Kamis, 01 Mei 2014

ESAI UNTUK HIDAYAT



Oleh Tarli Nugroho
Mantan Asisten Dr. Hidajat Nataatmadja (2006-2009)


Tradisi keilmuan di Indonesia barangkali memang tidak dihidupi oleh kegairahan untuk membangun otentisitas. Indikasinya bisa dilihat dari miskinnya kegiatan kritik teori maupun tiadanya tendensi strukturasi teori baru yang dilakukan oleh para sarjana kita. Kegiatan penelitian maupun penalaran didominasi oleh vak verifikasi, yang pada dasarnya hanya mempraktikkan, lalu menegaskan kembali gagasan orang lain. Hampir tidak ada problematisasi serius atas berbagai persoalan keilmuan. Seandainyapun ada sebentuk kegiatan kritik teori, maka kegiatan tersebut pun pada dasarnya sukar dibedakan dari sekadar epigon atas pergulatan kritik serupa yang dilakukan para sarjana di luar negeri. Jadi, seandainya ada, atau pernah ada, kritik itu hadir tanpa problematisasi yang otentik.

Bagi sebagian orang, tendensi otentisitas barangkali tidak relevan dibicarakan dalam kegiatan keilmuan. Apalagi, sejarah kelahiran dunia universiter di kita memang pertama-tama bukan untuk melahirkan pencerahan, melainkan sekadar untuk menyediakan ambtenaar, para pekerja di birokrasi pemerintahan. Sehingga, fungsi perguruan tinggi tidak pernah beranjak dari produsen tenaga kerja, dan bukannya produsen ilmu pengetahuan. Sebagaimana bisa kita lihat pada berbagai perbincangan yang menyoal state of the art ilmu sosial di Indonesia, seperti yang pernah mengemuka di tahun 1970-an dan awal 1980-an, sebagian besar sarjana kita berpendirian bahwa tidak ada yang salah dengan ilmu dan teori, yang keliru adalah penerapannya; sehingga mempersoalkan keabsahan ilmu dan teori adalah pekerjaan yang tidak berguna.

Namun, tentu saja itu adalah pendapat yang sepenuhnya salah. Bahkan sangat salah karena secara tak sadar sedang mendudukkan positivisme sebagai proto dari state of the art keilmuan itu sendiri. Hidayat Nataatmadja (1932-2009), terlepas dari kesepakatan atau ketidaksepakatan orang terhadap hasil pemikirannya, adalah satu dari sedikit orang yang gigih melakukan perlawanan terhadap kejumudan dunia kesarjanaan. Melalui sikap otonom yang teguh, Hidayat berusaha membongkar benteng regularitas diskursif. Dia hanya ingin mengajukan dan mempersoalkan apa-apa yang belum pernah diajukan dan dipersoalkan orang lain, demikian tulisnya suatu ketika. 




Memang, setiap pemikir berdiri di atas pundak pemikir lainnya, sama seperti halnya setiap tradisi kesarjanaan bertumpu di atas tradisi kesarjanaan pendahulunya yang lebih klasik. Tapi kait-kelindan itu bukan pembenaran terhadap perayaan—meminjam Galbraith—conventional wisdom dan pemujaan terhadap—mencuri Kuhn—normal science. Seperti diimani Borges, setiap pengutip Shakespeare adalah Shakespeare itu sendiri. Dan ilmu pengetahuan, hampir serupa sastra, membangun dirinya dari model serupa itu: penciptaan yang terus-menerus, karena pada dasarnya setiap orang adalah pencipta.

Pada diri Hidayat, etos itu hadir sangat kental. Apalagi, bagi Hidayat, kebudayaan adalah rumah pikiran, sehingga setiap tradisi keilmuan mestinya berakar di kebudayaan inangnya. Tapi tidak berarti Hidayat tak jernih dalam memahami distingsi ihwal universalitas dan partikularitas. Persoalan universalitas dan partikularitas itu justru merupakan salah satu kata kunci dari segepok hasil pemikirannya. Kemanusiaan, misalnya, mungkin bersifat universal. Tapi bagaimana kemanusiaan itu dipelihara, pastinya itu bersifat partikular. Ini sama seperti halnya bahwa semua manusia lahir ke dunia dalam keadaan telanjang. Dengan apa ia akan menutupi tubuh telanjangnya, sangat tergantung pada dimana ia lahir. Bayi yang lahir di kutub barangkali harus dibungkus dengan mantel bulu yang tebal, sementara bayi yang lahir di pesisir Jawa cukup ditutupi jarik tipis. Dan persis di titik partikular itu otonomi kesarjanaan dan tendensi otentisitas, sebagaimana yang melingkupi pemikiran Hidayat, menemukan relevansinya.

Tentu saja otentisitas dalam dunia keilmuan sebagaimana yang dihidupi Hidayat berbeda dengan, misalnya, otentisitas sebagaimana yang diimani dalam karya kesenian. Otentisitas dalam dunia keilmuan, meminjam istilah Daoed Joesoef (1986), adalah otentisitas dalam hal menemukan tata-hubungan prioritas yang baru yang lebih memuaskan dalam memberikan pemahaman terhadap sesuatu . Newton dikatakan telah menyumbang pengetahuan karena analisis ilmiahnya mampu menunjukkan hubungan antara gerakan bulan dan benda-benda langit dengan jatuhnya buah apel. Padahal, gerakan benda-benda langit merupakan pengetahuan astronomis yang sudah lazim, bahkan sejak masa yang lebih lampau. Artinya, gagasan Newton sebenarnya berangkat dari bahan-bahan yang telah lazim diketahui, hanya tata-hubungan dan struktur yang dikemukakan bersifat baru.

Tanpa tendensi otentisitas, ilmu pengetahuan sekadar menjadi kegiatan adopsi, verifikasi, yang pada akhirnya hanya membebek pada kebakuan. Pada titik itu, dunia kesarjanaan sebenarnya sedang sebatas mendudukkan ilmu pengetahuan sekadar sebagai produk yang tinggal dikonsumsi, bukan sebagai proses yang terus-menerus diolah.

+ + +

Bagi generasi yang dilahirkan sesudah dekade 1980-an, Hidayat adalah khazanah intelektual yang terselip. Namanya hampir tidak tercatatkan. Tapi memang, dalam semua tradisi keilmuan, selalu dibutuhkan orang besar untuk memperkenalkan orang besar lainnya, dimana ke-besar-an dalam dunia keilmuan dipelihara melalui siklus bertukar simak dan kaji. Dan tradisi kesarjanaan di Indonesia, apa lacur, tidak mengenal keduanya: keterbukaan untuk menyimak, dan ketekunan untuk mengkaji, yang menjadi prasyarat bagi lahirnya pemikir dan pemikiran besar.




Untuk memahami gagasan Hidayat memang dibutuhkan sebuah ketekunan sekaligus empati intelektual yang tinggi, karena gagasan-gagasannya dituliskan dalam banyak sekali buku dan dalam bahasa yang seringkali “tidak lazim”. Kalau menyimak judul buku-bukunya, menurut ukuran masa kini, atau menurut kebiasaan yang menguntit, dengan mudah kita akan menemukan “ketidaklaziman” itu. Tanpa empati-intelektual, kita akan dengan mudah terpeleset menuduh Hidayat sekadar sedang mencari sensasi, atau memancing kontroversi, sehingga pada akhirnya meluputkan substansi serta argumentasi kokoh yang dengan sangat serius sebenarnya sedang coba dia tuturkan. Begitu juga, dengan tanpa ketekunan untuk menyimak keseluruhan karya-karyanya, kita hanya akan menemukan penggalan-penggalan gagasan penting yang tidak padu. Bangunan penting gagasan Hidayat tersimpan (kadang tersembunyi) dengan rapi dalam keseluruhan karyanya, yang meskipun ada berbagai pengulangan dalam tiap tulisannya, pembaca yang tekun akan menemukan bahwa ada lebih banyak lagi argumen dan uraian penting yang tidak dia tuturkan ulang pada tulisan-tulisannya yang lebih kini. Tanpa menyimak keseluruhan karyanya, kita mungkin hanya akan ketemu kesimpulan-kesimpulan tanpa argumentasi, karena berbagai argumen yang mendasari kesimpulan-kesimpulan itu sudah dia paparkan dalam karya-karyanya yang telah silam.

+ + +

Selasa, 13 Januari 2009, lebih dari setahun silam, Hidayat berpulang, setelah sebelumnya selama lebih dari satu semester bolak-balik ke rumah sakit karena berbagai komplikasi. Tak ada satu obituaripun yang mengantarkannya. Tapi sebenarnya yang dibutuhkan oleh Hidayat memang bukan sebuah obituari, melainkan sebuah ucapan selamat datang. Ketika beberapa bekas murid Hidayat, yang kini telah profesor, mengabari untuk memperkenalkan lagi pemikiran gurunya, itu mungkin adalah ucapan yang lama ditunggunya.

Selamat datang kembali ke dunia universiter, Pak Hidayat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar