Jumat, 18 Juli 2014

TOKOH, TEROR, DAN FRUSTRASI



 





Tarli Nugroho


“Aku dulu banyak mengagumi tokoh. Namun, setelah ada media sosial dan mengetahui bagaimana mereka bersikap terhadap berbagai persoalan, ilang kabeh… Aku kecewa. Kapasitas mereka ternyata cuma segitu.” Kalimat itu meluncur dari mulut sahabat saya, Irfan Afifi, dua malam sebelum pemilihan presiden kemarin. Kami berbincang hingga larut di sebuah kedai kopi, malam itu, ditemani seorang kawan lain, David Setiawan, yang sedang galau dengan urusan kelaminnya. Apa yang disebut sebagai “tokoh” oleh Irfan tak lain adalah apa yang tempo hari sering disebut sebagai “intelektual”. Irfan, sebagaimana juga saya dan David, terutama memang mengimajinasikan kaum intelektual sebagaimana yang kami lihat pada kaum intelektual Indonesia tahun 1970-an hingga awal 1990-an, yang kami kenal melalui media-media yang mengisi masa remaja kami, seperti Prisma, Ulumul Quran, Analisa CSIS, atau Kalam, untuk menyebut beberapa. Dan nama-nama yang dikecewainya adalah nama-nama yang pasti banyak kita kenal.


Saya memahami kekecewaannya. Sedikit atau banyak, saya juga pernah memiliki kekecewaan yang sama. Kekecewaan itu pernah memuncak lima tahun lalu. Namun, kini saya sudah berhenti mengeluhkannya. Lebih tepatnya, saya mencoba berdiet dengan perasaan kecewa itu.

Sebelum ada media sosial, kita memang hanya berhubungan dengan para tokoh melalui karangan-karangannya saja. Dan seperti halnya sebuah pentas, atau sebuah film, dimana yang kita jumpai di sana bukanlah wajah sang artis dalam kehidupan nyatanya, begitu juga halnya dengan karangan, atau buku. Setidaknya, itulah kesimpulan yang saya ambil sejak lima tahun lalu. Pada sebuah karangan, kita sebenarnya hanya berhadapan dengan sang penulis yang sedang bermain seni peran. Tentu saja, sebagai ‘aktor’ (baca: author), mereka akan bermain sebaik mungkin dengan gagasan dan pengetahuannya. Namun, mengimajinasikan bahwa Julia Roberts memiliki romantisme yang sama dengan peran sebagaimana yang dia mainkan di Notting Hill, atau Pretty Woman, adalah sebuah kekonyolan. Sama seperti halnya membayangkan Harrison Ford selalu terlihat elegan sebagaimana penampilan dalam film-filmnya. Masih ingat bagaimana congkaknya Ford ketika bertamu ke Kementerian Kehutanan beberapa waktu silam? Dia sama sekali tidak mirip Jack Ryan yang simpatik dan kharismatik itu. Dia lebih mirip koboi udik yang arogan.


Di luar kenyataan bahwa sebuah karya, atau karangan, adalah sejenis pentas seni peran, kekecewaan kawan saya itu tentunya tidak senaif analogi imajinasi ala penonton film tadi. Bagaimanapun, para tokoh yang dikaguminya itu, yang sebagiannya juga merupakan tokoh-tokoh yang saya kagumi, memang sangat beralasan. Pertanyaannya kemudian, kenapa tokoh-tokoh yang sebelumnya mengagumkan itu, yang karya-karyanya telah menempatkan mereka sebagai “Tokoh” (dengan “T” besar), dalam kenyataannya pribadi mereka, atau kesehariannya, jauh dari sikap ketokohan tadi? Seorang tokoh, apalagi yang memiliki banyak pengikut, pada dasarnya adalah seorang pemimpin. Dan pada setiap figur pemimpin kita mengandaikan ada sikap bijaksana, adil, dan mengayomi.

Sebelumnya, persis sebelum Ramadhan kemarin, saya juga menjadi penyaksi ungkapan kekecewaan yang mendalam kawan lain, Mahfud Ikhwan, satu dari sedikit kawan segenerasi saya yang telah layak menyandang status sebagai sastrawan (dengan tingkat keseriusan yang menjanjikan), yang mengutarakan kekecewaan mendalam pada seorang sastrawan terkemuka, yang dihormatinya, yang tiba-tiba saja dalam dua bulan terakhir sibuk menenggelamkan dirinya, atas nama panggilan suci mencegah fasisme dan kejahatan berkuasa di Indonesia, pada isu-isu politik. Sebelum Anda keliru menyimpulkan, sastrawan yang dimaksudkannya bukanlah seorang penyair. Ya, bukan penyair terkemuka yang puisi-puisinya hanya berisi rengekan seperti puisi-puisi saya itu, he he he. Oya, jika Anda membaca puisi-puisi saya, dan menilai bahwa isinya hanya rengekan belaka, sesungguhnya puisi-puisi itu saya tulis untuk mengejek penyair terkenal tadi (Hua ha ha ha. Apologi).

Saya kira kita semua mafhum, bahwa setiap orang pasti memiliki preferensi politik. Namun menenggelamkan diri pada soal politik, dengan pilihan isu yang paling comberan, tentu saja merupakan pilihan yang patut disayangkan, terutama bagi seseorang yang telah diakui sebagai “seseorang” dalam dunianya, apalagi dunia kesusastraan. Dan persis di titik itulah kekecewaan Mahfud berakar.

Kita tahu, politik selalu melibatkan pertempuran di berbagai level, mulai dari yang paling sublim hingga yang paling comberan, yang itu juga melibatkan berbagai aktor, mulai dari kalangan paling terhormat hingga para bergajulan. Dalam bayangan kita, orang-orang yang kita anggap sebagai tokoh itu tentu akan bermain sesuai dengan kapasitasnya, dan tidak memelorotkan dirinya untuk bermain di level yang sesungguhnya merupakan dunianya para preman, yang berpolitik dengan menghardik, mengancam, dan mengumbar kata-kata kotor. Namun, secara kasat mata kita bisa menyaksikan bahwa banyak tokoh yang sebagian besar namanya kita kenal itu, ternyata lebih memilih untuk bertarung di wilayah “pokrol bambu”, membicarakan isu-isu yang kelasnya hanya gosip dan comberan saja.

Mahfud, kawan saya itu, memiliki kritik dan keberatan yang sama tajam, baik terhadap Prabowo maupun Jokowi, dan dia termasuk jenis orang yang terlalu skeptis untuk percaya kepada politik dengan semua tokoh-tokohnya. Skeptisismenya terhadap berbagai hal, saya kira hanya bisa ditandingi oleh kawan saya yang lain, Indi Aunullah, seorang sarjana filsafat yang menjanjikan yang kini mewakafkan hidupnya sebagai kyai di Madura. Saya sering menyebut keduanya sebagai “duo apatis tingkat dewa”. Keterangan ini perlu saya tegaskan untuk memberi gambaran bahwa kekecewaan Mahfud tidaklah dibangun oleh latar belakang perbedaan preferensi politik dengan tokoh yang dikecewainya itu.


Sebagai orang yang punya preferensi politik, tentunya saya pernah berusaha untuk mempengaruhinya, termasuk juga Indi, untuk berada sehaluan dengan preferensi saya. Namun, sebagaimana saya mengenalnya, dan dia juga mengenal saya, kami lebih hirau pada soal “content” daripada “kemasan”. Proses pengaruh-mempengaruhipun akhirnya jadi dagelan saja,  sekadar bumbu bagi perbincangan kami, daripada sebuah ikhtiar politik yang sungguh-sungguh. Tak ada yang lebih menggelikan daripada berbicara soal ideologi dan politik kepada kawan yang sangat mengenalmu. Saya, Mahfud dan Irfan, serta beberapa kawan dekat lainnya, tahu batas-batas itu.

Kembali kepada soal kekecewaan Irfan dan Mahfud, sejak cukup lama saya mencoba memikirkan agak serius kenapa pada akhirnya para tokoh yang kami kagumi itu kemudian lebih memilih untuk masuk ke wilayah “pokrol bambu” dalam propaganda politiknya, sebuah wilayah yang mengandalkan isu-isu kotor yang sejatinya lebih tepat jadi lahannya koran-koran kuning. Apa yang membuat orang-orang terhormat itu masuk ke wilayah isu-pinggiran yang sebenarnya comberan? Kenapa mereka men-downgrade dirinya untuk membahas isu-isu yang cemen dan rendah?

Jawaban pertama yang saya peroleh adalah mereka melakukan itu, men-downgrade dirinya kepada isu-isu comberan, yang sebenarnya lebih dekat kepada gosip politik daripada isu substantif, lebih karena isu-isu comberan itu memiliki daya pukul secara langsung kepada tokoh atau kelompok politik yang hendak mereka serang. Dalam konteks politik kontestasi Pemilihan Presiden 2014, semua orang sepertinya menyadari bahwa pada akhirnya seluruh pertarungan ini adalah soal menggaet suara. Ketika ikhtiar untuk menabur simpati terhadap garis politiknya tak lagi memberikan pengaruh terhadap penambahan jumlah suara, maka satu-satunya cara untuk memenangkan kontestasi adalah dengan merusak dukungan pada pihak lawan. Dunia pokrol bambu adalah arenanya.





Tetapi, tetap saja muncul pertanyaan, kenapa akhirnya para tokoh yang terhormat itu mau melucuti kehormatannya dengan turun tangan di wilayah itu, dengan turut memproduksi teror dan kata-kata kotor untuk menjatuhkan lawan politik? Seorang akademisi, praktisi komunikasi dari sebuah perguruan tinggi ternama, bahkan setiap hari hanya menuliskan sumpah serapah dan umpatan di dindingnya, yang sama sekali tidak mewakili kelas keilmuan dan pengetahuannya. Alih-alih mencerahkan publik dengan memberikan kritik pada media massa yang semakin partisan, sehingga cenderung menciptakan disinformasi bagi publik, sebuah topik yang mestinya sangat dikuasainya, ia benar-benar hanya memproduksi sumpah serapah dengan memaki-maki media yang tak sehaluan dengan aspirasi politiknya, dan memuji-muji jurnalisme sampah dari media yang sehaluan dengannya. Jika mau fair, semua media yang ada saat ini sesungguhnya isinya sampah belaka, sehingga tak ada gunanya menyebut salah satu dan mendiskreditkan yang lain.





Hanya saja, jawaban itu sepertinya kurang memuaskan. Adakah hal lain, yang jauh lebih serius daripada sekadar penjelasan tadi, soal daya pukul itu? Jika diperhatikan dengan seksama, ada satu nada yang kita jumpai pada komentar para tokoh itu, apapun bentuk ekspresi linguistiknya. Nada itu tak lain adalah sikap “frustrasi”. Ya, frustrasi!

Pertanyaannya lalu, frustrasi atas apa?

Mereka, para tokoh itu, baik sastrawan, aktivis LSM, akademisi, jurnalis senior, atau profesi lainnya, menurut saya merasa frustrasi karena merasa gagal mengedukasi publik yang tak sehaluan dengannya. Mereka menganggap bahwa mereka yang tak sehaluan adalah publik yang bodoh, bebal, goblok, dan dungu (maaf, semua kata-kata ini saya dapat dari mereka), dan sudah merupakan kewajiban bagi mereka sebagai intelektual untuk mengedukasi orang-orang goblok ini. Dan karena mereka merasa sedang mengedukasi orang-orang goblok dan dungu, maka merekapun, para tokoh yang terhormat itu, tak segan untuk turun tangan menggunakan ekspresi linguistik dari orang-orang yang dianggap goblok dan dungu ini melalui penggunaan sumpah serapah dan kata-kata kotor dalam tulisan dan komentarnya. Ya, mereka benar-benar melakukannya!

Kenapa mereka merasa frustrasi?

Ini yang saya amati, mereka frustrasi karena merasa sudah “mengajari” publik mengenai apa-apa yang kini sedang berusaha mereka lawan. Ya, mereka frustrasi kenapa publik masih saja memproduksi isu rasial dalam politik, padahal selama belasan, atau puluhan tahun, mereka sudah mengedukasi publik soal itu. Mereka frustrasi kenapa dukungan politik kepada tokoh yang dianggap fasis itu demikian besar, padahal selama ini mereka merasa sudah mengedukasi publik mengenai bahaya fasisme. Mereka frustrasi kenapa publik tidak aware terhadap berbagai isu yang dalam hemat mereka sudah mereka “ajarkan” kepada publik sejak lama. Hal-hal itulah yang telah membuat mereka frustrasi.





Persoalannya, benarkah demikian adanya?

Pertama, sebelum mengulik lebih jauh, perlu dipahami bahwa apa yang dimaksud dengan “telah mengedukasi” itu jangan-jangan tak lain adalah sekadar mereka “telah menuliskan” hal-hal tadi. Tentu saja, sejak lama para tokoh itu telah banyak menulis mengenai berbagai hal, termasuk hal-hal yang telah disebutkan tadi. Tetapi, bukankah sangat menggelikan jika “telah menulis” sepenuhnya dianggap simetris dengan “telah mengedukasi”?! Bagian paling brengsek dari hidup di tengah rezim otoritarian yang buruk seperti Orde Baru rasanya adalah ia telah menciptakan kelas intelektual yang merasa bahwa dengan menulis saja mereka merasa sudah cukup memberikan kesadaran kepada publik, karena pada masanya, menulis pernah menjadi sejenis aktivitas perlawanan. Sampai di situ saya tercenung.

Karena mereka merasa telah melakukan banyak hal, melalui wacana yang mereka produksi pada masa otoritarian yang brengsek, maka kini mereka merasa frustrasi ketika sebagian besar publik, dalam jumlah yang signifikan (bahkan mungkin mayoritas), memberikan simpati dan dukungan politiknya kepada tokoh yang mereka anggap sebagai bagian dari rezim lama yang mestinya sudah dan harus punah. Frustrasi itulah yang telah mendorong para tokoh tadi untuk ramai-ramai masuk ke wilayah perdebatan pokrol bambu, dimana sebagian besar massa pemilih berada. Sejauh ini, penjelasan yang paling memuaskan dari turun tangannya para tokoh ke tengah-tengah isu comberan adalah itu tadi.

Sikap frustrasi mereka, dimana saya memiliki empati pada sebagiannya, semakin mengukuhkan satu tesis yang sejak lama saya miliki. Problem serius yang diidap oleh kalangan aktivis dan intelektual yang hidup di masa otoritarian adalah mereka seringkali gagal untuk melepaskan diri dari ingatan traumatiknya pada rezim lama. Hal ini bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan. Ingatan itu bisa menjadi kekuatan karena sensitivitasnya mampu menciptakan semacam early warning system bagi masyarakat kita yang secara umum memang hanya memiliki ingatan jangka pendek saja atas berbagai hal. Namun, ingatan traumatik itu bisa melahirkan bias yang fatal karena akan membuat mereka yang mewarisinya hanya akan memproduksi analisis yang bias trauma dan kebencian. Bagi saya, itulah yang kita saksikan hari ini. Dengan sudut pandang itu saya menyaksikan keseharian kita hari ini, dimana kampanye mengenai “harapan baru” dengan tanpa sikap risih sedikitpun dijajakan justru dengan memproduksi “teror”, “ketakutan”, dan “kebencian”. Tak ada penjelasan yang lebih masuk akal atas ironi tersebut kecuali bahwa demikianlah yang biasanya diwarisi oleh kesadaran-traumatik.




Kedua, menganggap bahwa mereka yang berseberangan dengan para tokoh tadi sebagai dungu dan bebal, tentu saja adalah sebuah kecongkakan yang secara tidak langsung mewakili bagaimana sesungguhnya mutu tokoh-tokoh bersangkutan. Paling tidak kita segera mengetahui bahwa mereka mengidap persoalan yang sangat serius dalam soal kemampuan apresiasi. Agaknya, mereka telah mengabsolutkan pengalaman traumatiknya dengan rejim otoritarian yang brengsek sebagai semacam semesta cara pandang, dimana kita tak mungkin menemukan sebentuk kebenaran parsial atau keliyanan di dalam semesta tadi. Jika Orde Baru adalah hutan, maka hutan itu adalah sejenis ekosistem yang homogen dengan hanya satu spesies di dalamnya. Bagaimana bisa asumsi bermasalah itu diterima? Hutan dan ekosistem, dalam dirinya mengandaikan eksistensi spesies yang beragam. Merampatkan mereka dalam sebuah generalisasi yang menyegala tentu saja sangat bermasalah. Seandainya distingsi “formasi sosial” dan “moda produksi” bisa dipinjam, maka Orde Baru memang telah berhasil menciptakan formasi sosial yang koheren dengan watak rezim bersangkutan. Namun, sebagaimana halnya di dalam setiap formasi sosial pasti terdapat berbagai moda produksi, termasuk moda produksi yang bertentangan dengan corak formasi sosial yang melingkunginya, maka demikian pula mestinya kita melihat dan menilai Orde Baru. Masalahnya, distingsi, keliyanan, atau penyempalan dari formasi sosial Orde Baru itu hanya bisa ditangkap oleh sebuah pandangan jernih yang tidak melibatkan trauma dan kebencian di dalamnya. Dan persis di situ para tokoh yang terhormat tadi gagal menajamkan apresiasinya. Mereka telah memajalkan pikirannya dengan menempatkan generalisasi sebagai gerbang utama bagi analisisnya, tanpa sedikitpun kemungkinan falsifikasi.





Ketiga, apakah orango0rang yang dianggap bebal dan dungu oleh para tokoh itu memang adalah orang-orang bebal dan dungu dalam pengertian yang sebenarnya? Para tokoh yang terhormat itu sepertinya melupakan satu hal, bahwa pengetahuan itu terus bertambah dan berproses. Dan banyak orang hidup dengan pengetahuan yang berproses itu. Apa yang kita ketahui enam belas tahun silam tentunya tak lagi sama pada hari ini. Apa yang semula dianggap pengetahuan, dalam perjalanannya tak sedikit yang telah mengalami revisi, dan bahkan falsifikasi. Apa yang semula gosip, bisa saja telah berubah menjadi fakta dalam rentang yang panjang itu. Persis di sini kita perlu menegaskan bedanya “sejarah” (history) dengan “ingatan” (memory). Ingatan bisa diawetkan, tapi sejarah akan terus meluncur secara dialektis. Nasi hari kemarin tentunya sudah menjadi basi hari ini, sehingga cara kita membicarakannya mestinya tak lagi sama setiap harinya. Para tokoh itu tentu tidaklah demikian bodoh untuk memahami soal sederhana macam ini, namun keterjebakan mereka pada ingatan (memory) telah membuat mereka gagap untuk sanggup berbicara mengenai sejarah (history) secara jernih dan metodik. Itulah yang kita saksikan hari ini dari para tokoh terhormat tersebut. Ketakberjarakan mereka telah memenjarakan mereka di kelampauan. Dan sikap merendahkan mereka pada orang lain yang tak sepemikiran dengannya adalah bentuk frustrasi yang teramat sangat. Frustrasi yang sesungguhnya berakar dari kegagalan mereka untuk bersikap tenang dan jernih.

Ah, kenapa saya jadi menulis panjang lebar soal konyol macam ini?!


Yogyakarta, 13 Juli 2014

Sabtu, 28 Juni 2014

MENUNGGU PENJELASAN "KORAN TEMPO"


















Oleh Tarli Nugroho


Saya sebenarnya malas menulis catatan ini. Namun setelah tiga hari menunggu tidak juga muncul ralat di Koran Tempo, saya terpaksa menulis catatan ini. Pada hari Rabu, 25 Juni 2014 lalu, dimana Koran Tempo memuat berita berisi pernyataan salah satu pendirinya, GM, bahwa "media tidak harus netral", yang segera saja membuat dahi saya mengernyit dan melahirkan catatan di blog (lihat: http://bit.ly/1pJgIiq), saya tidak banyak memperhatikan berita lain di koran tersebut. Pernyataan itu bagi saya aneh. Tentu saja saya sepakat bahwa media harus berpihak pada kebenaran. Namun ketika "kebenaran" itu terkait dengan soal realitas politik yang berlapis-lapis, bagaimana media akan mendefinisikan "kebenaran", dan tidak terperosok pada "pembenaran"? Siapa yang sanggup memberikan garansi? Bagaimana media akan mempertahankan prinsip cover both sides, misalnya, jika narasumbernya hanya tunggal saja, dan porsi klarifikasi dari narasumber yang berseberangan hanya diberikan secara kikir dalam satu atau dua kalimat saja?




























Kecemasan pada wajah media yang semakin tak disiplin dengan tata krama yang mestinya dihidupinya ini, saya sebut sebagai sejenis tindakan mesum dalam industri media kita (lihat: http://bit.ly/UTcjA6). Dan saya semakin tak habis pikir ketika, setelah diingatkan seorang rekan jurnalis melalui status Facebook-nya, membaca kembali berita halaman muka Koran Tempo pada hari yang sama (25 Juni 2014), yang di situ menulis petikan kutipan dari seorang purnawirawan Kopassus. Isi petikan itu berikut ini:

Ruby, bekas anggota Tim Mawar, berjanji mencari orang-orang lain yang dianggap berbicara ngawur tentang Prabowo. "Mulai saat ini, kami akan bergerilya mencari orang-orang yang bicaranya tidak bertanggung jawab."  



























Petikan serupa juga muncul di hari yang sama pada laman Tempo.co (lihat: http://bit.ly/1lzFXoa) . Apa yang menarik dari petikan itu? Koran Tempo menyebut bahwa Kolonel Ruby yang jadi narasumbernya itu merupakan anggota Tim Mawar. Saya kira Koran Tempo merupakan salah satu koran yang membangun dan memiliki sistem data base sangat baik selain Kompas. Namun, setelah tiga hari, saya tidak juga mendapati ralat itu. Apa yang bermasalah dari petikan itu? Kalau kita cari di mesin pencari, tidak ada satupun anggota Tim Mawar Kopassus yang sebelas orang itu bernama "Ruby". Ketika Tim Mawar diadili pada 1999, Majalah Tempo sudah terbit kembali dan juga ikut melakukan liputan atas pengadilan Tim Mawar. Bagaimana bisa Koran Tempo dan Tempo.co sampai lalai untuk mencek apakah benar Kolonel Ruby yang jadi narasumbernya adalah benar-benar anggota Tim Mawar?

Sayangnya saya tidak berhasil menemukan Majalah Tempo yang memuat daftar nama Tim Mawar di perpustakaan saya. Edisi tahun-tahun itu mungkin masih terikat di garasi, belum dibongkar setelah pindahan awal bulan yang lalu. Saya menemukan daftar Tim Mawar itu di Majalah Forum No. 2, 18 April 1999. 

















Setelah saya cek lagi di mesin pencari, meskipun berita soal Kolonel Ruby dengan pernyataan kontroversialnya itu juga dikutip oleh media daring lainnya, namun hanya Koran Tempo dan Tempo.co yang menyebut bahwa yang bersangkutan adalah anggota Tim Mawar. Apa maksud Koran Tempo dan Tempo.co menyebut Kolonel Ruby sebagai anggota Tim Mawar? Untuk menciptakan efek traumatik dan teror kah? Apakah penyebutan itu terkait dengan berita dan pernyataan pendiri Tempo bahwa media tidak harus netral? Dengan modus semacam itukah media harus menghidupi ketidak-netralannya? Apakah itu sekadar salah kutip, atau...?

Sejak lama kita prihatin bahwa tiga lembaga pilar demokrasi, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif sudah sedemikian rupa mengalami pembusukan. Sudah banyak menteri dan bekas menteri yang dijebloskan ke tahanan. Kasus korupsi kini bahkan sedang merongrong Istana Presiden dan Wakil Presiden. Anggota DPRD dan DPR RI sudah tak terhitung yang masuk bui. Belakangan dari jajaran yudikatif kita terhenyak dengan ditangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi. Apalagi yang tersisa setelah semua itu, jika pers, yang sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate), juga ikut-ikutan melacurkan dirinya?


Kapan Koran Tempo akan meralat atau memberikan penjelasan atas beritanya? Inikah harga dari pemihakan media yang disebutkan pendiri Tempo itu? Dan kitakah yang harus membayarnya, Pemirsa, membayarnya dengan rasa ketidakpercayaan yang semakin menyegala terhadap semua bentuk media dan informasi?

Kamis, 26 Juni 2014

PERNYATAAN SIKAP ATAS KONFLIK AGRARIA DI KARAWANG

























PERNYATAAN SIKAP

SERIKAT PETANI KARAWANG (SEPETAK)
PERNYATAAN SIKAP ATAS EKSEKUSI TANAH PETANI DESA WANASARI, WANAKERTA DAN MARGAMULYA DENGAN KEBIADABAN APARAT



1. Peradilan hitam

a. Bukti-bukti palsu

Selama konflik berlangsung, hingga saat ini tak satupun bukti kepemilikan atas tanah tersebut dimiliki oleh PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP). Justru yang selalu disucikan oleh PT SAMP di hadapan pengadilan adalah bukti berupa Surat Pelepasan Hak dan Peta global yang dikeluarkan BPN Kanwil Jawa Barat. Dan kedua bukti atas hak itu telah terbukti palsu. Bahkan kedua bukti tersebut telah lama bergulir ke kepolisian namun hingga detik ini kejahatan tersebut yang telah menetapkan direktur PT SAMP, Irawan Cahyadi, sebagai tersangka tidak pernah diungkap, alih-alih mengubah putusan pengadilan dalam memenangkan PT SAMP pada perkara tersebut.

b. Kriminalisasi

Tidak cukup dengan peradilan hitam. Sepanjang berlangsungnya konflik, PT SAMP tak henti-hentinya melakukan tindakan kriminalisasi terhadap para petani dengan tuduhan menyerobot tanah. Namun tak satupun terbukti bersalah sebagaimana yang dituduhkan. Yang terakhir korban kriminalisasi ialah Ratna Ningrum (mantan Kades Margamulya) yang dituduh melakukan pemalsuan salinan Surat C desa. Padahal tuduhan itu sama sekali tidak terbukti. Justru rekayasa hitam kembali dilakukan oleh kejaksaan dalam surat tuntutan. Anehnya lagi pengadilan tetap memvonis Ratna Ningrum bersalah dengan kurungan 6 bulan penjara.

c. Kekerasan

Disamping peradilan hitam dan kriminalisasi yang sering dilakukan oleh PT SAMP, kekerasan pun tak jarang menimpa para petani. Yang sulit diterima akal sehat, kekerasan dilakukan oleh preman bayaran yang didukung oleh aparat.


2. Sistematika Eksekusi

Ketua PN Karawang sebelum-sebelumnya menyatakan putusan PK Nomor 160 PK/PDT/2011 yang memenangkan PT SAMP tidak bisa ditindaklanjuti dengan eksekusi. Ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adanya tumpang tindih putusan di atas tanah berperkara tersebut; tidak memiliki batas tanah; serta terdapat tanah yang bersertifikat di atas tanah yang diklaim PT SAMP.

Namun saat PN Karawang dipimpin oleh Marsudin Nainggolan, dua pekan dia menjabat sudah mengeluarkan surat anmaning/teguran terhadap pihak yang kalah. Atau lebih tegasnya peringatan kepada pihak yang kalah bahwa akan segera dilaksanakan eksekusi dan para petani yang dikalahkan dalam peradilan hitam agar secara suka rela segera meninggalkan tanah kelahirannya dengan uang kerohiman sebesar Rp4000/meter. Marsudin Nainggolan berdalih bahwa dia hanya bertugas menjalankan putusan, bukan pada kapasitas mengkaji putusan.

Sebagaimana halnya di Pengadilan Negeri Karawang, Kapolres sebelum-sebelumnya tidak membenarkan eksekusi dilakukan. Namun pada saat yang hampir bersamaan beberapa pekan saja AKBP Daddi Hartadi memimpin Kepolisian Resort Karawang, eksekusi dilangsungkan. Yang sangat mengiris hati kaum tani, Kapolres dan Kapolda mengatakan bahwa di atas tanah 350 hektar yang berperkara tidak ada masyarakat penghuni. Parahnya lagi, kapolres menyatakan bahwa yang aksi menolak eksekusi bukanlah petani, tapi mereka unsur oknum LSM yang memanfaatkan situasi.

Dalam melancarkan eksekusi, tak tanggung-tanggung ribuan Brimob, Sabhara dan Dalmas diturunkan dengan alasan pengamanan. Namun pada pelaksanaan di lapangan yang menjadi pemandangan publik adalah tindak represif, penganiayaan sampai penembakan.

Guna melindungi nama baiknya, dibeberapa media, Polda Jawa Barat menyampaikan pernyataannya bahwa konflik ini bukan konflik antara Agung Podomoro Land dengan petani, tapi konflik antara pengusaha dengan pengusaha. Padahal, Polda sendiri pernah melakukan pemanggilan kepada para petani yang berperkara untuk dikriminalisasi. Kalau memang benar pernyataan Polda Jabar tersebut, mengapa yang dipanggil itu petani, bukan pengusaha seperti yang dituduhkannya? Bahkan jelas PK yang dimenangkan PT SAMP yang berperkara adalah 49 petani (sebagai penggugat) dengan PT SAMP (sebagai tergugat).

Artinya dalam hal ini, Polda Jabar telah melakukan kebohongan publik untuk melindungi nama baik institusi Polri.



3. Eksekusi yang Cacat Hukum/Inkonstitusional

Tanah yang telah kuasai, dikelola dan dimanfaatkan oleh para petani secara turun temurun selama berpuluh-puluh tahun adalah merupakan kehendak UUD 1945 Pasal 33 yang diturunkan melalui UUPA No. 5 Tahun 1960. Dimana petani sebagai tenaga produktif memiliki hak yang sangat absolut atas tanah bagi kesejahteraan hidupnya. Adapun penguasaan fisik tanah yang dilengkapi oleh bukti kepemilikan berupa Girik/Leter C dan ketaatan membayar Pajak Bumi dan Bangunan kepada Negara. Namun kini tanah itu harus jatuh ke pangkuan PT SAMP yang secara penuh diakuisisi oleh "kompeni" Agung Podomoro melalui perampasan yang dalam tindakannya menyertakan Kejaksaan, Pengadilan dan ribuan aparat kepolisian.

Saat jalannya eksekusi, massa yang menghadang pasukan Brimob meminta kapolres Karawang menunjukan bukti kepemilikan PT SAMP dan menunjukan batas-batas tanah, Kapolres tidak bisa membuktikannya. Malah, jawaban atas pertanyaan massa adalah berupa semprotan water canon dan pentungan kepada massa petani dan massa yang bersolidaritas.


Kebenaran, kemanusiaan dan keadilan yang sesuai dengan falsafah hidup bangsa Indonesia (PANCASILA, Sila ke-2, dan ke-5) telah diinjak-injak oleh aparat kepolisian dan pengadilan sesat didalam eksekusi.



4. Implikasi dan dampak terhadap petani yang jadi korban

Lalu bagaimana nasib para petani yang terusir dari kampung halamannya sendiri? Saat ini saja mereka masih punya gubug tempat tinggal dan lahan yang bisa dikelola, mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan, apalagi kalau tidak memiliki rumah (tuna wisma) dan tidak memiliki tanah (tuna kisma), tentu saja mereka hanya akan menambah panjangnya sederetan nama korban keangkaramurkaan Republik.

Dengan demikian, atas nama UUD 1945 melalaui UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai landasan hukum untuk melindungi kedaulatan kaum tani atas akses tanah sebagai alat produksi bagi kehidupannya, dan atas peradilan hitam sebagai media untuk merampas tanah petani, kemudian dengan bukti adanya pelanggaran hukum dan HAM berat berupa kejahatan kemanusian (Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM), perlakuan yang kejam ( Pasal 33 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 21 ayat 1 Peraturan Kapolri Nomor 9 tahun 2008 tentang Tata cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, Pasal 18 ayat 2 huruf d, e dan f Peraturan Kapolri Nomor 8 tentang 2010 tentang Tata Cara Lintas ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru-Hara, kami menuntut:

  1. Kembalikan Tanah Petani desa Wanasari, Wanakerta dan Margamulya di atas obyek tanah 350 hektar 
  2. kami mengutuk keras kebiadaban (pemukulan sampai penembakan) yang dilakukan aparat kepolisian. Segera Copot Kapolres Karawang dan Copot Kapolda Jabar dari jabatannya 
  3. Copot ketua Pengadilan Negeri Karawang dari jabatannya 
  4. Tarik Pasukan Brimob dan aparat kepolisian lain dari lokasi konflik

Karawang 26 Juni 2014

Serikat Petani Karawang (SEPETAK)


Ketua Umum

GRAMATIKA








Oleh Tarli Nugroho
Bekas pencinta bahasa

 
 

Apakah Ki Hadjar adalah seorang totaliter hanya karena dia membubuhkan kata itu dalam anggaran Taman Siswa paling awal? Apakah Soekarno adalah seorang fasis hanya karena dia pernah meminjam beberapa lontaran Hitler? Apakah Soepomo mengimani fasisme hanya karena dia menggunakan terma integralistik ketika ikut merumuskan konstitusi pertama Republik ini? Apakah seseorang yang mengutip Marx otomatis menjadi Marxis? Apakah sebuah kata atau konsep yang pernah digunakan oleh sistem gagasan yang lahir lebih dulu akan membuat kata atau konsep itu kehilangan kesempatan mendapatkan pengertian yang berbeda dari apa yang pada mulanya telah merumuskannya?

Kita bukanlah penemu huruf dan pencipta kata. Kita mewarisi huruf dan kata beserta semua perjanjian tandanya. Pendeknya, kita lahir ke dunia sudah mewarisi kamus bahasa.

Namun, apakah kita menggunakan bahasa hanya sebatas pengertiannya di dalam kamus saja? Jangan jauh-jauh ke kehidupan sehari-hari, dimana orang lebih sering berimprovisasi dengan bahasa daripada bersyariat terhadap kamus, di lingkungan akademis saja kata dan konsep seringkali tidak diimani sebagaimana perjanjian akademisnya.

Kita tentu masih ingat bagaimana pada pengujung 2007 silam, Sukardi Rinakit dan kawan-kawannya memproklamirkan gagasan "Ekonomi Pasar Sosial" (Epasos) sebagai sebentuk persilangan antara kebaikan kapitalisme dengan sosialisme. Pengertian itu tentu saja menggelikan, karena gagasan Epasos telah memiliki pengertian baku. Dan Epasos adalah gagasan yang sepenuhnya berpijak di atas keutamaan sistem pasar yang kompetitif, yang oleh Sukardi ditolak sebagiannya.

Idealnya, Sukardi mencari frasa baru untuk menyebut ide yang dikampanyekannya. Ia harusnya menciptakan neologisme. Namun itu tidak dilakukannya.

Lantas, bagaimana kita harus membaca tawaran gagasannya Sukardi dan kawan-kawan masa itu?

Ada dua tentu saja. Pertama adalah dengan menggunakan kamus yang baku, dimana tawaran gagasannya Sukardi boleh kita tertawakan karena telah memperkosa pengertian yang sudah baku dari konsep Epasos. Jika pilihan ini diambil, selesai, tidak terjadi dialog dengan tawaran yang coba diajukannya.

Kedua, kita bisa mengabaikan kamus yang baku dan mencoba mencerna gagasan itu seturut penjelasan yang menyertainya. Jika ini dipilih, kita bisa dianggap tak bersetia dengan kamus, namun dengan begitu pintu dialog dan dialektik tidak jadi dikunci.

Cara kedua itu dalam beberapa obrolan dengan sejumlah rekan selalu saya sebut sebagai "pendekatan gramatika". Cara lain untuk memahami pengertian sebuah kata bukanlah dengan membuka kamus, melainkan dengan melihat dalam gramatika yang bagaimana kata tersebut digunakan. Artinya, setiap kata yang sama, jika digunakan dalam gramatika yang berlainan, maka pengertiannya juga menjadi berbeda.

Jika kita membaca lagi sejarah, kesetiaan terhadap pengertian itu langka sekali kita dapatkan. Soal gagasan koperasi Hatta, misalnya, bisa kita jadikan contoh. Secara umum, Hatta adalah seorang sarjana yang disiplin dengan soal konsep dan pengertian. Namun, dalam soal koperasi, Hatta melakukan "improvisasi akademis". Jika kita membaca riwayat koperasi di Eropa, koperasi adalah gagasan mengenai lembaga ekonomi, jadi levelnya mikroekonomi. Namun, oleh Hatta gagasan ini dibawa ke Indonesia sebagai gagasan mengenai politik perekonomian, jadi sebagai gagasan di level makroekonomi. Inilah yang membuat kenapa Herman Suwardi dulu tegas menyebut bahwa gagasan koperasi Indonesia itu berbeda dengan di Eropa. Secara semantik, itu mungkin menyalahi kamus. Namun, secara pragmatik, itu malah memperkaya konsep tersebut.

Dua cara pandang atau cara timbang itu saya kira berguna untuk melakukan taksonomi gagasan secara lebih jernih di negeri ini. Coba bayangkan, bagaimana bisa seorang Ki Hadjar Dewantara, yang membuang gelar ningratnya, anti-feodalisme, dan sangat egaliter, pernah disebut oleh seorang sarjana kita sebagai "Bapak Totalitarianisme" di Indonesia hanya karena ia memasukan kata itu dalam anggaran Taman Siswa paling awal? Dalam pengertian yang bagaimana Ki Hadjar menguraikan kata itu, tidak dibahas oleh sarjana yang bersangkutan. Baginya, penyebutan kata itu sudah cukup untuk memberikan labeling yang tandas tadi. Bisa dibayangkan jika modus klasifikasi macam itu digunakan tanpa kritik dan koreksi. Apakah karena Fir'aun bercinta, misalnya, maka setiap orang yang melakukan kegiatan percintaan setelah Fir'aun juga bisa dianggap sama dengan Fir'aun? Oalah...

Sampai di sini, menurut saya lebih bijak jika kita mendefinisikan kosa kata apapun pertama-tama dari gramatika yang mengantarkannya, agar kita tidak offside dari maksud dilontarkannya kosa kata tadi.

Menyebut Ahmad Dhani sebagai sedang mengkampanyekan Nazisme dan fasisme hanya karena dia menggunakan pakaian mirip Himmler adalah sama menggelikannya dengan menyebut lontaran Revolusi Mental Jokowi sebagai lahir dari pikiran komunistis. Kalau Anda menyebut Dhani sebagai fasis, maka dengan logika yang sama Anda juga harus menerima jika Jokowi disebut komunis karena Revolusi Mental-nya. Tapi kita sama-sama tahu bahwa dua penilaian itu sama-sama memperkosa penalaran.

Hari ini, politik sepertinya telah membuat semua orang menghalalkan segala cara. Bahkan kaum yang merasa dirinya terdidik dan tercerahkan sekalipun tak segan untuk melakukan hal yang sama, hanya untuk membela posisi politik yang diimaninya.

Ya, demokrasi memang butuh akah sehat. Tanpa itu, para jurnalis tak akan pernah tahu bedanya EDITORIAL dengan ADVERTORIAL, dan kaum intelektual tak akan tahu bedanya POLISEMI dengan POLIGAMI.

Rabu, 25 Juni 2014

BEGAWAN



Oleh Tarli Nugroho
Pembaca media
 

Hari ini (Rabu, 25 Juni 2014), Koran Tempo di halaman tujuh memuat pernyataan Goenawan Mohamad (GM) bahwa "media massa tidak harus bersikap netral dalam kebijakan pemberitaannya". Yang penting, menurutnya, isinya "tidak memfitnah". Untuk menguatkan pendapatnya, GM menggunakan contoh Majalah Fikiran Ra'jat yang dipimpin Soekarno pada tahun 1930-an. Bung Karno juga tidak netral ketika menulis, ujarnya. 

Menurut saya, "tidak harus" adalah bentuk pernyataan spekulatif penuh keraguan. Itu lebih mewakili sikap pembenaran daripada ikhtiar yang benar-benar untuk merumuskan ulang, jika itu memang diperlukan, hal-hal terkait standar jurnalistik. Dengan mengkontraskan "boleh tidak netral" dengan "fitnah" dalam posisi yang secara konseptual seolah equal, pernyataan itu secara tidak langsung juga sedang meremehkan standar liputan berimbang. Asal bukan fitnah, media boleh bersikap tidak netral dengan mengabaikan cover both sides, misalnya. Saya tidak percaya ucapan macam itu bisa keluar dari seorang yang sering disebut sebagai salah satu "empu jurnalis(tik)" di Indonesia, dan itu diucapkan pada peringatan pembredelan sebuah media yang dulu sering disebut sebagai barometer standar jurnalistik. Zaim Uchrowi dulu bahkan pernah menyebutnya sebagai kuil. Ya, kuil, tempat para rahib dan pendekar berlatih mengasah ketajaman pena dan pikiran.

Memasukan "fitnah" sebagai sebuah ukuran verbal dalam jurnalisme juga cukup problematis. Bukan substansinya, tapi verbalismenya. Ukuran "faktual" dan "cover both sides" sebenarnya sudah cukup memagari standar jurnalistik. Saya khawatir, hanya karena intensi untuk memberikan pembenaran atas kekacauan praktik jurnalisme politik paling kurang pada dua tahun terakhir ini, setelah ini jangan-jangan "suudzon" (prasangka buruk) juga menjadi ukuran baru yang lain. Bagaimana, misalnya, para jurnalis bisa melakukan liputan investigatif jika "presumption of guilty" yang biasanya menjadi dasar sebuah liputan investigatif tiba-tiba dianggap sebagai 'suudzon', sebuah sikap yang dalam kacamata agama bernilai dosa. Menyerap kosakata sejenis "fitnah" ke dalam perbincangan jurnalistik, apalagi dilakukan oleh para jurnalis sendiri, menurut saya adalah sebuah kemunduran dengan komplikasi terusan yang tak terbayangkan.

Dan terus terang saya merasa geli ketika GM menggunakan Fikiran Ra'jat sebagai contoh ukuran bagi jurnalisme yang tidak netral itu. Fikiran Ra'jat adalah media agitasi dan propaganda (agitprop) kaum pergerakan kebangsaan, seperti halnya Majalah Daulat Ra'jat yang digawangi Hatta, dan media-media kaum pergerakan lainnya di masa itu. Media-media itu diterbitkan sebagai alat propaganda untuk menyebarkan kesadaran kebangsaan. Tepatkah menjadikan media propaganda sebagai standar jurnalistik? Kalau begitu, apakah GM sedang memproklamirkan secara terbuka bahwa media yang pernah dilahirkannya kini juga adalah sejenis media agitprop?! Selain faktor "fitnah", berarti tak ada bedanya dong antara Koran Tempo dengan Obor Rakyat jika begitu?! Apa memang iya begitu?

Pertanyaan lain saya, bukankah dulu GM dan kawan-kawannya pernah sangat menggelisahkan model pemberitaan Harian Rakjat dan rombongannya? Kenapa dulu digelisahkan jika logika yang sama, bahwa media pada dasarnya hanyalah alat propaganda untuk membela kepentingan politik yang diimani, kini justru digunakan sebagai legitimasi untuk membela praktik jurnalistik yang diimaninya sendiri?! Kemana gerangan kegelisahannya dulu itu?!

Akhirnya, tak ada yang lebih menggelikan daripada seorang pejuang kejatuhan Soekarno yang kemudian menggunakan Soekarno sebagai pembela posisinya hari ini, dan seorang pejuang Orde Baru yang kini mengkampanyekan ketakutan pada orde yang pernah didirikannya itu.

Begitulah politik. Dan sepertinya begitulah setiap orang berpolitik hari ini. Tapi, jika begitu, kenapa ada yang merasa dirinya lebih suci, lebih benar, sehingga lebih berhak menentukan kebenaran bagi semua orang?!

Yogyakarta, 25 Juni 2014

[JURNALISME] MESUM




Oleh Tarli Nugroho
Pembaca media



"Mesum atau tidak itu tidak tergantung pada perbuatannya, tapi tergantung tarif hotelnya," kalimat itu meluncur dari seorang kawan dalam sebuah obrolan di bulan Ramadhan, beberapa tahun silam. Tentu saja saya terbahak mendengarnya. Hanya sepelemparan batu dari gerbang kantor kami, waktu itu, terdapat sebuah rumah bergorden merah marun yang setiap lepas magrib diparkiri taksi dan kendaraan roda empat lainnya. Mobil-mobil itu hanya singgah barang lima atau sepuluh menit untuk kemudian segera meluncur ke berbagai penginapan yang ada di Yogya.

Kata teman-teman kantor sih begitu. Nah, saya sih biasanya pura-pura tidak memperhatikan obrolan mereka. Padahal... He he he. Tak jauh dari rumah itu, sekitar dua ratusan meter ke arah Barat, juga terdapat sebuah salon yang setelah beberapa kali secara sengaja saya lewat di depannya, setelah diberitahu teman-teman, sejumlah perempuan dengan hot pants setiap pagi menjelang siang pasti sedang duduk-duduk mengantri mandi. Saya mengira mereka pasti mau mandi karena hampir semuanya menyelempangkan handuk di bahunya.

Tak heran, jika menjelang tanggal muda, banyolan di antara kami hampir selalu menyerempet tempat-tempat tadi. Termasuk pada hari di bulan Ramadhan itu. Tapi bukan tempat-tempat itu yang ingin saya bagi di sini, he he he.

Setiap kali menjelang dan selama bulan Ramadhan, kita sering mendengar aparat kepolisian atau satuan polisi pamong praja di berbagai daerah mengadakan razia tempat-tempat mesum. Dan sasaran mereka, selain warung remang-remang, biasanya adalah hotel-hotel kelas melati. Di sana, mereka biasanya merazia apa yang mereka sebut "pasangan-pasangan mesum".

Kenapa yang dirazia hanya hotel kelas melati, bukannya hotel berbintang? Apakah aparat berasumsi kegiatan mesum hanya berlangsung di hotel kelas melati? Atau, apakah seperti banyolan kawan saya di atas, soal "mesum" dan "tidak mesum" pertama-tama memang bukan soal konstruksi moral atas sebuah perbuatan, melainkan sekadar soal "tarif hotel"?! Ah, itu adalah pertanyaan-pertanyaan jahil yang mungkin dianggap tidak penting oleh banyak orang. Saya juga mulanya menganggap tidak penting pertanyaan-pertanyaan itu. Sampai kemudian siang tadi saya membeli Majalah Tempo edisi terbaru yang menulis soal Obor Rakyat. Entah kenapa, kalau membaca bagaimana soal Obor Rakyat dibicarakan, saya jadi teringat pada soal "permesuman" tadi.

Tidak perlu belajar jurnalistik menahun untuk menemukan bahwa apa yang dilakukan oleh Obor Rakyat dan para "jurnalisnya" adalah contoh sebuah perbuatan "mesum" dalam dunia jurnalistik. Saya menyambut baik paernyataan AJI yang dengan tegas menyebut bahwa Obor Rakyat itu bukan merupakan bagian dari dunia "jurnalistik". Ya, tabloid itu memang sampah saja.

Tapi, sebagaimana halnya perbuatan mesum di hotel-hotel kelas melati, Obor Rakyat adalah contoh dari perbuatan mesum yang vulgar dan verbal. Bagaimana halnya dengan perbuatan "mesum" kelas "hotel berbintang" dalam dunia jurnalistik kita? Bagaimana dengan media-media raksasa yang mendaku dirinya sebagai "penjaga moral", "penyuara kebenaran", "pengadil yang tak memihak", yang setiap hari mengisi halaman dan layarnya dengan tulisan dan tayangan penuh hasut, insinuasi, yang sama sekali tak memenuhi kaidah jurnalistik paling sederhana sekalipun?!
 

Obor Rakyat itu kotoran! Anak sekolah dasar saja tahu hal itu. Tapi jika kita yang merasa dirinya terdidik lebih merisaukan kotoran semacam Obor Rakyat sembari menutup mata terhadap kotoran yang setiap hari diproduksi oleh media-media raksasa, dan malah mengambil keuntungan darinya hanya karena kotoran-kotoran itu "menyuburkan" aspirasi politik kita, tak bisa lain bahwa kita sesungguhnya hanyalah sejenis bangsa bakteri yang hanya bisa hidup di tengah kotoran.

Tapi, ya, seperti halnya tarif hotel, "kotoran" yang dibagi gratis dengan "kotoran" yang dibeli dengan duit puluhan ribu memang beda levelnya. Karena ada harganya, kotoran mungkin tak lagi dianggap kotoran. Jadi, soal "mesum" dan "kotoran" di negeri ini memang perkara tarif dan harga, bukan soal konstruksi etik atas sebuah perbuatan, pikiran, atau cara pandang.

Semoga saya keliru.

Sabtu, 14 Juni 2014

SUMITRO DAN DAWAM


Oleh Tarli Nugroho

 

Siang itu, medio 1989, Sumitro Djojohadikusumo bertandang ke kantor LP3ES. Tentu saja ia disambut dengan baik di lembaga itu. Sumitro adalah salah satu pendiri lembaga yang pada masanya pernah sangat berwibawa tersebut. Kedatangan Sumitro siang itu tak lain adalah untuk menemui Dawam Rahardjo. Dia ingin berterima kasih kepada Dawam karena atas inisiatifnyalah maka disertasi yang ditulis Sumitro, "Het Volkscredietwezen in Depressie" (1943), bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan sebagai buku oleh LP3ES. Disertasi itu diterjemahkan menjadi "Kredit Rakyat di Masa Depresi" (1989).

"Maksud kedatangan saya adalah untuk berterima kasih kepada saudara. Saya sangat menghargai usaha saudara untuk menulis pemikiran saya dalam pengantar panjang di buku itu. Selain itu, saya merasa punya kewajiban untuk menjelaskan beberapa hal terkait dengan pendapat dan komentar saudara dalam pengantar itu." Kurang lebih begitulah omongan awal Sumitro ketika berjumpa Dawam siang itu. Saya beberapa kali mendengarkan cerita itu dari Dawam, sejak empat tahunan silam.

Obrolan siang itupun berlangsung hangat. Sumitro bercerita detail mengenai penulisan disertasi itu, termasuk bercerita mengenai latar belakang ketertarikannya terhadap soal kredit rakyat dan gerakan koperasi. "Minat itu sangat dibentuk oleh ayah saya," demikian Sumitro. Ayahnya, Margono Djojohadikusumo, adalah inspektur koperasi pada masa kolonial Belanda. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, jika sedang libur Sumitro kecil selalu dajak ayahnya untuk 'turba' (tournee) ke desa-desa di pelosok Jawa. Interaksinya dengan pekerjaan ayahnya itu telah menumbuhkan minatnya terhadap ekonomi rakyat, terutama terkait dengan soal kredit rakyat dan koperasi. Tak heran, ketika menulis disertasi di Nederlandsch School of Economics, soal itulah yang dipilih Sumitro sebagai topik disertasinya. Ia menyelesaikan pendidikan doktoralnya pada usia 25 tahun.






Hal yang paling mengesankan Dawam dari pengakuan Sumitro siang itu adalah kejujuran Sumitro mengenai polemiknya dengan Sjafruddin Prawiranegara pada tahun 1950-an. "Jarang ada intelektual senior yang memiliki sikap rendah hati seperti Pak Mitro. Terutama rendah hati dalam hal mengakui kekeliruannya. Tapi Pak Mitro siang itu dengan terbuka mengakui bahwa dalam banyak hal, pemikiran Sjafruddin pada waktu berpolemik dengannya lebih dari tiga dekade sebelumnya itu adalah yang betul. Untuk membangun perekonomian Indonesia, kita tidak bisa langsung melompat. Melainkan harus dimulai dari desa dan pertanian dulu," kenang Dawam.

Saya ingat, saya juga pernah membaca pengakuan tersebut di Majalah TEMPO, mungkin juga pada sebuah edisi yang terbit pada medio 1989. Saya membaca majalah itu di Perpustakaan UPT 1 UGM, sekira empat belas tahun silam. Berita itu mungkin terkait dengan berpulangnya Sjafruddin. Mantan Presiden PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) itu meninggal pada 15 Februari 1989.

Sumitro, dalam polemik tertulis tahun 1950-an itu, memang cenderung kepada gagasan untuk terutama menumbuhkan kelas menengah dan melakukan strategi industrialisasi, sementara Sjafruddin, yang sebenarnya merupakan seorang monetaris, justru berpandangan bahwa perekonomian Indonesia harus dibangun dari desa. Sebagai seorang ekonom dengan sikap nasionalis yang kuat, Sumitro cenderung untuk menumbuhkan kelas menengah pribumi karena dia melihat bahwa kelas ekonomi tersebut selama ini dikuasai oleh golongan Tionghoa. Struktur warisan kolonial itu dianggapnya sangat tidak sehat. Itu sebabnya ketika menjadi menteri pada masa Bung Karno, Sumitro banyak merancang program ekonomi untuk menumbuhkan para pengusaha pribumi.

Sementara, Sjafruddin, dengan latar belakangnya sebagai ahli moneter, sangat paham bahwa untuk melakukan strategi industrialisasi dibutuhkan modal yang besar. Dalam kerangka itu, gagasannya mengenai pembangunan pertanian dan perdesaan sebenarnya bisa dikatakan bukanlah gagasan yang bersifat "ideologis", melainkan "pragmatis" saja: sebagai gubernur bank sentral yang pertama, yang tahu betul bahwa Indonesia mengalami kekurangan modal, Sjafruddin berpandangan maka Indonesia harus mengawali proses pembangunan ekonominya dari sektor pertanian dan perdesaan, yang tidak membutuhkan banyak modal. Dalam posisinya terhadap modal itu, makanya bisa dipahami pula jika, berbeda dengan Sumitro, Sjafruddin sangat tidak antusias dengan agenda nasionalisasi yang dilakukan Soekarno. Sementara, pada sisi yang berseberangan, Sumitro merancang pemikiran ekonominya dalam kerangka program nasionalisasi ala Soekarno itu.

Saya sejak dua tahun lalu sebenarnya sedang berusaha untuk meredaksi kembali polemik tersebut. Inisiatif itu terutama dipicu setelah dihadiahi draf buku Dawam yang menulis pemikiran pembangunan Sumitro. Draf buku Dawam itu saat ini sedang dalam proses penerbitan oleh LP3ES. Itu naskah lama sebenarnya, ditulis tahun 1989, dibuat untuk sebuah program yang diadakan SPES, salah satu anak lembaga LP3ES. Dalam program tersebut, ada beberapa orang yang ditugasi untuk melakukan kajian pemikiran tokoh. Dawam kebagian menulis Sumitro, sementara Ignas Kleden, misalnya, kebagian menulis Geertz. Sayangnya, menurut Dawam, hanya dia yang menyelesaikan proyek kajian pemikiran itu. Belakangan saya mengingatkannya, bahwa mungkin Kleden telah menjadikan proyek kajian mengenai Geertz itu sebagai bahan untuk disertasinya kemudian. Ya, dia membenarkan.

Gara-gara buku mengenai Sumitro itu, dan setelah membantu Dawam dalam proses penulisan buku mengenai Sjafruddin Prawiranegara, saya mulai berburu karangan-karangan dalam polemik itu. Saya sangat beruntung ketika belakangan saya juga menemukan bahwa Profesor  Goan Po, salah satu tokoh PSI lain, juga memiliki sebuah karangan yang membahas polemik Sumitro dan Sjafruddin itu. Dan saya juga menemukan sebuah transkrip pembicaraan Margono yang membahas karangan Tan Goan Po itu. Wah, itu betul-betul arsip-arsip yang menarik...

Poin penting lain yang saya catat mengenai Sumitro, berbeda dengan Sjahrir, misalnya, Sumitro adalah tokoh PSI yang sangat religius. Kesaksian ini saya dapati, selain secara lisan dari Dawam, juga dari biografi Ventje Sumual, salah satu tokoh Permesta. Dawam, yang mengenal cukup baik para tokoh Masyumi, menyandarkan penilaiannya itu dari kesaksian para tokoh yang dikenalnya tersebut. "Berbeda dengan Sjahrir, yang tak mau disebut atheis, tapi juga tidak terlalu suka diasosiasikan sebagai cendekiawan muslim, religiusitas dan identitas Islam tidak pernah dibuang oleh diri Sumitro. Ini yang membuatnya disukai oleh orang-orang Masyumi. Apalagi dia sangat hormat kepada Natsir. Itu bisa dilihat ketika PSI berkoalisi dengan Masyumi ketika membentuk Kabinet Natsir." Demikian Dawam.

Saya sempat bertanya kepada Dawam, dimana saya mendapat keterangan bahwa ketika Prabowo menjadi taruna junior di Akmil dia sering dijadikan obyek bully oleh para seniornya. Tapi, Prabowo kemudian dilindungi oleh para taruna yang berasal dari keluarga santri. Salah satunya adalah Kivlan Zen. Dia di-bully terutama karena dia berasal dari keluarga elite, dimana ayahnya adalah menteri, dan terutama karena bahasa Indonesianya waktu itu masih terbata-bata. Maklum, Prabowo menghabiskan masa kecil dan remajanya di luar negeri. Atas pertanyaan itu, keterangan dari Dawam menurut saya cukup menarik. Para taruna senior yang melindungi Prabowo itu, menurutnya, umumnya berasal dari keluarga Masyumi. Dan mereka mengenal Prabowo sebagai anaknya Sumitro yang merupakan kawannya Natsir.

"Apakah sentimen-sentimen itu memang benar-benar menjadi penjelas atas soal tadi?" tanya saya, ragu.

"Nah, itu sebaiknya Anda teliti lebih jauh," jawabnya. Oalah, gumam saya dalam hati.

"Oya, kapan naskah buku Anda mengenai polemik Pak Mitro dan Pak Sjaf selesai?" tanyanya.

Saya tidak siap menerima pertanyaan itu. Pada kenyataannya, proyek pribadi itu memang sudah lama belum saya sentuh lagi.

"Nah, itulah, Anda itu lama sekali kalau menulis." Dawam seperti bisa membaca pikiran saya. Makjleb.

"Habis Pilpres nanti selesai kok, Pak. Ya, akhir tahun inilah," jawab saya sekenanya. Dia cuma mengangguk-angguk.



Yogyakarta, 13 Juni 2014