risalah mengenai Taman Siswa dan sangat terkesan oleh sebuah karangan Ki Hadjar Dewantara yang terbit pada 1938. Dalam karangan mengenai pendidikan nasional dan azas-azas Taman Siswa itu, Ki Hadjar, mungkin dengan sedikit meminjam Tagore, menulis:</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">“Hidup kita adalah kutipan dari hidup orang Barat; suara kita adalah kumandang Eropa; kita ini yang seharusnya seorang intelek tidak boleh lebih daripada sebuah tas penuh keterangan-keterangan; dalam jiwa kita ada kekosongan, hingga kita tidak sanggup untuk meresapkan apa-apa yang indah dan bernilai.”</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya adalah anak muda yang masih duduk di tahun-tahun awal kuliah dan memiliki kegairahan teramat sangat untuk mengetahui dan memahami apapun, waktu itu. Dan karangan itu berhasil mencuri kegelisahan saya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Karenanya, ketika ketemu “One Hundred Years of Solitude”, sejak halaman pertama Márquez langsung menarik perhatian karena narasinya berhasil meletupkan kembali kegelisahan yang pertama kali diprovokasi Ki Hadjar tadi. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Marquez menulis,</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">“Bertahun-tahun kemudian, ketika Kolonel Aureliano Buendia menghadapi regu tembak, ia terkenang akan sebuah sore yang jauh, tatkala ia bersama ayahnya menyaksikan es untuk pertama kali. Pada waktu itu Macondo adalah sebuah desa dengan dua puluh rumah batu, berada di tepi sungai teramat jernih yang dasarnya dihuni oleh batu-batu berwarna putih, berkilauan dan besar-besar seperti telur-telur zaman purba. Dunia seakan baru saja diciptakan sehingga segala sesuatu belum mempunyai nama, dan untuk menyebut suatu benda, orang harus langsung menunjuknya.” </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Bagi saya, waktu itu, cara Márquez membuka halaman pertama novelnya memiliki ikatan batin dengan cara Ki Hadjar merumuskan persoalan pendidikan nasional tahun 1938 itu, yang belakangan saya sebut sebagai “kekerabatan epistemik post-kolonial”.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Saya tidak ingat, apakah perkenalan dengan karya-karya Márquez mendahului perkenalan dengan karya-karya Jorge Luis Borges, atau sebaliknya. Tapi yang jelas, pada diri saya, ada tali yang mengikat dua narasi itu dengan sebuah puisi Borges.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>“Terberai di kota-kota berjauhan</i></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>sendiri dan berlaksa</i></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>kita bermain sebagai Adam</i></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>(atau Hawa)</i></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>memberi nama segala.</i></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>Di lereng panjang malam hari</i></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>di tapal batas dini hari</i></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>kita mencari (masih kuingat) kata-kata</i></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>untuk bulan, untuk maut, untuk pagi”</i></span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ketiga risalah tadi, merupakan tulisan-tulisan yang telah membentuk imajinasi awal saya mengenai “otonomi intelektual” dan “otentisitas”. Setiap orang yang merasa dirinya terpelajar harus terpanggil untuk menjadi Adam, atau Hawa, dengan berusaha “memberi nama segala”, dan tak gampang terikat kepada nama-nama yang telah terberi.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Selain “One Hundred Years of Solitude”, saya berkenalan dengan novel Márquez lainnya melalui sebuah film, “High Fidelity”. Ya, itu adalah filmnya John Cussack. Entah kenapa saya selalu menyukai untuk menonton semua “film brengsek” aktor yang satu ini. </span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Dalam film itu, Cussack membaca dan banyak menyebut novel “Love in the Time of Cholera”. Tentu saja, selain dari daftar pustaka buku-buku yang pernah dibaca, kita bisa menjadikan film sebagai referensi mencari buku bermutu. Saya juga melakukannya. Dari film “With Honour”, misalnya, saya mulai membaca Walt Whitman dan Emile Zola. Dari “The Unbearable Lightness of Being”, yang novel dan filmnya sama-sama membuat mabuk kepayang, saya belajar membaca Tolstoy.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Karya-karya Márquez mudah sekali meninggalkan jejak, sehingga sukar untuk dilupakan. Sebagai orang yang menikah, misalnya, saya kadang masih sering dibuat terguncang, ketika ia menulis bahwa hal terpenting dalam sebuah pernikahan bukanlah kebahagiaan, melainkan stabilitas. Ampuuunn...<span class="x3nfvp2 x1j61x8r x1fcty0u xdj266r xhhsvwb xat24cr xgzva0m xxymvpz xlup9mm x1kky2od" style="display: inline-flex; height: 16px; margin: 0px 1px; vertical-align: middle; width: 16px;"><br /></span></span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ya, itu terdengar seperti dakwaan yang mengeksekusi gairah. Sebab, kali lain dia juga menulis bahwa ketika seorang perempuan pada akhirnya memutuskan untuk tidur dengan seorang lelaki, jangankan tembok tebal, yang sudah pasti akan dirobohkannya, bahkan Tuhan pun tidak akan dicemaskannya.</span></div></div><div class="x11i5rnm xat24cr x1mh8g0r x1vvkbs xtlvy1s x126k92a" style="background-color: white; color: #050505; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;">Ah, setiap penulis apik, atau buku yang patut, memang mudah sekali menghantui pembacanya.</span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><br /></span></div><div dir="auto"><span style="font-family: georgia;"><i>Jakarta, 13 Oktober 2017</i></span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-13834947903015814292017-02-09T16:52:00.001+07:002017-02-09T16:53:18.087+07:00MEDIA DAN PERSEKUTUAN KAUM MAJIKAN<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOdMSj9PJ_y9D4PmHsghR6csk8YU8IikfDZsf0zYYK6JwDOLJOHL5XsSnQKxCM7-fmYioM7PFDm87wFgc_K9Go8ZpA-9Bw4JLrBIJEl609BJbJCn9O_xRRxkVV1XgX_G4Eb1L938hfzgN3/s1600/capture-20130306-134513.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOdMSj9PJ_y9D4PmHsghR6csk8YU8IikfDZsf0zYYK6JwDOLJOHL5XsSnQKxCM7-fmYioM7PFDm87wFgc_K9Go8ZpA-9Bw4JLrBIJEl609BJbJCn9O_xRRxkVV1XgX_G4Eb1L938hfzgN3/s400/capture-20130306-134513.png" width="400" /></a></div>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="color: #222222; font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: 13.199999809265137px;"><br /></span></div>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><span style="color: #222222;">Oleh <strong>Tarli Nugroho</strong></span><br style="color: #222222;" /><span style="color: #222222;"><i>Institute for Policy Studies (IPS), Jakarta</i><strong> </strong></span></span></div>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><span style="color: #222222; font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><strong><br /></strong></span></span></div>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Pada 1921 organisasi itu lahir. Namanya <em style="box-sizing: border-box;">“Ondernemersraad voor Nederlandsch-Indie”.</em> Dalam terjemahan bahasa Indonesia yang digunakan masa itu, nama itu berarti “Dewan Majikan untuk Hindia Belanda”. Ya, organisasi ini adalah bentuk persekutuan kaum majikan. Meskipun didirikan di Belanda, anggotanya bukan hanya para kapitalis Belanda, namun para kapitalis besar Inggris, Amerika, Belgia, Jerman, Prancis, dan negara-negara Eropa lain.</span></div>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Persekutuan kaum majikan ini bukan hanya bisa mendikte pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, namun juga bisa mengatur pemerintah Negeri Belanda. Itu menunjukkan betapa besarnya kekuasaan para majikan ini.</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><b>Sejak dulu, industri media memang telah jadi arena pertarungan kepentingan dari berbagai serikat dagang, baik asing maupun Bumiputera.</b></span></blockquote>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Seandainya kita hidup di Hindia Belanda sembilan puluh tahun yang lalu, niscaya kita tidak akan membaca <em style="box-sizing: border-box;">Kompas, Media Indonesia, Jakarta Post,</em> atau <em style="box-sizing: border-box;">Koran Tempo,</em> misalnya. Bacaan kita adalah <em style="box-sizing: border-box;">“De Locomotief”, “Java Bode”, “Soerabajaasch Handelsblad”, “Nieuws van den Dag”,</em> atau <em style="box-sizing: border-box;">“AID de Preanger Bode”. </em></span></div>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Surat kabar-surat kabar ini adalah kepanjangan mulut dari serikat para majikan tadi. Sejak dulu, industri media memang telah jadi arena pertarungan kepentingan dari berbagai serikat dagang, baik asing maupun Bumiputera.</span></div>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><em style="box-sizing: border-box;">“AID de Preanger Bode”,</em> misalnya, adalah juru bicaranya para majikan yang menguasai perkebunan teh, karet, dan kina. <em style="box-sizing: border-box;">“Soerabajaasch Handelsblad”,</em> adalah corongnya para majikan yang menguasai industri gula. Dan <em style="box-sizing: border-box;">“Nieuws dan den Dag”,</em> misalnya, adalah juru bicaranya para majikan yang menguasai sektor perdagangan.</span></div>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Para tokoh pergerakan zaman itu menyebut surat kabar-surat kabar tadi sebagai corong imperialisme, yang kerjanya hanya menghasut untuk mengamankan kantong para majikannya. Ya, kepentingan mereka hanya mengamankan kantong saja, membuat perlindungan terhadap semua bentuk rongrongan yang bisa mengganggu <em style="box-sizing: border-box;">“dividend”</em> para tuan besar tadi.</span></div>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Surat kabar-surat kabar itu bukan hanya galak terhadap kaum pergerakan, yang propaganda-propagandanya tentu saja sangat mengancam korporasi dan kepentingan para majikan tadi, melainkan juga galak terhadap pemerintah kolonial. Pejabat pemerintah yang tak cakap menyokong kepentingan mereka akan diserang habis-habisan.</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><b>... media adalah arena pertarungan kepentingan, dimana para majikan dan serikat dagang telah mengambil peran penting dalam memproduksi isu dan wacana.</b></span></blockquote>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Gubernur Jenderal de Graeff, misalnya, suatu kali pernah ditulis <em style="box-sizing: border-box;">“Nieuws dan den Dag”</em> sebagai <em style="box-sizing: border-box;">“Ga weg, maak plats, Indie heeft krachtiger mannen noodig!”,</em> yang berarti “Hengkanglah, enyahlah, Hindia membutuhkan orang-orang yang lebih bekerja keras!”<br style="box-sizing: border-box;" />Apakah itu artinya de Graeff tak bisa kerja?</span></div>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Tentu tidak. Itu artinya de Graeff kurang trengginas dalam menyokong dan mempertebal kantong para majikan tadi.</span></div>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIhIb10DPiokmNGvxjd_p-cOoX04myoVyUWAscVcjSwu732rHHmKsBgaawoWOksE4YiS3qcsxJGVDtmxfeIyes2nAYxqm1Uu2fmfq3QnTD6n2ZnhjRWD_CRmEbCt1VEUkVyVhJt3Wm2ImL/s1600/1393469_10152886540733606_4912338995349905534_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><img border="0" height="325" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIhIb10DPiokmNGvxjd_p-cOoX04myoVyUWAscVcjSwu732rHHmKsBgaawoWOksE4YiS3qcsxJGVDtmxfeIyes2nAYxqm1Uu2fmfq3QnTD6n2ZnhjRWD_CRmEbCt1VEUkVyVhJt3Wm2ImL/s400/1393469_10152886540733606_4912338995349905534_n.jpg" width="400" /></span></a></div>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<br /></div>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Bukan hanya memiliki surat-surat kabar di Hindia, mereka juga membangun dan menguasai berbagai lembaga penerangan, yang semuanya berjejaring dengan media-media di luar negeri, seperti <em style="box-sizing: border-box;">“The New World”</em> dan <em style="box-sizing: border-box;">“Le Monde Nouveau”.</em> Dengan sokongan industri media itu, para majikan mengamankan kepentingan dagangnya.</span></div>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Itu sebabnya kenapa dulu Soekarno menerbitkan dan memimpin <em style="box-sizing: border-box;">“Fikiran Ra’jat”</em> serta <em style="box-sizing: border-box;">“Soeloeh Indonesia Moeda”,</em> dan Hatta bersama dengan Sjahrir menerbitkan <em style="box-sizing: border-box;">“Daulat Ra’jat”.</em> Pada masa yang lebih awal, Tirto Adisoerjo juga telah menerbitkan dan memimpin beberapa surat kabar dan majalah. Sejak dulu media adalah arena pertarungan kepentingan, dimana para majikan dan serikat dagang telah mengambil peran penting dalam memproduksi isu dan wacana.</span></div>
<div style="box-sizing: border-box; color: #333333; margin-bottom: 9px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Jadilah pembaca yang kritis dan cerdas, agar tak dimakan media-media kaum majikan.</span></div>
Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-67186206733393088192015-10-01T08:30:00.000+07:002015-10-01T08:32:57.156+07:00KITA DAN AIDIT, HARI ITU<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4QZyt8_4j5XOyDPwoOFh1NKPi_lB3x_p45TrhJJeGS5V3DmH6Ih-XXeVGOne0seUq_99hz0YvuWnOQSaTXH7ODZi2Bzsi-KzcFVB1TATE5G1l-_aSqAqNGyJouki-G74_hc-joQc6NPdP/s1600/dna.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="231" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4QZyt8_4j5XOyDPwoOFh1NKPi_lB3x_p45TrhJJeGS5V3DmH6Ih-XXeVGOne0seUq_99hz0YvuWnOQSaTXH7ODZi2Bzsi-KzcFVB1TATE5G1l-_aSqAqNGyJouki-G74_hc-joQc6NPdP/s400/dna.jpg" width="400" /></a></div>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span> <span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /> Hari itu, Minggu, 21 November 1965,
hujan turun berderai-derai. Hari yang sendu, karena tak seorangpun
menampakkan batang hidungnya waktu itu. Mungkin orang-orang sedang
berteduh di rumahnya masing-masing, dan berpikir tak banyak hal berarti
yang bisa dilakukan di bawah hujan semacam itu. Tapi tidak demikian
halnya dengan serombongan lelaki berseragam loreng itu. Hujan ta<span class="text_exposed_show">k
membuat mereka surut berkeliaran di gang sempit itu. Mereka, Pasukan
Siaga Brigif 4, setelah berhari-hari menyisir, akhirnya sampai di Gang
Sidaredja, Sambeng, tak jauh dari Stasiun Solo Balapan tersebut. <br /> <br />
Mereka tak pernah melepaskan pandangannya dari rumah lusuh milik
seorang lelaki yang dipanggil Pak Kasim. Sudah berkali-kali mereka
menyisir rumah itu, yang diduga menjadi tempat persembunyian seorang
lelaki, namun hasilnya nihil. Anehnya, kacamata, radio dan tas yang
diduga milik lelaki yang sedang dicari tadi ada di sana, sehingga mereka
tak segera meninggalkan gang itu. <br /> <br /> Setelah bertahan cukup
lama, lelaki yang dipanggil Pak Kasim itupun akhirnya menyerah. Dia
menunjukkan tempat persembunyian orang yang sedang dicari tadi: di balik
lemari makan. Sejumlah lelaki berseragampun bersiaga.<br /> <br /> Setelah
mengambil nafas, Yasir, komandan Brigif 4, membuka lemari yang
ditunjukkan itu. Untuk sesaat dia terdiam, sebelum kemudian memberikan
sebuah hormat militer. Seorang lelaki berperawakan langsing keluar dari
balik lemari. <br /> <br /> "Apa Bapak ini Menko?" tanya Yasir. <br /> <br /> "Ya, betul!" jawab lelaki dari balik lemari itu. <br /> <br /> "Maaf, saya bertugas menjemput Bapak ke markas," terus Yasir.<br /> <br />
Lelaki itu, yang menjabat Menteri Koordinator dan Wakil Ketua MPRS,
menurut tanpa melawan. Sesampai di Lojigandrung, lelaki itu dipersilakan
menuliskan pengalamannya sejak dari Jakarta hingga Solo. Begitulah
prosedurnya.<br /> <br /> Lelaki itu tak lain adalah Aidit. Hari itu Kolonel
Yasir segera diperintahkan oleh atasannya untuk membawa tokoh penting
tadi ke Semarang. Aidit dibawa dengan menggunakan sebuah Jeep. Yasir
dan sopirnya duduk di depan, sementara Aidit duduk di belakang dengan
pengawalan Letnan Prayitno. Di belakang Jeep menguntit sebuah mobil yang
dikendarai Kapten Hartono, yang mengawal secara rapat. <br /> <br /> Ketika
Jeep sedang melaju, Letnan Prayitno memasang borgol ke tangan Aidit.
Merasa jadi tawanan, Aidit memberontak. Ia tak terima diperlakukan
sebagai tawanan. Karena terjadi keributan, iring-iringanpun terpaksa
berhenti. <br /> <br /> Yasir, yang geram dengan ulah tawanannya, akhirnya
berkata dengan logat Banyumas kental, "<i>Wes </i>'sembur' <i>waelah</i>! Setelah
'disembur', tinggal <i>wae</i>."<br /> <br /> Begitulah.<br /> <br /> Tak lama
sesudahnya, Yasir datang melapor kepada Kolonel Widodo, Pangdam VII
Diponegoro, yang kemudian segera meneruskan laporan itu kepada Mayjen
Soeharto, yang waktu itu menjabat Menpangad. Soeharto meminta Yasir
menemuinya di Gedung Agung, Yogyakarta, 24 November 1965. Menurut
pengakuan Yasir, lama sesudah kejadian itu, ketika dilapori langsung
kejadian tadi, Soeharto cuma diam saja. Ya, Cuma diam saja. Tak memberi
tanggapan apapun.<br /> <br /> Saya membaca cerita itu di Majalah <i>Adil</i>, No.
1/Th. 52, Oktober 1983, yang saya temukan di sebuah pojokan Kota Solo medio 2012 lalu. Setiap kali membaca cerita semacam itu, saya
selalu murung. Itu adalah sejenis percampuran antara perasaan sedih,
malu, marah, bingung, dan entah apalagi. Tapi saya kemudian lebih suka
menyebutnya sebagai “murung”. <br /> <br /> Saya selalu punya imajinasi
kecil, bagaimana seandainya saya sendiri yang berada di pusaran zaman
penuh cekcok itu? Apakah saya akan berposisi sama dengan pandangan saya
hari ini?! Ataukah saya akan berada pada posisi yang berbeda, mungkin
lebih baik, atau mungkin juga lebih buruk, siapa yang tahu?!</span></span><br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<h4>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="text_exposed_show"><b><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="text_exposed_show">Bagi kita yang tak pernah mengalami jaman yang penuh percekcokan haibat
semacam tadi, mengambil sikap apapun sepertinya memang mudah. Ya,
mudah, karena ibarat buku, sejarah sudah sampai pada bab terakhirnya.
Dan sebuah buku yang telah selesai ditulis memang mudah sekali
disimpulkan...</span></span> </b></span></span></h4>
</blockquote>
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="text_exposed_show">Bagaimanakah saya pada hari itu ingin dan/atau akan dikenangkan oleh
hari ini?! Bagaimanakah bayangan saya pada hari itu mengenai berbagai
sudut pandang yang mungkin berkembang pada hari ini, termasuk
kemungkinan bahwa posisi saya hari itu akan dilihat sebagai keliru,
tidak tepat, dan bahkan tidak patut, yang akan menerbitkan bukannya
kebanggaan pada masa lebih kemudian, melainkan justru rasa malu?!
Bagaimana saya bisa mengetahui semua hal tadi pada hari itu?!<br /> <br /> Pertanyaan-pertanyaan itu selalu membuat saya murung. <br /> <br />
Bagi kita yang tak pernah mengalami jaman yang penuh percekcokan haibat
semacam tadi, mengambil sikap apapun sepertinya memang mudah. Ya,
mudah, karena ibarat buku, sejarah sudah sampai pada bab terakhirnya.
Dan sebuah buku yang telah selesai ditulis memang mudah sekali
disimpulkan, untuk kemudian dinilai, apapun kesimpulan dan penilaian
yang diambil.<br /> <br /> Tapi coba bayangkan, bagaimana seandainya kita
hidup dalam sebuah epos sejarah yang belum usai. Misalnya, kita hidup
sejaman dengan Umar bin Khattab, ketika yang bersangkutan masih jadi
bergajulan. Ah, imajinasi ini tiba-tiba saja lewat. Bagaimanakah kita
akan menilai seorang Umar ketika yang bersangkutan berada pada tikungan
hidupnya? Apakah kita akan menyambutnya, dengan memberi dukungan dan
kedua tangan terbuka, karena menyadari bahwa setiap orang niscaya
berubah; atau menjadi penghujatnya, sembari mengabarkan kepada dunia
bahwa Umar hanyalah seorang bergajulan dan akan tetap demikian
selamanya?! Bagaimana kita akan bersikap atau menarik kesimpulan dari
sebuah sejarah yang masih berproses dan belum usai semacam itu?!</span></span><br />
<br />
<blockquote>
<h4>
<b><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="text_exposed_show"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="text_exposed_show">Seandainya kita hidup di tahun 1965, dan terlibat dalam semua
percekcokan masa itu, kira-kira akan dimanakah posisi kita? Menjadi
mereka yang dikejar-kejar, ataukah menjadi mereka yang mengejar-ngejar? </span></span></span></span></b></h4>
</blockquote>
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="text_exposed_show">Sejak di bangku sekolah menengah saya kadang membayangkan, sebagai
muslim, jika hidup sejaman dengan Rasul, saya mungkin saja akan
tergolong kepada mereka yang termasuk memusuhinya, bahkan mungkin
menistakannya. Ya, kenapa tidak?! Apa yang menjamin saya, dan juga Anda,
tak akan termasuk ke dalam golongan semacam itu?! Sebijak itukah kita,
sehingga kita bisa mudah menerima begitu saja kebenaran-kebenaran baru
yang tak terbayangkan sebelumnya dari seseorang yang hampir seluruh
hidupnya kita saksikan, atau menerima tikungan-tikungan tajam hampir
muskil dari kehidupan orang-orang yang juga kita kenal?!<br /> <br />
Seandainya kita hidup di tahun 1965, dan terlibat dalam semua
percekcokan masa itu, kira-kira akan dimanakah posisi kita? Menjadi
mereka yang dikejar-kejar, ataukah menjadi mereka yang mengejar-ngejar?
Kita mungkin saja menjadi mereka yang mengejar-ngejar, karena sebelumnya
kita pernah jadi kelompok yang dikejar-kejar. Begitukah?! Akan
sanggupkah kita bersikap jernih dan bijaksana dalam suasana persaingan
dan pertarungan ideologi-politik yang menguras perasaan sebagaimana
berlangsung pada dekade itu?<br /> <br /> Ah, untungnya kita hidup pada hari
ini, setelah epos-epos besar tadi telah liwat, yang masing-masing telah
memberikan timbunan pengetahuan dan hikmat selama ribuan, ratusan, dan
puluhan tahun, sehingga kita bisa lebih mudah untuk menilai dan bersikap
atasnya.<br /> <br /> Tapi, kadang saya bertanya-tanya, apakah epos-epos
besar hanya terjadi di masa lalu?! Tidakkah sungai waktu yang sedang
kita layari hari ini mungkin saja adalah sebuah epos besar juga bagi
sesuatu hal, atau beberapa hal, untuk suatu masa yang lebih kemudian?! <br /> <br />
Lalu pertanyaan yang membuat murung itupun akan kembali menguntit:
sudah seberapa jernih dan bijaksana kita menimbang dan menilai jaman
kita ini, kesekarangan ini? Sudah seberapa adil kita dalam melihat dan
menimbang mereka yang saat ini berposisi berbeda, berseberangan, dan
bahkan terlibat cekcok hebat dengan kita? Dengan cara bagaimana kita
hendak menyudahi semua percekcokan hari ini? Dengan cara bagaimana kita
akan dan hendak dilihat oleh masa tiga, atau empat generasi sesudah ini?<br /> <br />
Membaca cerita kematian Aidit, dan keseluruhan tragedi masa itu, saya
kadang berpikir bahwa mungkin saja kita sebenarnya tak sedang berada
pada sungai sejarah yang mengalir. Seperti sungai yang kadang meluap,
kita saat ini mungkin sedang berada dalam genangan dari luapan tadi,
yang limpas pada 1965 itu. Genangan itu tak kunjung mengering, karena
setiap kali mengering selalu mendapat limpasan baru, mungkin pada 1974,
1978, 1984, 1991, 1998 atau momen-momen sejarah lainnya yang membuat
kita terus-menerus mencatat sejarah dengan memori traumatik. <br /> <br />
Jadi, sementara sungai sejarah terus mengalir, kita tak pernah beranjak
kemana-mana, karena masih berada dalam genangan yang sama, memutar
secara berulang-ulang pirangan hitam berisi lagu rindu-dendam. Dan epos
besar jaman ini barangkali adalah bagaimana mengalirkan kembali genangan
itu kepada sungai sejarah. Mampukah kita?<br /> </span></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="text_exposed_show"><br /> </span></span><br />
<i><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="text_exposed_show">Yogyakarta, 1 Oktober 2014</span></span></i>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-67591729770677681302014-10-08T23:54:00.000+07:002014-10-08T23:54:06.793+07:00HAZAIRIN DAN DEMOKRASI DARI HONG KONG<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizTUVTnCleacAzxTJ-LcMLR1H8vM3S4xBtD6yOmcEhH1Q06v3nxa-In_1M7Uh4gYxN8oDtJ-m6CXzkj31gF06Rq1ZfpKoKsURUQ-UtSyAzD5l4pIrbde53j0z8uxPG4skTjMndFRzHWrVW/s1600/hazairin.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizTUVTnCleacAzxTJ-LcMLR1H8vM3S4xBtD6yOmcEhH1Q06v3nxa-In_1M7Uh4gYxN8oDtJ-m6CXzkj31gF06Rq1ZfpKoKsURUQ-UtSyAzD5l4pIrbde53j0z8uxPG4skTjMndFRzHWrVW/s1600/hazairin.jpg" height="400" width="273" /></a></div>
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Oleh <b>Tarli Nugroho</b></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><i>Peneliti di Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)</i><b> </b><br /><br /> </span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Namanya Hazairin (1906-1975). Sebuah perguruan tinggi terkemuka di Bengkulu kini mengabadikan namanya. Hazairin, yang lahir di Bukit Tinggi, 1906, adalah guru besar Hukum Adat dan Hukum Islam di Universitas Indonesia. Pada zamannya, bersama dengan Soepomo dan Mas Mukmin Djojodigoeno dari Universitas Gadjah Mada, ia adalah ahli hukum adat paling terkemuka. Pada awal Proklamasi, Hazairin pernah menjabat Bupati Sibolga (1946), lalu menjadi Residen Bengkulu (1950), sebelum kemudian diamanati jabatan Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo.<br /><br />Berayahkan orang Bengkulu dan beribukan perempuan Minangkabau, Hazairin kemudian lebih dikenal sebagai seorang sarjana Minang terkemuka pada masanya. Dalam sejumlah seminar penting mengenai Minangkabau, seperti seminar legendaris “Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau” (1968), ketika para sarjana yang lebih kemudian, seperti Mochtar Naim, misalnya, masih ingusan, Hazairin telah menjadi tokoh senior, bersama dengan HAMKA, M. Nasroen, dan Soetan Haroen al Rasjid.<br /><br />Saya membuka kembali file mengenai Hazairin setelah istilah “<i>Demokrasi Pancasila</i>” kembali disebut-sebut belakangan ini, ketika muncul cekcok politik terkait pemilihan kepala daerah, yaitu mengenai apakah sebaiknya kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) dipilih secara langsung ataukah cukup melalui DPRD. Cekcok itu telah menghidupkan kembali istilah yang telah lama mati, “Demokrasi Pancasila”.<br /><br />Istilah “Demokrasi Pancasila” kembali dimunculkan sebagai identitas untuk merujuk model pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Secara sederhana, di kalangan mereka yang setuju dengan gagasan pemilihan secara tidak langsung, gagasan “Demokrasi Pancasila” dianggap sebagai gagasan mengenai demokrasi tidak langsung. Sementara, di kalangan mereka yang setuju dengan pemilihan secara langsung, istilah “Demokrasi Pancasila” dinilai secara peyoratif, bahkan hampir mirip comberan, karena diimajinasikan sebagai mewakili praktik politik rezim Orde Baru.</span><br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_KJ6zFcMZj4kwWCAL2jp7K7MZH3A8VtfctkwWDyT-eNJXLe5U4iaVtrWfxINT0zeNTycQcm-BriMBPnK_kF6Ndbm34tWDZJEGBbl0B14FYV3b5AkZFk8sEQ6SiWkjZ0bOXjlguDqlju8R/s1600/Soeharto+01.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_KJ6zFcMZj4kwWCAL2jp7K7MZH3A8VtfctkwWDyT-eNJXLe5U4iaVtrWfxINT0zeNTycQcm-BriMBPnK_kF6Ndbm34tWDZJEGBbl0B14FYV3b5AkZFk8sEQ6SiWkjZ0bOXjlguDqlju8R/s1600/Soeharto+01.JPG" height="265" width="400" /></a></div>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /><br />Benarkah demikian? Tepatkah dua anggapan itu?<br /><br />Sepertinya, dua anggapan itu, yang bersifat <i>klise </i>dan <i>stigmatik</i>, sama-sama menunjukkan rendahnya mutu tradisi kesarjanaan di negeri kita. Baik yang klise maupun stigmatik sama-sama menunjukkan ciri betapa longgarnya standar kesarjanaan di Indonesia, karena keduanya sama-sama membangun pendiriannya bukan di atas penalaran yang metodik dan sistematis, melainkan sekadar berpijak pada ingatan dan stereotip.<br /><br />Pandangan pertama, yang menganggap bahwa “Demokrasi Pancasila” adalah gagasan tentang demokrasi tidak langsung, bersifat klise, karena terlalu menyederhanakan persoalan dan dikemukakan hampir tanpa rujukan gagasan, kecuali kepada praktik yang pernah berlangsung di masa lalu. Istilah itu pada akhirnya lebih dikemukakan untuk menciptakan kesan stigmatik bahwa mereka yang berada pada posisi sebaliknya, dengan semua andaiannya, adalah “tidak Pancasila(is)”. Ini memang agak mirip dengan gaya Orde Baru dahulu. <br /><br />Pandangan kedua, yang secara sembrono menyebut bahwa istilah “Demokrasi Pancasila” adalah ciptaan Orde Baru, yang dibuat untuk melegitimasi praktik politik totalitarian rezim tersebut, juga menunjukkan betapa cara pandang sarjana-sarjana kita pada umumnya masih bersifat stigmatik, dan bukannya analitik. Meskipun mereka yang memiliki anggapan ini merupakan kelompok yang sangat kritis, baik di masa lalu maupun masa kini, namun ironisnya modus berpikir mereka seringkali justru merepro modus berpikir dari rezim yang sering mereka kritik dan bahkan benci itu: <i>stigmatik </i>dan <i>stereotipis</i>.<br /><br />Saya masih ingat bagaimana pada penghujung 1980-an terjadi kehebohan di Bandung terkait penjualan kaos oblong dan kalender bergambar arit. Ya, gambar arit. Pemerintah Orde Baru segera melarang penjualan kedua barang itu, karena keduanya memuat gambar yang dianggap dekat dengan simbol komunisme: palu-arit. Begitulah penalaran stigmatik. <br /><br />Ironisnya, penalaran semacam itu juga yang pernah mendakwa Ahmad Dhani sebagai penyebar gagasan fasisme beberapa bulan silam, hanya karena yang bersangkutan memakai seragam Himmler dalam sebuah video klipnya. Padahal baju seragam itu, termasuk dengan berbagai simbol Perang Dunia II lainnya, telah menjadi produk <i>fashion </i>yang mendunia. Dan video klip yang dihebohkan itu bukanlah kali pertama Dhani menggunakan seragamnya tersebut. <br /><br />Menghubungkan produk <i>fashion </i>dengan kampanye mengenai fasisme hanya mungkin lahir dari penalaran stigmatik, selain tentu saja bentuk serangan politik yang disengaja, karena kebetulan video Ahmad Dhani yang dipersoalkan itu adalah video klip kampanye politik dalam pemilihan presiden kemarin.<br /><br />Dalam obrolan di lingkaran kecil kadang saya berkelakar: jangan-jangan, hanya karena Stalin kencing berdiri, maka semua orang yang kencing berdiri juga akan disebut Stalinis. Itu hanyalah contoh karikatural dari bagaimana menggelikannya cara berpikir stigmatik.<br /><br />Kembali ke soal awal, menyebut bahwa “Demokrasi Pancasila” adalah ciptaan Orde Baru, dan bahkan menganggap bahwa konsep itu artinya tak lain adalah praktik tata pemerintahan sebagaimana yang berlangsung pada masa rezim tersebut, sepenuhnya merupakan produk pemikiran stigmatik. Dan pemikiran itu tentu saja keliru.<br /><br />Persis di situ kita harus mengingat kembali Profesor Hazairin. Pada 27 hingga 30 Desember 1968, diadakan “<i>Seminar Hukum Nasional II</i>” yang diadakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) untuk membahas bagaimana konsep untuk menegakkan negara hukum di Indonesia. Para ahli hukum berkumpul untuk merumuskan konsep detail mengenai negara hukum, termasuk membicarakan sebuah topik yang disebut “Demokrasi Pancasila”. MPRS, melalui TAP MPRS XXXVII/1968 memang sudah menyinggung istilah itu. Namun, istilah itu tak diajukan sebagai konsep, sehingga tidak mengandung rumusan. Persis di situ perbincangan dalam seminar tersebut menjadi penting.<br /><br />Hazairin, yang terlibat dalam seminar tersebut, pada 1969 menulis sebuah buku berjudul “Demokrasi Pancasila”. Dalam buku itu ia melakukan kritik terhadap sejumlah pendekatan yang berkembang pada masa itu yang mencoba melakukan konseptualisasi “Demokrasi Pancasila”. Melalui bukunya, Hazairin mencoba mengemukakan konsepnya sendiri. Secara teknis konsep yang dikemukakannya merupakan turunan dari sistem negara hukum sebagaimana yang ditetapkan setelah Proklamasi, dan secara filosofikal merupakan interpretasi filsafat hukum terhadap gagasan Pancasila.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgR-JV0eUlLmNogTAhl7UqaBbPdtCNUWXr5MBJ_f_A22GoS1QPkTlcs1CUzznAenMXMilhXXuwrnUNpkhpXQ3TXTD2GG0_S_UaR87S0u3kRIxuuhC6l-YsfxCTLjJhHKCLLqoUhlBl3PZ97/s1600/demokrasi+pancasila+1981++156.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgR-JV0eUlLmNogTAhl7UqaBbPdtCNUWXr5MBJ_f_A22GoS1QPkTlcs1CUzznAenMXMilhXXuwrnUNpkhpXQ3TXTD2GG0_S_UaR87S0u3kRIxuuhC6l-YsfxCTLjJhHKCLLqoUhlBl3PZ97/s1600/demokrasi+pancasila+1981++156.jpg" height="400" width="275" /></a></div>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br />Dalam buku itu, misalnya, Hazairin mengkritik penautan ide “Demokrasi Pancasila” kepada sila keempat Pancasila. Dalam penafsirannya, sila keempat memang mengandung rumusan mengenai gagasan demokrasi, namun Pancasila tidak bisa dipreteli kembali menjadi sila-sila penyokongnya. Artinya, gagasan “Demokrasi Pancasila” harus merujuk kepada kompleks-gagasan Pancasila secara utuh, bukannya kepada sila keempat secara terpisah. Hal demikian dianggapnya sebagai keliru secara metodik. Nah, uraian interpretif mengenai kompleks gagasan Pancasila itulah yang kemudian dipaparkan oleh bukunya. Tentu saja, itu dilakukan dengan sudut pandang filsafat hukum, sesuai bidang yang ditekuninya.<br /><br />Selain Hazairin, sarjana kita yang terlibat membahas perumusan gagasan tersebut adalah Ismail Suny. Dibanding Hazairin yang lebih senior, nama Ismail Suny relatif masih cukup dikenal. Terkait dengan konseptualisasi “Demokrasi Pancasila”, Ismail Suny (1982) merangkumkannya menjadi tujuh prinsip, yaitu:<br /><br />1. <i>Rule of Law</i><br />2. <i>Constitutionalism</i><br />3. <i>Supremacy of the People’s Congress</i><br />4. <i>Responsible Government</i><br />5. <i>Democratic and Representative Government</i><br />6. <i>Presidential Government</i><br />7. <i>Parliamentary Control</i><br /><br />Apakah yang dilakukan Hazairin dan Ismail Suny merupakan ikhtiar kesarjanaan untuk melegitimasi tata pemerintahan Orde Baru? Tentu saja itu tuduhan yang menggelikan. <br /><br />Apa yang dilakukan Hazairin dan Ismail Suny adalah ikhtiar dari sebuah proyek kesarjanaan yang bisa kita sebut sebagai “<b>mengilmukan Pancasila</b>”, yang dasar-dasarnya telah dimulai oleh Notonagoro, terutama melalui karyanya, “<i>Berita Pikiran Ilmiah tentang Kemungkinan Djalan Keluar dari Kesulitan mengenai Pantjasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia</i>” (1957). Apa yang dilakukan oleh Notonagoro adalah sebuah kerja kesarjanaan untuk membawa perbincangan mengenai Pancasila keluar dari wilayah politik praktis dan memasuki arena baru: wilayah akademis. Sejak itulah berbagai kajian mengenai Pancasila berkembang. Selain “Demokrasi Pancasila”, kemudian juga lahir kajian “Ekonomi Pancasila”. Khusus mengenai kajian Ekonomi Pancasila bahkan sudah dimulai sejak 1965, jauh sebelum Mubyarto mulai membahasnya pada 1979. Profesor Ismail Suny termasuk salah satu elaborator awalnya, meski dia melakukannya dari sudut pandang ilmu hukum, dan bukan ekonomi.<br /><br />Baik gagasan “Demokrasi Pancasila”, maupun gagasan “Ekonomi Pancasila” yang kemudian dihidupi oleh para sarjana terkemuka seperti Mubyarto, Hidajat Nataatmadja, M. Dawam Rahardjo dan Sri-Edi Swasono, adalah bagian dari kerja kesarjanaan untuk “mengilmukan Pancasila” itu tadi.<br /><br />Apakah gagasan itu dilontarkan untuk melegitimasi rezim?<br /><br />Gagasan Ekonomi Pancasila, yang tercatat pernah melahirkan polemik paling panjang dalam sejarah ilmu sosial di Indonesia, alih-alih merupakan legitimasi terhadap rezim, justru pertama kali dilontarkan sebagai kritik terhadap strategi pembangunan ekonomi pemerintah, selain sebagai kritik keilmuan terhadap ilmu ekonomi konvensional yang diimani oleh para teknokrat ekonomi. </span><br />
<br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtz7hO0hEySDLhDZktHwEEfJEA9DFC7n_55B-XVHY7Exn04pY1RQI8ZiTaGXq08yXT68oKxaEAt5vIfz79TlA_pkQtq4DbUAgoSKUmGRfFcVzoG1Q0_E98DOl0S3JQU_vIzuWK43tpDSAI/s1600/ekonomi+pancasila+1994+65.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtz7hO0hEySDLhDZktHwEEfJEA9DFC7n_55B-XVHY7Exn04pY1RQI8ZiTaGXq08yXT68oKxaEAt5vIfz79TlA_pkQtq4DbUAgoSKUmGRfFcVzoG1Q0_E98DOl0S3JQU_vIzuWK43tpDSAI/s1600/ekonomi+pancasila+1994+65.jpg" height="400" width="280" /></a></div>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /><br />Memang, dengan kekuasaannya rezim kemudian bisa memanipulasi wacana tersebut. Dan berhasil. Setelah Mubyarto dan kawan-kawan diintimidasi untuk tak lagi menggunakan istilah itu di mimbar akademik, pelan-pelan wacana itu diproduksi ulang oleh pemerintah melalui Lemhanas. Pada awal 1990-an, wacana yang semula merupakan kritik terhadap pemerintah itupun kemudian berubah seolah menjadi label dari praktik kebijakan ekonomi pemerintah. <br /><br />Hal yang sama juga terjadi pada gagasan <i>Demokrasi Ekonomi</i>. Setelah gagasan Ekonomi Pancasila “diistirahatkan” paksa, sejumlah ekonom kritis pada pertengahan 1980-an getol mengkritik kebijakan konglomerasi yang dilakukan pemerintah dengan mempopulerkan kembali gagasan Demokrasi Ekonomi. Apa ujungnya? Melalui tangan J.B. Sumarlin dan ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia), pemerintah kemudian mengeluarkan rumusan mengenai Demokrasi Ekonomi versi ISEI, yang isinya memberikan pembenaran terhadap praktik ekonomi konglomerasi.</span><br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYx3ec2kFeg5IteZv1mWzq22w-Hp602Nd7pI58CgOnqN_8O-GNDLo3fP9HSjQqbdVUgSv9vc5URnef9daP4Emg2L6CSoH9SAhnnemG0PAa-6aPff82r75gOZtU6F1IUNLyAneys7r5plio/s1600/sosok+demokrasi+ekonomi+1993+sby+110r070.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYx3ec2kFeg5IteZv1mWzq22w-Hp602Nd7pI58CgOnqN_8O-GNDLo3fP9HSjQqbdVUgSv9vc5URnef9daP4Emg2L6CSoH9SAhnnemG0PAa-6aPff82r75gOZtU6F1IUNLyAneys7r5plio/s1600/sosok+demokrasi+ekonomi+1993+sby+110r070.jpg" height="400" width="253" /></a></div>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /><br />Apa yang bisa kita catat dari soal-soal itu?<br /><br />Persis di situlah seorang sarjana mestinya memposisikan dirinya tak ubahnya seorang <i>rimbawan</i> (<i>forester</i>). Meskipun seluruh sudut hutan kelihatan berwarna hijau, seorang rimbawan bisa membedakan antara satu pohon dengan pohon lainnya, satu tanaman dengan tanaman lainnya, termasuk semak-semaknya. Warna hijau sebuah hutan tak akan mengaburkan pandangan seorang rimbawan bahwa di balik warna itu terdapat berbagai spesies yang berlainan satu sama lain. <br /><br />Begitu juga seharusnya seorang sarjana. Di hutan rimba gagasan, ia harus bisa memetakan pohon-pohon konsep, mengenali posisi tiap pohon konsep dalam kerajaan besar pohon gagasan, termasuk untuk menemu-kenali bentuk persilangan dari pohon-pohon konsep yang telah ada, dan bahkan mengenali spesies-spesies baru yang mungkin belum terpetakan. Dan itu tentu saja mensyaratkan kecermatan, selain pengetahuan yang sistematis dan luas.<br /><br />Melakukan generalisasi bahwa semua wacana mengenai Pancasila yang lahir pada masa Orde Baru merupakan bagian dari perkakas rezim untuk melegitimasi kekuasaannya adalah sebuah kesimpulan sembrono. Ada banyak sekali produksi wacana mengenai Pancasila yang lahir dalam periode tiga dekade setelah kejatuhan Soekarno hingga kejatuhan Soeharto, dimana wacana-waana itu hadir dalam berbagai spektrum model interpretasi, baik yang serius, mendalam, hingga yang tak ubahnya sekadar pelumas bibir saja. Menunggalkan semua itu tak ada bedanya dengan menganggap bahwa semua tanaman yang berwarna hijau adalah serupa dan pasti berasal dari satu spesies. Betapa sembrononya kesimpulan itu.</span><br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizGaW0VT-9nbSanK8uG6oUEzJv5FW8W1OWFDsIBAmhPv5bnyszErpqrhTqex5Czz1LmHKemcYFmjWA1FRbIXifyNu8ZauH9adpRg58OBO3l0WAvRawsS8h18Ss4kKMB_wzLNDhUjubEzHM/s1600/10.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizGaW0VT-9nbSanK8uG6oUEzJv5FW8W1OWFDsIBAmhPv5bnyszErpqrhTqex5Czz1LmHKemcYFmjWA1FRbIXifyNu8ZauH9adpRg58OBO3l0WAvRawsS8h18Ss4kKMB_wzLNDhUjubEzHM/s1600/10.jpg" height="270" width="400" /></a></div>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /><br />Dalam sebuah karangannya, Taufik Abdullah pernah membahas bahwa salah satu sebab kenapa gagasan untuk mengilmukan Pancasila itu seolah melorot derajatnya dalam dunia akademik, tak lain adalah karena faktor Bardosono. Ketika Bardosono memimpin PSSI antara 1975 hingga 1977, ia memperkenalkan apa yang disebut “Sepakbola Pancasila”. Tentu saja, ide itu menjadi bahan tertawaan banyak kaum terdidik. Dan “Sepakbola Pancasila” kemudian telah menjadikan seluruh ikhtiar untuk mengilmukan Pancasila jadi terdengar seperti lelucon juga. Begitulah impak dari penalaran stigmatik.<br /><br />Menyimak kenyataan begitu banyaknya sarjana kita hari ini yang tidak lagi mengetahui bahwa gagasan Demokrasi Pancasila pernah jadi proyek kesarjanaan Hazairin dan Ismail Suny, misalnya, tentu saja membuat miris. Itu semakin menunjukkan betapa rendahnya mutu tradisi kesarjanaan di Indonesia. Kealpaan itu hanya mungkin muncul dari absennya tradisi saling membaca dan membahas. <br /><br />Apa yang celaka dari absennya kebiasaan saling membaca dan membahas itu? <br /><br />Absennya kebiasaan untuk saling membaca dan membahas itulah yang telah menyuburkan penalaran stigmatik dalam dunia kesarjanaan kita. Tanpa kebiasaan saling membaca dan membahas, tradisi kesarjanaan kita hidup dengan daya jangkau ingatan yang pendek saja. Tak ada kerumitan analitikal dalam ingatan pendek semacam itu. Dan kondisi itu memang gampang memproduksi stigma. <br /><br />Dalam kegaduhan politik hari ini, misalnya, orang gampang sekali menghakimi sebuah gagasan dari perilaku aktornya. Sebuah bentuk penalaran yang janggal. Betapa brengseknya semua gagasan jika begitu, karena kita selalu bisa menemukan anggota jamaah yang brengsek di belakang setiap rombongan pengusung ide, apapun idenya tersebut. Modus penilaian semacam itu lahir karena banyak orang umumnya enggan untuk memeriksa secara serius dan seksama anatomi gagasan yang hendak dinilai atau dikritiknya. Maka cara yang paling mudah untuk menjatuhkan gagasan yang tak disepakati adalah dengan meminjam modus berpikir stigmatik tadi. Apalagi, jika gagasan yang sedang disengketakan terkait dengan soal politik.<br /><br />Jadi, jika kita hari ini menyaksikan para sarjana kita hanya sibuk berlomba memproduksi stigma dalam tulisannya, dan gagal melakukan problematisasi yang reflektif-mendalam, kita mengetahui sebabnya.<br /><br />Daripada capek-capek meneruskan ikhtiar Hazairin dan Ismail Suny, memang lebih mudah mengimpor demokrasi dari Hong Kong. Bukan begitu, Pemirsa?</span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /><i> </i></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><i>Yogyakarta, 3 Oktober 2014</i></span>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-79839368989252075842014-10-05T10:01:00.002+07:002014-10-05T10:04:00.059+07:00POPULARITAS VERSUS INFRASTRUKTUR KEKUASAAN<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihUrkN_VKUtjBfyww7lTOK9T2K4-iA9lAo44wbyS3VVHXeKDKgfctfnFQ7LSUAsfrJqIMBSpMUQsyL8WLH3ZBagXokBu5mHk95rQ1x924dOY920R2zvbRIa0rnpAJOK06-sIu2kwOQG_v3/s1600/popularitas.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihUrkN_VKUtjBfyww7lTOK9T2K4-iA9lAo44wbyS3VVHXeKDKgfctfnFQ7LSUAsfrJqIMBSpMUQsyL8WLH3ZBagXokBu5mHk95rQ1x924dOY920R2zvbRIa0rnpAJOK06-sIu2kwOQG_v3/s1600/popularitas.png" height="237" width="400" /></a></div>
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Oleh <b>Tarli Nugroho</b></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><i>Peneliti di Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat), Yogyakarta</i></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Diskusi
mengenai calon presiden yang menghangat sejak kurang lebih satu
setengah tahun terakhir ini masih saja berkutat di soal popularitas dan
elektabilitas. Sebagaimana telah dikeluhkan sejumlah sarjana dan
pengamat, karena hanya berkutat di dua soal itu, demokrasi kita jadi
minim memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Dan kontestasi
popularitas yang tidak melibatkan pertarungan gagasan, agenda, dan
program, pada akhirnya telah mereduksi demokrasi menjadi semacam ajang
pencarian idola-politik saja.</span><br />
<br />
<blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><b><i>Infrastruktur kekuasaan</i>
adalah perangkat yang menunjukkan seberapa jauh seorang tokoh politik
menguasai simpul-simpul penting di lingkungan sosial, politik dan
ekonomi yang bisa digunakannya sebagai kolega, alat penekan, alat
penawar, serta alat lobi ketika yang bersangkutan sedang mengoperasikan
kekuasaan pemerintahan.</b></span></blockquote>
</blockquote>
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Popularitas dan
elektabilitas bisa saja mengantarkan seorang kandidat memenangi hari
pemilihan. Namun, dalam proses politik selanjutnya, apakah yang
bersangkutan akan bisa mengoperasikan kekuasaan pemerintahan atau tidak
di rentang masa jabatannya, atau apakah dia bisa atau tidak mengerjakan
agenda yang dititipkan publik kepadanya, tidak lagi tergantung kepada
popularitasnya pada waktu kampanye dan pemilihan, melainkan pada
penguasaannya atas hal lain, terutama penguasaan <i>infrastruktur kekuasaan</i> (<i>power apparatus</i>).
Infrastruktur kekuasaan inilah yang sebetulnya akan menentukan posisi
tawar seorang tokoh, atau kandidat, ketika berhadapan dengan kelompok
kepentingan dalam proses perumusan kebijakan. Tanpa infrastruktur
kekuasaan yang memadai, ia tak akan bisa mengoperasikan kekuasaan
pemerintahan secara efektif seturut harapan publik yang dititipkan
kepadanya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><i>Infrastruktur kekuasaan</i> adalah perangkat yang
menunjukkan seberapa jauh seorang tokoh politik menguasai simpul-simpul
penting di lingkungan sosial, politik dan ekonomi yang bisa digunakannya
sebagai kolega, alat penekan, alat penawar, serta alat lobi ketika yang
bersangkutan sedang mengoperasikan kekuasaan pemerintahan.
Infrastruktur kekuasaan hadir dalam bentuk jaringan sumber daya,
dukungan politik, ekonomi, dan birokratik, yang kesemuanya bersifat
organik dan formal. Secara umum, di alam demokrasi, infrastruktur
kekuasaan terutama terlembagakan di dalam partai politik. Namun, seorang
kandidat atau tokoh bisa juga menguasai infrastruktur kekuasaan di luar
kelembagaan partai politik, misalnya melalui jejaring alumni perguruan
tinggi, organisasi pergerakan, organisasi profesi, serta ikatan-ikatan
keorganisasian lainnya, yang ketika ia memegang kekuasaan bisa
dikonversi dan didayagunakan untuk membantu mengoperasikan kekuasaannya.</span><br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9fLa3rsYTLUkr7IoKL8Jm6dH11C2dQ6p5QXuq6Y2Dcf07aFu-2Wh_4Y8j1Sdt2QA2IVqx4TRETigBN7aO3z8u3HeB731rnfA6XBu3g07e_fj0v4loSYP3Tqrnbs1AGgaFKZ277jKckR12/s1600/boneka.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9fLa3rsYTLUkr7IoKL8Jm6dH11C2dQ6p5QXuq6Y2Dcf07aFu-2Wh_4Y8j1Sdt2QA2IVqx4TRETigBN7aO3z8u3HeB731rnfA6XBu3g07e_fj0v4loSYP3Tqrnbs1AGgaFKZ277jKckR12/s1600/boneka.jpg" height="185" width="400" /></a></div>
<blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><b>Padahal,
seorang kandidat yang populer sekalipun, termasuk jika ia memiliki
agenda dan program politik yang jelas, belum tentu bisa mengoperasikan
kekuasaannya secara efektif jika yang bersangkutan tidak menguasai
infrastruktur kekuasaan yang memadai.</b></span></blockquote>
</blockquote>
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Hanya
saja, meskipun ada infrastruktur kekuasaan di luar kelembagaan partai
politik, infrastruktur kekuasaan itu biasanya tidak digunakan secara
langsung dan tiba-tiba untuk mengoperasikan kekuasaan. Infrastruktur
tadi biasanya digunakan melalui kelembagaan partai politik juga.
Tentunya bukan merupakan rahasia bahwa untuk menguasai infrastruktur
kekuasaan yang terlembagakan di dalam partai politik, seorang tokoh
memang harus memiliki modal infrastruktur kekuasaan lain yang telah
disebut sebelumnya. Jadi, pada akhirnya, infrastruktur kekuasaan yang
efektif digunakan untuk mengoperasikan kekuasaan pemerintahan adalah
yang terlembagakan di dalam partai politik. Sebab, bagaimanapun partai
politik merupakan miniatur kehidupan politik, sehingga ia memang menjadi
basis perhitungan bagi infrastruktur kekuasaan pemerintahan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Selain
soal agenda dan program politik, soal infrastruktur kekuasaan ini tidak
banyak diperhatikan dalam perbincangan politik di tanah air, terutama
yang biasa ditampilkan di layar dan halaman media. Padahal, seorang
kandidat yang populer sekalipun, termasuk jika ia memiliki agenda dan
program politik yang jelas, belum tentu bisa mengoperasikan kekuasaannya
secara efektif jika yang bersangkutan tidak menguasai infrastruktur
kekuasaan yang memadai.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><b>Demokrasi yang Efektif</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Salah
satu persoalan serius terkait pelembagaan demokrasi di era
post-otoritarian saat ini adalah bagaimana mengefektifkan demokrasi.
Bagaimanapun, demokrasi memang tidak otomatis menghasilkan pemerintahan
yang bekerja untuk <i>demos</i> (rakyat). Apalagi jika pelembagaan
demokrasi jauh dari efektif, akan membuatnya semakin berjarak dari
kepentingan rakyat. Kita pernah mengalami masa demokrasi parlementer
dengan puluhan partai, dan pasca-Reformasi kita hidup dalam sistem
presidensial yang juga dengan puluhan (kini belasan) partai politik.
Jumlah partai yang terlalu banyak ini telah membuat demokrasi jadi tidak
efektif, karena kelompok kepentingan yang terlibat dalam proses
perumusan kebijakan juga jadi terlalu banyak.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Hadirnya gagasan
Demokrasi Terpimpin dan Nasakom pada masa Soekarno dan dilakukannya fusi
partai politik dan pemberlakuan asas tunggal pada masa Soeharto, di
luar tuduhan stigmatik bahwa itu dilakukan untuk menegakkan
otoritarianisme, sebenarnya bisa dibaca sebagai pilihan politik untuk
mengefektifkan demokrasi. Hatta, yang sering diposisikan sebagai
berseberangan dengan Soekarno terkait soal demokrasi, secara tegas
menyebut bahwa gagasan Nasakom merupakan cara yang harus ditempuh untuk
menghindari “<i>free fight democracy</i>”. Melalui Nasakom, demikian
Hatta, maka kepentingan partai-partai politik yang jumlahnya puluhan
coba diagregasikan, sehingga demokrasi tak menjadi arena pertempuran
liar. Istilah <i>free fight democracy</i>, yang diperkenalkan Hatta, sepertinya mengadopsi istilah <i>free fight capitalism</i>
yang telah diperkenalkan Soekarno lebih dahulu, dimana konsep yang
terakhir terutama ditadaruskan untuk melegitimasi gagasan Ekonomi
Terpimpin, sebuah gagasan yang juga turut disetujui Hatta.</span><br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhAMRYuurTJbD2JcQiKhmWsqVrMW2mLYtgmLXQG-DjVL8fnLqZrQSwyMAYSFqmrL6tQTEL9CToHA5fwrylQLxBSfCNmxT5xYjcEPbKFJfiT9xXTTRQhH9g8ZuoGZmkdyKkjrg7zTOz-txad/s1600/soekarno.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhAMRYuurTJbD2JcQiKhmWsqVrMW2mLYtgmLXQG-DjVL8fnLqZrQSwyMAYSFqmrL6tQTEL9CToHA5fwrylQLxBSfCNmxT5xYjcEPbKFJfiT9xXTTRQhH9g8ZuoGZmkdyKkjrg7zTOz-txad/s1600/soekarno.jpg" height="202" width="400" /></a></div>
<blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><b>Dukungan publik yang besar dalam pemilu memang tidak selalu bisa dikonversi untuk mengoperasikan kekuasaan secara efektif.</b></span></blockquote>
</blockquote>
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Namun,
menyederhanakan jumlah partai politik, atau melakukan fusi ideologis
sebagaimana yang pernah dilakukan pada masa lalu, bukanlah solusi untuk
mengefektifkan demokrasi di masa kini, karena akan gampang dituduh
menyalahi prinsip demokrasi dan bisa dicurigai sebagai hendak
melembagakan oligarki. Persis di sinilah urgensi dan relevansi isu <i>infrastruktur kekuasaan</i>.
Jika dan hanya jika calon presiden menguasai infrastruktur kekuasaan
yang memadai, maka ia bisa efektif mengoperasikan kekuasaannya, atau
dengan kata lain mengefektifkan demokrasi. Sebaliknya, tanpa
infrastruktur kekuasaan yang memadai, kita akan selalu berhadapan dengan
dilema <i>free fight democracy</i>. Bahkan, di level yang paling
buruk, karena institusi politik semakin banyak menjadi kepanjangan
tangan para pemodal, tanpa modal infrastruktur kekuasaan yang memadai,
seorang calon presiden yang populis sekalipun akan mudah didikte oleh
pasar.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana bisa popularitas dan
dukungan publik yang besar dalam pemilu tidak bisa menjadi jaminan
seorang kandidat atau tokoh bisa mengoperasikan kekuasaannya secara
efektif?</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Dukungan publik yang besar dalam pemilu memang tidak
selalu bisa dikonversi untuk mengoperasikan kekuasaan secara efektif.
Kasus kepemimpinan Jokowi-Basuki di DKI Jakarta merupakan contoh yang
baik. Terlambatnya pengesahan APBD DKI tahun 2014, serta ditolaknya
pengadaan truk sampah oleh DPRD DKI, menjadi contoh bahwa popularitas
dan dukungan publik yang luas terhadap keduanya tidak menjamin mereka
berada dalam posisi yang sangat kuat ketika harus berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan politik yang terlibat dalam perumusan kebijakan
publik, dalam hal ini yang ada di DPRD.</span><br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggSYJaIQ09zo1iJNtguFB5joBl7UFNSCUfhQYQLSnKfhPc5031azjpQm5SlJPLS_fA0ZM8jD18RXz7wL8y_2IEFFZDXrQoWzzt1muaVxByRSDLq-mU-PIGt5TIlrSxG438WmtGOD9T2K7j/s1600/prabowo+endorser.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggSYJaIQ09zo1iJNtguFB5joBl7UFNSCUfhQYQLSnKfhPc5031azjpQm5SlJPLS_fA0ZM8jD18RXz7wL8y_2IEFFZDXrQoWzzt1muaVxByRSDLq-mU-PIGt5TIlrSxG438WmtGOD9T2K7j/s1600/prabowo+endorser.jpg" height="228" width="400" /></a></div>
<blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><b>... sekadar menjadi <i>simpatisan</i> politik saja tidak akan memberikan perbedaan apapun, kecuali hanya di hari pemilihan.</b></span></blockquote>
</blockquote>
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Proses
perumusan kebijakan secara teknis memang hanya melibatkan
lembaga-lembaga kekuasaan formal, baik yang berada di wilayah politik
maupun ekonomi. Posisi publik, seberapapun besar dan massifnya, hanya
akan menempatkan mereka sebagai kelompok penekan (<i>pressure group</i>)
saja. Tanpa penetrasi ke dalam lembaga-lembaga kekuasaan formal tadi,
dukungan besar itu tidak bisa dikonversi menjadi infrastruktur
kekuasaan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Persis di sini publik harus menyadari bahwa sekadar menjadi <i>simpatisan</i>
politik saja tidak akan memberikan perbedaan apapun, kecuali hanya di
hari pemilihan. Proses politik selanjutnya, dimana seorang pemimpin
terpilih harus bernegosiasi dan bertanding dengan berbagai kepentingan
dalam proses perumusan kebijakan, membutuhkan dukungan infrastruktur
kekuasaan. Dan itu hanya bisa diperoleh melalui para <i>partisipan</i>,
yaitu mereka yang terlibat di dalam institusi-institusi resmi
pengambilan kebijakan, mulai dari lembaga politik, birokratik, dan
sejenisnya. Para partisipan inilah yang bisa dijahit dan dikonversi
menjadi infrastruktur kekuasaan. Dan hal yang sama tidak bisa terjadi
pada dukungan para simpatisan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><b>Demokrasi Terbajak</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Jika beberapa riset yang pernah dilakukan sejumlah lembaga survei menyebut bahwa jumlah <i>swing voters</i>
(pemilih mengambang) dan golput merupakan penentu kekuatan perubahan,
maka penilaian itu bernilai benar sejauh yang dimaksud sebagai perubahan
itu sebatas yang terjadi di hari pemilihan. Kalau diperhatikan, angka
golput dalam tiap Pemilu di Indonesia sejak Reformasi 1998 memang terus
meningkat. Jika pada Pemilu 1999 angkanya hanya 10,21 persen, maka pada
Pemilu 2004 dan 2009 masing-masing angkanya menjadi 23,34 persen dan
29,01 persen. Sedangkan, angka <i>swing voters</i> bisa dilihat dari fluktuasi perolehan suara partai-partai politik, yang angka dan konfigurasinya terus-menerus berubah. Jumlah <i>swing voters</i>
ini berkisar antara 14 hingga 19 persen, jika dilihat dari
perubahan-perubahan yang terjadi dalam perolehan suara partai-partai
politik sejak Pemilu 1999 hingga 2009.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Angka <i>swing voters</i>
ini memang menjadi penentu perubahan, sekali lagi, jika yang dimaksud
adalah perubahan di hari pemilihan. Pada Pemilu 2009 lalu, ketika suara
Partai Golkar turun 8 persen, PDI-Perjuangan turun 4,5 persen, dan
Partai Kebangkitan Bangsa turun 5,5 persen, pada saat yang bersamaan
suara Partai Demokrat naik menjadi 14 persen. Pada Pemilu 2009, <i>swing voters</i> telah berhasil membuat Partai Demokrat menjadi pemenang Pemilu.</span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></span><br />
<blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><b>Tanpa
infrastruktur kekuasaan yang kuat, seorang kandidat bisa sangat mudah
dipaksa untuk mengerjakan agenda-agenda pemilik infrastruktur kekuasaan
lain yang lebih kuat, meskipun mereka yang terakhir ini tidak pernah
ikut Pemilu dan dipilih rakyat.</b></span></blockquote>
</blockquote>
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Namun,
sebagaimana telah diuraikan di atas, karena kemenangan itu hanya
ditentukan oleh para simpatisan saja, yang tak menjadi bagian organik
dari kekuatan harian institusi politik dan ekonomi di tanah air,
kemenangan itu tak bisa dikonversi oleh Partai Demokrat menjadi
infrastruktur kekuasaan yang mampu menyokong mereka dalam menjalankan
roda pemerintahan. Mereka masih harus menjalin berbagai koalisi yang
kebanyakan tidak perlu, dan akhirnya memang tersandera dalam
mengoperasikan kekuasaan pemerintahan secara efektif. Di luar faktor
lemahnya kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana
telah sering diulas selama ini, faktor penjelas yang mengena mengenai
kenapa posisi Partai Demokrat tetap lemah meski memenangi Pemilu adalah
bahwa kemenangan itu tak membuat infrastruktur kekuasaan mereka jadi
lebih kuat. Kondisinya mirip dengan posisi PDI-Perjuangan pada Pemilu
1999. Meski bisa menjadi pemenang Pemilu dengan meraup suara hingga
33,75 persen, namun modal suara yang besar itu tak mampu mengantarkan
Megawati ke kursi presiden, karena suara yang besar itu terbukti
disumbang oleh <i>swing voters</i>, sekadar simpatisan, yang terbukti dalam Pemilu setelahnya mengalihkan dukungan politiknya ke partai lain.</span><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi01GProp4JMIgXgqk1JoHERQqbn8bvCoqmJxeElSMcVUl_WkZygGUmsHhjoeJJaViL_uAowbZC4GiFDwREnq10xE1LUgcI9F1TIZGJdL27V9hM6Hc0huIxjXk676r710Fun5alNXl1XdLJ/s1600/infrastruktur.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi01GProp4JMIgXgqk1JoHERQqbn8bvCoqmJxeElSMcVUl_WkZygGUmsHhjoeJJaViL_uAowbZC4GiFDwREnq10xE1LUgcI9F1TIZGJdL27V9hM6Hc0huIxjXk676r710Fun5alNXl1XdLJ/s1600/infrastruktur.jpg" height="250" width="400" /></a></div>
<br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Menghadapi
pemilihan presiden 2014, para pemilih sebenarnya mudah saja untuk
mengukur apakah para kandidat calon presiden yang bertarung memiliki
kompetensi untuk merealisasikan janji dan programnya atau tidak, dengan
melihat infrastruktur kekuasaan yang telah dibangun para kandidat. Jika
mereka sudah cukup lama membangun infrastruktur kekuasaan, kita bisa
menyebut bahwa kompetensi mereka jauh lebih baik daripada kandidat yang
sekadar mengandalkan popularitas tapi belum apa-apa dalam menyiapkan
infrastruktur kekuasaan. Tanpa infrastruktur kekuasaan yang kuat,
seorang kandidat bisa sangat mudah dipaksa untuk mengerjakan
agenda-agenda pemilik infrastruktur kekuasaan lain yang lebih kuat,
meskipun mereka yang terakhir ini tidak pernah ikut Pemilu dan dipilih
rakyat.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Jika yang terakhir itu kembali terjadi dalam Pemilu 2014 ini, maka demokrasi sesungguhnya kembali telah terbajak.</span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><i>*) Tulisan ini dimuat di Tabloid The Politic No. 11/III, 04-17 April 2014, hal. 20.</i></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-83602021219275094792014-09-29T22:16:00.003+07:002014-09-30T08:02:07.074+07:00PERLUKAH KONSTITUANTE JILID DUA?<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"></span></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJVqLQVL4aSZ5dCa3kRk3fS_IieCCZtJPigmQoo7Xbz3ikkI48cjmj8A339JA7BvGLrNuEKYGgGY8jRZZ6G2tSDLSOuCfyiB-FQGg_xYpj98ogax3mvoiPMULNsCzF3-DAA4fCSGfQenQu/s1600/soekarno-08s.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJVqLQVL4aSZ5dCa3kRk3fS_IieCCZtJPigmQoo7Xbz3ikkI48cjmj8A339JA7BvGLrNuEKYGgGY8jRZZ6G2tSDLSOuCfyiB-FQGg_xYpj98ogax3mvoiPMULNsCzF3-DAA4fCSGfQenQu/s1600/soekarno-08s.jpg" height="400" width="272" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Oleh<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"> Tarli Nugroho</b></span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Peneliti Mubyarto Institute; Kepala P2M
(Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)</span></i></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Pada akhirnya,
cepat atau lambat, sepertinya kita harus membuka kembali kotak pandora
Konstituante. Perdebatan politik yang berlangsung sejak Pemilu Legislatif dan
Pemilu Presiden 2014 lalu, jika kita periksa anatominya, sepertinya akan menjadi
perdebatan tanpa ujung hingga bertahun-tahun ke depan. Ada beberapa sebab
kenapa semua perdebatan itu akan berakhir tanpa ujung, baik secara politik
maupun akademis.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Pertama</span></i></b><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">, secara politik perdebatan itu
tidak pernah benar-benar hendak membangun konsensus (baru), sehingga tidak berusaha
mencari titik temu, melainkan sekadar menegaskan premis-premis dasar dari masing-masing
posisi awal.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Kedua</span></i></b><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">, perdebatan itu terlalu diwarnai
oleh sentimen politik warisan Pilpres 2014, yang kebetulan memang telah membagi
perkubuan politik hanya jadi dua. Kentalnya sentimen tersebut telah membuat banyak
perdebatan penting jadi sulit untuk mencapai poin substansial, dan lebih banyak
terjebak di soal-soal atributif yang residual. </span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Ketiga</span></i></b><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">, perdebatan yang terjadi, baik di
wilayah politik, hukum, ekonomi, maupun pendidikan, tiga dari beberapa topik
yang banyak diperdebatkan akhir-akhir ini, hanya terbatas pada
persoalan-persoalan di hilir, padahal persoalan-persoalan yang diperdebatkan tersebut
merupakan derivat dari persoalan-persoalan yang ada di hulu. Tentu saja, karena
hanya berkutat di hilir, sekeras apapun perdebatan itu tidak akan menyelesaikan
persoalan yang sesungguhnya.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Keempat</span></i></b><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">, secara akademis perdebatan yang
terjadi terlalu didominasi oleh sudut pandang normatif dan behavioral. Sudut
pandang normatif mengandaikan bahwa segala urusan politik, hukum, ekonomi, tata
negara, bisa begitu saja dideduksi dari norma dan teori. Sementara, sudut
pandang behavioral hanya menghasilkan pesimisme, karena terlalu fokus pada
perilaku aktor dan lembaga politik yang dianggap dekaden. </span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Kombinasi dari
dua sudut pandang ini telah melahirkan bukan hanya pandangan skeptis, tapi juga
apatis, dan bahkan anarkis. Tak sedikit kalangan terdidik yang kemudian
menganggap bahwa sebaiknya semua lembaga politik dibubarkan saja. Perdebatan akhirnya
tidak pernah sampai ke soal substantif di hulu, karena orang kemudian jadi
kehabisan energi dalam perdebatan di hilir.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Dan <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">kelima</i></b>,
sebagai akibat dari rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai
politik, perdebatan politik yang terjadi sekarang ini tersebar luas kepada publik
sebagai individu, tak terkanalisasi di dalam institusi politik. Buntutnya, spektrum
perdebatan jadi terlalu luas, baik ideologi maupun kepentingannya. Dinamika politik
pun akhirnya bersifat dualistik, antara yang berlangsung di tengah masyarakat,
dengan yang terjadi di institusi politik formal, dimana pada masing-masingnya melibatkan
spektrum perbedaan yang luas.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvL7vWarEZQdPjPbAL3MYAilsWGmHkSaDI9YZFMl72pNSsWKhqjJhCB2ZZWWMZsnMjz3J2PYP1kHVuJFSAarlnkBhu7Z1iueZaZEAacmQ2qIBns3HJeljp1E2oVRcFwXPJLPZephSQS4jC/s1600/gatra+1998++065.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvL7vWarEZQdPjPbAL3MYAilsWGmHkSaDI9YZFMl72pNSsWKhqjJhCB2ZZWWMZsnMjz3J2PYP1kHVuJFSAarlnkBhu7Z1iueZaZEAacmQ2qIBns3HJeljp1E2oVRcFwXPJLPZephSQS4jC/s1600/gatra+1998++065.jpg" height="400" width="297" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Meskipun sebagian
kalangan akan sulit mengakui, ketegangan politik yang kini terjadi sebenarnya
bukan berakar di soal Pilpres 2014, melainkan berakar pada konstitusi “baru” hasil
amandemen. Setelah diamandemen empat kali, sistem tata negara kita, sebagaimana
diakui oleh sejumlah ahli tata negara, termasuk mereka yang terlibat dalam
proses amandemen itu sendiri, memang mengidap sejumlah persoalan sistemik. Jika
tidak diselesaikan, persoalan itu akan terus-menerus merongrong kita di masa
depan.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Apakah amandemen
kelima merupakan solusi? </span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Di tengah
kepercayaan publik yang semakin rendah pada partai politik dan pemerintah, agak
sulit membayangkan opsi ini. Lagi pula, lazimnya proses amandemen adalah
meneruskan perubahan-perubahan dasar yang telah ditetapkan di awal, dan bukan
mengkoreksinya secara fundamental.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Bagaimana dengan
kembali kepada UUD 1945?</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Mengulang kembali
apa yang pernah dilakukan Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mestinya
tidak lagi terbayangkan. Meskipun kita mungkin telah melakukan banyak kebodohan
dalam proses amandemen UUD 1945 pasca-Reformasi, namun kembali lagi kepada UUD
1945 malah menunjukkan bahwa kita memang tak sanggup menjadi pewaris negeri yang
cakap, karena ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan fundamental harus terus-menerus
kembali ke pencapaian di masa lalu sebagai solusinya.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Persis di
situ kita mungkin harus membayangkan sesuatu yang pastinya tidak menyenangkan
dan memiliki beban sejarah tidak ringan: membuka kotak pandora Konstituante.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Kita tentu
tidak ingin menjadi seperti pernah disebut Hatta, kita hidup di zaman besar,
namun hanya menjadi generasi yang kerdil. Kita hanya berani berdebat di
soal-soal hilir yang risikonya kecil, dan tak berani mengambil tanggung jawab berdebat
di soal-soal fundamental. Kita menyebut perubahan UUD 1945 yang disahkan pada 2002
itu sebagai “amandemen”. Coba bayangkan, betapa pengecutnya generasi yang telah
memperjuangkan Reformasi itu. Ya, sekali lagi: <b>PENGECUT</b>! </span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKDDKlPbv9YVlwrYvmZeJqxiVj5e408Mt3zatZ2DyD5zKIcRH4SXSvjKzGzTyEvrhGZogMpDvcw2rF-AGz2IK_q4cVI2QuI8DL_i7OFGeHDiZKTTi6WHSjN71cvCka9XW-nB_pyJfbeQDc/s1600/megawati011.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKDDKlPbv9YVlwrYvmZeJqxiVj5e408Mt3zatZ2DyD5zKIcRH4SXSvjKzGzTyEvrhGZogMpDvcw2rF-AGz2IK_q4cVI2QuI8DL_i7OFGeHDiZKTTi6WHSjN71cvCka9XW-nB_pyJfbeQDc/s1600/megawati011.jpg" height="400" width="303" /></a></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Mereka,
termasuk kita hari ini, menyebutnya sebagai “amandemen”, padahal perubahan yang
dilakukan itu bersifat fundamental. Kenapa tak berani menyebut proses amandemen
yang terjadi pada periode 1999-2002 itu sebagai “proses perumusan konstitusi
baru”? Karena mereka adalah generasi kerdil, yang tak hendak memikul beban
sejarah dari judul megah “perumusan konstitusi”. </span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Di hadapan
tikungan sejarah, yang mungkin dalam hitungan beberapa tahun ke depan akan
semakin jelas datang ke hadapan kita, pilihan manakah yang akan kita tempuh? </span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Kontestasi Pilpres
2014 lalu secara manipulatif akan menjebak kita hanya pada dua pilihan. Pertama
adalah meneruskan saja jalan cacat-sistemik yang kini telah dan masih
berlangsung; atau kedua, kembali lagi kepada UUD 1945. </span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Tapi benarkah
hanya dua pilihan itu yang bisa kita tempuh?</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Persis di
sini kita harus bisa keluar dari kepicikan pikiran masing-masing. Soal politik,
ekonomi, hukum, pendidikan, kebudayaan, dan tata negara kita bukan hanya soal
Prabowo versus Jokowi. Bangsa Indonesia jauh lebih besar daripada sekat
imajiner “pendukung Prabowo” dan “pendukung Jokowi”. Mensubordinatkan Indonesia
hanya kepada dua figur itu jelas bukanlah produk pikiran yang matang dan
dewasa. Hanya jika kita mampu melepaskan diri dari sekat sentimental itu, kita
bisa menyusun pilihan lain.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhMWXwtBCx0TLkzbq23QqWoZluiAWqlR3zKQoqo_kirMlRtQBgDDRRGi6Ga89S7gPYEHzRgM_-lL_9X7c5_txhkxZ_8GG5MS1uUK2Ekuxk_nJNjM-quesXTK0mk-q1PxK6F_I6lQK2bK4f/s1600/Prabowo+Presiden.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhMWXwtBCx0TLkzbq23QqWoZluiAWqlR3zKQoqo_kirMlRtQBgDDRRGi6Ga89S7gPYEHzRgM_-lL_9X7c5_txhkxZ_8GG5MS1uUK2Ekuxk_nJNjM-quesXTK0mk-q1PxK6F_I6lQK2bK4f/s1600/Prabowo+Presiden.jpg" height="247" width="400" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Mungkinkah jalan
lainnya adalah dengan membentuk kembali Konstituante, untuk merumuskan “konstitusi
baru”?</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Mestinya itulah
yang kita pikirkan. Kemungkinan-kemungkinan membicarakan hal ini harus mulai
kita buka, dan gagasan-gagasan yang akan dibahas terkait dengan itu mulai
dipersiapkan. Itu sebabnya, energi intelektual kita seharusnya tidak dihabiskan
untuk membahas soal Pilkada dan harga BBM, atau entah soal-soal hilir lainnya
apalagi yang akan datang menyerbu esok pagi.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Tentu saja,
ini baru lamunan saja. Berbeda dengan Dewan Konstituante dahulu yang juga
membahas dasar negara, maka Konstituante yang baru hanya bekerja dalam koridor
sebagaimana proses amandemen dahulu, dimana dasar negara, pembukaan, serta
bentuk negara, serta sejumlah nilai dasar, tidak lagi diperdebatkan. Di situlah,
dalam Konstituante, soal tata negara Indonesia ke depan akan dirumuskan ulang,
dengan pemikiran dan logika sistemik yang lebih matang, koheren dan konsisten. </span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Saya membayangkan,
agar menjadi representasi dari kepentingan rakyat, sekaligus keluar dari
problem kronis yang diidap partai politik hari ini, Konstituante hanya 40
persen saja yang berasal dari partai politik, sementara sisanya direkrut dan
dipilih dari anggota masyarakat, kaum cendekiawan, utusan organisasi keilmuan,
keagamaan, perguruan tinggi, dengan mekanisme dan prosedur tertentu. Mungkin separuh
dipilih, separuh lagi ditunjuk. Jadi, 40 persen perwakilan partai politik yang
ada di parlemen, 30 persen dipilih oleh masyarakat non-partai, dan 30 persen
adalah utusan-utusan.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Memang,
cukup berat membayangkan itu. Terutama cukup berat untuk membayangkan ada dari
generasi kita yang lahir dan dibesarkan dalam trauma rezim totalitarian sanggup
diserahi tugas bukan sekadar menjadi pengamat, peneliti, aktivis, akademisi, atau
politisi yang terbiasa asyik-masyuk pada isu-isu dan persoalan-persoalan yang temporal
dan parsial, sekadar jadi <i style="mso-bidi-font-style: normal;">man of public
meeting</i> yang terbiasa menggebrak meja dan menunjuk-nunjuk lawan bicara, melainkan
untuk jadi negarawan perumus konstitusi yang sanggup berpikir jernih dan
bijaksana.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFR-XkTfgbmb5_8ZdlThXyNwrc4NQvxDRFS-oVSgPbzJoNZo-y5m8IeXPNuY6jS5H724yl0biEp5ublf83PJxd4LCJGlzfzWPuAdNE5ylK4I0tksj4OvZtUr0TG-goxKQwgur3s-NFKdbK/s1600/Soekarno017a.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFR-XkTfgbmb5_8ZdlThXyNwrc4NQvxDRFS-oVSgPbzJoNZo-y5m8IeXPNuY6jS5H724yl0biEp5ublf83PJxd4LCJGlzfzWPuAdNE5ylK4I0tksj4OvZtUr0TG-goxKQwgur3s-NFKdbK/s1600/Soekarno017a.jpg" height="400" width="301" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Jika kita
ingin mengambil tanggung jawab itu, maka sebelumnya kita harus bisa menjamin
bahwa kita telah membaca sejarah negeri dan pemikiran para pendiri Republik ini
dengan jernih, sanggup membaca perubahan zaman dengan cermat, serta telah menjadi
individu otonom yang sanggup mendayagunakan akal budinya sendiri dengan arif, tak sekadar membebek pada pandangan orang lain. Tanpa itu, sebaiknya
kita mengalihkan tugas itu kepada generasi yang akan datang, yang akan kita
bina melalui sistem pendidikan nasional yang harus segera kita benahi.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Ah, saya kira,
saya sudah melamun terlalu panjang.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Yogyakarta, 29 September 2014</span></i></span></div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6419493084940978298.post-60399843859881394602014-09-29T08:33:00.002+07:002014-09-29T08:35:19.543+07:00TIKUNGAN DENG DAN GORBY<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Constantia","serif";
mso-fareast-language:EN-US;}
</style>
<![endif]--><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVH8p5LMiHCjOXgPFAQ1ezrHI0rjw_eZBjwnOwKS0WDmFq4rXbOP28R-z1ZrW_hb4OYJOvHKLnoXlCNQSEJNGIpzyiGJ1FJdVQwWHSexB9W-DE-Qts3r-sJIO-UOyxGcPo4VX22iDAE0EG/s1600/deng+gorby.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVH8p5LMiHCjOXgPFAQ1ezrHI0rjw_eZBjwnOwKS0WDmFq4rXbOP28R-z1ZrW_hb4OYJOvHKLnoXlCNQSEJNGIpzyiGJ1FJdVQwWHSexB9W-DE-Qts3r-sJIO-UOyxGcPo4VX22iDAE0EG/s1600/deng+gorby.jpg" height="211" width="400" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Oleh <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Tarli Nugroho</b></span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Peneliti Mubyarto Institute; Kepala P2M
(Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)</span></i></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br />
Pengujung dekade 1980-an merupakan periode penting bagi siapa saja yang
tertarik belajar politik, terutama dalam kerangka bagaimana menimbang sebuah
kebijakan politik dalam horison jangka panjang, tidak sekadar <i style="mso-bidi-font-style: normal;">on the spot</i>.</span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br />
Tak ada negara yang menyedot begitu besar perhatian pada dekade itu selain dua
raksasa Uni Soviet dan Cina. Keduanya sama-sama negara komunis tapi s<span class="textexposedshow">elalu mengambil jalan yang bersimpangan. </span></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="textexposedshow">Satu dasawarsa itu perekonomian Cina menanjak
pesat. Berbeda dengan para pemimpin sebelumnya, Deng </span><span class="textexposedshow"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Xiaoping
</span>membuka perekonomian Cina sehingga bisa berkembang, namun ia tetap
mengunci rapat-rapat laci politiknya. Apa yang terjadi di Cina berkebalikan
dengan Soviet. Di penghujung dekade itu, melalui <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Perestroika</i> dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Glasnost</i> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">a</i></span><span class="textexposedshow"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span>la</i>
</span><span class="textexposedshow"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Mikhail </span>Gorbachev, Soviet mereformasi baik politik maupun
perekonomiannya. Tak ada lagi negeri tirai besi.</span></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="textexposedshow">Meski perkembangan ekonominya menarik perhatian
dunia, Deng gagal mendapat simpati dunia. Ia kalah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">sembada</i> dibanding </span><span class="textexposedshow"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Gorby </span>yang banyak
dipuja-puji, terutama di negeri-negeri Barat. Tragedi Tiananmen 1989</span><span class="textexposedshow"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">, kita
tahu, kemudian</span> menjadi tapal batas antara Deng dan Gorby.</span></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="textexposedshow">Ironisnya, meski banyak dipuja-puji warga dunia,
dan kelak mendapat hadiah Nobel Perdamaian, Gorby gagal mengangkat Soviet yang
sedang terpuruk. Reformasi politik dan ekonominya tidak mendatangkan hasil yang
diharapkan. Dan sebagai pemimpin, di negerinya sendiri ia dianggap sebagai
pecundang yang tak berwibawa.</span></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="textexposedshow">Apa yang kemudian dipetik Cina dan Soviet? </span></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="textexposedshow">Usaha reformasi ekonomi sembari tetap mengontrol
ketat politik, meski tak populer di mata warga dunia, telah mengantarkan Cina
menjadi negara adidaya di abad ini. Sementara, reformasi politik dan ekonomi
yang dilakoni Soviet, yang dulu disanjung-sanjung itu, telah mengubur Soviet ke
dalam laci sejarah. Negeri itu bubar justru ketika pemimpinnya sedang
disanjung-sanjung dunia.</span></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="textexposedshow">Apa yang dilupakan Gorby dan para demonstran
Tiananmen, dengan segala hormat terhadap seluruh ikhtiar kemanusiaannya, adalah
menganggap demokrasi bisa disulap. Mereka mengira transformasi politik dan
ekonomi bisa dilakukan sekadar dengan mengubah prosedur. Padahal, transformasi
sosial tak mungkin bisa dilakukan jika infrastrukturnya belum siap. Soal </span><span class="textexposedshow"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">“</span>prosedur</b></span><span class="textexposedshow"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">”</span></b> dan </span><span class="textexposedshow"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">“</span>infrastruktur</b></span><span class="textexposedshow"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">”</span></b> ini memang sering kali
dipertukarkan, seolah keduanya memiliki hubungan substitusi.</span></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="textexposedshow">Dalam skala yang lebih mikro, kesalahan serupa juga
yang telah membuat kenapa Adi Sasono dulu gagal menjalankan agenda ekonomi
kerakyatan ketika menjadi menteri koperasi dalam kabinet Habibie. Anggaran dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">political will</i> saja tidak cukup untuk
memberdayakan ekonomi rakyat, tanpa terlebih dahulu menyiapkan
infrastrukturnya. Program-program itu akhirnya berhenti bekerja begitu dana dan
pejabatnya berhenti.</span></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="textexposedshow">Menengok kembali tikungan yang pernah dilewati Deng
dan Gorby, jika memperhatikan karakter </span><span class="textexposedshow"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">rakyat </span>Indonesia hari ini,
kebanyakan </span><span class="textexposedshow"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">rakyat </span>kita pasti lebih memilih tikungan
Gorby daripada Deng. Repotnya, meski memilih tikungan Gorby, mereka selalu
ingin mendapatkan hasil yang diperoleh tikungannya Deng. </span></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="textexposedshow">Ya</span><span class="textexposedshow"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">, begitulah kita</span>. Hipokrisi
adalah kita!</span><span class="textexposedshow"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"></span></span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span class="textexposedshow"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Yogyakarta, 22 Agustus
2014</span></i></span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"></span></i></span></div>
Unknownnoreply@blogger.com0