Minggu, 28 September 2014

DEMOKRASI DAN PENDIDIKAN KITA
























Oleh Tarli Nugroho
Peneliti Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)


Memperhatikan perdebatan politik yang terjadi di tanah air sebelum dan setelah Pilpres kemarin, saya jadi semakin menemukan relevansi kenapa ketika pulang dari Negeri Belanda dulu, kegiatan politik yang pertama kali dikerjakan Hatta adalah mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru). Tanpa pendidikan, yang menjadi medium untuk melakukan pencerahan, politik hanya akan menjadi propaganda kosong yang bukan hanya bisa menyesatkan, melainkan juga mencelakakan.

Tentu saja Hatta bukan orang pertama yang menyadari itu. Jauh sebelumnya, Ki Hadjar Dewantara sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa, dan berbagai tokoh serta organisasi pergerakan juga telah mendirikan sejumlah studie klub.

Pendidikan produk politik etis yang sebetulnya cuma dimaksudkan (intended goal) untuk menciptakan kelas terdidik untuk memenuhi kebutuhan tenaga administratif pemerintahan kolonial, ternyata secara tak diduga (unintended goal) telah melahirkan kelas tercerahkan pribumi yang sanggup berpikir kritis mengenai nasib bangsanya. Pada tahun 1930-an, kelas terdidik produk politik etis ini telah menjadikan pendidikan sebagai kunci dalam pergerakan politik mereka. Memang, tak akan ada kemerdekaan yang hakiki tanpa pendidikan.

Apa bagian penting dari pendidikan yang membuatnya menempati posisi krusial bagi perjalanan sebuah bangsa?

Pendidikan, secara ringkas, adalah sebuah proses simultan yang menuntun individu untuk bisa mengolah (1) informasi menjadi pengetahuan, serta mengolah (2) pengetahuan menjadi kebijaksanaan. Produk akhir dan ideal dari pendidikan memang adalah kebijaksanaan, dan bukannya pengetahuan.

Informasi dengan pengetahuan memiliki distingsi yang cukup jelas dan mudah dipahami. Kita bisa memperoleh informasi tentang berbagai hal tanpa harus mendapatkan pengetahuan riil mengenai bidang yang bersangkutan. Pada hari ini, misalnya, internet telah memungkinkan kita menjaring dan menyerap jutaan informasi secara real time. Namun, satu hal yang sering dilupakan, informasi memang berisi fakta, namun kumpulan fakta tidaklah otomatis memiliki ide. Begitu juga halnya dengan kronik. Kumpulan peristiwa sejarah tidak dengan sendirinya menyampaikan atau mengandung sebuah ide.

Itu sebabnya, sejak jaman Yunani Antik, para filosof sudah membedakan antara mengetahui “the fact that” dengan “the reason why”. Persis di sini kita mulai memasuki distingsi antara “informasi” dengan “pengetahuan”.

Pengetahuan mengandaikan adanya sistem atau nalar yang tertata. Jika fakta bisa diperoleh dari pengalaman, maka pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui penalaran sistematis (ordered thinking). Hanya fakta-fakta atau informasi-informasi teruji saja yang bisa melahirkan pengertian, atau ide, dalam bentuk pengetahuan. Kemampaun untuk mengolah informasi menjadi pengetahuan ini merupakan karakteristik pertama dari keterdidikan (educated). Jadi, ini belum merupakan karakteristik keterdidikan yang penuh.




Dalam proses untuk mengolah informasi menjadi pengetahuan ini, seorang individu tidak boleh hanya secara pasif melihat, membaca, atau mendengarkan “informed teacher”. Setiap individu terdidik harus berusaha secara aktif untuk mengorganisasikan, menata dan menghubungkan informasi-informasi atau fakta-fakta yang ada di sekelilingnya menjadi pengetahuan. Proses pengorganisasian inilah yang disebut sebagai “kemampuan belajar”. Dan kemampuan belajar bukan hanya mensyaratkan kedisiplinan, melainkan juga imajinasi dan kreatifitas.

Faktor imajinasi dan kreatifitas ini membuat pengetahuan tak hanya dibentuk oleh “being able to learn”, sebuah pengertian paling antik mengenai pendidikan, melainkan juga oleh “being able to unlearn” dan termasuk “relearn”. Proses ini berjalan simultan, bertukar tangkap dengan lepas, dari satu modus ke modus lainnya, baik urut maupun acak.

Pada akhirnya, muara paling ujung dari proses pendidikan adalah produksi kebijaksanaan. “Being well educated” harus berisi lebih dari sekadar pengetahuan, dan nilai-lebih itu tak lain adalah kebijaksanaan. Inilah makna keterdidikan yang kedua.

Sampai di sini saya jadi teringat kepada ajaran Ernst Schumacher, bahwa sejak jaman antik dahulu tujuan ilmu pengetahuan sebenarnya memang bukanlah untuk menemukan kebenaran, melainkan kearifan. Kita bisa melihat bagaimana sinkronnya ajaran tersebut dengan filosofi pendidikan, bahwa produk akhir dari pendidikan bukanlah pengetahuan, melainkan kebijaksanaan.

Lantas, apakah “kebijaksanaan” yang dimaksud?

Kebijaksanaan, meminjam Daoed Joesoef (2005), tak lain adalah kebajikan atau keluhuran budi yang merupakan konsekuensi dari pengendalian nafsu dan emosi yang dikontrol oleh nalar. Kita tahu, pengetahuan, seperti halnya kebenaran, tak selalu bernilai maslahat. Persis di situ, di soal maslahat itu, kita membutuhkan pertolongan kebijaksanaan. Seperti sering saya singgung, relasi ilmu pengetahuan dengan kebenaran memang problematis. Kebenaran itu seperti bulan, dimana kebenaran ilmu pengetahuan hanyalah seperti jari yang sedang menunjuk bulan, bukan bulan itu sendiri. Kebijaksanaan adalah kesadaran bahwa kita hanyalah pemilik jari yang sekadar sedang menunjuk bulan, dimana  selain jari kita, di tempat yang berbeda juga ada jari-jari lainnya yang bisa dan sedang menunjuk bulan yang sama.




Apa jadinya jika jari yang di sini mengklaim bahwa bulan di atas sana hanyalah miliknya, sementara jari yang lain adalah sebuah kesalahan, dan bahkan kejahatan?! Persis di situ kita membutuhkan kebijaksanaan dan kearifan.

Seperti sudah disinggung, kemampuan belajar bukan hanya dibangun dengan “being able to learn”, tapi juga “being able to unlearn”, yaitu kemampuan untuk meninggalkan pengetahuan yang sebelumnya diyakini untuk beralih kepada pengetahuan-pengetahuan baru. Dan juga “relearn”, yaitu kemampuan untuk menemukan hikmah-hikmah baru dari pengetahuan-pengetahuan lama yang mungkin telah ditinggalkan. Dalam proses pertukaran modus belajar itulah persis kita membutuhkan kebijaksanaan dan kearifan.

Oleh karenanya, saya selalu tak habis pikir, betapa mendalamnya pemikiran para pendiri Republik ini ketika mereka merumuskan kalimat “Kerakyatan yang dipimpin oleh HIKMAT KEBIJAKSANAAN dalam permusyawaratan/perwakilan”. Demokrasi, dengan bermacam modelnya, memang tak otomatis membawa maslahat jika tidak dipimpin oleh “hikmat kebijaksanaan”. Sehingga, rumusan sila keempat Pancasila itu hanya mungkin dirumuskan oleh orang-orang yang bukan hanya memiliki pengetahuan mendalam, melainkan juga bijaksana.

Tak heran, ketika Soekarno datang ke Taman Siswa untuk berkonsultasi mengenai karut-marut demokrasi parlementer multi-partai, sebuah persoalan yang juga digelisahkan Hatta, Ki Hadjar Dewantara menyodorkan konsep “Demokrasi dan Leiderschap”. Agar demokrasi “tidak salah kedaden”, tulis Ki Hadjar (1959), atau “bertumbuh salah menjadi keadaan yang tak teratur”, persis di situ demokrasi membutuhkan pimpinan. Dan yang dimaksud dengan pimpinan itu tak lain adalah “kebijaksanaan”.

Kita tahu, Soekarno kemudian mengadaptasi gagasan “Demokrasi dan Leiderschap” dari Taman Siswa tersebut menjadi “Demokrasi Terpimpin”. Kemudian terjadilah unintended goal, dimana akhirnya Si Bung-lah yang lalu menjadi pimpinan dari konsepsi demokrasi itu, dan bukan “kebijaksanaan”. Tentu saja bukan tujuan tak diharapkan itu yang sebenarnya didesain dan dibayangkan oleh Soekarno. Ketik awal Demokrasi Terpimpin diperkenalkan, dengan tegas Si Bung juga mengatakan bahwa “demokrasi ini tidak dipimpin oleh Soekarno”, tetapi oleh “akal sehat”. Sayangnya, roda sejarah tak selalu bergulir sebagaimana yang dikehendaki.




Konsep “leiderschap” atau “kebijaksanaan” itu sebenarnya diserap Ki Hadjar dari ajaran Soetatmo Soerjokoesoemo, salah satu pendiri Taman Siswa. Filosofi ajaran Soetatmo bisa diketahui dari semboyan Majalah “Weder-opbouw” yang dipimpinnya. Majalah tersebut memiliki semboyan “Schoonheid die Macht regeert; Macht die Liefde looft; Wijsheid die Recht doet wedervaren”. Artinya, “Keindahan yang membatasi Kekuasaan; Kekuasaan yang memuja Cinta Kasih; Kebijaksanaan yang membawa Keadilan”. Itulah inti ajaran Soetatmo. Jadi, dilihat dari segi nilai, inti dari “kebijaksanaan” bukanlah hanya kebenaran per se, tapi juga keadilan dan kemaslahatan.

Kembali ke uraian awal tulisan ini, gaduhnya praktik demokrasi sebagaimana yang kita saksikan hari ini, merupakan cermin dari absennya kebijaksanaan tadi. Tanpa kebijaksanaan, perbedaan pendapat tak akan melahirkan ukir yang membawa keindahan, melainkan retak yang membawa pecah; tak akan membawa kita kepada kebenaran-kebenaran baru (melalui to unlearn, atau relearn), melainkan mengukuhkan masing-masing pendapat pada keyakinan awalnya. Itu sebabnya, meskipun banyak orang mengaku mengimani demokrasi, tapi pada saat yang sama mereka bisa seenaknya mendelegitimasi proses dan produk dari demokrasi itu sendiri. Sungguh ironis.

Tentu saja, absennya kebijaksanaan itu lahir dari problem yang diidap oleh dunia pendidikan kita. Itu sebabnya kita harus menolak keras rencana pemecahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi dua kementerian. Tanpa konsep yang jelas, pembahasan terbuka, serta analisis persoalan yang tepat, rencana itu patut kita khawatirkan hanya akan menambah kacau saja tata kelola pendidikan nasional kita yang sudah semrawut ini. Bisa dibayangkan, manusia macam apa lagi yang akan dihasilkan oleh pendidikan nasional yang diselenggarakan secara kacau itu? Dan praktik demokrasi macam mana yang akan merongrong kehidupan kita di masa depan?




Setiap kekurangan pada praktik demokrasi kita hari ini, pada dasarnya merupakan panggilan untuk membenahi filosofi dan praktik pendidikan di tanah air. Tanpa pendidikan yang sanggup mengajari kebijaksanaan, demokrasi hanya akan melahirkan sengketa, bukan kebajikan.


Yogyakarta, 28 September 2014

Jumat, 26 September 2014

KELAS MENENGAH MENGAMBANG



Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)

Berbeda dengan masyarakat kelas bawah, dan terutama mereka yang tinggal di pedesaan, kelas menengah kita, yang umumnya hidup di kawasan urban, merupakan "massa mengambang". Meskipun mereka bisa menjadi kelas yang kritis terhadap pemerintah, namun corak dan karakter mereka juga menjadi semacam batu sandungan bagi pelembagaan politik dan konsolidasi demokrasi.

Kenapa bisa begitu?

Sebelumnya, paling tidak ada beberapa hal kenapa mereka bisa disebut massa mengambang. Untuk membedakannya dengan massa mengambang pada masa Orde Baru, kita sebut saja corak politik kelas menengah ini sebagai “massa mengambang baru” (MMB). 


Pertama, mereka disebut "mengambang" karena preferensi politiknya tidak terikat kepada ideologi tradisional tertentu, sehingga dari tiap pemilu ke pemilu preferensinya selalu berubah, tergantung peta kontestasi politik yang sedang berlangsung.

Kedua, sebagai kaum urban yang ruang publiknya didominasi oleh ruang-publik-media yang intens, mereka lebih percaya kepada model penyaluran aspirasi melalui pembentukan dan penggalangan opini publik di media, daripada melembagakan atau menyalurkan aspirasinya melalui partai politik, termasuk lembaga-lembaga politik resmi lainnya.

Ketiga, berbeda dengan kelas bawah dan mereka yang tinggal di pedesaan, kelas menengah urban yang terdidik ini memiliki kesadaran kelas yang tinggi. Mereka tahu persis apa yang menjadi kepentingan kelasnya. Kepentingan kelas ini menjadi satu-satunya kepentingan konkret yang mendominasi preferensi dan aspirasi politik mereka.

Tiga hal inilah yang telah menyebabkan terjadinya proses “individualisasi politik” di kalangan kelas menengah, dimana kepercayaan terhadap efektivitas dan akuntabilitas partai politik, termasuk lembaga politik formal lainnya, secara signifikan menjadi semakin mengecil.

Ini juga yang membuat kenapa corak massa mengambang baru ini berbeda dengan massa mengambang ala rezim Orde Baru. Jika pada masa Orde Baru massa mengambang didesain untuk menciptakan stabilitas, maka terjadinya masa mengambang baru ini cenderung menjadi sumber kegaduhan politik, sebagai imbas dari proses individualisasi politik tadi.

Tentu saja merupakan persoalan bagi kita jika pelembagaan demokrasi secara diametral terus-menerus harus berhadapan dengan proses individualisasi politik atau massa mengambang baru tadi. Memang, skeptisisme, dan bahkan apatisme terhadap partai politik itu bermula dari gagalnya partai politik menjadi representasi kepentingan rakyat. Argumen soal oligarki seringkali dikemukakan di sini. Namun, kita perlu menyadari bahwa kini persoalannya tidak lagi di sana.

Persoalan kita kini sudah bergeser menjadi bagaimana menggeser oligarki di dalam partai politik, sehingga partai politik semakin terbuka dan sehaluan dengan kepentingan rakyat. Tentu saja pergeseran itu tidak mungkin terjadi begitu saja. Persis di sini publik perlu menyadari bahwa perubahan itu tidak mungkin terjadi jika mereka tidak terlibat secara aktif dalam proses dan mekanisme politik yang berlangsung di dalam tubuh partai politik.

Tuduhan bahwa partai politik kita telah gagal dalam berposisi sehaluan dengan kepentingan rakyat seringkali merupakan tuduhan sepihak yang tidak jernih. Sebabnya sederhana, apa yang dimaksud dengan “kepentingan rakyat” itu sendiri bukanlah sesuatu yang jelas dengan sendirinya. Rakyat bukanlah sebuah entitas yang bulat dan homogen, melainkan sangat terfragmentasi, termasuk aspirasi dan kepentingannya.

Partai politik, di atas kertas, memang tidak seharusnya berada pada posisi untuk memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat. Ini bedanya partai politik dengan lembaga pemerintahan, yang harus bisa berdiri di atas semua kepentingan. Itu sebabnya setiap partai mestinya memiliki ideologi dan platform yang berbeda-beda. Di atas kertas, mereka memang hanya harus memperjuangkan aspirasi para konstituennya.

Persoalannya adalah: siapakah yang disebut konstituen itu? Apakah seluruh rakyat? Apakah pemilihnya pada waktu pemilu? Atau, mereka yang punya kartu anggota partai? Inilah persoalan pokok kita.

Sekali lagi, persis di sini publik perlu menyadari bahwa perubahan di dalam partai politik tidak mungkin terjadi jika mereka tidak terlibat secara aktif dalam proses dan mekanisme politik yang berlangsung di dalam tubuh partai politik. Dan itu artinya publik harus terlibat menjadi bagian dari partai politik.

Selama ini partai politik eksis karena sokongan para elite dan cukong, sehingga tidak mengherankan jika pelembagaan partai politikpun lebih merupakan representasi kepentingan mereka.

Jadi, jika tidak ingin kepentingan dan suara Anda dirampok oleh elite, masuklah ke dalam partai politik secara berbondong-bondong, bayarlah iuran supaya tidak ada lagi korupsi di sana, bikinlah konvensi partai ketika hendak memilih kepala daerah, dan calonkan diri Anda sendiri jika Anda tidak percaya pada orang lain.

Pilihan model demokrasi itu seperti televisi. Jika tidak ingin diganggu iklan, maka bayarlah tipi kabel. Dan kalau ingin panen tomat, ya harus punya kebun tomat, atau minimal ikut merawat kebun dan menanam bibitnya, sehingga ketika panen bisa ikut menuntut hasilnya.

Kalau masih ingin mengambang, jadi balon sajalah, Pemirsa!

Kamis, 18 September 2014

PENDIDIKAN TANPA KONSEP: PERTANYAAN UNTUK PEMERINTAH BARU





Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Ketua P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat) 


Rencana pemerintahan baru untuk membagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menjadi dua kementerian, yaitu kementerian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah dengan kementerian yang mengurusi pendidikan tinggi dan riset, terus terang menerbitkan tanda tanya. Siapakah gerangan penggagas konsep tersebut? Apa yang melatarbelakangi lahirnya konsep tersebut? Sudahkah konsep awalnya diuji dengan melibatkan para ahli yang kompeten dan mumpuni? Lalu, dimana nomenklatur "kebudayaan" akan ditempatkan?

Pertanyaan-pertanyaan itu harus dikemukakan mengingat implikasi dari rencana tersebut tak bisa dianggap enteng. Namun, sementara ini, di atas kertas rencana pemisahan Kemdikbud menjadi dua kementerian tadi bisa kita anggap sebagai terusan dari sejumlah salah kaprah yang telah berlangsung di dunia pendidikan kita dalam lima belas tahun terakhir.

Salah kaprah pertama adalah diubahnya (nama) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Departemen Pendidikan Nasional pada masa pemerintahan Gus Dur (1999), dimana nomenklatur kebudayaan dihilangkan darinya. Dikeluarkannya nomenklatur kebudayaan dari kementerian pendidikan ini berlangsung hingga 18 Oktober 2011, ketika pemerintahan SBY mengumumkan perubahan susunan (reshuffle) Kabinet Indonesia Bersatu II. Dalam perubahan itu, nama Kementerian Pendidikan Nasional dikembalikan menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dikeluarkannya nomenklatur kebudayaan dari kementerian pendidikan secara konseptual merupakan kekeliruan fatal. Pendidikan, menurut Daoed Joesoef (1981), merupakan bagian dari kebudayaan, dan tidak pernah merupakan sebaliknya. Pendidikan merupakan instrumen untuk mewariskan, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan. Meskipun pada zaman ini isi kebudayaan semakin banyak yang berasal dari sumbangan ilmu pengetahuan, namun ilmu pengetahuan tadi bukanlah kebudayaan itu sendiri, melainkan sekadar produk saja dari kebudayaan yang menjadi inangnya.

Jika pendidikan dipisahkan dari kebudayaan, lantas pendidikan menjadi instrumen dari apa?

Salah kaprah yang kedua adalah ihwal munculnya status BHMN (Badan Hukum Milik Negara), lalu BHP (Badan Hukum Pendidikan) dan terakhir BLU (Badan Layanan Umum) sebagai identitas hukum bagi lembaga pendidikan. Munculnya status-status ini telah menempatkan tata kelola pendidikan nasional menjadi subordinat dari tata administrasi keuangan dan perbendaharaan negara.

BLU, kita tahu, adalah anak kandung UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Merujuk kepada kriteria yang disebut oleh UU tersebut, seperti bahwa BLU dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas a la korporasi, nampak sekali bahwa spirit dibentuknya BLU adalah untuk “mewirausahakan” birokrasi. Meskipun dibentuk bukan untuk mencari keuntungan, BLU memiliki ciri seperti korporasi. Misalnya, pada pasal 69 ayat (6) disebutkan bahwa pendapatan BLU dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan. Pendapatan yang dimaksud itu dapat diperoleh dari hibah, sumbangan, atau sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan.

Singkatnya, BLU pertama-tama adalah konsep mengenai perbendaharaan negara yang terutama lebih banyak terkait dengan soal pengelolaan keuangan. Cukup jelas, dengan kerangka itu BLU tidak bisa memberikan orientasi terhadap substansi pendidikan. Jika pengelolaan lembaga pendidikan hanya menginduk kepada tata aturan pengelolaan keuangan, maka secara tidak langsung kegiatan pendidikan telah direduksi semata menjadi soal administrasi.

Soal berikutnya, dengan ciri wirausaha tadi, sulit untuk disangkal bahwa BLU memang sengaja didorong untuk melakukan komersialisasi. Pada intinya, pelayanan yang dilakukan oleh BLU tidak lagi berada dalam kerangka melakukan pelayanan terhadap public goods (dimana semestinya masyarakat tidak perlu membayar), melainkan dalam kerangka private goods (dimana daya beli menjadi ukuran). Karena diterapkan bagi dunia pendidikan, maka BLU sebenarnya merupakan terusan dari konsep awal privatisasi dunia pendidikan yang telah dimulai sejak 1999.

Salah kaprah yang ketiga adalah jargon tentang “universitas riset”. Tugas utama yang diemban oleh universitas dimanapun adalah pendidikan. Riset bukanlah tugas universitas sebagai sebuah lembaga, melainkan tugas personal dari para sarjana yang berada di dalamnya dan para sarjana yang dihasilkannya. Itupun dengan catatan bahwa riset yang dilakukan di universitas pertama-tama bukanlah untuk tujuan komersial, melainkan untuk menunaikan dharma “ilmu pengetahuan sebagai proses” (science in term of process), sebagai pelengkap kegiatan pengajaran di kelas yang merupakan bentuk dari diseminasi “pengetahuan sebagai produk” (science in term of product).

Kegiatan riset, baik untuk keperluan komersial maupun instrumental lainnya, telah dinaungi oleh kementerian dan lembaga-lembaga milik negara lainnya, seperti LIPI, Batan, Dewan Riset Nasional, dan lain-lain, termasuk diselenggarakan oleh departemen litbang di berbagai perusahaan dan lembaga swasta.

Dua salah kaprah terakhir tadi, yaitu soal tata kelola sistem pendidikan yang tunduk kepada tata kelola perbendaharaan negara, serta salah kaprah isu universitas riset ini, sebenarnya semakin jelas menunjukkan bahwa pendidikan nasional kita dalam lima belas tahun terakhir ini memang secara sengaja dikondisikan untuk menjadi instrumen dari kepentingan pasar.

Oleh karenanya, dapur perumus kebijakan dari pemerintahan baru yang akan dilantik bulan Oktober nanti harus membuka latar belakang dan rumusan konseptual yang melatarbelakangi rencana pemisahan Kemdikbud menjadi dua kementerian sebagaimana telah disinggung di muka.

Dimana dan dengan cara bagaimana pemerintahan baru nanti akan menempatkan nomenklatur kebudayaan?

Daoed Joesoef, dalam berbagai karangannya, kerap menulis bahwa salah satu sebab lapuknya pendidikan adalah ketika ia dicerabut dari akar kebudayaannya. Menurutnya, pendidikan adalah bagian konstitutif, jika bukannya integratif, dari kebudayaan. Sehingga pemisahan pendidikan dari kebudayaan akan bersifat destruktif bagi keduanya.

Pendidikan, untuk dapat menjalankan fungsi-fungsinya, memerlukan nilai-nilai instrumental. Nilai-nilai tersebut tidak bisa lain harus digali dari kebudayaan inangnya. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa sistem pendidikan yang kita kembangkan untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”—sesuai amanat Proklamasi—adalah bagian utuh dari kebudayaan.

Selain itu, karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan, maka sebelum “pendidikan” diberi pengertian, baik pengertian dalam arti makna-kata, makna-proses, maupun jangkauan tujuannya, terlebih dahulu dipahami apa yang dimaksud dengan “kebudayaan”. Sebab, dalam pengertian kebudayaan itulah terkandung penjelasan bagi pendidikan. Tanpa itu, maka pendidikan akan tercampak dari makna hakikinya sebagai bagian dari kebudayaan.
Jadi, khusus mengenai konsep pendidikan, pemerintahan baru harus membuka dan mengujikannya kepada publik terlebih dahulu. Jangan sampai soal pendidikan yang krusial ini kita biarkan diatur dan dikacaukan oleh  orang-orang yang, meminjam Daoed Joesoef, mengidap penyakit "defisit filosofi" dan "defisit intelektual" yang kronis


Yogyakarta, Kamis, 18 September 2014

Rabu, 17 September 2014

NEGARA DESA, NEGARA KOTA, DAN NEGARA KEBANGSAAN: INDONESIA DI SIMPANG JALAN














Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Ketua P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)


 
Para pendiri Republik ini kebanyakan hidup dalam idealisasi nilai-nilai pedesaan. Soekarno, Hatta, Yamin, Tan Malaka, Ki Hadjar Dewantara, Amir Sjarifuddin, Soepomo, atau yang lainnya, hidup dengan alam kebatinan yang demikian. Satu-satunya perkecualian yang tegas mungkin hanya ada pada seorang Sjahrir. Seperti pernah ditulis Mrazek, ia mungkin satu-satunya orang yang dilahirkan terlepas dari segala bau “tradisi”, “primordial”, serta “parokial”. Sementara tokoh-tokoh lainnya tak pernah kehilangan pijakan akar tradisi, kita memiliki kesulitan yang nyata untuk menemukan kata “Minangkabau” dalam karangan-karangan Sjahrir.

Idealisasi nilai-nilai pedesaan yang melekat pada pemikiran para Bapak Republik tadi merupakan artefak sejarah bahwa Indonesia sesungguhnya adalah sebuah bangsa dan negara yang pada titik permulaannya dibangun oleh berbagai “komunitas desa” yang pluri. Sehingga, apa yang dimaksud dengan “nilai-nilai pedesaan” tadi tidak persis sama antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Dan berbagai nilai tadi telah dikoherensi dan dikonversi menjadi nilai-nilai bersama melalui sejumlah momentum, mulai dari Kongres Pemuda, hingga baku dalih filosofikal dan yuris dalam sidang-sidang Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan.

Pengajuan konsep negara integralistik oleh Soepomo dalam BPUPK, di tangan sejumlah Indonesianis dan sarjana kita, secara keliru—dengan sudut pandang hari ini—sering dianggap sebagai contoh masuknya anasir gagasan fasistik dan totalitarian di dalam perumusan konstitusi kita. Penilaian itu menurut saya sepenuhnya keliru, karena gagal memahami sejarah-intelektual terbentuknya bangsa dan negara ini.






 














Gagasan negara integralistik yang ditawarkan Soepomo sebenarnya harus dibaca sebagai cermin dari gagasan “negara desa” yang berangkat dari “idealisasi nilai-nilai pedesaan” tadi, idealisasi yang disebut oleh Niels Mulder (1998) sebagai bagian dari “Asian Values”. Dalam “negara desa”, yang bisa juga disebut sebagai “masyarakat tatap muka”, dimana semua orang saling mengenal satu sama lain. Dengan premis itulah maka Soepomo dalam sidang BPUPK, misalnya, menolak masuknya rumusan mengenai hak-hak kewargaan, karena dalam sebuah “negara desa”, rumusan semacam itu tidak perlu dicantumkan secara verbal dan eksplisit. Jadi, Soepomo bukan menolak nilai-nilai tentang hak kewargaan, atau nilai hak-hak asasi manusia, melainkan mempersoalkan verbalismenya. Sebab, dalam sebuah masyarakat tatap muka, penegasan mengenai kewajiban itu lebih utama daripada penegasan mengenai hak.

Ketika Soepomo menyebut UUD 1945 sebagai “Undang Undang Dasar Gotong Royong”, tak lain itu sebenarnya merupakan penegasan dari bagaimana kentalnya gagasan “negara desa” pada diri Soepomo. Apalagi, dia merupakan seorang guru besar hukum adat. Hanya saja, menghubungkan gagasan tersebut (baca: negara integralistik) dengan gagasan totalitarian di Eropa, atau fasisme Jepang, seperti yang misalnya pernah dilakukan David Bourchier (1996), jelas tak lebih dari sekadar fiksi ilmiah.

Kritik terhadap pandangan Soepomo terkait soal hak-hak kewargaan tadi muncul dari Hatta dan Yamin. Hatta, kita tahu, mengenyam pendidikan di Negeri Belanda, tapi tidak demikian halnya dengan Yamin. Kritik Hatta dan Yamin terhadap Soepomo sebenarnya bisa dilihat sebagai kritik warga “nagari Minangkabau” terhadap “negara desa” ala Jawa.

Dengan sudut pandang ini, perdebatan yang terjadi dalam sidang-sidang BPUPK sebenarnya merupakan perdebatan dari “idealisasi nilai-nilai pedesaan” yang berasal dari seluruh Nusantara. Sebagai sarjana, mereka yang terlibat dalam perdebatan itu tentu saja berusaha melegitimasi gagasannya dengan mencari sinonim-komparatifnya dalam paham, pemikiran, dan praktik tata negara di negeri lain. Ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Soekarno dan angkatannya merupakan kaum sarjana yang otonom, yang tak mudah membebek serta menjadi budak dari pemikiran yang dipelajarinya. Fakta ini bisa kita simak dari karangan-karangan lengkap mereka.

Namun, selain berisi perdebatan antar-berbagai ideal negara desa yang pluri tadi, perdebatan dalam sidang BPUPK juga berisi tarik-menarik antara gagasan negara desa dengan negara kota.

Jika gagasan negara integralistik merupakan cermin dari gagasan negara desa, maka gagasan republikanisme sebenarnya merupakan cermin dari negara kota. Gagasan republikanisme bertolak dari pandangan bahwa negara adalah milik publik, sehingga pemimpin harus dipilih dari kalangan rakyat sendiri. Gagasan ini memang muncul pertama kali sebagai kritik terhadap sistem monarki feodal di Eropa, seiring berkembangnya kapitalisme. Tentu saja gagasan tentang ruang publik politik lahir seiring perkembangan kapitalisme, karena kapitalismelah yang telah memunculkan kota dan kelas borjuis, yang kemudian menjadi sentra dan aktor dari perlawanan terhadap kekuasaan raja-raja feodal.

Jadi, jika negara desa identik dengan integralisme, yang oleh orang Jawa dirampatkan sebagai “manunggaling kawulo gusti”, maka negara republik, atau negara kota (city state) ini dibangun oleh komunikasi publik. Dan berbeda dengan model negara desa yang banyak bertumpu pada kepercayaan antar-individu, negara kota dicirikan oleh sistem birokrasi dan administrasi yang detail. Termasuk di dalamnya soal pembagian kekuasaan. Konsekuensinya, negara kota harus ditopang oleh kegiatan ekonomi dan keuangan yang kuat, karena untuk menghidupi birokrasi tadi dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tentunya tidak mengherankan, karena penyokong utama dari negara kota adalah kegiatan ekonomi dan keuangan, maka peran kelas borjuis menjadi sangat dominan.

Pelembagaan negara demokrasi modern umumnya hanya kita kenal melalui model negara kota. Di negara-negara kontinental yang penduduknya homogen dan wilayahnya relatif kecil, model negara kota mungkin merupakan bentuk pelembagaan demokrasi yang efektif. Namun, di negara-negara yang besar, baik penduduk maupun wilayahnya, dan apalagi negara kepulauan semacam Indonesia, model tersebut memang perlu dipikirkan kembali. Itu sebabnya sidang-sidang BPUPK dahulu melahirkan perdebatan yang alot mengenai soal tata negara ini.

Secara umum, sebelum diamandemen empat kali, arsitektur gagasan dalam konstitusi kita, yaitu UUD 1945, sebenarnya merupakan bentuk jalan tengah antara model negara desa dengan negara kota. Hadirnya MPR sebagai lembaga tertinggi negara, yang berkuasa memilih, mengangkat dan memberhentikan presiden, yang struktur keanggotaannya terdiri baik dari partai politik maupun utusan-utusan (daerah, golongan [ras, profesi, dll.]), merupakan salah satu cerminnya. Anggota MPR dipilih dengan dua model, yaitu pemilihan langsung dan pilihan tidak langsung berjenjang. Produk pemilihan langsung adalah partai-partai politik yang duduk di DPR, sementara produk pemilihan tidak langsung adalah utusan-utusan tadi.

Memang, standar rekrutmen utusan daerah dan golongan pada masa Orde Baru sangat buruk, karena semuanya ditentukan oleh presiden, padahal presiden sendiri sesungguhnya adalah “bawahan” MPR. Namun, dalam sistem itu kita bisa menyaksikan bahwa golongan kaum cendekiawan dan profesional, misalnya, bisa mendapatkan tempat di lembaga tertinggi itu tanpa harus melalui pemilu dan jalur politik yang sering dianggap rumit, mahal dan kotor. Di atas kertas bisa dikatakan bahwa reputasi keilmuan dan profesionalitas mendapatkan penghargaan yang setara dengan para politisi di lembaga MPR itu. Para pendiri Republik ini telah sangat bijaksana mendesain MPR menjadi sebuah lembaga multikameral yang anggotanya heterogen, karena mereka sangat memahami bahwa Indonesia adalah sebuah negeri yang pluri.

Jalan tengah konstitusional itu sayangnya tidak konsisten kita praktikkan. Tak lama sesudah Proklamasi, sistem pemerintahan kita segera berganti menjadi negara kota murni, melalui sistem parlementer. Alasan historisnya sudah sering dikemukakan, dan mudah kita jumpai dalam berbagai buku dan karangan, namun kita sering meluputkan pertarungan politik di belakangnya.

Sjahrir, yang menjadi perdana menteri pertama dari pemerintahan parlementer itu, bersama dengan kelompoknya, bukanlah anggota BPUPK, sehingga ia tidak turut merumuskan konstitusi kita. Posisi mereka yang berada di luar BPUPK itu telah melahirkan pandangan bias, termasuk kegagalan untuk memahami bahwa UUD 1945 yang telah selesai dirumuskan itu merupakan jalan tengah dari perdebatan antara negara desa dengan negara kota.

Oleh karenanya, tudingan bahwa UUD 1945 adalah produk dari fasisme Jepang, sebagaimana yang sering dituduhkan Sjahrir dan kelompoknya, sebenarnya bisa dilihat dengan dua cara. Pertama, Sjahrir dan kelompoknya ahistoris dengan perdebatan yang terjadi di dalam BPUPK. Atau, kedua, tudingan itu sebenarnya lebih bersifat politis, yaitu untuk mengambil tempat dalam kekuasaan setelah Jepang menjadi pecundang dalam Perang Dunia II. Kita tahu, kekalahan Jepang telah membuat posisi Soekarno dan golongan elite lainnya yang sebelumnya mau berdiplomasi dengan Jepang menjadi terdelegitimasi di mata Sekutu, yang menjadi pemenang perang. Dan persis di situ Sjahrir, yang sebelumnya menolak berdiplomasi dengan Jepang, jadi memiliki jalan ke kursi kekuasaan.

Jika periode pemerintahan parlementer mempraktikkan model negara kota, maka Dekrit Presiden 1959, yang menandai dimulainya Demokrasi Terpimpin, mempraktikkan antonimnya, yaitu model negara desa. Dengan demikian, bisa dikatakan dengan nada ironis bahwa jalan tengah antara negara desa dan negara kota sebagaimana yang telah dilembagakan dalam UUD 1945, pada generasi perumusnya sendiri justru tidak pernah dipraktikkan dengan utuh.

Pemerintahan Orde Baru yang muncul kemudian pada dasarnya hanya memapankan saja model negara desa yang sudah dimulai oleh Soekarno. Bedanya, jika Soekarno menggunakan model negara desa untuk konsolidasi kebangsaan (nation building) dan membendung intervensi serta aneksasi kekuatan asing, maka pemerintahan Orde Baru mempraktikannya untuk kepentingan sebaliknya: memberikan karpet merah bagi kepentingan modal asing.




 













Pasca-Reformasi, kebencian dan trauma kita pada Orde Baru, telah mendorong kita untuk menjauhkan diri dari model negara desa dan jalan tengahnya. Empat kali amandemen UUD 1945 sesungguhnya merupakan tindakan ekstrim, dimana kita kini hanya menjadikan negara kota sebagai satu-satunya model pengelolaan negara, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan termasuk di desa sendiri.

Ya, termasuk di desa. Sejak negara melakukan penetrasi sistemik kepada pemerintahan desa melalui pengangkatan seluruh sekretaris desa sebagai PNS, dan sistem tanah bengkok untuk aparat desa diganti dengan gaji rutin, maka sejak itu pemerintah desa menjadi bagian dari sistem negara kota.

Persoalannya, sebagaimana bisa kita saksikan dalam empat belas tahun terakhir otonomi daerah, dan sepuluh tahun terakhir sejak berlakunya konstitusi baru, berbagai persoalan yang muncul dan mengepung kita tidak seluruhnya merupakan problem transisional, melainkan problem sistemik. Problem transisional adalah problem yang sifatnya hanya sementara dalam sebuah periode perubahan tata kelola. Dalam jangka waktu tertentu, masalah itu akan pupus. Sementara, problem sistemik merujuk kepada persoalan yang melekat pada sistem itu sendiri, alias menjadi problem bawaan.

Tulisan ini tidak akan mengupas apa saja problem transisional dan sistemik dari tata pemerintahan negara kota yang kini berlangsung, melainkan hanya akan menyebutkannya secara general saja. Ada beberapa persoalan yang perlu untuk diperhatikan.

Pertama, pemberlakuan hanya satu model politik di semua jenjang pemerintahan telah mendistorsi latar historis dan sosiologis negeri kita yang sebenarnya sangat pluri. Penyeragaman model politik ini, seperti halnya yang dulu terjadi pada penyeragaman bentuk dan tata pemerintahan desa pada masa awal Orde Baru, telah mematikan banyak institusi lokal-tradisional yang sebenarnya memiliki fungsi sosial efektif. Jikapun tidak mematikan, pada akhirnya muncul dualitas kelembagaan, yang dari kacamata manajemen sebenarnya harus dianggap tidak efisien. Adanya dualitas desa dinas dan desa adat di Bali, misalnya, yang meskipun masing-masing memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda, sebenarnya tidak efisien. Desa dinas fungsinya hanya minimalis administratif saja.

Kedua, dengan menggunakan satu model negara kota di semua jenjang pemerintahan, mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga desa, kita sedang mendesain kegaduhan politik di semua level kehidupan masyarakat. Pada mulanya publik mungkin akan menikmati proses ini, sebagai masa bulan madu pasca-berakhirnya rezim otoritarian yang berkuasa lebih dari tiga dekade. Namun, kegaduhan itu bersifat destruktif dalam jangka panjang. Pada akhirnya, ruang publik kita hanya diisi oleh politik saja, tak tersisa ruang publik yang lain.

Ketiga, masih terkait dengan soal sebelumnya, hanya berlakunya satu model negara kota di semua jenjang pemerintahan telah membuat pembagian wilayah kerja antara negara (state) dengan masyarakat (civil society) tidak lagi mudah dipisahkan. Pada ujungnya, masyarakat hanya merupakan subordinat saja dari negara. Ini adalah imbas dari dominasi politik dalam ruang publik kita. Semua hal, termasuk yang mestinya menjadi domain masyarakat, tiba-tiba akhirnya “di-negara-kan”, atau “di-politik-kan”. Dan hal ini tentu saja ironis. Sebab, dengan demikian praktik tadi tak lagi konsisten dengan model awal negara kota, yang sebenarnya menolak premis “manunggaling kawulo gusti”, sehingga mensyaratkan adanya pembagian wilayah yang tegas antara negara dengan masyarakat.

Keempat, konsekuensi logis dari semua itu adalah betapa jadi mahalnya politik. Sebagaimana telah disinggung, model negara kota membutuhkan logistik yang tidak sedikit untuk bisa mengoperasikan birokrasi kekuasaannya, mulai dari pusat hingga ke tingkat desa, sehingga oleh karenanya harus didukung oleh perekonomian yang kuat. Masalahnya, jika kehidupan warga negara di semua level pemerintahan didominasi oleh politik, bagaimana ekonomi akan berkembang dengan baik? Jika perekonomian kita tidak berkembang baik, namun seluruh proses politik itu terus berjalan, siapa sebenarnya yang telah membiayai seluruh hiruk pikuk politik ini?

Itu adalah persoalan-persoalan pokok yang sedang membelit kita saat ini. Persoalan-persoalan itulah yang telah membuat kenapa saya tidak tertarik untuk terlibat dalam perdebatan mengenai prosedur pemilihan kepala daerah. Karena, baik yang pro maupun yang kontra, keduanya sama-sama meluputkan persoalan pokoknya. Kalaupun saya tidak setuju pemilihan bupati/walikota secara langsung, alasan saya berbeda dengan partai-partai yang kini membela posisi itu.

Kenapa saya mengusulkan agar otonomi daerah ditarik ke level provinsi, karena level pemerintahan ini memiliki kapasitas yang leluasa untuk membahas kekhususan tata pemerintahan yang mungkin dibutuhkan oleh level pemerintahan di bawahnya. Dengan begitu, pemerintah pusat bisa mendistribusikan sebagian bebannya. Dan sebagai kepala daerah otonom, gubernur harus dipilih secara langsung.

Selain itu, dengan menarik otonomi ke wilayah provinsi, maka wilayah kabupaten/kota akan terbebas dari kegaduhan politik. Wilayah ini memang harus menjadi ujung tombak pembangunan ekonomi, dengan konsep pembangunan yang bersifat regional. Sayangnya, pembangunan regional selama ini seringkali tidak sinkron karena para bupati/walikota umumnya memiliki agendanya masing-masing, tak saling mengkoordinasikan kebijakannya dengan kepala daerah di sekitarnya. Dengan dipimpin oleh kepala daerah otonom selevel gubernur, maka pembangunan regional, terutama di luar Jawa, bisa dilakukan secara lebih terstruktur.

Kembali ke soal negara desa dan negara kota, sebagai negara maritim dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar, serta dengan kebudayaan dan latar sosial masyarakatnya yang pluri, Indonesia memang harus dikelola dengan perpaduan yang tepat antara konsep negara desa dengan negara kota. Tentu saja kita harus bisa memproduksi kebijaksanaan baru, yang dibutuhkan zaman ini. Dalam kaitannya dengan jabatan kepala negara, biarkan dia tetap dipilih secara langsung. Namun, kedudukan dan fungsi vital MPR sebagian harus dikembalikan. Bagaimana detailnya, itu yang harus dibahas.

Itu adalah persoalan-persoalan vital di hulu politik yang menanti untuk dibahas. Sayangnya, kita lebih suka gaduh meributkan hal-hal kecil di hilir. Sejak dahulu selalu begitu.


 

Yogyakarta, 11 September 2014

PROFESIONAL ATAU VOKASIONAL?



























 Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Ketua P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)
 

Pada 1917, Weber memberikan kuliah penting, “Wissenschaft als Beruf”, di Universitas Munich. Kuliah itu kemudian dilanjutkan dengan kuliah kedua persis pada saat Revolusi Jerman mencapai puncaknya, yaitu pada pengujung 1919, yang menandai perubahan kekaisaran Jerman menjadi sebuah negeri republik. Pada kuliah keduanya, Weber memberikan materi “Politik als Beruf”. Masing-masing materi kuliah tadi, “Wissenschaft als Beruf” dan “Politik als Beruf”, diterjemahkan menjadi “Science as a Vocation” dan “Politics as a Vocation” dalam bahasa Inggris. Jadi, kata “Beruf” diterjemahkan sebagai “Vocation”.

Sebenarnya, jika kita membuka kamus Jerman-Inggris, kata “beruf” mencakup baik pengertian kata “profession” maupun “vocation”. Hanya saja, kenapa yang digunakan sebagai padanan adalah “vocation”, dan bukan “profession”?

Pertanyaan ini menarik, karena dalam kuliahnya yang kedua itu Weber, dengan meminjam Shakespeare, mengibaratkan bahwa langit Jerman sedang diliputi awan gelap. Dan jika ingin keluar dari kemelut yang sedang mengurung waktu itu, maka yang dibutuhkan bukanlah semangat “profesionalisme”, tapi “vokasionalisme”.

Jadi, apa bedanya profesional dengan vokasional?

Dalam masyarakat kita, apresiasi terhadap kaum profesional demikian tinggi. Profesional dicitrakan sebagai seseorang yang terampil, efisien, bertanggung jawab, obyektif, jujur, serta berbagai atribut positif lainnya. Lazim kita temukan bahwa segala hal yang kurang bagus, atau ketidakbecusan dalam pekerjaan, disebut sebagai “tidak profesional”. Pendek kata, profesional adalah sesuatu yang memiliki citra serba positif. Hampir tanpa cela. Benarkah?

Padahal, kalau kita membuka kamus, baik bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, pengertian “profesional”, sebenarnya tak lebih dari “tenaga bayaran”. Seorang profesional adalah orang yang menjual keterampilan dan keahliannya untuk mendapatkan bayaran. Nothing personal, nothing emotional, just business. Begitulah para profesional. Pertanyaan tentang intensi, dedikasi, emosi, serta keberpihakan, secara definitif berada di luar jangkauan pengertian profesionalitas.

Berkebalikan dengan itu, seorang vokasional adalah orang-orang yang teguh pada prinsip, memiliki intensi dan keterpanggilan yang kuat terkait bidang pekerjaannya.

Cukup menarik untuk memperhatikan, bahwa berbeda dengan pengertian profesional dalam kamus, yang selalu menyertakan keterangan soal imbalan dan bayaran, maka terhadap kata vokasional ini, meskipun masih terkait dengan soal pekerjaan, tapi soal imbalan dan bayaran tadi tidak pernah disertakan sebagai bagian dari pengertiannya. Artinya, profesional memang adalah tenaga terdidik bayaran, yang memperjual-belikan ilmu, pengetahuan, dan keterampilannya. Sementara, vokasional adalah orang yang bekerja untuk panggilan jiwanya.

Tingginya penghargaan dan anggapan terhadap kaum profesional dalam masyarakat kita sebenarnya merupakan produk dari hegemoni sistem ekonomi-pasar. Pasar berhasil mengkonstruksi bahwa kasta tertinggi dalam piramida ekonomi diduduki oleh golongan dengan bayaran terbesar. Semakin besar bayarannya, mereka dianggap semakin profesional, dan semakin tinggi pula posisinya. Itu sebabnya, jika seorang dosen, misalnya, dituntut untuk “profesional”, maka hal pertama yang akan mereka tagihkan pasti adalah bayaran. Seorang profesional memang tak lebih dari mereka yang memperjual-belikan pengetahuan dan keterampilannya.

Sayangnya, sensitivitas kita terhadap “operasi-pasar” di panggung kekuasaan sangat lemah jika dibanding sensitivitas kita terhadap “operasi-politik” dari partai politik, sehingga kita lebih sering hanya waspada pada para "profesional-politik" daripada "profesional-pasar". Kadang kita lupa, bahwa para predator politik itu bukan hanya ada di tubuh partai politik, tapi terutama berasal dari pasar. Seperti pernah ditulis Hatta, dalam negeri-negeri demokratis, korporasi sebenarnya merupakan suatu oligarki. Korporasi adalah kekuatan oligarki yang riil, karena mereka bukan hanya bisa mengontrol pasar, tapi juga mengontrol partai politik. Mereka tidak pernah ikut pemilu, tidak pernah diserahi mandat, tetapi selalu bisa mengendalikan apapun hasil pemilu.

Nah, jika partai politik punya “petugas partai”, maka petugasnya korporasi adalah “kaum profesional”. Jadi, kenapa kita bangga sekali kalau porsi kabinet pemerintahan baru nanti akan lebih banyak diisi oleh kaum profesional?



Yogyakarta, Selasa, 16 September 2014