Kamis, 01 Mei 2014

SOEKARNO, HANUNG DAN GIEBELS



Oleh Tarli Nugroho
Mantan penonton film 


Kemarin petang, Minggu, 5 Januari 2014, ditemani secangkir kopi dan sepotong roti pisang coklat, saya menyimak acara "Tea Time with Desi Anwar", yang kali ini berkunjung ke rumah dan mewawancarai Hanung Bramantyo. Saya telah membaca ulasan-ulasan kekecewaan mereka yang sudah menonton film "Soekarno" yang disutradarai Hanung, dan hanya bisa menebak-nebak, karena belum sempat menonton film tersebut. Makanya, petang kemarin, saya menyimak betul perbincangan dengan sutradara asal Yogya tersebut, untuk menambah gambaran agak lebih utuh mengenai ramai-ramai yang mengekor film tersebut.

Tentu saja, bagian yang paling saya tunggu adalah tanggapannya atas kritik yang diberikan beberapa pengamat dan sejumlah pihak atas film laris tersebut. Saya menduga Hanung akan bertahan pada interpretasinya mengenai Soekarno. Tak ada yang salah dan aneh dengan hal itu. Yang penting adalah apa argumennya atas interpretasinya yang banyak digugat orang itu. Dan argumennya betul-betul membuat saya terkejut. Dengan yakin Hanung mengatakan bahwa interpretasinya mengenai Soekarno pasti korek karena interpretasi itu sangat sesuai dengan fakta-fakta yang dikemukakan oleh buku Lambert J. Giebels. Bagi saya, pengakuan itu menjelaskan segalanya, termasuk kritik Salim Said bahwa film tentang Soekarno itu secara ironis malah justru lebih mengangkat figur Sjahrir daripada Soekarno sendiri.

Giebels, yang menulis buku "Soekarno: Nederlandsch Onderdaan, Biografie 1900-1950" (1999), adalah politikus Partai Buruh (Partij van de Arbeid) Belanda. Dalam kurun 1970-an hingga 1980-an, ia pernah tinggal di Indonesia sebagai konsultan di Departemen Pekerjaan Umum, yang juga digunakannya untuk melakukan riset mengenai Soekarno. Kalau kita membaca buku biografi Soekarno yang disusunnya, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tiga belas tahun silam, buku ini memang berhasil melakukan 'zoom in' terhadap kehidupan Si Bung, yang membuatnya seolah hadir sangat dekat dengan pembaca. Tetapi Giebels, sebagaimana halnya Antonie C.A. Dake, dan Victor Miroslav Fic, sejak lama dianggap sebagai para penulis yang tendensius. Joesoef Isak bahkan dengan keras menyebut karya ketiganya mengenai Soekarno sebagai "klinkklare onzin", atau "semurni-murninya omong kosong". Apa yang disebut sebagai "fakta" dan "informasi" dalam karya-karya mereka, menurut Isak, seratus persen adalah produk abstraksi benak mereka sendiri, namun abstraksi itu diperlakukan sebagai kenyataan yang serba benar.

Mungkin ada yang masih ingat tulisan Rosihan Anwar, "Perbedaan Analisa Politik antara Sukarno dengan Hatta", yang dimuat di Harian Kompas, 15 September 1980. Dalam tulisan yang memancing polemik hingga berbulan-bulan hingga kuartal pertama 1981 itu, Rosihan menggoreng sebuah isu yang terselip dalam buku John Ingleson, "Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934" (1979), ihwal surat permohonan ampun Soekarno kepada pemerintahan kolonial sebelum dibuang ke Ende. Sumber yang dirujuk Ingleson adalah salinan surat-surat Soekarno di arsip pemerintah kolonial Belanda. Karena itu bukan surat-surat asli, banyak yang meragukan isinya. Beberapa tokoh dan pelaku sejarah menyebut hal itu sebagai rekayasa polisi rahasia pemerintah kolonial. Mohammad Roem, yang menyebut dirinya banyak berseberangan dengan Soekarno, dan bahkan pernah dipenjarakan Soekarno, tak urung ikut mempermasalahkan tulisan Rosihan itu dan mempertanyakan maksud di baliknya. Roem, setelah mengemukakan sejumlah data dan kesaksian, yang intinya membantah cerita yang diangkat Ingleson dan kemudian digoreng Rosihan, bahkan harus menulis lebih jauh, termasuk mempertanyakan kenapa dalam tulisan-tulisannya Rosihan selalu menulis Hatta lebih dulu daripada Soekarno, sesuatu yang ganjil bagi penulisan sejarah Indonesia, yang lazimnya mengenal"Soekarno-Hatta" sebagai sebuah frasa daripada sebaliknya. Menarik untuk memperhatikan, karangan-karangan Rosihan, bersama dengan terjemahan karya Dake dan Fic, yang semuanya diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, pada saat ini memang merupakan karya-karya tentang 1965 dan mengenai Soekarno yang paling mudah ditemui di toko buku dibanding buku-buku lainnya. Buku lainnya yang masih bisa dijumpai adalah karangan Bernard Dahm dan Onghokham. Dari kesemuanya, hanya karangan Ong yang bisa disebut “memberikan simpati” kepada Soekarno.

Ingleson, dalam sebuah konfirmasi yang diberikannya di Majalah Tempo, Maret 1981, mengklaim bahwa Hatta juga mempercayai kebenaran surat-surat Soekarno itu dalam sebuah perbincangan dengannya. Anehnya, Iding Wangsa Widjaja, sekretaris Bung Hatta, dengan tegas mengatakan bahwa Ingleson tidak pernah mewawancarai Hatta. Sejak 1964, menurut Wangsa, Bung Hatta tidak lagi memberikan wawancara kepada wartawan dan sarjana asing. Dalam buku agendanya, dan juga buku agenda kegiatan Hatta, dia tidak menemukan catatan bahwa Bung Hatta pernah diwawancarai Ingleson.





Ihwal surat permintaan ampun Soekarno kepada pemerintah kolonial Belanda ini menjadi salah satu tikungan dramatis dalam biografi yang ditulis Giebels. Dan persis pada bagian ini, dengan nada yang akan membuat kita merasa ganjil, dia kemudian mengetengahkan sosok Hatta dan Sjahrir, yang disebutnya sebagai tokoh yang lebih radikal daripada Soekarno. Mereka lebih berbahaya daripada Soekarno, demikian Giebels, karena keduanya merupakan didikan gerakan revolusioner Eropa!

Saya yakin Hanung sangat terpesona ketika membaca bagian ini pada buku Giebels, dan menganggapnya sebagai sebuah penemuan penting bagi dirinya. Saya bisa mengira demikian berdasarkan rekonstruksi dari sejumlah catatan yang ditulis oleh beberapa kawan yang sudah menonton film Soekarno. Sayangnya, Hanung saya kira tak berusaha mencari pembanding atas narasi yang disusun Giebels. Dan saya juga ragu dia memeriksa bagaimana posisi karya Giebels dalam hiruk-pikuk penulisan sejarah mengenai diri Soekarno, sebelum memutuskannya menjadi rujukan penting yang akurat bagi pembuatan filmnya. Dengan langsung merujuk kepada Giebels sebagai sanggahan atas kritik yang ditujukan kepada filmnya, sebagaimana yang disampaikannya dalam acara bincang-bincang dengan Desi Anwar petang kemarin, jelas terlihat bahwa Hanung memang alpa melakukan penilaian atas sumber yang dirujuknya. Dan, saya kira, ini adalah penjelasan masuk akal atas semua kritik yang telah dituliskan mengenai film Soekarno yang dibuatnya.

Meski berhasil menggali sisi-sisi kemanusiaan Soekarno, buku Giebels memang harus dianggap tendensius. Selain mengangkat soal surat permintaan ampun yang kontroversial itu, Giebels juga menulis bahwa Soekarno membuat kesepakatan dengan seorang agen rahasia Belanda pada masa revolusi. Intinya, Soekarno setuju Belanda tetap menjajah Indonesia, melalui pemerintahan yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal, asalkan Soekarno ditunjuk menjadi perdana menteri.





Selain tendensius, alur narasi yang disusunnya kadang memang menggelikan, yang tidak jarang malah melemahkan konstruksi yang sebetulnya ingin ditonjolkannya. Dalam uraian mengenai surat-surat Soekarno, misalnya, yang dia gunakan untuk mempertentangkan dan mengkontraskan pribadi Soekarno di satu sisi dengan Hatta-Sjahrir di sisi yang lain, narasinya juga menggelikan. Setelah ia menyebut bahwa Hatta dan Sjahrir jauh lebih radikal dan lebih berbahaya daripada Soekarno, yang telah dibuang ke Ende, maka pemerintah kolonial juga kemudian menangkap Hatta dan Sjahrir. Sjahrir ditangkap ketika ia sedang menunggu kapal yang akan membawanya berlayar ke Amsterdam untuk menjumpai kekasihnya, Maria Duchateau! Dengan segala hormat kepada Sjahrir, menurut saya konstruksi "lebih radikal daripada Soekarno" dan cerita penangkapan yang dibuat Giebels itu malah membuat Bung Kecil jadi terlihat menggelikan.

Hal menggelikan lainnya dari narasi Giebels, terlepas dari surat permintaan ampunnya yang hingga kini masih misterius, Soekarno diasingkan karena aktivitas politiknya semakin dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial. Giebels mengakui bahwa analisis sosial yang dilakukan Soekarno atas kondisi dan watak bangasanya, lebih realistis daripada yang dilakukan oleh Hatta dan Sjahrir. Itu yang membuatnya lebih bisa menggerakan orang dan mempengaruhi massa. Tentunya, di luar kemampuan orasinya yang memang sangat memikat. Lalu, kenapa Giebels memaksa untuk memberikan penilaian bahwa Hatta dan Sjahrir jauh lebih radikal dan lebih berbahaya daripada Soekarno?! Sebab, bukankah pada uraian yang sama, Giebels juga mengemukakan bahwa alasan pembuangan Hatta dan Sjahrir sebenarnya lebih bersifat preventif, dan itu berbeda dengan alasan yang dibuat pemerintah kolonial atas pembuangan Soekarno. Giebels menulis bahwa "pengasingan sebagai tindakan preventif [sebenarnya] belum ada presedennya". Nah! Lantas, tanpa maksud mengecilkan peran Hatta dan Sjahrir pada masa itu, dimana sebenarnya konstruksi "radikal" dan "revolusioner" yang dimaksud Giebels dalam uraiannya itu? Ia terlihat hanya bermain-main dengan soal labeling saja dan tidak cukup bertanggung jawab memaparkannya dalam sebuah uraian yang konsisten.

Alhasil, alih-alih berhasil membuat seorang Soekarno jadi terlihat menggelikan, jika itu memang maksudnya, dengan uraiannya itu Giebels sebenarnya telah membuat trio Soekarno, Hatta dan Sjahrir sekaligus jadi sama menggelikannya. Atas hal-hal menggelikan semacam ini, orang Yogya pasti akan mengatakan: “edan po piye?” Atau, kalau orang Betawi, mereka pasti akan berujar: “gile nggak tuh?” Dan, saya paham kenapa dulu Joesoef Isak sampai melempar kata-kata pedas atas karya Giebels ini.

Ya, seperti halnya minum obat, maka membaca buku pun harus memperhatikan petunjuk dan aturan pakai, selain sebaiknya harus dengan resep dokter. Dan Hanung sepertinya telah meluputkan keduanya.

Yogyakarta, 6 Januari 2014


Catatan Tambahan:
Saya mempertahankan mengeja nama Bung Karno dengan "Soekarno", dan bukannya "Sukarno", karena ejaan itu adalah ejaan nama orang yang harus dipertahankan sesuai dengan aselinya. Meski ejaan bahasa Indonesia telah tiga kali disempurnakan, namun nama orang sebaiknya dipertahankan seperti bentuk awalnya, agar orang jadi tidak kehilangan konteks sejarah yang melahirkan ejaan itu. Makanya, meskipun Bung Karno menghendaki namanya dieja sebagai "Sukarno", namun saya sendiri bertahan pada ejaan "Soekarno". Bukankah Bung Karno sendiri mempertahankan tanda tangannya yang menggunakan ejaan "Soekarno" dengan alasan sebagai artefak maka tanda tangan tidak bisa diubah? Sebagai pengamat, kita mestinya mendudukan ejaan "Soekarno" juga sebagai artefak bahasa yang harus dipertahankan, dan bukannya manut kepada kehendak si pemilik nama dalam menuliskan ejaannya. Posisi mempertahankan dan menjaga artefak bahasa, menurut saya, jauh lebih penting daripada menuruti kehendak Bung Karno. Makanya saya suka heran dengan orang yang gampang menyalahkan ejaan "Soekarno". Menurut saya, mereka tidak memiliki sensitifitas sebagai pencinta bahasa.

NARASI DAN REALITAS POLITIK



Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta


“Realitasnya masyarakat kini menginginkan Jokowi.” Kalimat itu sering saya dengar dalam banyak obrolan di kedai kopi, terutama pada jam-jam makan siang. Jika kebetulan meluncur dari mulut orang yang dikenal, saya selalu bertanya, “Apa buktinya kalau masyarakat menginginkan Jokowi?” Jawaban yang disampaikan umumnya sudah bisa ditebak: “Survei-survei politik selalu menempatkan namanya pada posisi pemuncak calon presiden.”

Di luar konteks Jokowi, atau nama-nama lainnya, pernyataan dan jawaban semacam itu selalu mengusik saya. Perkaranya sederhana, karena pernyataan dan jawaban itu sebenarnya menggambarkan hubungan yang tidak searah, sebagaimana diandaikan bahwa realitaslah yang telah memproduksi hasil survei. Benarkah begitu?! Sebab, dari pernyataan dan jawaban yang sama, terdapat juga kemungkinan bentuk hubungan lain, misalnya, hasil surveilah yang sebenarnya telah memproduksi realitas tadi. Atau, kemungkinan lainnya lagi, bahwa sebenarnya terdapat hubungan kausasi sirkuler (circular causation) antara keduanya, dimana realitas dan hasil survei politik sebenarnya bersifat saling mempengaruhi.

Sampai di situ, saya selalu diingatkan pada satu hal yang kadang banyak dilupakan, bahwa dalam bidang apapun, yang disebut sebagai fakta dan/atau data dalam kenyataannya memang selalu tidak bisa berbicara sendiri. Sebab, fakta dan data yang sama pada kenyataannya tak jarang bisa digunakan untuk menyampaikan dua narasi yang berbeda, bahkan yang saling bertolak belakang sekalipun. Oleh karenanya saya sering merasa geli jika ada orang yang selalu menempatkan fakta atau data sebagai senjata pamungkas dalam sebuah diskusi atau perdebatan, dengan andaian bahwa fakta atau data itu mampu berbicara sendiri. Mereka pasti lupa faktor narasi ini, dimana selain fakta dan data yang sama bisa digunakan untuk menyampaikan dua narasi yang berbeda, mereka juga telah melupakan kenyataan bahwa fakta dan data juga sebelumnya dilahirkan oleh sebuah proses naratif. Jadi, obrolan ringan sebagaimana disebut di muka itu sepertinya memang tidak boleh dianggap sederhana.

Jika Marx memperkenalkan distingsi M1 dan M2 dari rantai M-C-M (Money, Commodity, Money), dimana M1 adalah uang (money, M) yang digunakan oleh si kapitalis sebagai modal untuk memproduksi komoditas (commodity, C), dimana selanjutnya komoditas itu akan dijual untuk menghasilkan uang lagi (M2), maka narasi yang bisa merajut fakta, data, dan realita juga sebenarnya berlapis-lapis.

Sederhananya begini. Narasi pertama, sebut saja N1, adalah narasi yang telah melahirkan fakta (F). Dari fakta (F) menjadi data (D), tak sebagaimana yang sering dibayangkan, juga melibatkan proses transformasi naratif, karena secara teoritis data merupakan fakta yang telah mengalami proses seleksi dan penyusunan ulang sedemikian rupa Proses naratif perubahan F menjadi D ini kita sebut saja N2. Jadi, jika data (D) itu kita narasikan kembali, sebagaimana misalnya data-data survei politik dipresentasikan dalam konferensi pers, maka narasi yang disampaikannya, kita sebut saja N3, bisa jadi merupakan narasi yang tak lagi sama dan sebangun dengan N2 dan/atau N1.

Sampai di situ muncul pertanyaan: dari rangkaian tadi, N1-F-N2-D-N3 itu, manakah yang sebenarnya bisa disebut sebagai realitas itu, apakah N1, F, N2, D, ataukah N3?! Persis di sini, relasi antara fakta, data, dan narasi dengan realitas tak lagi sesederhana sebagaimana yang sering dibayangkan.





Film Chaos Theory (2008), yang disutradarai oleh Marcos Siega, barangkali bisa jadi ilustrasi yang mengena atas rantai abstraksi tadi. Frank Allen (diperankan oleh Ryan Reynolds), seorang penceramah profesional dalam bidang manajemen waktu, suatu kali mengalami hari yang buruk karena datang terlambat ke sebuah seminar dimana dia harus berceramah soal manajemen waktu. Cerita buruk belum berakhir, karena di hotel tempatnya menginap, Frank dijebak untuk berselingkuh oleh seorang perempuan yang menjadi peserta seminarnya. Beruntung ia bisa meloloskan diri dari situasi yang tak dikehendaki itu. Namun, celakanya, persis ketika Frank berhasil meloloskan dari hotel untuk pulang ke rumah, istrinya, Susan Allen (diperankan Emily Mortimer), menelpon ke kamar hotelnya dan diangkat oleh perempuan yang hendak memperdaya tadi. Kita sudah bisa membayangkan persepsi yang muncul di benak Susan atas suaminya.

Cerita terus memburuk karena dalam perjalanan pulang Frank terjebak pada situasi dimana ia harus mengantar ke rumah sakit seorang perempuan yang hendak melahirkan. Di tengah perasaan kalut, karena terlalu fokus pada pekerjaannya, Frank tak memperhatikan bahwa ia telah memasukan data pribadinya kepada formulir data pasien dari perempuan yang diantarnya. Dan perawat di rumah sakit telah melakukan kesalahan karena telah menganggap bahwa Frank adalah ayah dari bayi yang akan dilahirkan. Sebelum Frank sampai ke rumahnya, perawat di rumah sakit telah menelpon ke rumahnya, yang diangkat oleh Susan, dan mengabarkan kelahiran sang bayi. Bisa dibayangkan, situasi menjadi kian rumit bagi Frank.

Bagi Susan, fakta bahwa di kamar hotel suaminya ada seorang perempuan lain, dan kini ditambah sebuah telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa suaminya baru saja memiliki anak dari seorang perempuan lain, dijadikan data bahwa suaminya, Frank, telah berbohong kepadanya selama ini. Dan itu sudah menjadi alasan yang cukup baginya untuk mengusir suaminya dari rumah. Bagi kita, yang menonton film itu, kita tahu persis bahwa narasi yang dialami Frank (N1) tidaklah sebagaimana narasi yang disimpulkan oleh Susan (N3), meskipun Susan menarik kesimpulannya dari fakta dan data yang sungguh-sungguh dialami suaminya.

Persis di situlah kita perlu menyadari bahwa fakta dan data memang tidak bisa berbicara atau menulis narasinya sendiri, karena setiap fakta dan data mengada dalam struktur naratif yang telah menciptakannya. Tanpa pertama-tama memperhatikan struktur naratif yang telah melahirkan fakta dan data itu, penarasian ulang dari fakta dan data tadi bisa jauh panggang dari api.

Oleh karenanya, setiap kali berhadapan dengan survei-survei politik, saya pertama-tama selalu teringat pada nasib buruk yang dialami Frank.


*) Tulisan ini dimuat di http://www.the-geotimes.com/component/k2/narasi-dan-realitas-politik.html.

MÁRQUEZ (1927-2014)



Oleh Tarli Nugroho
Penyuka sastra; Bekas penonton film.

Saya pertama kali membaca “One Hundred Years of Solitude” dengan banyak mengernyitkan dahi. Ini novel yang mengguncang, bertenaga, dan rumit. Kerumitan yang bikin frustrasi adalah untuk membedakan nama-nama enam generasi keluarga José Arcadio Buendia yang mirip satu sama lain. Nama-nama itu akan membuat pening setelah Anda melewati seratus lima puluh halaman pertama. Coba bayangkan, José Arcadio Buendia punya tiga anak, Aureliano Buendia, José Arcadio dan Amaranta. Aureliano Buendia punya anak, salah satunya Aureliano José. José Arcadio punya anak, namanya Arcadio. Arcadio, cucu José Arcadio Buendia, punya tiga anak, yaitu Remedios, Aureliano Segundo, dan José Arcadio Segundo. Aureliano Segundo, anak kedua Arcadio, punya tiga anak, yaitu Renata Remedios, José Arcadio, dan Amaranta Ursula. Bayangkan, semakin jauh membaca, agar tak kehilangan jejak soal posisi generasional kita harus selalu kembali ke halaman pertama yang berisi silsilah keluarga José Arcadio Buendia, karena semakin banyak nama yang muncul secara bersamaan. Itulah karya Gabriel Garcí­a Márquez yang pertama saya baca. Dan itu adalah novel yang sangat memikat.

Sebelum membaca novel itu, saya kebetulan sedang membaca risalah-risalah mengenai Taman Siswa dan sangat terkesan oleh sebuah karangan Ki Hadjar Dewantara yang terbit pada 1938. Dalam karangan mengenai pendidikan nasional dan azas-azas Taman Siswa itu, Ki Hadjar, mungkin dengan sedikit meminjam Tagore, menulis:

“Hidup kita adalah kutipan dari hidup orang Barat; suara kita adalah kumandang Eropa; kita ini yang seharusnya seorang intelek tidak boleh lebih daripada sebuah tas penuh keterangan-keterangan; dalam jiwa kita ada kekosongan, hingga kita tidak sanggup untuk meresapkan apa-apa yang indah dan bernilai.”

Saya adalah anak muda yang masih duduk di tahun-tahun awal kuliah dan memiliki kegairahan teramat sangat untuk mengetahui dan memahami apapun, waktu itu. Dan karangan itu berhasil mencuri kegelisahan saya.




Karenanya, ketika ketemu “One Hundred Years of Solitude”, sejak halaman pertama Márquez langsung menarik perhatian karena narasinya berhasil meletupkan kembali kegelisahan yang pertama kali diprovokasi Ki Hadjar tadi: “Bertahun-tahun kemudian, ketika Kolonel Aureliano Buendia menghadapi regu tembak, ia terkenang akan sebuah sore yang jauh, tatkala ia bersama ayahnya menyaksikan es untuk pertama kali. Pada waktu itu Macondo adalah sebuah desa dengan dua puluh rumah batu, berada di tepi sungai teramat jernih yang dasarnya dihuni oleh batu-batu berwarna putih, berkilauan dan besar-besar seperti telur-telur zaman purba. Dunia seakan baru saja diciptakan sehingga segala sesuatu belum mempunyai nama, dan untuk menyebut suatu benda, orang harus langsung menunjuknya.” Bagi saya, waktu itu, cara Marquez membuka halaman pertama novelnya memiliki ikatan batin dengan cara Ki Hadjar merumuskan persoalan pendidikan nasional tahun 1938 itu, yang belakangan saya sebut sebagai “kekerabatan epistemik post-kolonial”.

Saya tidak ingat, apakah perkenalan dengan karya-karya Márquez mendahului perkenalan dengan karya-karya Jorge Luis Borges, atau sebaliknya. Tapi yang jelas, pada diri saya, ada tali yang mengikat dua narasi itu dengan sebuah puisi Borges:

Terberai di kota-kota berjauhan
sendiri dan berlaksa
kita bermain sebagai Adam
(atau Hawa)
memberi nama segala.
Di lereng panjang malam hari
di tapal batas dini hari
kita mencari (masih kuingat) kata-kata
untuk bulan, untuk maut, untuk pagi

Ketiga risalah tadi, merupakan tulisan-tulisan yang telah membentuk imajinasi awal saya mengenai “otonomi intelektual” dan “otentisitas”. Setiap orang yang merasa dirinya terpelajar harus terpanggil untuk menjadi Adam, atau Hawa, dengan berusaha “memberi nama segala”, dan tak gampang terikat kepada nama-nama yang telah terberi.

Selain “One Hundred Years of Solitude”, saya berkenalan dengan novel Márquez lainnya melalui sebuah film, “High Fidelity”. Ya, itu adalah filmnya John Cussack. Entah kenapa saya selalu menyukai untuk menonton semua “film brengsek” aktor yang satu ini. Dalam film itu, Cussack membaca dan banyak menyebut novel “Love in the Time of Cholera”. Tentu saja, selain dari daftar pustaka buku-buku yang pernah dibaca, kita bisa menjadikan film sebagai referensi mencari buku bermutu. Saya juga melakukannya. Dari film “With Honour”, misalnya, saya mulai membaca Walt Whitman dan Emile Zola. Dari “The Unbearable Lightness of Being”, yang novel dan filmnya sama-sama membuat mabuk kepayang, saya belajar membaca Tolstoi.




Untuk mengenang Márquez, yang baru saja berpulang, saya selalu terkenang pada kata-kata “satire”-nya yang selalu bisa menerbitkan gelak: “The problem with marriage is that it ends every night after making love, and it must be rebuilt every morning before breakfast.” Tapi, tentu saja tak ada yang lebih menggetarkan dari novel “Love in the Time of Cholera”, selain kalimat brengsek yang selalu membuat saya tercenung: “The only regret I will have in dying is if it is not for love.”

Adios, Gabo.

SEJARAH, INGATAN DAN NOVEL



Oleh Tarli Nugroho
Penyuka sastra; Bekas penonton film


Membaca sejarah itu seperti membaca novel. “By its very nature, the novel indicates that we are becoming. There is no final solution. There is no last word.” Begitu yang ditelatahkan Carlos Fuentes. Namun, kita seringkali menyalahpahami sejarah. Kita sering mengaburkan “history” dengan “memory”, membaurkan sejarah dengan ingatan. Dan sebagai ujungnya, impak dari “penyejarahan ingatan”, kita hanya mampu melihat sungai waktu dari kacamata oposisi biner: ingat-lupa, pelaku-korban, atau baik-jahat. Persoalannya, sejarah hanya bisa memberi pelajaran jika kita mampu membacanya secara metodik, tak sekadar ingat dan lupa. Sebab, dalam banyak hal, kita cenderung hanya mengingat apa yang ingin kita ingat saja, tanpa menguji kualitas ingatan itu. Dan cara macam itu tak akan mengajari kita apapun selain sekadar merawat penalaran yang hanya penuh dengan penyangkalan, antitesis, dan menghardik-hardik. Inilah yang telah membuat cara kita bersikap kepada sejarah banyak didominasi oleh perasaan kebencian, penolakan, dan negativitas.


Kesalahpahaman itu barangkali telah berlangsung sejak lama, sejak Sutan Takdir Alisjahbana menghardik-hardik Sriwijaya dan Majapahit dalam Polemik Kebudayaan yang terjadi di pertengahan dekade 1930-an. Bagi Takdir, masalah Indonesia di kuartal kedua abad keduapuluh adalah “kurang individualis”, “kurang materialis”, dan “kurang egois”. Dan semua ikatan yang menyandera itu terhubung kepada Sriwijaya, Majapahit, Hinduisme, Buddhisme, dan Islamisme. Pendek kata, Takdir sedang mendakwa kejumudan di masa itu sebagai buah dari masa lalu, yang penanggung jawabnya merentang hingga ke zaman Sriwijaya.





Dan untuk keluar dari belenggu masa lalu itu, Takdir langsung melancong ke masa depan dengan melupakan tautan keduanya. Apa yang dimaksud dengan “masa depan” tentunya tiada lain adalah Barat. Persoalannya, persis pada titik sebagaimana dikemukakan Takdir masa itu, Barat telah menjadi bukan lagi kategori geografis maupun sosial yang netral, melainkan telah menjadi sebuah kategori yang superior: ia adalah masa depan dari kekinian yang tersebar di koloni-koloni. Ia adalah tempat kemana kita akan beranjak. Imaji yang demikian, hadir tanpa ironi dalam tulisan-tulisan Takdir. Karena yang modern ada di luar sana, maka ia harus diimpor. Lalu dimulailah gerilya pengejaran terhadap modernitas dengan melakukan kremasi terhadap masa lampau. Pendek kata, di Indonesia, modernitas dilakukan dengan penyangkalan terhadap masa lalu dan pengejaran terhadap sesuatu yang berada di luar sana.

Barangkali, persis di sinilah kekerabatan post-kolonial kita dengan Amerika Latin berselisih jalan. Hampir seperempat abad silam, pada kuliah Nobel Kesusastraan-nya, Octavio Paz, mencoba menelatahkan kediriannya dengan lebih baik. “Kami adalah orang Eropa, walaupun bukan!” ujarnya ironik. Dalam sungai waktu, Amerika Latin memang telah dipisahkan dari Dunia Lama-nya, tapi di sisi lain mereka juga tak bisa sepenuhnya menjadi Eropa. Itulah petaka yang senantiasa menguntit pergunjingan mereka mengenai identitas. Lalu, ke manakah mereka harus menginduk? Mereka bergumam dalam bahasa Eropa, kesusastraan mereka juga dicetak dengan huruf yang diangkut oleh kapal-kapal Eropa, tapi kesemua-miripan itu tak menjadikan mereka orang Eropa.




Namun, dan ini yang membedakannya dengan kita, Amerika Latin cepat tersadar untuk segera berhenti menguntit Barat, menjadi bayang-bayang Eropa, dan tak pernah menghardik-hardik masa lalunya. Meski kuil-kuil dan dewa-dewa Meksiko Pra-Kolombia telah tinggal onggokan artefak, kata Paz, namun roh yang meniupkan kehidupan ke dunia itu belum punah; ia masih berbicara kepada mereka dalam bahasa hermetik: mitos, legenda, seni rakyat, dan adat istiadat. Dan lewat bahasa hermetik itu Amerika Latin diam-diam melakukan pemberontakan atas Eropa. Benar kata Pablo Neruda, Spanyol boleh saja telah mengambil emas mereka, tapi mereka juga mendapatkan emas Eropa: kata-kata. Tidak heran, jika pemberontakan itu secara sengit kemudian, terutama, dikerjakan lewat kesusastraan.

Maka, demikian kata Paz, dalam kaitannya dengan modernitas, alih-alih dicari dengan menemukannya di luar, mereka justru menemukannya di dalam; terkubur, namun masih hidup. Mereka tidak menyalahkan masa lalu, menanggalkan, atau menyangkalnya, melainkan mengolahnya sebagai ramuan untuk merumuskan kedirian dan kekinian mereka.

Sungguh kontras sekali dengan kita. Sejak kita menghapus bahasa dan gelar Belanda dari perguruan tinggi pasca-Proklamasi, sejak rezim Soeharto mengajari kita untuk mengkhawatirkan apapun yang berhubungan dengan Soekarno yang merupakan pendahulunya, pada hari ini kita juga masih saja bertegak risau dengan segala hal yang berhubungan dengan Soeharto. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa sejarah Indonesia modern adalah sejarah yang bertarung dengan masa lalunya. Sejarah kita selalu berisi kerisauan terhadap masa lalunya. Dan sebagian kaum terpelajar kita menghelat pertarungan terhadap masa lalu itu sebagai proyek personal pencerahannya.

Apakah semua itu, kecenderungan kita untuk selalu bertarung dengan masa lalu, atau penyangkalan terhadapnya, merupakan sebab kita tak pernah tanggap pada masa depan dan bingung mendefinisikan hari ini? Entahlah.

Cara bersikap demikian itu mungkin terjadi karena historiografi kita terlampau bersifat politik-sentris, dimana pembabakannya hingga kini masih saja ditandai oleh tapal batas pergantian rezim. Dengan model historiografi yang demikian, sudut pandang kitapun rentan mengidap penyakit oposisi biner, yang bersifat terlalu “politis”—dalam pengertiannya yang sangat peyoratif, sebagaimana telah disebut di awal.

Persis di soal ini, kita kabur dalam membedakan sejarah dari ingatan. Dalam “Insider”, sebuah film yang dibintangi Russell Crowe dan Al Pacino, ada dialog yang menarik antara Crowe dengan Pacino, mengenai bagaimana kebanyakan orang sesungguhnya tidak peduli kepada apa yang telah dilakukan orang lain seumur hidupnya, yang merupakan representasi dari “history”, karena mereka hanya akan mengingat apa yang terakhir kali dilakukannya saja. Ada Tembok Berlin yang memisahkan “history” dengan “memory”. Namun, tak banyak orang yang menyadarinya.




Sekarang, bagaimana kita mendefinisikan “yang terakhir kali” itu?! Di hadapan sungai waktu, “terakhir kali” adalah sebuah konsep yang sangat mengambang. Apa yang terakhir kali dilakukan hari ini akan menjadi masa lampau keesokan harinya. Dan setiap hari, apa yang disebut “terakhir kali” itu terus-menerus diciptakan. Tentu saja, ingatan mengenai masa lalu sangat penting, agar kita tidak menjadi seorang pelupa. Tapi, kita juga sebaiknya tidak melupakan satu hal: sejarah bukanlah sebuah penjara dimana mereka yang terkurung di dalamnya mustahil untuk bebas atau melarikan diri. Sejarah bukan hanya mengenai apa yang telah jauh melampau, karena bukankah sejarah juga terus-menerus dicatatkan setiap hari?!

Persis di situ kita harus bisa membedakan “sejarah” dari “ingatan”. Sejarah selalu memproduksi “terakhir kali” yang lain. Setiap hari. Sementara ingatan, ia memenjarakan kita di kelampauan.


*) Tulisan ini bisa dibaca juga di http://www.geotimes.co.id/blog/994-sejarah,-ingatan,-dan-novel.html