Rabu, 17 September 2014

NEGARA DESA, NEGARA KOTA, DAN NEGARA KEBANGSAAN: INDONESIA DI SIMPANG JALAN














Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Ketua P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)


 
Para pendiri Republik ini kebanyakan hidup dalam idealisasi nilai-nilai pedesaan. Soekarno, Hatta, Yamin, Tan Malaka, Ki Hadjar Dewantara, Amir Sjarifuddin, Soepomo, atau yang lainnya, hidup dengan alam kebatinan yang demikian. Satu-satunya perkecualian yang tegas mungkin hanya ada pada seorang Sjahrir. Seperti pernah ditulis Mrazek, ia mungkin satu-satunya orang yang dilahirkan terlepas dari segala bau “tradisi”, “primordial”, serta “parokial”. Sementara tokoh-tokoh lainnya tak pernah kehilangan pijakan akar tradisi, kita memiliki kesulitan yang nyata untuk menemukan kata “Minangkabau” dalam karangan-karangan Sjahrir.

Idealisasi nilai-nilai pedesaan yang melekat pada pemikiran para Bapak Republik tadi merupakan artefak sejarah bahwa Indonesia sesungguhnya adalah sebuah bangsa dan negara yang pada titik permulaannya dibangun oleh berbagai “komunitas desa” yang pluri. Sehingga, apa yang dimaksud dengan “nilai-nilai pedesaan” tadi tidak persis sama antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Dan berbagai nilai tadi telah dikoherensi dan dikonversi menjadi nilai-nilai bersama melalui sejumlah momentum, mulai dari Kongres Pemuda, hingga baku dalih filosofikal dan yuris dalam sidang-sidang Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan.

Pengajuan konsep negara integralistik oleh Soepomo dalam BPUPK, di tangan sejumlah Indonesianis dan sarjana kita, secara keliru—dengan sudut pandang hari ini—sering dianggap sebagai contoh masuknya anasir gagasan fasistik dan totalitarian di dalam perumusan konstitusi kita. Penilaian itu menurut saya sepenuhnya keliru, karena gagal memahami sejarah-intelektual terbentuknya bangsa dan negara ini.






 














Gagasan negara integralistik yang ditawarkan Soepomo sebenarnya harus dibaca sebagai cermin dari gagasan “negara desa” yang berangkat dari “idealisasi nilai-nilai pedesaan” tadi, idealisasi yang disebut oleh Niels Mulder (1998) sebagai bagian dari “Asian Values”. Dalam “negara desa”, yang bisa juga disebut sebagai “masyarakat tatap muka”, dimana semua orang saling mengenal satu sama lain. Dengan premis itulah maka Soepomo dalam sidang BPUPK, misalnya, menolak masuknya rumusan mengenai hak-hak kewargaan, karena dalam sebuah “negara desa”, rumusan semacam itu tidak perlu dicantumkan secara verbal dan eksplisit. Jadi, Soepomo bukan menolak nilai-nilai tentang hak kewargaan, atau nilai hak-hak asasi manusia, melainkan mempersoalkan verbalismenya. Sebab, dalam sebuah masyarakat tatap muka, penegasan mengenai kewajiban itu lebih utama daripada penegasan mengenai hak.

Ketika Soepomo menyebut UUD 1945 sebagai “Undang Undang Dasar Gotong Royong”, tak lain itu sebenarnya merupakan penegasan dari bagaimana kentalnya gagasan “negara desa” pada diri Soepomo. Apalagi, dia merupakan seorang guru besar hukum adat. Hanya saja, menghubungkan gagasan tersebut (baca: negara integralistik) dengan gagasan totalitarian di Eropa, atau fasisme Jepang, seperti yang misalnya pernah dilakukan David Bourchier (1996), jelas tak lebih dari sekadar fiksi ilmiah.

Kritik terhadap pandangan Soepomo terkait soal hak-hak kewargaan tadi muncul dari Hatta dan Yamin. Hatta, kita tahu, mengenyam pendidikan di Negeri Belanda, tapi tidak demikian halnya dengan Yamin. Kritik Hatta dan Yamin terhadap Soepomo sebenarnya bisa dilihat sebagai kritik warga “nagari Minangkabau” terhadap “negara desa” ala Jawa.

Dengan sudut pandang ini, perdebatan yang terjadi dalam sidang-sidang BPUPK sebenarnya merupakan perdebatan dari “idealisasi nilai-nilai pedesaan” yang berasal dari seluruh Nusantara. Sebagai sarjana, mereka yang terlibat dalam perdebatan itu tentu saja berusaha melegitimasi gagasannya dengan mencari sinonim-komparatifnya dalam paham, pemikiran, dan praktik tata negara di negeri lain. Ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Soekarno dan angkatannya merupakan kaum sarjana yang otonom, yang tak mudah membebek serta menjadi budak dari pemikiran yang dipelajarinya. Fakta ini bisa kita simak dari karangan-karangan lengkap mereka.

Namun, selain berisi perdebatan antar-berbagai ideal negara desa yang pluri tadi, perdebatan dalam sidang BPUPK juga berisi tarik-menarik antara gagasan negara desa dengan negara kota.

Jika gagasan negara integralistik merupakan cermin dari gagasan negara desa, maka gagasan republikanisme sebenarnya merupakan cermin dari negara kota. Gagasan republikanisme bertolak dari pandangan bahwa negara adalah milik publik, sehingga pemimpin harus dipilih dari kalangan rakyat sendiri. Gagasan ini memang muncul pertama kali sebagai kritik terhadap sistem monarki feodal di Eropa, seiring berkembangnya kapitalisme. Tentu saja gagasan tentang ruang publik politik lahir seiring perkembangan kapitalisme, karena kapitalismelah yang telah memunculkan kota dan kelas borjuis, yang kemudian menjadi sentra dan aktor dari perlawanan terhadap kekuasaan raja-raja feodal.

Jadi, jika negara desa identik dengan integralisme, yang oleh orang Jawa dirampatkan sebagai “manunggaling kawulo gusti”, maka negara republik, atau negara kota (city state) ini dibangun oleh komunikasi publik. Dan berbeda dengan model negara desa yang banyak bertumpu pada kepercayaan antar-individu, negara kota dicirikan oleh sistem birokrasi dan administrasi yang detail. Termasuk di dalamnya soal pembagian kekuasaan. Konsekuensinya, negara kota harus ditopang oleh kegiatan ekonomi dan keuangan yang kuat, karena untuk menghidupi birokrasi tadi dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tentunya tidak mengherankan, karena penyokong utama dari negara kota adalah kegiatan ekonomi dan keuangan, maka peran kelas borjuis menjadi sangat dominan.

Pelembagaan negara demokrasi modern umumnya hanya kita kenal melalui model negara kota. Di negara-negara kontinental yang penduduknya homogen dan wilayahnya relatif kecil, model negara kota mungkin merupakan bentuk pelembagaan demokrasi yang efektif. Namun, di negara-negara yang besar, baik penduduk maupun wilayahnya, dan apalagi negara kepulauan semacam Indonesia, model tersebut memang perlu dipikirkan kembali. Itu sebabnya sidang-sidang BPUPK dahulu melahirkan perdebatan yang alot mengenai soal tata negara ini.

Secara umum, sebelum diamandemen empat kali, arsitektur gagasan dalam konstitusi kita, yaitu UUD 1945, sebenarnya merupakan bentuk jalan tengah antara model negara desa dengan negara kota. Hadirnya MPR sebagai lembaga tertinggi negara, yang berkuasa memilih, mengangkat dan memberhentikan presiden, yang struktur keanggotaannya terdiri baik dari partai politik maupun utusan-utusan (daerah, golongan [ras, profesi, dll.]), merupakan salah satu cerminnya. Anggota MPR dipilih dengan dua model, yaitu pemilihan langsung dan pilihan tidak langsung berjenjang. Produk pemilihan langsung adalah partai-partai politik yang duduk di DPR, sementara produk pemilihan tidak langsung adalah utusan-utusan tadi.

Memang, standar rekrutmen utusan daerah dan golongan pada masa Orde Baru sangat buruk, karena semuanya ditentukan oleh presiden, padahal presiden sendiri sesungguhnya adalah “bawahan” MPR. Namun, dalam sistem itu kita bisa menyaksikan bahwa golongan kaum cendekiawan dan profesional, misalnya, bisa mendapatkan tempat di lembaga tertinggi itu tanpa harus melalui pemilu dan jalur politik yang sering dianggap rumit, mahal dan kotor. Di atas kertas bisa dikatakan bahwa reputasi keilmuan dan profesionalitas mendapatkan penghargaan yang setara dengan para politisi di lembaga MPR itu. Para pendiri Republik ini telah sangat bijaksana mendesain MPR menjadi sebuah lembaga multikameral yang anggotanya heterogen, karena mereka sangat memahami bahwa Indonesia adalah sebuah negeri yang pluri.

Jalan tengah konstitusional itu sayangnya tidak konsisten kita praktikkan. Tak lama sesudah Proklamasi, sistem pemerintahan kita segera berganti menjadi negara kota murni, melalui sistem parlementer. Alasan historisnya sudah sering dikemukakan, dan mudah kita jumpai dalam berbagai buku dan karangan, namun kita sering meluputkan pertarungan politik di belakangnya.

Sjahrir, yang menjadi perdana menteri pertama dari pemerintahan parlementer itu, bersama dengan kelompoknya, bukanlah anggota BPUPK, sehingga ia tidak turut merumuskan konstitusi kita. Posisi mereka yang berada di luar BPUPK itu telah melahirkan pandangan bias, termasuk kegagalan untuk memahami bahwa UUD 1945 yang telah selesai dirumuskan itu merupakan jalan tengah dari perdebatan antara negara desa dengan negara kota.

Oleh karenanya, tudingan bahwa UUD 1945 adalah produk dari fasisme Jepang, sebagaimana yang sering dituduhkan Sjahrir dan kelompoknya, sebenarnya bisa dilihat dengan dua cara. Pertama, Sjahrir dan kelompoknya ahistoris dengan perdebatan yang terjadi di dalam BPUPK. Atau, kedua, tudingan itu sebenarnya lebih bersifat politis, yaitu untuk mengambil tempat dalam kekuasaan setelah Jepang menjadi pecundang dalam Perang Dunia II. Kita tahu, kekalahan Jepang telah membuat posisi Soekarno dan golongan elite lainnya yang sebelumnya mau berdiplomasi dengan Jepang menjadi terdelegitimasi di mata Sekutu, yang menjadi pemenang perang. Dan persis di situ Sjahrir, yang sebelumnya menolak berdiplomasi dengan Jepang, jadi memiliki jalan ke kursi kekuasaan.

Jika periode pemerintahan parlementer mempraktikkan model negara kota, maka Dekrit Presiden 1959, yang menandai dimulainya Demokrasi Terpimpin, mempraktikkan antonimnya, yaitu model negara desa. Dengan demikian, bisa dikatakan dengan nada ironis bahwa jalan tengah antara negara desa dan negara kota sebagaimana yang telah dilembagakan dalam UUD 1945, pada generasi perumusnya sendiri justru tidak pernah dipraktikkan dengan utuh.

Pemerintahan Orde Baru yang muncul kemudian pada dasarnya hanya memapankan saja model negara desa yang sudah dimulai oleh Soekarno. Bedanya, jika Soekarno menggunakan model negara desa untuk konsolidasi kebangsaan (nation building) dan membendung intervensi serta aneksasi kekuatan asing, maka pemerintahan Orde Baru mempraktikannya untuk kepentingan sebaliknya: memberikan karpet merah bagi kepentingan modal asing.




 













Pasca-Reformasi, kebencian dan trauma kita pada Orde Baru, telah mendorong kita untuk menjauhkan diri dari model negara desa dan jalan tengahnya. Empat kali amandemen UUD 1945 sesungguhnya merupakan tindakan ekstrim, dimana kita kini hanya menjadikan negara kota sebagai satu-satunya model pengelolaan negara, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan termasuk di desa sendiri.

Ya, termasuk di desa. Sejak negara melakukan penetrasi sistemik kepada pemerintahan desa melalui pengangkatan seluruh sekretaris desa sebagai PNS, dan sistem tanah bengkok untuk aparat desa diganti dengan gaji rutin, maka sejak itu pemerintah desa menjadi bagian dari sistem negara kota.

Persoalannya, sebagaimana bisa kita saksikan dalam empat belas tahun terakhir otonomi daerah, dan sepuluh tahun terakhir sejak berlakunya konstitusi baru, berbagai persoalan yang muncul dan mengepung kita tidak seluruhnya merupakan problem transisional, melainkan problem sistemik. Problem transisional adalah problem yang sifatnya hanya sementara dalam sebuah periode perubahan tata kelola. Dalam jangka waktu tertentu, masalah itu akan pupus. Sementara, problem sistemik merujuk kepada persoalan yang melekat pada sistem itu sendiri, alias menjadi problem bawaan.

Tulisan ini tidak akan mengupas apa saja problem transisional dan sistemik dari tata pemerintahan negara kota yang kini berlangsung, melainkan hanya akan menyebutkannya secara general saja. Ada beberapa persoalan yang perlu untuk diperhatikan.

Pertama, pemberlakuan hanya satu model politik di semua jenjang pemerintahan telah mendistorsi latar historis dan sosiologis negeri kita yang sebenarnya sangat pluri. Penyeragaman model politik ini, seperti halnya yang dulu terjadi pada penyeragaman bentuk dan tata pemerintahan desa pada masa awal Orde Baru, telah mematikan banyak institusi lokal-tradisional yang sebenarnya memiliki fungsi sosial efektif. Jikapun tidak mematikan, pada akhirnya muncul dualitas kelembagaan, yang dari kacamata manajemen sebenarnya harus dianggap tidak efisien. Adanya dualitas desa dinas dan desa adat di Bali, misalnya, yang meskipun masing-masing memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda, sebenarnya tidak efisien. Desa dinas fungsinya hanya minimalis administratif saja.

Kedua, dengan menggunakan satu model negara kota di semua jenjang pemerintahan, mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga desa, kita sedang mendesain kegaduhan politik di semua level kehidupan masyarakat. Pada mulanya publik mungkin akan menikmati proses ini, sebagai masa bulan madu pasca-berakhirnya rezim otoritarian yang berkuasa lebih dari tiga dekade. Namun, kegaduhan itu bersifat destruktif dalam jangka panjang. Pada akhirnya, ruang publik kita hanya diisi oleh politik saja, tak tersisa ruang publik yang lain.

Ketiga, masih terkait dengan soal sebelumnya, hanya berlakunya satu model negara kota di semua jenjang pemerintahan telah membuat pembagian wilayah kerja antara negara (state) dengan masyarakat (civil society) tidak lagi mudah dipisahkan. Pada ujungnya, masyarakat hanya merupakan subordinat saja dari negara. Ini adalah imbas dari dominasi politik dalam ruang publik kita. Semua hal, termasuk yang mestinya menjadi domain masyarakat, tiba-tiba akhirnya “di-negara-kan”, atau “di-politik-kan”. Dan hal ini tentu saja ironis. Sebab, dengan demikian praktik tadi tak lagi konsisten dengan model awal negara kota, yang sebenarnya menolak premis “manunggaling kawulo gusti”, sehingga mensyaratkan adanya pembagian wilayah yang tegas antara negara dengan masyarakat.

Keempat, konsekuensi logis dari semua itu adalah betapa jadi mahalnya politik. Sebagaimana telah disinggung, model negara kota membutuhkan logistik yang tidak sedikit untuk bisa mengoperasikan birokrasi kekuasaannya, mulai dari pusat hingga ke tingkat desa, sehingga oleh karenanya harus didukung oleh perekonomian yang kuat. Masalahnya, jika kehidupan warga negara di semua level pemerintahan didominasi oleh politik, bagaimana ekonomi akan berkembang dengan baik? Jika perekonomian kita tidak berkembang baik, namun seluruh proses politik itu terus berjalan, siapa sebenarnya yang telah membiayai seluruh hiruk pikuk politik ini?

Itu adalah persoalan-persoalan pokok yang sedang membelit kita saat ini. Persoalan-persoalan itulah yang telah membuat kenapa saya tidak tertarik untuk terlibat dalam perdebatan mengenai prosedur pemilihan kepala daerah. Karena, baik yang pro maupun yang kontra, keduanya sama-sama meluputkan persoalan pokoknya. Kalaupun saya tidak setuju pemilihan bupati/walikota secara langsung, alasan saya berbeda dengan partai-partai yang kini membela posisi itu.

Kenapa saya mengusulkan agar otonomi daerah ditarik ke level provinsi, karena level pemerintahan ini memiliki kapasitas yang leluasa untuk membahas kekhususan tata pemerintahan yang mungkin dibutuhkan oleh level pemerintahan di bawahnya. Dengan begitu, pemerintah pusat bisa mendistribusikan sebagian bebannya. Dan sebagai kepala daerah otonom, gubernur harus dipilih secara langsung.

Selain itu, dengan menarik otonomi ke wilayah provinsi, maka wilayah kabupaten/kota akan terbebas dari kegaduhan politik. Wilayah ini memang harus menjadi ujung tombak pembangunan ekonomi, dengan konsep pembangunan yang bersifat regional. Sayangnya, pembangunan regional selama ini seringkali tidak sinkron karena para bupati/walikota umumnya memiliki agendanya masing-masing, tak saling mengkoordinasikan kebijakannya dengan kepala daerah di sekitarnya. Dengan dipimpin oleh kepala daerah otonom selevel gubernur, maka pembangunan regional, terutama di luar Jawa, bisa dilakukan secara lebih terstruktur.

Kembali ke soal negara desa dan negara kota, sebagai negara maritim dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar, serta dengan kebudayaan dan latar sosial masyarakatnya yang pluri, Indonesia memang harus dikelola dengan perpaduan yang tepat antara konsep negara desa dengan negara kota. Tentu saja kita harus bisa memproduksi kebijaksanaan baru, yang dibutuhkan zaman ini. Dalam kaitannya dengan jabatan kepala negara, biarkan dia tetap dipilih secara langsung. Namun, kedudukan dan fungsi vital MPR sebagian harus dikembalikan. Bagaimana detailnya, itu yang harus dibahas.

Itu adalah persoalan-persoalan vital di hulu politik yang menanti untuk dibahas. Sayangnya, kita lebih suka gaduh meributkan hal-hal kecil di hilir. Sejak dahulu selalu begitu.


 

Yogyakarta, 11 September 2014

PROFESIONAL ATAU VOKASIONAL?



























 Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Ketua P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)
 

Pada 1917, Weber memberikan kuliah penting, “Wissenschaft als Beruf”, di Universitas Munich. Kuliah itu kemudian dilanjutkan dengan kuliah kedua persis pada saat Revolusi Jerman mencapai puncaknya, yaitu pada pengujung 1919, yang menandai perubahan kekaisaran Jerman menjadi sebuah negeri republik. Pada kuliah keduanya, Weber memberikan materi “Politik als Beruf”. Masing-masing materi kuliah tadi, “Wissenschaft als Beruf” dan “Politik als Beruf”, diterjemahkan menjadi “Science as a Vocation” dan “Politics as a Vocation” dalam bahasa Inggris. Jadi, kata “Beruf” diterjemahkan sebagai “Vocation”.

Sebenarnya, jika kita membuka kamus Jerman-Inggris, kata “beruf” mencakup baik pengertian kata “profession” maupun “vocation”. Hanya saja, kenapa yang digunakan sebagai padanan adalah “vocation”, dan bukan “profession”?

Pertanyaan ini menarik, karena dalam kuliahnya yang kedua itu Weber, dengan meminjam Shakespeare, mengibaratkan bahwa langit Jerman sedang diliputi awan gelap. Dan jika ingin keluar dari kemelut yang sedang mengurung waktu itu, maka yang dibutuhkan bukanlah semangat “profesionalisme”, tapi “vokasionalisme”.

Jadi, apa bedanya profesional dengan vokasional?

Dalam masyarakat kita, apresiasi terhadap kaum profesional demikian tinggi. Profesional dicitrakan sebagai seseorang yang terampil, efisien, bertanggung jawab, obyektif, jujur, serta berbagai atribut positif lainnya. Lazim kita temukan bahwa segala hal yang kurang bagus, atau ketidakbecusan dalam pekerjaan, disebut sebagai “tidak profesional”. Pendek kata, profesional adalah sesuatu yang memiliki citra serba positif. Hampir tanpa cela. Benarkah?

Padahal, kalau kita membuka kamus, baik bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, pengertian “profesional”, sebenarnya tak lebih dari “tenaga bayaran”. Seorang profesional adalah orang yang menjual keterampilan dan keahliannya untuk mendapatkan bayaran. Nothing personal, nothing emotional, just business. Begitulah para profesional. Pertanyaan tentang intensi, dedikasi, emosi, serta keberpihakan, secara definitif berada di luar jangkauan pengertian profesionalitas.

Berkebalikan dengan itu, seorang vokasional adalah orang-orang yang teguh pada prinsip, memiliki intensi dan keterpanggilan yang kuat terkait bidang pekerjaannya.

Cukup menarik untuk memperhatikan, bahwa berbeda dengan pengertian profesional dalam kamus, yang selalu menyertakan keterangan soal imbalan dan bayaran, maka terhadap kata vokasional ini, meskipun masih terkait dengan soal pekerjaan, tapi soal imbalan dan bayaran tadi tidak pernah disertakan sebagai bagian dari pengertiannya. Artinya, profesional memang adalah tenaga terdidik bayaran, yang memperjual-belikan ilmu, pengetahuan, dan keterampilannya. Sementara, vokasional adalah orang yang bekerja untuk panggilan jiwanya.

Tingginya penghargaan dan anggapan terhadap kaum profesional dalam masyarakat kita sebenarnya merupakan produk dari hegemoni sistem ekonomi-pasar. Pasar berhasil mengkonstruksi bahwa kasta tertinggi dalam piramida ekonomi diduduki oleh golongan dengan bayaran terbesar. Semakin besar bayarannya, mereka dianggap semakin profesional, dan semakin tinggi pula posisinya. Itu sebabnya, jika seorang dosen, misalnya, dituntut untuk “profesional”, maka hal pertama yang akan mereka tagihkan pasti adalah bayaran. Seorang profesional memang tak lebih dari mereka yang memperjual-belikan pengetahuan dan keterampilannya.

Sayangnya, sensitivitas kita terhadap “operasi-pasar” di panggung kekuasaan sangat lemah jika dibanding sensitivitas kita terhadap “operasi-politik” dari partai politik, sehingga kita lebih sering hanya waspada pada para "profesional-politik" daripada "profesional-pasar". Kadang kita lupa, bahwa para predator politik itu bukan hanya ada di tubuh partai politik, tapi terutama berasal dari pasar. Seperti pernah ditulis Hatta, dalam negeri-negeri demokratis, korporasi sebenarnya merupakan suatu oligarki. Korporasi adalah kekuatan oligarki yang riil, karena mereka bukan hanya bisa mengontrol pasar, tapi juga mengontrol partai politik. Mereka tidak pernah ikut pemilu, tidak pernah diserahi mandat, tetapi selalu bisa mengendalikan apapun hasil pemilu.

Nah, jika partai politik punya “petugas partai”, maka petugasnya korporasi adalah “kaum profesional”. Jadi, kenapa kita bangga sekali kalau porsi kabinet pemerintahan baru nanti akan lebih banyak diisi oleh kaum profesional?



Yogyakarta, Selasa, 16 September 2014

KABINET WACANA



 















Oleh Tarli Nugroho


Seperti yang sudah diduga, ekspektasi bahwa akan terjadi perubahan yang signifikan dalam susunan kementerian dan postur kabinet, meskipun susunan lengkapnya belum dirilis, berakhir anti-klimaks. Dan ini sebenarnya tidak mengherankan. Sejak bakal pemerintahan baru Jokowi-JK menjadikan isu harga BBM sebagai titik tolak untuk membahas anggaran negara, kita sudah bisa melihat bahwa mereka sebenarnya tidak cukup serius mau menawarkan alternatif.

Drama pengumuman komposisi kabinet, sebagaimana yang terjadi kemarin, akhirnya lebih terlihat sebagai upaya untuk menggoreng emosi publik saja, agar mereka tetap aware dengan pemerintahan baru yang akan dilantik. Sebab, pemerintahan baru nanti memang sedang terancam anti-klimaks bahkan sejak sebelum mereka dilantik.

Tidak konsistennya pernyataan-pernyataan bakal pemerintahan baru terkait isu subsidi, susunan kementerian, postur kementerian, perampingan dan penggabungan kementerian, munculnya kementerian baru, serta terlalu banyaknya alternatif tawaran susunan kabinet yang pernah dirilis oleh Rumah Transisi, sebenarnya bisa dijelaskan dengan dua titik pandang.

Pertama, sejak awal pemerintahan baru ini memang tidak memiliki cetak biru agenda yang jelas. Apa yang disebut sebagai program kerja itu tak lebih merupakan konsep dadakan. Munculnya pernyataan-pernyataan yang tidak konsisten terkait sebuah isu sebenarnya merupakan gejala dari kekosongan agenda tadi. Untuk mengisi celah kosong agenda tersebut maka diproduksilah banyak wacana spontan. Dan karena diproduksi secara spontan, tentu saja wacana-wacana tadi tidak sinkron satu sama lain.

Rencana pemerintahan baru untuk menggabungkan Kementerian Pertanian (KP) dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi satu kementerian, misalnya, yaitu menjadi Kementerian Kedaulatan Pangan, adalah salah satu buktinya. Apa urgensinya penggabungan tadi, jika kemudian pemerintahan baru merencanakan membuka Kementerian Kemaritiman juga? Apa bedanya Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Kemaritiman? Jika sekadar mengubah orientasi, kenapa Kementerian Kelautan dan Perikanan harus digabungkan dengan kementerian lain, dan bukannya dipertahankan saja dengan penambahan portofolio tugasnya? Atau, jika sekadar mengubah orientasi, apa perlunya mengubah nama menjadi Kementerian Kemaritiman?

Hadirnya ide Kementerian Kedaulatan Pangan sebagai hasil gabungan Kementerian Pertanian dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan juga bermasalah. Pangan dan kedaulatan pangan adalah isu hilir di bidang agro-kompleks (pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, peternakan), bukan sebuah bidang kerja yang bisa dijadikan dasar taksonomi kementerian. Bukankah kita tidak perlu membuat Kementerian Reboisasi hanya karena banyak hutan kita yang gundul? Atau, memang tim perumus kebijakan pemerintahan baru menganggapnya perlu?!

Sampai di situ, kita bisa menyimak bahwa tawaran-tawaran perubahan yang disajikan sebenarnya sekadar wacana saja, yang bobotnya tidak substantif.

Lagi pula, jika Kementerian Kedaulatan Pangan jadi dibentuk, alih-alih patut diacungi jempol, itu sebenarnya adalah portofolio yang buruk. Sebab, dengan begitu pemerintah telah mereduksi sektor pertanian menjadi sekadar pelayan kebutuhan pangan, bukan sebagai sektor ekonomi rakyat yang vital dan strategis.

Mereka yang belajar di fakultas-fakultas agro-kompleks sejak lama telah mengenal seloroh bahwa Departemen Pertanian (kini Kementerian) sebenarnya lebih tepat diberi nama “Departemen Tandur” (tandur = tanam), karena praktis dari seluruh rantai proses dan produksi yang terkait dengan sektor pertanian, hanya soal bercocok tanam saja yang bisa diurusi oleh kementerian ini. Soal pupuk, misalnya, soal produksi dan distribusinya menjadi kewenangan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Begitu juga dengan produksi hasil pertanian, soal pengolahan dan perdagangannya bukan lagi menjadi domain Kementerian Pertanian. Apalagi, manajemen stok pangan juga dipegang oleh Bulog. Apalagi tersisa kecuali sekadar pengatur bercocok tanam saja?

Kondisi itu telah menempatkan petani dan sektor pertanian bukan sebagai manusia dan sektor produksi yang harus diperlakukan sebagai sektor ekonomi yang bisa menghasilkan nilai tambah, melainkan menjadikan keduanya sekadar pelayan kepentingan masyarakat industrial saja, yang membutuhkan pasokan pangan murah dalam stok yang mencukupi. Semua program di kementerian pertanian, jika kita simak, hanya berorientasi kepada output sektor pertanian, tidak pernah memperhatikan insentif yang diterima oleh para petani. Munculnya Kementerian Kedaulatan Pangan, meski portofolionya belum selesai, secara verbal telah semakin mereduksi posisi dan fungsi dari petani dan sektor pertanian tadi.

Hadirnya gap antara “intended goal” dengan “unintended goal”, sebagaimana terjadi dalam isu Kementerian Kedaulatan Pangan tadi, hanya mungkin lahir dari sebuah perencanaan yang spontan, sehingga konsepnya memiliki banyak lubang, tidak matang dan koheren. Sekali lagi, semua itu hanya mungkin terjadi karena tidak ada cetak biru agenda yang jelas sejak awal.

Kedua, dapur kekuasaan pemerintahan baru ini disokong oleh infrastruktur kekuasaan yang saling bertarung dan tidak sinkron satu sama lain. Ini adalah sumber inkonsistensi yang kedua. Paling tidak, ada tiga kekuatan kasat mata yang saling bertarung di dapur kekuasaan pemerintahan baru, yaitu pihak (1) Megawati yang menguasai infrastruktur kekuasaan di PDI-P, (2) Jusuf Kalla yang menguasai dan memoderasi infrastruktur kekuasaan partai politik pendukung, dan (3) Jokowi yang didukung oleh para relawan. Sebenarnya, ada kekuatan yang keempat, yang tidak kasat mata, yaitu “kekuatan anonim (pasar)”. Isu tentang para cukong politik sebenarnya bisa ditempatkan pada keranjang tersendiri tadi.

Meskipun menduduki posisi sebagai presiden, sebagaimana telah lama saya khawatirkan, Jokowi tidak memiliki infrastruktur kekuasaan sendiri di dalam mesin pemerintahannya. Infrastruktur kekuasaannya terletak di luar mesin pemerintahan, dalam bentuk dukungan publik. Persoalannya, sebagaimana telah kita lihat pada isu kabinet ini, dukungan publik ini tidak berfungsi efektif dalam proses negosiasi kekuasaan. Posisi tawar yang kuat tetap diduduki oleh infrastruktur kekuasaan resmi, yaitu melalui partai politik.

Di ranah wacana publik, posisi Jokowi jelas jauh lebih kuat daripada posisi JK dan Megawati. Namun, tidak demikian halnya di dalam proses pengambilan keputusan teknis. Saya menduga, ini merupakan gambaran awal dari yang akan terjadi dalam lima tahun ke depan.

Karena tidak memiliki infrastruktur kekuasaan organik di dalam mesin pemerintahannya sendiri, sebagai presiden maka Jokowi akan lebih banyak terjun ke masyarakat, untuk menggalang dukungan publik. Itu memang harus dilakukannya untuk mempertahankan posisi tawarnya, paling tidak secara simbolik, di hadapan kekuatan-kekuatan lain di dapur kekuasaannya. Sebagai sosok solidarity maker, mudah saja baginya untuk manggalang dukungan publik. Tapi dengan konstelasi yang demikian, maka pemerintahannya nanti akan lebih banyak didominasi oleh produksi wacana saja, sementara agenda yang dieksekusi tetap business as usual.



Yogyakarta, Rabu, 17 September 2014

Sabtu, 06 September 2014

GEORGE






















Oleh Tarli Nugroho


Pertemuan itu kecil, dan dihelat di sebuah tempat yang terpencil. Ada sekira tiga puluhan orang yang hadir siang itu. Semuanya duduk lesehan, sembari menikmati jajanan pasar bersama teh dan kopi hitam.

Lelaki itu duduk di kursi roda, di ujung sana. Rambutnya masih gondrong, dengan janggut putih memanjang. Topi baret berwarna gelap nangkring di kepalanya. Ia selalu tampil stylist, persis seperti dandanannya ketika kami bertemu terakhir kali di Joglo Winasis beberapa bulan sebelumnya, dalam sebuah diskusi tentang Tan Malaka bersama Harry Poeze.  

Meski sudah kehilangan tubuh gempal dan seluruh kegesitannya, ia masih bisa berkata-kata dengan agak terbata dan lirih. Kita harus mendekatkan kepala untuk bisa mendengar bicaranya. Namun, itu adalah sebuah kemajuan yang sangat besar.

Ya. Setelah bisa bangkit dari serangan stroke kedua yang menyerangnya dua tahun yang lalu, yang membuatnya harus berbulan-bulan berada dalam perawatan intensif di rumah sakit, ia kini sudah bisa bicara dengan kosakata tertata. Hanya, ia memang tak lagi mudah mengingat. Ketika adik kandungnya, yang duduk persis di sampingnya, memberikan testimoni mengenai dirinya, lelaki itu bertanya dengan memberi kode kepada isterinya yang duduk jauh di seberang, siapa gerangan yang sedang bicara ini. Adegan itu kontan memancing gelak. Sang adik hanya bisa berseloroh, “Iya tho, karo aku wae lali.”

Lelaki itu adalah George Junus Aditjondro. Dan pertemuan kecil itu, yang berlangsung Jumat, 5 September 2014 kemarin, adalah sebentuk pesta perpisahan untuknya. Sebab, Sabtu pagi tadi, George terbang ke Palu untuk menetap di sana.

Saya mengenal nama George waktu duduk di bangku SMP. Waktu itu, perpustakaan sekolah saya menyimpan cukup baik sejumlah Majalah Tempo tahun 1970-an. Dan sejak pertama kali bisa menikmati membaca Majalah Bobo di bangku kelas tiga sekolah dasar, saya memiliki kebiasaan untuk selalu memperhatikan dan mengingat nama-nama pengelola setiap media yang dibaca. George, bersama dengan Putu Wijaya, Salim Said, Bur Rasuanto, dan Martin Aleida, adalah nama-nama dalam boks redaksi Tempo yang saya catat baik-baik. Tentu saja, selain Goenawan Mohamad pastinya.

Tak banyak karangan George yang saya ingat. Namun tulisan-tulisannya mengenai Papua memang sudah muncul sejak ia masih bekerja di Tempo. Salah satu artikelnya yang pernah saya baca waktu SMP menulis tentang hutan bakau di sana. Ya, nama George memang identik dengan Papua, jauh sebelum berbagai peneliti lain menabalkan namanya sebagai pengkaji pulau terkaya di Indonesia itu. George, sebagaimana testimoni seorang rekannya, Imam Yudotomo, yang telah mengenalnya sejak 1970-an, adalah pelopor pendiri LSM di Papua. Tak heran, sebagaimana juga pengakuan seorang kawan, di Papua nama George sudah hampir sebentuk mantera. Sebutkan saja namanya, maka Anda akan segera dihormati orang-orang sana.

Selain soal Papua, George termasuk salah satu dari sedikit intelektual Indonesia yang sejak lama banyak menulis dan menyoroti soal korupsi. Sejak jauh-jauh hari, sebelum George menulis buku “Membongkar Gurita Cikeas” (2009) yang menghebohkan dan membuat namanya kembali terkenal lima tahun lalu itu, soal korupsi telah menjadi pusat perhatiannya. Secara kebetulan, buku pertamanya yang saya beli adalah “Membongkar KKN Keluarga Besar Habibie”. Buku itu saya beli pada 5 Oktober 1998, di sebuah kios koran di jalan protokol di Karawang.

George, yang menggondol gelar doktor dari Universitas Cornell, memang lebih menekuni jalan hidup sebagai “intelektual jalanan” daripada sebagai intelektual kampus yang “mriyayi”, yang congkak dengan sofistikasi akademik, namun miskin dan terbata ketika dimintai praktik. Ia lebih terpanggil untuk terlibat dan meleburkan diri dalam banyak persoalan lapangan daripada soal keilmuan. Dan barangkali hal ini pula yang membuat namanya tak mentereng di jajaran ilmuwan, dan pesta perpisahannya hanya dihadiri orang-orang jalanan.

Saya kadang melihat soal ini dengan ironi. Di dalam masyarakat kita yang masih sangat lisan, kita menyaksikan pemujaan yang kadang berlebihan terhadap tradisi literasi. Tindakan sepertinya mendapat penghargaan yang jauh lebih kecil daripada tulisan. Dimana, mereka yang banyak menulis selalu dianggap lebih hebat dari mereka yang tulisannya lebih sedikit, dan apalagi dari mereka yang sekadar bertindak dengan tanpa menulis.

Tentu saja kita sepakat bahwa tradisi literasi itu penting. Namun kita patut curiga bahwa selama ini penghargaan terhadap tradisi itu lebih banyak bermakna simbolik daripada substantif. Maksudnya, penghargaan itu bisa jadi lebih banyak dipengaruhi dan dibentuk oleh pemujaan terhadap tradisi priyayi dalam masyarakat kita, dimana pekerjaan halus dianggap lebih tinggi derajatnya daripada pekerjaan kasar.

Seandainya penghargaan terhadap tradisi literasi itu bersifat benar-benar, tak sekadar simbolik, nyatanya hingga kini dunia kesarjanaan kita belum juga melahirkan sebuah tradisi pemikiran yang solid dan konsisten. Bukankah itu mustahil terjadi jika kita benar-benar menghargai tradisi literasi secara substantif?

Di forum kecil yang menjadi pesta perpisahan bagi George, ironi itu hadir dengan tajam. George, lelaki di atas kursi roda itu, tentu saja tidak menginginkan penghargaan atas jerih payahnya. Forum sederhana itu saja sudah cukup menitikan air matanya. Ia hanya minta didoakan agar kesehatannya bisa pulih kembali, sehingga bisa berkarya lagi. Seorang anaknya bercerita, bagaimana papanya sampai menangis tersedu-sedu pada suatu hari hanya karena ingin kembali bisa membaca buku. Sebuah cerita yang membuat kami yang hadir menundukkan kepala. Terharu.

George pagi tadi sudah terbang ke Palu. Ribuan bukunya, dan berbagai arsip miliknya, ditinggalkannya di Yogya, kota yang sangat dicintainya; namun yang juga pernah mengusirnya, hanya karena George pernah mengkritik penguasanya. George menghibahkan buku-bukunya pada sebuah perpustakaan publik di belakang kampus ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, yang dikelola oleh anak-anak muda yang mencintainya.

Selamat jalan, George. Kami akan merindukanmu.


Yogyakarta, Sabtu, 6 September 2014

Jumat, 29 Agustus 2014

IN MEMORIAM PROFESOR SUHARDI (1952-2014)

















Oleh Tarli Nugroho
 

Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Sugeng tindak, Pak Hardi. Hanya sedikit mahaguru di Bulaksumur yang ilmu dan lakunya bisa dijadikan teladan. Masih terngiang bagaimana kagum dan riangnya karib saya, Iqbal Aji Daryono, ketika berhasil mewawancaraimu tiga belas tahun lalu. Ia berhasil menuliskan profilmu dengan baik di mingguan yang kami kelola. Mana ada guru besar, dan apalagi dekan, yang komit untuk naik sepeda jika pergi ke kampus? Tapi itu sudah engkau lakukan jauh sebelum orang heboh dengan "sego segawe" dan "bike to work". Engkau hanya menggunakan mobil dan kendaraan bermotor jika pergi ke bandara atau ke luar kota. Sebuah komitmen yang langka.

Setahun yang lalu para kolega, sahabat, dan murid-muridmu memperingati 25 tahun "Sumpah Gandum" yang telah engkau lakoni. Ya, lebih dari seperempat abad yang lalu engkau bersumpah tidak akan mengkonsumsi gandum dan semua produk turunannya, karena bahan makanan itu tidak kita produksi sendiri. Kita menghabiskan devisa yang tak sedikit untuk mengimpor makanan-makanan itu, demikian ceritamu, suatu kali, ketika kita berbincang di sebuah toko buku, bertahun-tahun lalu. Engkau lebih suka makan ubi, singkong, dan bahan makanan lokal lainnya. Lagi-lagi, ini sebuah komitmen yang langka. Sebuah laku dari ilmu yang kau ajarkan.

Masih terngiang bagaimana setiap kali engkau hadir dalam acara di Balai Senat UGM, dalam setiap tanggapanmu, engkau tak pernah lupa mengingatkan yang hadir: "Alangkah lebih baiknya jika gorden-gorden dan jendela itu dibuka, agar kita tak perlu menggunakan AC dan terlalu banyak lampu di ruangan ini. Jika kita membuka jendela, kita bisa menikmati cicit burung dari hutan kampus di sebelah utara sana, dan juga tiupan angin yang berembus dari pintu dan jendela." Demikian katamu. Dan kami, yang ada di ruangan, biasanya hanya akan tertunduk malu.

Pada setiap seminar, engkau selalu menggugat, kenapa jalan-jalan kita semakin banyak dihiasi pohon lampu, padahal itu boros energi. Engkau juga menggugat kenapa jalan-jalan kita hanya ditanami tanaman-tanaman hias, padahal itu tak banyak gunanya. Bukankah, menurutmu, sebaiknya pinggir-pinggir jalan kita ditanami oleh tanaman-tanaman yang menjadi bahan pangan, yang tak hanya akan memberi rindang, namun juga bisa menjadi sumber pangan dan ekonomi bagi masyarakat. Ah, engkau mengatakannya dengan sungguh-sungguh, gagasan sederhana yang kebanyakan kami selalu meluputkan atau meremehkannya. Ya, engkau mengatakannya dengan sungguh-sungguh, karena engkau sudah mempraktikkannya, seperti biasa.

Ketika engkau harusnya tinggal menikmati puncak karir di kampus, seluruh kenyamanan dan kemapanan itu engkau tinggalkan enam tahun lalu. Tanpa harus berkoar-koar "orang baik harus terjun ke politik", engkau melakoninya dengan sungguh tegas. Kau tanggalkan jabatan guru besar, kau mundur dari kampus, dan sepenuhnya mengabdikan diri untuk membesarkan partai politik yang kau pimpin, yang kau hidupi dengan gagasan dan keyakinanmu. Laku pribadi tak akan banyak manfaatnya jika tak menjadi laku masyarakat, dan politik adalah jembatannya. Gagasan brilian di kampus tak akan bisa bekerja, jika tak punya saluran pada kebijakan, dan itu pasti melalui jembatan politik. Tak ada hal setengah-setengah dalam hidupmu. Semua hal ditunaikan dengan sepenuh hati, termasuk laku politikmu.

Malam ini Tuhan memanggilmu. Pungkas sudah tugasmu. Dan kami ingin bersaksi, betapa kami pantas malu kepadamu. Sungguh kami berutang banyak sekali teladan darimu. Tak ada yang engkau wariskan, kecuali keteladanan dan kebaikan.

"Allahhummaghfir lahu warhamhu wa'aafihi wa'fu anhu."

Selamat jalan, sugeng tindak, Prof.



Yogyakarta, Kamis, 28 Agustus 2014

Rabu, 23 Juli 2014

KEMBALI, DWIFUNGSI






















Tarli Nugroho



Salah satu kritik Daoed Joesoef terhadap dunia universiter pada 1970-an adalah terkait relasi mereka dengan politik praktis. Daoed membedakan antara politik sebagai konsep dengan politik sebagai kekuasaan--dalam pengertian sebagaimana yang diselenggarakan oleh pemerintah dan partai politik di parlemen. Sivitas akademik boleh menggunakan kampus sebagai alat untuk berpolitik dalam pengertian konsep. Namun, jika ingin berpolitik praktis, maka mereka tidak boleh lagi menggunakan kampus dan jubah akademisnya, melainkan harus dilakukan dalam kapasitasnya sebagai warga negara melalui kendaraan politik yang ada di luar kampus.

Jadi, jika kita membaca dengan seksama gagasan Daoed mengenai "normalisasi kampus", Daoed sebenarnya tidak pernah melarang sivitas akademik, terutama waktu itu mahasiswa, untuk berpolitik praktis. Hanya saja, ketika mereka mulai berpolitik praktis, maka mahasiswa harus menanggalkan identitas kemahasiswaannya dengan, misalnya, menggunakan identitasnya sebagai anggota organisasi massa, keagamaan, atau organisasi sosial politik lainnya. Dan aktivitas politik itu harus dilakukan di luar kampus.

Tapi kita tahu gagasan Daoed itu banyak disalahpahami. Dia naik menjadi menteri pendidikan ketika negara, melalui Pangkopkamtib, persis telah dan sedang berusaha memberangus gerakan mahasiswa 1978. Cara rezim memberangus gerakan itu kemudian dijadikan referensi untuk menilai gagasan Daoed. Dalam banyak titik, tentu ada persinggungan antara keduanya, namun menganggap bahwa apa yang dipraktikkan rezim merupakan narasi pokok dari gagasan tersebut jelas mengandung kekeliruan yang serius. Tapi bukan itu yang ingin saya bahas di sini.

Ketika semakin banyak akademisi bersinggungan dengan dunia politik praktis, baik sebagai relawan, sekondan, maupun konsultan bayaran, dimana distingsi antara politik sebagai konsep dengan politik sebagai kekuasaan semakin mencair, tak lagi dipisahkan oleh pagar api yang tegas, kita sedang menghadapi persoalan yang sangat serius. Jika kita menyimak gugatan terhadap lembaga-lembaga survei, pernyataan kontroversial Burhanuddin Muhtadi, yang diramaikan oleh aksi walk out Rocky Gerung dalam sebuah diskusi di Paramadina dan juga sebuah artikelnya di Kompas beberapa hari lalu, pagar api yang memisahkan dua ranah politik itu memang harus dibuat tegas, setegas pagar api (fire wall) yang memisahkan editorial dan advertorial di halaman-halaman surat kabar.

Kita tahu, gugatan terhadap pernyataan Burhanuddin, misalnya, adalah gugatan yang bersifat etik bagi dirinya sebagai akademisi, dan bukan gugatan terhadap profesionalismenya sebagai tukang survei bayaran. Profesionalisme Burhanuddin bisa diukur dari seberapa akurat hasil surveinya bersesuaian dengan hasil rekapitulasi KPU. Namun, akurasi itu sama sekali tidak membatalkan bahwa pernyataannya telah menodai dunia akademik karena telah menempatkan "kebenaran" ilmu pengetahuan pada posisi absolut, yang oleh seorang rekan dianggap sebagai contoh yang konkret dari praktik "fasisme ilmu".

Tanpa pagar api yang tegas, kita memang sama-sama bisa menyimak bagaimana gugatan di wilayah "etik akademis" itu kemudian dijawab oleh para pembelanya dengan melarikannya ke soal "akurasi". Inilah problem bawaan dari apapun yang bersifat "dwifungsi", dalam hal ini dwifungsi akademisi dan konsultan atau tukang survei bayaran. Sampai di sini saya jadi teringat pada "problem" yang diidap oleh esai sejenis Catatan Pinggir (Caping) Goenawan Mohamad sebagaimana yang pernah ditulis oleh Ignas Kleden. Setiap "gugatan" akademis terhadap Caping, demikian kurang lebih Kleden, akan mudah disangkal dengan argumen bahwa itu hanyalah sebuah karangan jurnalistik. Persoalannya, setiap "gugatan" jurnalistik terhadap Caping juga akan mudah dibantah dengan sangkalan bahwa itu adalah karangan reflektif yang bersifat intelektual.

Persis di soal-soal semacam itu dwifungsi identitas, terutama yang melibatkan identitas akademis, bisa melahirkan sejumlah persoalan serius. Tanpa distingsi yang jelas, jika mengalami benturan di wilayah politik praktis, para akademisi yang separuh hati menceburkan diri dalam politik itu seringkali menjadikan dunia akademis sebagai tempat persembunyian yang nyaman. Sebaliknya, jika mereka tersandung di wilayah akademis, mereka menjadikan politik praktis sebagai apologi dan tempat bersembunyi. Jadi. mereka melakoni posisi yang nanggung pada keduanya. Dwifungsi pun lebih mirip sebagai dwi-apologi, dalih dari ketidakseriusan.

Maka, saya lebih menghargai jika intelektual yang memiliki libido tinggi dalam politik praktis sebaiknya menceburkan diri sepenuh hati ke dalam organisasi politik, sebagaimana yang dulu misalnya dilakukan oleh Kwik Kian Gie dan kemarin-kemarin dilakukan oleh Rizal Mallarangeng, Andi Mallarangeng, dan Indra Piliang atau (Profesor) Suhardi, daripada menjadi konsultan bayaran yang setiap kali ketemu persoalan menjadikan kampus dan jubah akademisnya sebagai pelindung dan pemberi legitimasi otoritatif. Daoed secara sejak dini sebenarnya telah dengan tajam mengidentifikasi potensi persoalan "dwifungsi" yang melibatkan dunia universiter dan kaum terpelajar ini.

Hal yang sama juga berlaku bagi para jurnalis dan media. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya. Berhentilah berdwifungsi.


#CatatanDinding

Jumat, 18 Juli 2014

APRESIASI




 Tarli Nugroho

 
Rendahnya kebiasaan untuk saling membaca dan membahas di kalangan sarjana kita sebelum ini selalu saya tulis sebagai hal yang telah menyebabkan pembentukan dan pengembangan tradisi pemikiran di perguruan tinggi kita tidak pernah beranjak jauh selama ini. Tanpa ikhtiar untuk saling membaca dan membahas, siklus hidup setiap ide dan pemikiran akan menjadi pendek saja, sehingga tidak bisa berakumulasi.

Pagi tadi, ketika membaca berita ini [http://bit.ly/1wCOMyX], saya baru 'ngeh' bahwa rendahnya kebiasaan untuk saling membaca dan membahas di kalangan sarjana kita ternyata mewakili "daya apresiasi" mereka. Hanya pada mereka yang memiliki daya apresiasi tinggi maka kesediaan untuk saling membaca dan membahas akan muncul. Dan rendahnya kesediaan untuk mempraktikkan itu sesungguhnya menjadi cermin dari absennya sikap apresiatif tersebut.

Persoalannya, rendahnya kemampuan apresiasi ini ternyata tidak hanya berimplikasi pada soal akumulasi pengetahuan dan tradisi pemikiran saja, melainkan juga berimplikasi pada bagaimana para sarjana kita bersikap dan berperilaku di ruang publik. Kemampuan apresiasi yang rendah cenderung membuat seseorang gampang merendahkan, baik orang maupun gagasan. Mereka tidak akan pernah berusaha mengetahui apa yang tidak diketahuinya, atau melihat dari sisi sebaliknya, karena mereka memiliki anggapan bahwa apa yang telah diketahuinya bersifat cukup dan lengkap.

Saya kira, jika menyimak jejaknya, Rocky Gerung mustahil merupakan pendukung Prabowo. Namun, sikap yang dia ambil terhadap forum di Paramadina itu menunjukkan bahwa baginya, di luar soal preferensi politik yang seringkali bersifat dangkal dan dikotomis, setiap orang tak boleh kehilangan kemampuan apresiasinya. Apalagi acara diskusi itu dihelat di sebuah perguruan tinggi dan dihadiri oleh para sarjana yang mestinya merawat dan bekerja dengan "apresiasi" itu tadi. Ia tak segan mengkritik dan meninggalkan forum meskipun yang dihujat di forum itu sebenarnya adalah orang yang mungkin tak disukainya. Acara yang dimoderatori oleh Mohamad Sobary itu, kalau saya baca Koran Tempo hari ini, menghadirkan pembicara Daniel Dhakidae, Burhanuddin Muhtadi, Hermawan Sulistyo dan Hamdi Muluk.

Jadi, hilang dimana ya apresiasi kita? Sepertinya banyak orang tak lagi merisaukannya...



Yogyakarta, 20 Juli 2014