Rabu, 25 Juni 2014

BEGAWAN



Oleh Tarli Nugroho
Pembaca media
 

Hari ini (Rabu, 25 Juni 2014), Koran Tempo di halaman tujuh memuat pernyataan Goenawan Mohamad (GM) bahwa "media massa tidak harus bersikap netral dalam kebijakan pemberitaannya". Yang penting, menurutnya, isinya "tidak memfitnah". Untuk menguatkan pendapatnya, GM menggunakan contoh Majalah Fikiran Ra'jat yang dipimpin Soekarno pada tahun 1930-an. Bung Karno juga tidak netral ketika menulis, ujarnya. 

Menurut saya, "tidak harus" adalah bentuk pernyataan spekulatif penuh keraguan. Itu lebih mewakili sikap pembenaran daripada ikhtiar yang benar-benar untuk merumuskan ulang, jika itu memang diperlukan, hal-hal terkait standar jurnalistik. Dengan mengkontraskan "boleh tidak netral" dengan "fitnah" dalam posisi yang secara konseptual seolah equal, pernyataan itu secara tidak langsung juga sedang meremehkan standar liputan berimbang. Asal bukan fitnah, media boleh bersikap tidak netral dengan mengabaikan cover both sides, misalnya. Saya tidak percaya ucapan macam itu bisa keluar dari seorang yang sering disebut sebagai salah satu "empu jurnalis(tik)" di Indonesia, dan itu diucapkan pada peringatan pembredelan sebuah media yang dulu sering disebut sebagai barometer standar jurnalistik. Zaim Uchrowi dulu bahkan pernah menyebutnya sebagai kuil. Ya, kuil, tempat para rahib dan pendekar berlatih mengasah ketajaman pena dan pikiran.

Memasukan "fitnah" sebagai sebuah ukuran verbal dalam jurnalisme juga cukup problematis. Bukan substansinya, tapi verbalismenya. Ukuran "faktual" dan "cover both sides" sebenarnya sudah cukup memagari standar jurnalistik. Saya khawatir, hanya karena intensi untuk memberikan pembenaran atas kekacauan praktik jurnalisme politik paling kurang pada dua tahun terakhir ini, setelah ini jangan-jangan "suudzon" (prasangka buruk) juga menjadi ukuran baru yang lain. Bagaimana, misalnya, para jurnalis bisa melakukan liputan investigatif jika "presumption of guilty" yang biasanya menjadi dasar sebuah liputan investigatif tiba-tiba dianggap sebagai 'suudzon', sebuah sikap yang dalam kacamata agama bernilai dosa. Menyerap kosakata sejenis "fitnah" ke dalam perbincangan jurnalistik, apalagi dilakukan oleh para jurnalis sendiri, menurut saya adalah sebuah kemunduran dengan komplikasi terusan yang tak terbayangkan.

Dan terus terang saya merasa geli ketika GM menggunakan Fikiran Ra'jat sebagai contoh ukuran bagi jurnalisme yang tidak netral itu. Fikiran Ra'jat adalah media agitasi dan propaganda (agitprop) kaum pergerakan kebangsaan, seperti halnya Majalah Daulat Ra'jat yang digawangi Hatta, dan media-media kaum pergerakan lainnya di masa itu. Media-media itu diterbitkan sebagai alat propaganda untuk menyebarkan kesadaran kebangsaan. Tepatkah menjadikan media propaganda sebagai standar jurnalistik? Kalau begitu, apakah GM sedang memproklamirkan secara terbuka bahwa media yang pernah dilahirkannya kini juga adalah sejenis media agitprop?! Selain faktor "fitnah", berarti tak ada bedanya dong antara Koran Tempo dengan Obor Rakyat jika begitu?! Apa memang iya begitu?

Pertanyaan lain saya, bukankah dulu GM dan kawan-kawannya pernah sangat menggelisahkan model pemberitaan Harian Rakjat dan rombongannya? Kenapa dulu digelisahkan jika logika yang sama, bahwa media pada dasarnya hanyalah alat propaganda untuk membela kepentingan politik yang diimani, kini justru digunakan sebagai legitimasi untuk membela praktik jurnalistik yang diimaninya sendiri?! Kemana gerangan kegelisahannya dulu itu?!

Akhirnya, tak ada yang lebih menggelikan daripada seorang pejuang kejatuhan Soekarno yang kemudian menggunakan Soekarno sebagai pembela posisinya hari ini, dan seorang pejuang Orde Baru yang kini mengkampanyekan ketakutan pada orde yang pernah didirikannya itu.

Begitulah politik. Dan sepertinya begitulah setiap orang berpolitik hari ini. Tapi, jika begitu, kenapa ada yang merasa dirinya lebih suci, lebih benar, sehingga lebih berhak menentukan kebenaran bagi semua orang?!

Yogyakarta, 25 Juni 2014

[JURNALISME] MESUM




Oleh Tarli Nugroho
Pembaca media



"Mesum atau tidak itu tidak tergantung pada perbuatannya, tapi tergantung tarif hotelnya," kalimat itu meluncur dari seorang kawan dalam sebuah obrolan di bulan Ramadhan, beberapa tahun silam. Tentu saja saya terbahak mendengarnya. Hanya sepelemparan batu dari gerbang kantor kami, waktu itu, terdapat sebuah rumah bergorden merah marun yang setiap lepas magrib diparkiri taksi dan kendaraan roda empat lainnya. Mobil-mobil itu hanya singgah barang lima atau sepuluh menit untuk kemudian segera meluncur ke berbagai penginapan yang ada di Yogya.

Kata teman-teman kantor sih begitu. Nah, saya sih biasanya pura-pura tidak memperhatikan obrolan mereka. Padahal... He he he. Tak jauh dari rumah itu, sekitar dua ratusan meter ke arah Barat, juga terdapat sebuah salon yang setelah beberapa kali secara sengaja saya lewat di depannya, setelah diberitahu teman-teman, sejumlah perempuan dengan hot pants setiap pagi menjelang siang pasti sedang duduk-duduk mengantri mandi. Saya mengira mereka pasti mau mandi karena hampir semuanya menyelempangkan handuk di bahunya.

Tak heran, jika menjelang tanggal muda, banyolan di antara kami hampir selalu menyerempet tempat-tempat tadi. Termasuk pada hari di bulan Ramadhan itu. Tapi bukan tempat-tempat itu yang ingin saya bagi di sini, he he he.

Setiap kali menjelang dan selama bulan Ramadhan, kita sering mendengar aparat kepolisian atau satuan polisi pamong praja di berbagai daerah mengadakan razia tempat-tempat mesum. Dan sasaran mereka, selain warung remang-remang, biasanya adalah hotel-hotel kelas melati. Di sana, mereka biasanya merazia apa yang mereka sebut "pasangan-pasangan mesum".

Kenapa yang dirazia hanya hotel kelas melati, bukannya hotel berbintang? Apakah aparat berasumsi kegiatan mesum hanya berlangsung di hotel kelas melati? Atau, apakah seperti banyolan kawan saya di atas, soal "mesum" dan "tidak mesum" pertama-tama memang bukan soal konstruksi moral atas sebuah perbuatan, melainkan sekadar soal "tarif hotel"?! Ah, itu adalah pertanyaan-pertanyaan jahil yang mungkin dianggap tidak penting oleh banyak orang. Saya juga mulanya menganggap tidak penting pertanyaan-pertanyaan itu. Sampai kemudian siang tadi saya membeli Majalah Tempo edisi terbaru yang menulis soal Obor Rakyat. Entah kenapa, kalau membaca bagaimana soal Obor Rakyat dibicarakan, saya jadi teringat pada soal "permesuman" tadi.

Tidak perlu belajar jurnalistik menahun untuk menemukan bahwa apa yang dilakukan oleh Obor Rakyat dan para "jurnalisnya" adalah contoh sebuah perbuatan "mesum" dalam dunia jurnalistik. Saya menyambut baik paernyataan AJI yang dengan tegas menyebut bahwa Obor Rakyat itu bukan merupakan bagian dari dunia "jurnalistik". Ya, tabloid itu memang sampah saja.

Tapi, sebagaimana halnya perbuatan mesum di hotel-hotel kelas melati, Obor Rakyat adalah contoh dari perbuatan mesum yang vulgar dan verbal. Bagaimana halnya dengan perbuatan "mesum" kelas "hotel berbintang" dalam dunia jurnalistik kita? Bagaimana dengan media-media raksasa yang mendaku dirinya sebagai "penjaga moral", "penyuara kebenaran", "pengadil yang tak memihak", yang setiap hari mengisi halaman dan layarnya dengan tulisan dan tayangan penuh hasut, insinuasi, yang sama sekali tak memenuhi kaidah jurnalistik paling sederhana sekalipun?!
 

Obor Rakyat itu kotoran! Anak sekolah dasar saja tahu hal itu. Tapi jika kita yang merasa dirinya terdidik lebih merisaukan kotoran semacam Obor Rakyat sembari menutup mata terhadap kotoran yang setiap hari diproduksi oleh media-media raksasa, dan malah mengambil keuntungan darinya hanya karena kotoran-kotoran itu "menyuburkan" aspirasi politik kita, tak bisa lain bahwa kita sesungguhnya hanyalah sejenis bangsa bakteri yang hanya bisa hidup di tengah kotoran.

Tapi, ya, seperti halnya tarif hotel, "kotoran" yang dibagi gratis dengan "kotoran" yang dibeli dengan duit puluhan ribu memang beda levelnya. Karena ada harganya, kotoran mungkin tak lagi dianggap kotoran. Jadi, soal "mesum" dan "kotoran" di negeri ini memang perkara tarif dan harga, bukan soal konstruksi etik atas sebuah perbuatan, pikiran, atau cara pandang.

Semoga saya keliru.

Sabtu, 14 Juni 2014

SUMITRO DAN DAWAM


Oleh Tarli Nugroho

 

Siang itu, medio 1989, Sumitro Djojohadikusumo bertandang ke kantor LP3ES. Tentu saja ia disambut dengan baik di lembaga itu. Sumitro adalah salah satu pendiri lembaga yang pada masanya pernah sangat berwibawa tersebut. Kedatangan Sumitro siang itu tak lain adalah untuk menemui Dawam Rahardjo. Dia ingin berterima kasih kepada Dawam karena atas inisiatifnyalah maka disertasi yang ditulis Sumitro, "Het Volkscredietwezen in Depressie" (1943), bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan sebagai buku oleh LP3ES. Disertasi itu diterjemahkan menjadi "Kredit Rakyat di Masa Depresi" (1989).

"Maksud kedatangan saya adalah untuk berterima kasih kepada saudara. Saya sangat menghargai usaha saudara untuk menulis pemikiran saya dalam pengantar panjang di buku itu. Selain itu, saya merasa punya kewajiban untuk menjelaskan beberapa hal terkait dengan pendapat dan komentar saudara dalam pengantar itu." Kurang lebih begitulah omongan awal Sumitro ketika berjumpa Dawam siang itu. Saya beberapa kali mendengarkan cerita itu dari Dawam, sejak empat tahunan silam.

Obrolan siang itupun berlangsung hangat. Sumitro bercerita detail mengenai penulisan disertasi itu, termasuk bercerita mengenai latar belakang ketertarikannya terhadap soal kredit rakyat dan gerakan koperasi. "Minat itu sangat dibentuk oleh ayah saya," demikian Sumitro. Ayahnya, Margono Djojohadikusumo, adalah inspektur koperasi pada masa kolonial Belanda. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, jika sedang libur Sumitro kecil selalu dajak ayahnya untuk 'turba' (tournee) ke desa-desa di pelosok Jawa. Interaksinya dengan pekerjaan ayahnya itu telah menumbuhkan minatnya terhadap ekonomi rakyat, terutama terkait dengan soal kredit rakyat dan koperasi. Tak heran, ketika menulis disertasi di Nederlandsch School of Economics, soal itulah yang dipilih Sumitro sebagai topik disertasinya. Ia menyelesaikan pendidikan doktoralnya pada usia 25 tahun.






Hal yang paling mengesankan Dawam dari pengakuan Sumitro siang itu adalah kejujuran Sumitro mengenai polemiknya dengan Sjafruddin Prawiranegara pada tahun 1950-an. "Jarang ada intelektual senior yang memiliki sikap rendah hati seperti Pak Mitro. Terutama rendah hati dalam hal mengakui kekeliruannya. Tapi Pak Mitro siang itu dengan terbuka mengakui bahwa dalam banyak hal, pemikiran Sjafruddin pada waktu berpolemik dengannya lebih dari tiga dekade sebelumnya itu adalah yang betul. Untuk membangun perekonomian Indonesia, kita tidak bisa langsung melompat. Melainkan harus dimulai dari desa dan pertanian dulu," kenang Dawam.

Saya ingat, saya juga pernah membaca pengakuan tersebut di Majalah TEMPO, mungkin juga pada sebuah edisi yang terbit pada medio 1989. Saya membaca majalah itu di Perpustakaan UPT 1 UGM, sekira empat belas tahun silam. Berita itu mungkin terkait dengan berpulangnya Sjafruddin. Mantan Presiden PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) itu meninggal pada 15 Februari 1989.

Sumitro, dalam polemik tertulis tahun 1950-an itu, memang cenderung kepada gagasan untuk terutama menumbuhkan kelas menengah dan melakukan strategi industrialisasi, sementara Sjafruddin, yang sebenarnya merupakan seorang monetaris, justru berpandangan bahwa perekonomian Indonesia harus dibangun dari desa. Sebagai seorang ekonom dengan sikap nasionalis yang kuat, Sumitro cenderung untuk menumbuhkan kelas menengah pribumi karena dia melihat bahwa kelas ekonomi tersebut selama ini dikuasai oleh golongan Tionghoa. Struktur warisan kolonial itu dianggapnya sangat tidak sehat. Itu sebabnya ketika menjadi menteri pada masa Bung Karno, Sumitro banyak merancang program ekonomi untuk menumbuhkan para pengusaha pribumi.

Sementara, Sjafruddin, dengan latar belakangnya sebagai ahli moneter, sangat paham bahwa untuk melakukan strategi industrialisasi dibutuhkan modal yang besar. Dalam kerangka itu, gagasannya mengenai pembangunan pertanian dan perdesaan sebenarnya bisa dikatakan bukanlah gagasan yang bersifat "ideologis", melainkan "pragmatis" saja: sebagai gubernur bank sentral yang pertama, yang tahu betul bahwa Indonesia mengalami kekurangan modal, Sjafruddin berpandangan maka Indonesia harus mengawali proses pembangunan ekonominya dari sektor pertanian dan perdesaan, yang tidak membutuhkan banyak modal. Dalam posisinya terhadap modal itu, makanya bisa dipahami pula jika, berbeda dengan Sumitro, Sjafruddin sangat tidak antusias dengan agenda nasionalisasi yang dilakukan Soekarno. Sementara, pada sisi yang berseberangan, Sumitro merancang pemikiran ekonominya dalam kerangka program nasionalisasi ala Soekarno itu.

Saya sejak dua tahun lalu sebenarnya sedang berusaha untuk meredaksi kembali polemik tersebut. Inisiatif itu terutama dipicu setelah dihadiahi draf buku Dawam yang menulis pemikiran pembangunan Sumitro. Draf buku Dawam itu saat ini sedang dalam proses penerbitan oleh LP3ES. Itu naskah lama sebenarnya, ditulis tahun 1989, dibuat untuk sebuah program yang diadakan SPES, salah satu anak lembaga LP3ES. Dalam program tersebut, ada beberapa orang yang ditugasi untuk melakukan kajian pemikiran tokoh. Dawam kebagian menulis Sumitro, sementara Ignas Kleden, misalnya, kebagian menulis Geertz. Sayangnya, menurut Dawam, hanya dia yang menyelesaikan proyek kajian pemikiran itu. Belakangan saya mengingatkannya, bahwa mungkin Kleden telah menjadikan proyek kajian mengenai Geertz itu sebagai bahan untuk disertasinya kemudian. Ya, dia membenarkan.

Gara-gara buku mengenai Sumitro itu, dan setelah membantu Dawam dalam proses penulisan buku mengenai Sjafruddin Prawiranegara, saya mulai berburu karangan-karangan dalam polemik itu. Saya sangat beruntung ketika belakangan saya juga menemukan bahwa Profesor  Goan Po, salah satu tokoh PSI lain, juga memiliki sebuah karangan yang membahas polemik Sumitro dan Sjafruddin itu. Dan saya juga menemukan sebuah transkrip pembicaraan Margono yang membahas karangan Tan Goan Po itu. Wah, itu betul-betul arsip-arsip yang menarik...

Poin penting lain yang saya catat mengenai Sumitro, berbeda dengan Sjahrir, misalnya, Sumitro adalah tokoh PSI yang sangat religius. Kesaksian ini saya dapati, selain secara lisan dari Dawam, juga dari biografi Ventje Sumual, salah satu tokoh Permesta. Dawam, yang mengenal cukup baik para tokoh Masyumi, menyandarkan penilaiannya itu dari kesaksian para tokoh yang dikenalnya tersebut. "Berbeda dengan Sjahrir, yang tak mau disebut atheis, tapi juga tidak terlalu suka diasosiasikan sebagai cendekiawan muslim, religiusitas dan identitas Islam tidak pernah dibuang oleh diri Sumitro. Ini yang membuatnya disukai oleh orang-orang Masyumi. Apalagi dia sangat hormat kepada Natsir. Itu bisa dilihat ketika PSI berkoalisi dengan Masyumi ketika membentuk Kabinet Natsir." Demikian Dawam.

Saya sempat bertanya kepada Dawam, dimana saya mendapat keterangan bahwa ketika Prabowo menjadi taruna junior di Akmil dia sering dijadikan obyek bully oleh para seniornya. Tapi, Prabowo kemudian dilindungi oleh para taruna yang berasal dari keluarga santri. Salah satunya adalah Kivlan Zen. Dia di-bully terutama karena dia berasal dari keluarga elite, dimana ayahnya adalah menteri, dan terutama karena bahasa Indonesianya waktu itu masih terbata-bata. Maklum, Prabowo menghabiskan masa kecil dan remajanya di luar negeri. Atas pertanyaan itu, keterangan dari Dawam menurut saya cukup menarik. Para taruna senior yang melindungi Prabowo itu, menurutnya, umumnya berasal dari keluarga Masyumi. Dan mereka mengenal Prabowo sebagai anaknya Sumitro yang merupakan kawannya Natsir.

"Apakah sentimen-sentimen itu memang benar-benar menjadi penjelas atas soal tadi?" tanya saya, ragu.

"Nah, itu sebaiknya Anda teliti lebih jauh," jawabnya. Oalah, gumam saya dalam hati.

"Oya, kapan naskah buku Anda mengenai polemik Pak Mitro dan Pak Sjaf selesai?" tanyanya.

Saya tidak siap menerima pertanyaan itu. Pada kenyataannya, proyek pribadi itu memang sudah lama belum saya sentuh lagi.

"Nah, itulah, Anda itu lama sekali kalau menulis." Dawam seperti bisa membaca pikiran saya. Makjleb.

"Habis Pilpres nanti selesai kok, Pak. Ya, akhir tahun inilah," jawab saya sekenanya. Dia cuma mengangguk-angguk.



Yogyakarta, 13 Juni 2014

Rabu, 21 Mei 2014

DOUWES DEKKER, MARGONO DAN ISLAM





Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Ketua P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat), Yogyakarta


Pada 8 Oktober 1949, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-70, di rumahnnya di Jl. Lembang 410, Bandung (kini menjadi Jl. Dr. Setiabudi), Dr. Douwes Dekker menerima telegram dari Presiden Soekarno. Sebagai Presiden Republik Indonesia, mewakili seluruh anak bangsanya, Bung Karno mengucapkan terima kasih atas perjuangan dan jasa-jasa Dr. Douwes Dekker bagi kemerdekaan Indonesia.


“Atas nama seluruh bangsa kita saya turut menyatakan terima kasih yang memenuhi hati kami untuk segala apa yang telah Saudara lakukan dan korbankan demi tanah air dan bangsa kita dengan kesetiaan yang tidak pernah luntur. Kami menganggap dan menyambut Saudara sebagai Bapak dari Politik Nasionalisme Indonesia.”


Telegram itu membuat air mata pendiri Indische Partij ini mengalir. Atas telegram ini pula, puluhan surat kabar dari seluruh Indonesia kemudian memberikan penghormatan kembali yang meriah kepada suami dari Ny. Harumi Wanasita ini, yang di masa mudanya juga merupakan jurnalis yang teguh mempropagandakan kemerdekaan.

Sebagai balasan kepada Soekarno, Dr. Douwes Dekker, yang kemudian berganti nama menjadi Dr. Danudirdja Setiabudi, menulis surat ini:


“Presiden kami,

Saya tidak tahu bagaimana saya akan menyapa Yang Mulia. Cara resmi akan menjauhkan saya dari Yang Mulia. Cara biasa saya anggap terlalu mudah untuk hadiah yang begitu besar yang saya terima dari Yang Mulia dalam tilgram tertanggal 6 yang lalu. Bagaimanapun juga kekakuan birokrasi adalah dalam hal ini cara yang tepat. Dengan jalan ini saya sampaikan, bagaimana tergoncangnya hati dan tekanan rasa pusing membuat saya terjatuh dan untung tersanggah oleh daun pintu. Waktu saya untuk yang kedua kalinya membaca berita kawat itu, air mata mulai mengalir.”


Fragmen itu saya baca dari buku “Dr. E.F.E. Douwes Dekker” yang ditulis oleh Margono Djojohadikusumo (Djakarta: Bulan Bintang, 1975). Buku ini merupakan terjemahan, karena aslinya buku ini ditulis dalam bahasa Belanda, “Notities uit Vergeelde Papieren Dr. E.F.E. Douwes Dekker, de Onverzaagde Drager van een Levens-Ideaal: De Politieke on Afhankelijkheid van Indonesie”.

Tak berlebihan jika Bung Karno menyebut bahwa Douwes Dekker adalah “Bapak Politik Nasionalisme Indonesia”. Dalam kenyataannya, Bung Karno memang sangat hormat kepada tokoh pelopor pergerakan nasional tersebut. Bahkan, pada suatu kesempatan, ia pernah mengatakan bahwa apa yang telah dicapainya dalam politik tidak pernah lebih tinggi dari lututnya Dr. Setiabudi.

Margono Djojohadikusumo, yang mengenal dengan baik Dr. Douwes Dekker, menulis buku ini dengan penuh kekaguman. Sebagai gambaran, naskah buku ini diselesaikannya pada tanggal 16 Mei 1974, tepat ketika Margono berulang tahun yang ke-80. Bisa dibayangkan bagaimana seorang berusia 80 tahun masih berusaha menulis buku yang didedikasikan untuk mengenang sahabatnya. Bukan hanya itu, Margono, di bagian akhir bukunya, menulis bahwa buku ini juga sesungguhnya dipersembahkan untuk menyambut Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1974. 




Ketika membaca kembali pengantar Mohammad Roem untuk buku ini, saya jadi diingatkan ihwal hubungan antara keluarga Margono dengan keluarga H. Agus Salim. Pada masa kolonial, di Salemba, yang merupakan kawasan permukiman elite, Margono secara rutin mengadakan pengajian dan pelajaran agama untuk anak-anaknya dan anak-anak kawannya, yang juga diikuti oleh anak-anak di kawasannya, termasuk juga para ibu-ibunya. Menurut Margono, pelajaran agama itu penting bagi anak-anak, terutama bagi para pelajar yang sekolah dimana pelajaran agama sama sekali tidak diberikan di dalamnya. Malah, menurut Margono, sekolah-sekolah yang ada pada zaman itu memiliki tendensi untuk menjauhkan anak-anak dari agama.

Pengajian sebagaimana yang diadakan oleh keluarga Margono pada zaman itu, dalam pandangan Roem, yang juga telah mengenal Margono sejak masa kolonial, adalah sesuatu yang tidak lazim pada masanya. Apalagi mengingat bahwa keluarga Margono adalah keluarga intelektual dan elite, yang pada masa itu identik dengan cara pandang sekuler. Karena merupakan pengajian kaum elite, maka ceramah dan pelajaran agama yang diberikan pun dilakukan dalam bahasa Belanda. Tokoh yang sering diundang ceramah di rumah keluarga Margono adalah H. Agus Salim.

Menurut Roem, keberanian Margono untuk mengundang Agus Salim mengisi acara-acara di rumahnya juga merupakan hal yang istimewa. Mengingat, pada masa itu Agus Salim adalah tokoh politik yang tidak disukai oleh pemerintah kolonial, sehingga banyak orang merasa takut untuk berhubungan dengannya. Namun tidak demikian halnya dengan Margono, meskipun Margono sendiri adalah seorang birokrat dalam pemerintahan kolonial, yaitu merupakan Inspektur Koperasi. Roem sendiri sering ikut H. Agus Salim dalam pengajian-pengajian yang diadakan di rumah Margono itu.

Dalam buku “Cendekiawan Islam Zaman Belanda” (1990), yang ditulis Ridwan Saidi, Agus Salim merupakan pelopor dalam penyiaran Islam secara modern. Ia adalah orang pertama yang berani menuliskan naskah khutbah Jumat dalam huruf latin berbahasa Belanda, yang itu dimuat dalam surat kabar yang dikelolanya, sekaligus berani memberikan terjemahan bahasa Belanda atas ayat-ayat al Quran, yang pada masa itu masih dianggap “terlarang” oleh sebagian ulama.

Relasi antara Margono, Agus Salim dan Roem ini menurut saya menarik. Agus Salim berusia sepuluh tahun lebih tua dari Margono, dan Roem berusia empat belas tahun lebih muda dari Margono. Roem kelak menjadi salah satu tokoh Masyumi, sementara keluarga Margono, terutama melalui Sumitro Djojohadikusumo, salah satu anaknya, merupakan penyokong dari dan menjadi tokoh di PSI. Relasi antara PSI dengan Masyumi pasca-Proklamasi, selain karena kedua partai itu sama-sama banyak disokong oleh kaum terpelajar, juga karena relasi interpersonal di antara elite-elitenya. Sjafruddin Prawiranegara, misalnya, yang merupakan salah satu tokoh Masyumi, oleh Sjahrir pernah dianggap sebagai salah satu “murid terbaiknya”, meskipun Sjafruddin enggan memilih PSI yang dipimpin Sjahrir sebagai wadah politiknya. Agus Salim sendiri, meskipun bukan orang Masyumi, merupakan tokoh Islam yang dihormati oleh Masyumi. Dan meskipun pasti bukan tokoh PSI, ia adalah kerabat sepuhnya Sjahrir.




Ketika Selasa (20 Mei 2014) kemarin Prabowo Subianto Djojohadikusumo, yang merupakan cucu Margono, melakukan “ziarah politik” di antaranya ke makam Sutan Sjahrir dan H. Agus Salim, saya melihat bahwa pilihan makam yang diziarahi itu mewakili simbol ideologis dan historis tertentu. Secara historis dan ideologis, tentu saja ziarah ke makan Sjahrir itu dilakukan karena Prabowo berasal dari keluarga PSI. Sumitro, ayahnya, bahkan pernah mengalahkan Sjahrir dalam kongres PSI sebelum Pemilu 1955, yang sempat melahirkan keretakan di tubuh PSI, karena pada akhirnya posisi Sjahrir sebagai ketua partai tetap dipertahankan.

Sementara, ziarah ke makan H. Agus Salim, selain karena secara historis keluarga Djojohadikusumo memiliki relasi sejak lama dengan Pahlawan Nasional tersebut, ziarah itu secara politis juga bermakna bahwa koalisi politik yang sedang dibangun oleh Prabowo dan partainya dengan sejumlah partai Islam saat ini, bisa dimaknai sebagai semacam reinkarnasi dari koalisi antara PSI dengan Masyumi di masa lalu, antara golongan "sosialis" dengan golongan "religius".

Bagaimana nasib koalisi ini nantinya? Yang jelas, dinamika politik tahun ini masih menarik untuk terus disimak.

Yogyakarta, 21 Mei 2014

Minggu, 04 Mei 2014

KARNA DAN TIKUNGAN IMAJINASI MASA KECIL KITA


Oleh Tarli Nugroho
Penggemar Wayang Golek dan komik R.A. Kosasih


Kita umumnya menilai Bharatayudha dengan sudut pandang imajinasi-kebenaran anak kecil: Arjuna itu baik, sementara Karna itu jahat. Pandawa itu lambang kebaikan, sementara Kurawa itu simbol kejahatan. Rahwana itu brengsek, sementara Rama itu mulia. Sejak kecil, mereka yang mengenal cerita wayang, baik melalui pentas wayang golek, wayang kulit, maupun komik wayang R.A. Kosasih, pastinya bangga jika dirinya disamakan dengan Gatotkaca, dan sebaliknya, sebuah penghinaan besar jika disamakan dengan Burisrawa.

Tapi imajinasi kebenaran semacam itu memang hanya berguna bagi anak kecil. Tak heran, jika dalam Serat Tripama, yang berarti tiga suri tauladan, KGPAA Mangkunegara IV (1809-1881) tidak mengajukan Arjuna, Yudhistira, atau Gatotkaca sebagai contoh untuk menjelaskan sikap tauladan seorang kesatria, melainkan memilih Kumbakarna (adiknya Rahawana), Karna (panglima perang Kurawa), dan Sumantri (yang membunuh adiknya sendiri, Sukasrana). Dari serat tersebut kita bisa belajar bahwa emas dan berlian memang tak berasal dari bongkahan emas dan gunung berlian, sebagaimana imajinasi kebenaran masa kecil. Emas dan berlian adalah mineral berharga yang tersembunyi di balik endapan batu, pasir dan tanah.





Dalam lakon “Kresna Duta”, setelah Kresna gagal membujuk para Kurawa untuk berdamai dengan Pandawa, supaya perang Bharatayudha tidak perlu terjadi, Kresna menjumpai Karna yang sedang sesuci di tepi sungai Gangga. Sebelumnya, dengan penuh amarah Karna memang meninggalkan lebih dahulu pertemuan dengan Kresna tersebut. Sumber kemarahannya masuk akal: dalam sebuah perundingan perang, para pinisepuh Astina lebih banyak meminta pertimbangan para resi dan pandita, daripada panglima seperti dirinya. Ia merasa dilecehkan.

Di tepi Gangga, Kresna membuka rahasia, bahwa Karna sebenarnya saudara kandung dari Pandawa. Oleh karenanya, ia mengajak Karna untuk bergabung dengan Pandawa, agar seluruh keluarga Pandawa selamat. Jika kelak Pandawa bisa memenangkan Bharatayudha, maka saudaranya para Pandawa hanya akan memerintah negeri Amarta, sementara Astina akan diserahkan kepada Karna.





Atas ajakan Sri Kresna itu, Karna, yang merupakan panglima perang Astina, dengan nada bergetar, menahan amarah, menyahut tegas.

“Aku adalah prajurit. Dunia akan menertawakanku jika aku bergabung dengan Pandawa. Aku bukan manusia munafik yang tak segan berkhianat kepada negaranya. Kanda Prabu Kresna, keangkaraan budi para Kurawa, angkara murkanya Yayi Duryudana, tidak akan luntur oleh tutur, tidak akan reda oleh kata. Watak angkara Kurawa hanya akan lenyap bersama-sama dengan manusianya. Sebagai pengasuhnya, aku bertanggung jawab atas segala perbuatan mereka, karenanya aku menyanggupi menjadi panglima perang mereka. Akulah yang menghendaki Bharatayudha segera terjadi. Akulah yang telah membakar keangkaraan Kurawa. Mengapa? Supaya angkara murka di muka bumi segera lenyap. Supaya keluhuran budi tak selalu diakali oleh angkara.”

Tentu saja, dengan jawaban itu tegas terlihat bahwa Karna bukannya tak tahu bedanya kebaikan dengan keburukan. Tapi kebaikan tak hanya bisa ditegakan seturut pikiran para pendeta dan resi, sebagaimana diceramahkan Kresna.

“Kanda,” lanjut Karna, “bagi prajurit yang akan berperang, tidak ada kamus ‘salah’ dan ‘benar’. Salah dan benar hanya dapat ditentukan apabila perang telah selesai. Kalau perang dapat diselesaikan dengan omong kosong dan tipu muslihat, maka orang hanya akan belajar tipu-menipu saja, tak akan pernah berusaha membela keyakinannya dengan perang. Budi luhur saja tidak cukup. Pada akhirnya, orang harus sanggup dan berani berperang untuk membela budinya itu. Saya akan mengangkat senjata dalam Bharatayudha untuk membela negara saya.”

Ajakan Kresna tak mempan. Sehingga ia harus kembali dengan tangan hampa. Momen percakapan Karna dengan Kresna bukan satu-satunya momen yang menunjukkan sikap kesatria Adipati Karna, yang juga disebut sebagai Basukarna. Ketika pada akhirnya ia dibujuk oleh ibu kandungnya sendiri, Dewi Kunthi, yang dulu telah membuangnya di sungai Gangga sewaktu masih bayi, Karna tetap teguh pada pendiriannya.

“Hamba sudah mendengar cerita perihal riwayat hidup hamba, Dewi. Tapi hamba tak bisa mengingkari bahwa Nyi Nanda dan Ki Adirata, yang telah membesarkan hamba sebagai anak tukang kusir, telah hamba anggap sebagai orang tua sendiri. Mengapa hal ini harus terjadi? Tak ada guna mempermasalahkan hidup yang tak langgeng, Paduka. Hamba hanya bisa berusaha menunaikan kebaktian. Hamba tahu, Paduka sangat menyayangi Arjuna. Semua orang juga menyayangi Arjuna. Ketahuilah, Paduka, bahwa sebelum ini Sri Kresna juga telah datang kepada hamba, mengajak hamba bergabung dengan Pandawa. Semua itu, hamba tahu, dilakukan untuk keselamatan Arjuna.

Batara Indra juga telah datang kepada hamba denga menyaru sebagai pendeta, dan meminta kesaktian hamba. Telah hamba berikan kesaktian itu, meski hamba tahu ujud pendetanya hanya tipuan. Sudah menjadi sumpah hamba, bahwa hamba tak akan pernah menolak permintaan seorang pendeta, meskipun pendeta itu seorang penipu. Dan semua itu, hamba tahu, dilakukan hanya untuk memenangkan Arjuna dalam Bharatayudha nanti.”

Karna tersedak. Dewi Kunthi menggigil, menangis, mendengar ucapan anak tertuanya ini.

“Paduka, apakah perbuatan ini tidak nista, bahwa kemenangan Arjuna harus diminta-mintakan seperti ini, bahkan dengan melibatkan tipuan sebagaimana yang dilakukan Batara Indra?! Paduka, hamba sungguh tidak mengerti, kenapa seorang kesatria yang agung dan harum namanya masih mempunyai rasa was-was dan takut menghadapi kenyataan hidup?"





"Meski secara lahiriah kita musuh, namun secara batiniah, Paduka adalah ibu hamba. Karena itu, sebagai wujud bakti hamba sebagai seorang putera, demi kebahagiaan Paduka, dengan ini hamba bersumpah, bahwa kelak bila hamba berhadapan dengan Arjuna di palagan Bharatayudha, hambalah yang akan mengalah dan rela mati demi tegaknya kebaikan. Namun, sebelum itu, izinkan hamba untuk tidak menjadi manusia munafik dan pengkhianat. Biarkan hamba berperang untuk tanah air hamba.”

Air mata Kunthi kian mengalir deras. Anak sulungnya, yang ketika bayi ia campakkan, yang kemudian diangkat sebagai saudara oleh para Kurawa, kini berdiri di hadapannya, sebagai kesatria yang bukan hanya digentari karena kesaktiannya, tapi juga sebagai seorang kesatria yang teguh membela keyakinan dan kehormatan diri serta orang-orang terdekatnya. Apalagi yang lebih tajam dan menyayat perasaan daripada tikungan sebagaimana yang dihadapi Karna itu?!

Tapi, kebanyakan kita hidup dengan imajinasi kebenaran masa kecil itu, dimana Arjuna selalu jadi pahlawan, dan Karna selalu jadi penjahat. Tak heran, dalam kehidupan nyata kita lebih terpesona pada sosok halus ‘miyar-miyur’ seperti karakter Arjuna, daripada sosok ‘sengguh’ dan ‘sembodo’ seperti Karna. Bagi kebanyakan kita, seorang kesatria haruslah seperti Arjuna, yang hidup tanpa tikungan. Padahal, dalam mayapada ini tak ada jalan yang tanpa tikungan. Dan saya jadi mengerti kenapa dalam Serat Tripama, bukan Arjuna, Yudistira, atau Rama yang jadikan contoh dari sikap kesatria.

Hanya saja, sejarah memang ditulis oleh para pemenang, seperti yang sudah disampaikan Karna kepada Kresna. Dan Karna adalah jenderal yang kalah, sehingga kita terus hidup dalam imajinasi masa kecil itu.



*) Tulisan ini dimuat di Tabloid THE POLITIC No. 13/III, 2-15 Mei 2014.

Kamis, 01 Mei 2014

PENDIDIKAN SEBAGAI STRATEGI KEBUDAYAAN: ESAI UNTUK DAOED JOESOEF



Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta


Pendidikan adalah pilar kebangsaan. Dan sejarah Republik ini telah membuktikannya. Kurang dari lima puluh tahun sejak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan Politik Etis (Etische Politiek) pada awal abad ke-20, kebijakan itu telah melahirkan revolusi sosial di tanah jajahan mereka, berupa munculnya gerakan kebangsaan yang kian liat memperjuangkan kemerdekaannya. Pendidikan, yang merupakan salah satu dari trilogi Politik Etis (lainnya adalah “irigasi” dan “migrasi”), meski pada desain dasarnya dimaksudkan untuk melanggengkan praktik kolonialisme, pada akhirnya ternyata menjadi bumerang bagi kolonialisme itu sendiri. Pendidikan telah menumbuhkan lahirnya kesadaran baru, yaitu kebangsaan, sehingga akhirnya mampu mengubah semangat “perlawanan terhadap pemerintah kolonial”—yang telah hadir sejak jauh hari sebelum Politik Etis—menjadi semangat baru, “perlawanan terhadap kolonialisme”. Dengan nada ironi kita bisa mengatakan bahwa kebijakan pendidikan pemerintahan kolonial Belanda telah “membantu” melahirkan semangat kebangsaan Indonesia.

Pentingnya pendidikan juga disadari betul oleh para pendiri Republik. Inilah yang telah mendorong, misalnya, Mohammad Hatta, untuk mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (kemudian dikenal sebagai PNI-Baru) pada 1931,[1] sebuah organ gerakan yang menitikberatkan pendidikan sebagai alat perjuangan kemerdekaan. Posisi vital pendidikan juga diakui dan diabadikan dalam Pembukaan (Preambule) Undang Undang Dasar 1945, melalui kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang merupakan salah satu dari beberapa tujuan pokok kemerdekaan Indonesia. Jauh sebelum Hatta, Tan Malaka, Bapak Republik yang lain, juga telah menggunakan pendidikan sebagai alat untuk perjuangan kemerdekaan.

Jika di masa lalu pendidikan dijadikan alat untuk menumbuh-kembangkan benih kebangsaan, kini, setelah lebih dari enam dekade usia Proklamasi, masihkah pendidikan kita menghidupi semangat yang sama?!

Pertanyaan ini penting untuk diajukan, terutama untuk menjaga agar ironi dalam wajah sebaliknya tidak akan terjadi dalam sistem pendidikan kita. Yang dimaksud dengan “ironi dalam wajah sebaliknya” itu adalah bahwa jika di masa lalu kebijakan pendidikan kolonial telah “membantu” menyemai benih kebangsaan Indonesia, bukan tidak mungkin, karena kekurangcermatan kita, justru setelah kita memproklamasikan kemerdekaan, kebijakan pendidikan kita malah melumpuhkan semangat kebangsaan itu. Atau, dalam versi yang paling buruk, justru setelah kita merdeka kebijakan pendidikan kita—sekali lagi, bukan tidak mungkin—malah memfasilitasi sebentuk kolonialisme dalam bentuk yang tidak kita sadari.

salah satu cara untuk menaklukan sebuah bangsa adalah dengan menguasai pendidikannya

Dalam salah satu karya tetraloginya, Jejak Langkah, Pramoedya Ananta Toer pernah menguraikan bahwa salah satu cara untuk menaklukan sebuah bangsa adalah dengan menguasai pendidikannya. Pernyataan tersebut kian menegaskan bahwa pendidikan, dalam kediriannya (in it self), memang merupakan pilar kebangsaan. Rapuhnya pendidikan akan berimplikasi serius bukan hanya pada persoalan mental-intelektual, yang termasuk ke dalam aspek individual, melainkan juga secara sosial akan berimplikasi pada rontoknya ikatan kebangsaan. Hanya saja, memang, diperlukan sejumlah syarat agar pendidikan berimplikasi positif pada tegaknya kebangsaan, dan bukan sebaliknya. Salah satu syarat penting dimaksud tak lain adalah bahwa pendidikan harus berdiri di atas nilai-nilai kebudayaan-ibunya sendiri.

Melalui berbagai karangannya, Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1978-1983, kerap menulis bahwa salah satu sebab lapuknya pendidikan adalah ketika ia dicerabut dari akar kebudayaannya.[2] Dalam pandangan Daoed Joesoef, pendidikan adalah bagian konstitutif, jika bukannya integratif, dari kebudayaan. Pemisahan pendidikan dari kebudayaan akan bersifat destruktif bagi keduanya. Sebab, untuk dapat menjalankan fungsi-fungsinya, pendidikan memerlukan nilai-nilai instrumental, dan nilai-nilai tersebut tidak bisa lain harus digali dari kebudayaan inangnya. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa sistem pendidikan yang kita kembangkan untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”—sesuai amanat Proklamasi—adalah bagian utuh dari kebudayaan.

Lebih jauh mengenai hubungan keduanya, Daoed menegaskan bahwa pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan, dan bukan sebaliknya.[3] Artinya, sebelum “pendidikan” diberi pengertian, baik pengertian dalam arti makna-kata, makna-proses, maupun jangkauan tujuannya, terlebih dahulu harus dipahami apa yang dimaksud dengan “kebudayaan”, karena dalam pengertian kebudayaan terkandung penjelasan bagi pendidikan. Oleh karenanya, tanpa terlebih dahulu menjala pengertian kebudayaan dan menyelaminya, pendidikan akan tercampak dari makna hakikinya sebagai bagian dari kebudayaan.

Masalahnya kemudian, meskipun mungkin hampir semua orang menyetujui penegasan tersebut, dalam kenyataannya praktik pendidikan kita tidak selalu menghiraukan persoalan tadi. Salah satu persoalan yang mewakili dan sering disoroti oleh para pakar di bidang pendidikan, misalnya, adalah kebijakan mengenai adanya “kelas internasional” dan “sekolah berstandar internasional” dalam sistem pendidikan kita. Di kelas internasional, dan di sekolah berstandar internasional, bahasa pengantar kegiatan pendidikan menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Tentu saja tidak ada yang tidak sepakat bahwa penguasaan bahasa asing kian menempati posisi penting dalam pergaulan dunia saat ini. Hanya saja, menurut sejumlah pakar pendidikan, pemakaian bahasa asing sebagai pengantar dalam kegiatan pendidikan telah melumpuhkan posisi pendidikan sebagai bagian integral dari kebudayaan. Bahasa bukan hanya merupakan alat komunikasi, melainkan merupakan “alat kebudayaan”. Sehingga, pemakaian bahasa asing sebagai bahasa pengantar dalam proses pendidikan telah memutus akar kebudayaan dari kegiatan pendidikan itu sendiri. Meminjam bahasa Soedjatmoko, ketika kita mendatangkan traktor untuk membajak sawah-sawah kita, yang kita datangkan sebenarnya bukan hanya traktor, melainkan kebudayaan yang telah menciptakan traktor-traktor itu, yaitu industrialisme.[4] Dengan analogi serupa, jika kegiatan pendidikan kita maksudkan merupakan sarana untuk menghidupi kebudayaan, maka prosesnya tentu saja harus menggunakan alat dari kebudayaan yang hendak dihidupi itu, tidak bisa lain. Pendidikan nasional Indonesia, tidak bisa tidak, harus disampaikan hanya dengan bahasa Indonesia.

Kadang kita sering melupakan bahwa pendidikan kita, karena memiliki predikat “nasional”, pertama-tama tentunya harus berdimensi nasional (dalam hal ini untuk kepentingan negara-bangsa), selain juga berdimensi individual (dalam hal merupakan hak warga negara perseorangan). Berarti, kejelasan citra dari komunitas nasional yang diidam-idamkan harus ada lebih dulu. Dan, citra yang dimaksud tak lain adalah kebangsaan.[5]

Sampai di sini kita bisa melihat bahwa antara substansi pendidikan dengan praksis pendidikan ternyata tidak selalu ada jaminan untuk saling berkait. Bahkan, antara keduanya bisa sama sekali bertentangan. Pertanyaannya kuncinya kemudian adalah, bagaimana hal itu bisa terjadi?

Menyimak uraian pendahuluan di muka, nampak tegas bahwa antara pendidikan, kebangsaan, dan kebudayaan terdapat sebuah mata rantai yang menghubungkan. Hanya saja, perkembangan dunia kontemporer telah mengaburkan—atau lebih tepatnya “membuatnya seakan-akan kabur”—ikatan-ikatan itu tadi. Paling tidak ada dua hal yang bisa menjelaskan kenapa hal itu bisa terjadi.




Pertama, makin kuatnya dominasi “ekonomisme” dalam kehidupan kontemporer. Dominasi tersebut telah mereduksi berbagai lembaga dan instrumen sosial menjadi lebih bersifat ekonomistik. Atau, agar lebih mengena, kita bisa menyebutnya sebagai gejala kian merajalelanya komersialisme, sebuah gejala yang oleh John Madeley (2005) disebut sebagai masa “keranjingan berdagang” (hungry for trade).[6] Kegiatan perdagangan memang telah menjadi wajah mutakhir dari praktik dominasi dalam dunia modern. Ia, menurut Rosecrance (1991), telah menggantikan ekspansi wilayah dan invasi militer, sebuah corak dalam wacana kolonialisme lama.[7] Implikasi dari merajalelanya komersialisme adalah ia telah membuat pendidikan tidak lagi terhubung pada akar substantifnya, yaitu kebudayaan dalam bingkai kebangsaan, melainkan menggantikannya dengan sebuah hubungan langsung kepada institusi pasar. Munculnya konsep “link and match” dalam dunia pendidikan pada awal dekade 1990-an mewakili kecenderungan tersebut. Pendidikan kemudian tak lagi pertama-tama menjadi rantai kebudayaan, karena telah dirantai oleh pasar.

Hal kedua adalah kian terlipatnya dunia menjadi sebuah desa global. Globalisasi tidak hanya menjadi gejala dalam dunia teknologi informasi, melainkan telah menjalar ke berbagai bidang sehingga menjadi sebuah kecenderungan umum. Hari ini kita berkomunikasi dengan telepon seluler merek Finlandia yang diproduksi di India dengan jasa operator Singapura. Kita minum kopi Swiss yang dipetik dari perkebunan kopi di Brazil dan dihidangkan di sebuah kedai Amerika. Dunia menjadi ringkas. Inilah dunia yang oleh Kenichi Ohmae (1992) disebut sebagai “the borderless world”.[8] Pada akhirnya, berbagai kecenderungan tadi telah menempatkan imaji soal dunia tanpa tapal batas menjadi kian konkret, dan di sisi yang berseberangan, menempatkan imaji kebangsaan dalam posisi yang “problematis”. Dalam bidang ekonomi, pertanyaan provokatif yang sering dikemukakan oleh mereka yang biasa disebut sebagai kaum fundamentalis pasar (market fundamentalist) adalah: apakah nasionalisme (nasion = bangsa) masih relevan di tengah perekonomian dunia yang kian terintegrasi?!

Jika melihat dengan jernih, globalisasi yang kini mengepung kita pada dasarnya adalah “kebangsaan yang mengglobal”

Dua perkembangan tadi, yaitu meruaknya ekonomisme dan mengkisutnya dunia oleh globalisasi, telah membuat imaji mengenai kebudayaan dan kebangsaan menjadi seolah-olah kabur. Dan kekaburan itu bisa membuat dunia pendidikan kehilangan kompasnya. Tinggal, pertanyaannya kemudian, apakah kondisi itu baru sekadar potensial, atau sudah menjadi kenyataan faktual?!

Sebagai pilar penting bagi kebudayaan-kebangsaan, dunia pendidikan kita dituntut untuk segera merefleksikan kembali eksistensinya. Dunia memang kian menjadi seperti desa global, namun nampaknya keliru jika mengira globalisasi transportasi dan telekomunikasi telah membuat identitas kebangsaan menjadi tak lagi relevan. Jika melihat dengan jernih, globalisasi yang kini mengepung kita pada dasarnya adalah “kebangsaan yang mengglobal”. Dalam dunia perdagangan, misalnya, apa yang dimaksud dengan “merek global” pada dasarnya adalah “merek-kebangsaan yang mengglobal”. Oleh karenanya, meski dipabrikasi di Semarang, Coca-Cola tetaplah sebuah merek minuman ringan dengan identitas Amerika. Begitu juga dengan ayam goreng Kentucky, meski ayam potongnya berasal dari peternakan di Bandung, misalnya, imajinya tetap identitas Amerika. Dengan demikian, dunia pendidikan tidak boleh tercerabut dari akar kebudayaan ibunya, serta harus membela dan menghidupi identitas kebangsaannya, meskipun dunia kontemporer seakan-akan telah melumatkan pelbagai bentuk tapal batas.


[1] Hatta pada waktu itu sebenarnya masih berada di negeri Belanda. Hanya saja, terbentuknya Pendidikan Nasional Indonesia merupakan usulan Hatta melalui sebuah kawat dari Belanda ketika Golongan Merdeka sedang menggelar kongres di Yogyakarta, 25-27 Desember 1931. Golongan Merdeka adalah gabungan organ pergerakan di luar Partindo, yang terdiri dari berbagai studie club, yang sejak awal memang memupuk semangat kemerdekaan melalui bidang pendidikan. Lihat Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 1995), hal. 348-350.

[2] Lihat, misalnya, Daoed Joesoef, “Sangkan Paraning Dumadi”, dalam Harian Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2004; dan Daoed Joesoef, “Konsep Dulu, Baru Uang”, dalam Harian Kompas, Rabu, 3 September 2008.

[3] Daoed Joesoef, Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Oktober 1980-Maret 1981 (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), hal. 305.

[4] Soedjatmoko, Economic Development as a Cultural Problem (Ithaca: Modern Indonesia Project, Cornell University, 1958).

[5] Joesoef, “Sangkan…”, op.cit.

[6] John Madeley, Loba, Keranjingan Berdagang: Kaum Miskin Tumbal Perdagangan Bebas (Yogyakarta: Cindelaras, 2005).

[7] Richard Rosecrance, Kebangkitan Negara Dagang (Jakarta: Gramedia, 1991).

[8] Kenichi Ohmae, The Borderless World: Power and Strategy in the Interlinked Economy (London: Fontana, 1992).

KEBUDAYAAN DAN ABSENNYA KERJA KESARJANAAN


Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM


Dalam sebuah tulisannya, Daoed Joesoef pernah melontarkan sebuah pertanyaan bernada menggugat: kenapa di Indonesia seorang ilmuwan tidak bisa secara otomatis diakui sebagai budayawan, dimana kerja kesarjanaan mereka sebenarnya dapat dipersamakan sebagai sebuah karya kebudayaan.

Gagasan yang mencoba menautkan ilmu pengetahuan (sebuah produk dari kerja kesarjanaan) dengan kebudayaan (dimana berbagai pengetahuan telah melesap pada berbagai praktik yang pada umumnya tak lagi dipikirkan) sebenarnya telah tertabalkan pada karya banyak sarjana kita. Pada 1954, Soedjatmoko, misalnya, menulis sebuah risalah di majalah Konfrontasi yang menguar gagasan persis seperti apa yang terpacak sebagai judulnya: “Pembangunan sebagai Masalah Kebudayaan”. Ketika kita mendatangkan traktor untuk membajak sawah-sawah kita, demikian tulis Soedjatmoko, tanpa disadari sebenarnya kita juga sedang mendatangkan kebudayaan yang telah menciptakan traktor-traktor tadi. Dengan kata lain, pengetahuan dan teknologi pembuatan traktor tidak bisa disapih—sebagaimana diyakini oleh kebanyakaan orang—dari kebudayaan yang telah melahirkannya. Sederhananya, Anda tidak bisa menerima traktor tapi menolak inangnya, yaitu industrialisme.



Pada 1955 dan 1956 terbit pula dua jilid buku terjemahan karangan Kahrudin Yunus, seorang sarjana (Ph.D.) minang yang mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar, Mesir, hingga Universitas Columbia, Amerika. Disebut terjemahan karena pada mulanya buku itu ditulis dan disiarkan di luar negeri dalam bahasa arab. Dari tak kurang tujuh ratus halaman tulisannya, Yunus mengutarakan gagasan pokok bahwa “sistem ekonomi berakar di kebudayaan”. Oleh karenanya, bukan tanpa alasan jika dalam versi terjemahan Indonesia Yunus memilih judul Sistem Ekonomi Kemakmuran Bersama. Untuk meringkus seluruh teori yang disusunnya, Yunus hanya membutuhkan sebuah kata, "bersamaisme". Sebab, dalam pandangannya, kebudayaan masyarakat Indonesia secara umum memang berciri kelembagaan. Kini kita bisa mencatat bahwa pengakuan atas fakta sosial sejenis pula yang telah mendorong kenapa para ahli ekonomi pertanian kita pada awal dekade 1980-an menubuatkan bahwa unit analisis kajian ekonomi perdesaan bukanlah individu petani, melainkan rumah tangga petani (Kasryno, dkk. 1984).

Selain Soedjatmoko dan Yunus, Hidayat Nataatmadja, Daoed Joesoef, dan Mubyarto adalah sarjana lain yang juga pernah mengemukakan pertautan antara ilmu pengetahuan dengan kebudayaan. Pada akhir dekade 1970-an hingga akhir 1980-an, Hidayat berpolemik dengan banyak sarjana ihwal apakah ideologi merupakan bagian dari kebudayaan atau merupakan entitas yang terpisah darinya. Melalui banyak bukunya, Hidayat mengajukan pandangan bahwa ideologi merupakan bagian dari kebudayaan. Menurutnya kebudayaan adalah rumah pikiran, sehingga dengan sendirinya ideologi (dan anak kandungnya, ilmu pengetahuan) merupakan bagian darinya. Gagasan Ekonomi Pancasila sebagaimana yang dipopulerkan oleh Mubyarto sebenarnya juga bisa dipahami melalui kerangka ini. Dengan menggunakan nama Pancasila, Mubyarto mencoba menjadikan “kebudayaan” sebagai determinan dalam proyek keilmuannya, sebuah intensi yang akan mengingatkan kita pada pesan seorang ekonom Cambridge, Joan Robinson: “the very nature of economics is rooted in nationalism”. Daoed Joeosef sendiri, sebagaimana terbaca dalam banyak tulisannya, mengimani gagasan bahwa di balik ilmu pengetahuan adalah kebudayaan. 

+++

Jika kebudayaan adalah basis persoalan dari mana ilmu pengetahuan menstrukturasi gagasannya, kenapa para sarjana kita, atau ilmuwan kita, tidak bisa secara otomatis diakui sebagai budayawan, sebagaimana dipersoalkan oleh Daoed Joesoef?

Ada dua cara untuk mendiskusikan kemungkinan jawaban dari pertanyaan ini. Pertama adalah dengan menganggap bahwa pertanyaan tersebut ditujukan kepada publik kebudayaan, dimana soal diakui atau tidaknya seorang sarjana sebagai budayawan tergantung pada pengakuan yang diberikan oleh publik kebudayaan terhadap hasil kerja kesarjanaannya. Dalam kacamata ini, pertanyaan atau gugatan tadi dianggap sebagai persoalan otorisasi dan definisional. Artinya, soal masuk dan tidaknya kerja kesarjanaan sebagai sebuah karya kebudayaan adalah tergantung kepada apa yang dimaksud dengan kebudayaan dan budayawan oleh para hambanya sendiri. Dengan demikian, jika saat ini para sarjana atau ilmuwan kita tidak bisa secara otomatis diakui sebagai budayawan, maka itu disebabkan oleh definisi budayawan (dan karya kebudayaan) yang masih sempit dan terbatas. Sudut pandang ini kemudian melahirkan kritik bahwa pengertian budayawan dan kebudayaan harus mengalami perluasan makna dengan menyertakan ilmuwan dan kerja kesarjanaan sebagai bagian darinya. Secara sederhana, kita bisa menyebut ini sebagai “kritik kebudayaan”.


Cara pandang kedua adalah yang menganggap bahwa gugatan tadi sebenarnya ditujukan kepada publik kesarjanaan. Bila dibandingkan dengan sudut pandang pertama, sudut pandang ini sepertinya lebih jarang, untuk tidak menyebutnya sama sekali tidak-diperhatikan atau dianggap ada. Melalui sudut pandang ini, gugatan yang diintroduksi oleh Daoed Joesoef sebenarnya lebih banyak tertuju kepada para ilmuwan dan kerja kesarjanaan mereka. Maksudnya, telah seberapa jauhkah para ilmuwan atau sarjana kita melibatkan kebudayaan dalam kerja keilmuan mereka selama ini? Jika kerja kesarjanaan mereka hanya sedikit atau sama sekali tidak melibatkan kebudayaan yang menjadi inangnya, maka memang sudah sepatutnya mereka tidak layak untuk menyandang gelar sebagai budayawan atau kerja kesarjanaan mereka dihargai sebagai karya kebudayaan. Sebagaimana sudah disampaikan, kebudayaan adalah rumah pikiran, inang dalam mana ilmu pengetahuan menjadi bagian darinya, sehingga jika sampai sebuah kerja kesarjanaan tak melibatkan kebudayaan inangnya sebagai referensi, maka tradisi kesarjanaan yang demikian pada prinsipnya sedang membangun istananya di awan.

Tapi bisakah kerja kesarjanaan melepaskan dirinya dari kebudayaan sama sekali? Ia mungkin saja bisa terlepas dari kebudayaan ibunya, tapi mustahil ia sama sekali tidak terikat dengan kebudayaan lain. Artinya, persetubuhan sebuah tradisi kesarjanaan dengan kebudayaan mustahil disangkal, hanya saja apakah kebudayaan itu adalah kebudayaan “ibunya” atau bukan, itu adalah masalah yang berbeda.

Sudut pandang kedua ini membekali kita sebuah kritik bahwa bisa jadi tradisi kesarjanaan yang kita hidupi selama ini sama sekali tidak atau belum melibatkan kebudayaan ibu kita sendiri, sehingga karenanya para ilmuwan atau sarjana kitapun tak bisa otomatis disebut sebagai budayawan. Lebih jauh, tradisi yang demikian adalah tradisi kesarjanaan yang tidak didukung oleh “kerja kesarjanaan”, yaitu kerja dalam rangka penciptaan-otonom, karena meskipun inspirasi perkembangan ilmu pengetahuan bisa berasal atau dicari dari kebudayaan manapun, namun sebagai sarjana kita dibebani kewajiban (meminjam bahasa Soedjatmoko) untuk mencari dan membangkitkan di dalam kebudayaan kita sendiri asas-asas otonom, yang dengannya kita bisa mengembangkan dinamika sosial kita sendiri. Ringkasnya, hanya individu otonom yang bisa membangun tradisi kesarjanaan otonom. Tanpa sikap otonom kita hanya akan menjadi epigon, peniru, yang sekadar membebek pada tradisi orang lain. Kita bisa menyebut ini sebagai “kritik ideologi” atau “keilmuan”.


+++

Masalah kebudayaan dan kerja kesarjanaan ini mendesak untuk diperhatikan karena kita kini kian gemar mengamputasi sebuah konsep dari konteks kebudayaan (atau semesta gagasan) yang telah melahirkannya. Sehingga tidak heran jika pernah ada manifes dari sejumlah sarjana kita yang memacak Ekonomi Pasar Sosial (Social Market Economy) sebagai visi politik ekonomi, tapi di sisi lain mereka menolak neoliberalisme, tanpa memperhatikan bahwa keduanya merupakan saudara kembar (bdk. Giersch, 1968). Konsep-konsep yang seharusnya telah terikat kepada pengertian tertentu yang sudah baku tiba-tiba diadopsi seolah merupakan kosakata generik yang belum diberi pengertian. Semua itu disebabkan oleh absennya kerja kesarjanaan. Alih-alih bekerja untuk menyusun dan menemukan konsep sendiri secara otonom, para sarjana kita lebih suka mengkonsumsi dan mengadopsi konsep-konsep yang sudah jadi, itupun dengan cara yang ceroboh.

Oleh karena itu, jika ada kritik kenapa kebudayaan kita hanya sedikit sekali melahirkan ilmu pengetahuan, maka perlu disadari bahwa kritik itu sebenarnya bukan hanya ditujukan kepada domain kebudayaan, sebagaimana telah terlalu sering dibahas, melainkan terutama kritik terhadap tradisi kesarjanaan. Sehingga, kritik kebudayaan dan kritik keilmuan, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, harus dikerjakan secara serentak. Tanpa kritik keilmuan, kita hanya akan terperosok menjadi Sutan Takdir Alisjahbana yang baru, yang berhasil mendekonstruksi kebudayaan prae-Indonesia tapi gagal bersikap kritis terhadap kebudayaan baru (modernisme) yang dibelanya. Demikian juga dengan kritik keilmuan, tanpa dibarengi kritik kebudayaan, kritik keilmuan hanya akan menjadi seperti proyek hi-tech Habibie, yang gagal menjawab pertanyaan sederhana: “apakah yang kita butuhkan; pergi ke Singapura dengan pesawat buatan dalam negeri, atau pergi ke pasar dengan sandal jepit buatan sendiri?

Jadi, itulah sebab kenapa budayawan kita belum lagi pantas memakai toga, dan sarjana kita belum juga layak menjadi budayawan, hingga kini.


*) Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Kabare KAGAMA, No. 169/Vol. XXXVII, November 2008