Kamis, 01 Mei 2014

MENJAJAKAN MINAT BACA, MENAFKAHI TRADISI INTELEKTUAL



Oleh Tarli Nugroho
Pencinta Buku
 

Ibarat tubuh, perpustakaan adalah jantungnya universitas. Dari jantung-perpustakaan inilah ilmu pengetahuan dipompa ke sekujur tubuh-universitas sehingga kehidupan akademik terus berdenyut. Menuju ke jantung ini pula hasil seluruh pertengkaran ilmiah dikirimkan untuk diperiksa, dikaji-ulang, dikuliti, dikembangkan, lalu disebarkan kembali. Sebagai organ vital, ia tak boleh berhenti berdetak, karena perguruan tinggi secara “medis” akan mati.

Sayangnya, dalam deretan meja kosong dan kursi-kursi menjelujur rapi sebagaimana rutin dijumpai di perpustakaan kita, jantung ilmu pengetahuan tadi dibiarkan sekarat. Beberapa orang boleh jadi tidak terlampau khawatir, sebab toh perguruan tinggi bisa terus memproduksi ribuan sarjana tiap tahun meski perpustakaannya sunyi senyap. Tapi itu tentu saja pikiran yang menghinakan. Sebab pada titik yang demikian, perguruan tinggi tak ubahnya seolah sebatang bangkai: tubuh yang tak lagi bernyawa.

Tulisan ini hendak menyoroti posisi perpustakaan dalam kaitannya dengan tradisi intelektual di perguruan tinggi. Jika selama ini masalah minat baca didudukkan sebagai persoalan teknis yang harus dipecahkan pustakawan, maka tulisan ini berpendapat bahwa masalah tersebut merupakan masalah seluruh elemen perguruan tinggi.




Perpustakaan dan Dunia Ilmiah

Kekeliruan berpikir paling mendasar ketika membincangkan perpustakaan adalah mendudukkan perpustakaan semata sebagai unit teknis dari institusi perguruan tinggi. Ketika perpustakaan hanya dibicarakan sebagai sebuah unit teknis (untuk melayani kebutuhan baca dan pinjam-meminjam pustaka), maka perpustakaan telah dicabut dari kompleksitas keterkaitannya dengan dunia ilmiah.

Sudut pandang ini membuat segenap persoalan yang berkaitan dengan perpustakaanpun kemudian dianggap teknis, bukan sebagai persoalan yang menyangkut dunia ilmiah. Ini bisa ditengarai dari minimnya respon sebagian besar aparatus akademik terhadap segala persoalan yang berkaitan dengannya. Mereka mengira bahwa perpustakaan adalah urusannya pengelola lembaga yang bersangkutan—yaitu pustakawan, tidak ada sangkut-pautnya dengan akademisi. Kalaupun ada tenaga akademik terlibat, biasanya mereka adalah yang sedang menjabat di struktur birokrasi perguruan tinggi.

Pikiran serupa juga dimiliki oleh para pustakawan. Mereka menganggap wilayah kerjanya bersifat mandiri dan bebas dari campur tangan non-pustakawan. Sehingga, setiap persoalan yang berkaitan dengan perpustakaan hanya akan diselesaikan lewat perspektif profesi mereka. Pada akhirnya penyelesaian akan ditarik ke soal profesionalitas serta teknik manajerial, wilayah yang sangat teknis sifatnya. Soal minimnya pengunjung perpustakaan, misalnya. Dengan sudut pandang profesi, mereka akan cenderung melihat persoalan ini sebagai tantangan untuk meningkatkan pelayanan dan fasilitas yang ada agar pengguna menjadi lebih nyaman dan tertarik datang.

Peningkatan profesionalitas layanan dan penambahan fasilitas tentu saja bukan hal yang tidak berguna. Hal itu memang bisa berimplikasi positif terhadap antusiasme pengguna. Hanya saja, hal itu akan lebih berguna jika ditunjang oleh hal lain yang lebih vital sifatnya, yaitu minat baca penghuni kampus. Dalam kaitannya dengan minat baca inilah perpustakaan memiliki hubungan non-teknis dengan dunia ilmiah.




Ilmu Pengetahuan dan Buku

Kegiatan ilmiah merupakan kegiatan mengubah fakta menjadi teori—membuat masalah (fakta) menjadi permasalahan (teori), mengerjakannya dan merumuskan pemecahannya (Daoed Joesoef, 1986). Jadi, ilmu pengetahuan terbentuk dari dorongan untuk memecahkan masalah. Kegiatan yang relevan dengan tujuan untuk memecahkan masalah adalah meneliti, investigasi, serta mengkaji secara mendalam suatu persoalan.

Pengertian mengenai kegiatan ilmiah sengaja dikemukakan untuk memperjelas bahwa minat baca sebenarnya tidak semata “bawaan sejak lahir” sebagaimana yang umumnya kita bayangkan. Dari pengertian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa aktivitas membaca merupakan tuntutan kegiatan ilmiah. Apakah seseorang mewarisi bakat atau tidak untuk membaca, ketika dia berkecimpung di dunia ilmiah maka dia wajib terlibat dalam aktivitas menekuri buku-buku daras.

Tetapi, sebagaimana juga diingatkan oleh Daoed Joesoef, tidak setiap kegiatan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan adalah kegiatan ilmiah. Bekerja di laboratorium atau di perpustakaan ataupun memberikan kuliah, misalnya, bukan merupakan kegiatan ilmiah. Pada aktivitas mengajar, misalnya, tidak ada proses sebagaimana pengertian kegiatan ilmiah di muka. Mengajar adalah aktivitas menyampaikan ilmu pengetahuan yang telah jadi (ilmu pengetahuan sebagai produk), sementara kegiatan ilmiah merupakan proses untuk mencari dan merumuskan pengertian. Demikian pula dengan bekerja di laboratorium, jika sekadar mempraktikkan pengetahuan yang telah jadi, maka itu bukanlah kegiatan ilmiah. Jadi, persyaratannya terletak pada ada atau tidak adanya motif untuk mengubah fakta menjadi teori, memecahkan masalah untuk merumuskan kerangka teoritiknya, dan bukannya segala hal yang berkaitan dengan pengetahuan.

Kembali ke perbincangan awal mengenai perpustakaan, jelas tidak ada kegiatan ilmiah yang bisa lepas dari buku. Buku adalah tempat dimana segala pengetahuan dicatatkan, dipersoalkan, dikaji, dihabisi, untuk kemudian dituliskan kembali. Lewat buku seorang ilmuwan bisa terpandu untuk menemukan jawaban atas persoalan yang ditelitinya, lewat buku pula para ilmuwan menemukan inspirasi masalah yang harus dipecahkan. Kegiatan ilmiah pada akhirnya bermuara pada teks: sebuah cara dalam mana pengetahuan diabadikan.

Jika kegiatan ilmiah tidak bisa dipisahkan dari teks, maka aparatus akademik jelas memiliki tanggung jawab pada persoalan yang berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut minat baca. Irisan keduanya sangat besar. Sehingga, secara tidak langsung segenap dinamika yang terjadi di perpustakaan juga harus masuk dalam radar aparatus akademik, karena masa depan kegiatan ilmiah turut ditentukan oleh aktivitas yang berkaitan dengannya.




Integritas Kesarjanaan

Dari uraian ringkas di atas kita bisa menyimpulkan bahwa menumbuhkan minat baca pertama-tama adalah perkara memperbaiki etos intelektual dan bukannya menambah fasilitas ataupun perbaikan teknis manajerial perpustakaan. Sebab tanpa etos intelektual, berbagai fasilitas yang lengkap hanya akan habis dimakan rayap dan digerus waktu, sementara peningkatan pelayanan akan sia-sia karena hasilnya tidak akan optimal.

Setelah memahami posisi demikian, persoalannya sekarang adalah kenapa minat baca rendah sehingga perpustakaan kita sepi pengunjung?!

Barangkali beberapa orang akan menolak penilaian bahwa perpustakaan kita sepi pengunjung. Mereka yang menolak ini akan mengajukan argumen berupa hitung-hitungan kuantitatif mengenai jumlah pengunjung ataupun jumlah buku yang dipinjam.

Kinerja perpustakaan sejauh ini memang hanya diukur melalui parameter-parameter yang bersifat kuantitatif dan sederhana, seperti jumlah pengunjung, jumlah buku yang dipinjam, jumlah pertambahan buku, dan parameter sejenisnya. Karena terbatas di pengukuran kuantitatif semacam itu, para pengelola perpustakaan atau pejabat perguruan tinggi yang dilapori kinerja tadi menjadi tidak peka terhadap gejala-gejala penting yang terjadi di lapangan.

Boleh jadi, misalnya, secara kuantitatif penggunaan perpustakaan suatu ketika adalah tinggi. Tetapi itu tidak dengan sendirinya menunjukkan hal yang positif berkenaan dengan minat baca, apalagi dengan etos intelektual atau modus ilmiah. Jika aktivitas di dalam perpustakaan kita golongkan menjadi dua, yaitu aktivitas membaca dan menulis, misalnya, di lapangan akan terlihat kalau masing-masing kategori akan didominasi oleh tiga materi bacaan, yaitu skripsi/tesis/disertasi, buku teks, serta koran dan majalah. Urutannya bisa berubah-ubah, tapi unsurnya tetap tiga materi tercetak tadi.

Jika dipikirkan, ini jelas merupakan gejala memprihatinkan. Meskipun tradisi baca masyarakat kita memang rendah, tetapi kegiatan membaca skripsi/tesis/disertasi, buku teks dan koran di perpustakaan di perguruan tinggi kita bukanlah merupakan bentuk kemajuan budaya baca. Alasannya sederhana saja. Sudah bukan merupakan rahasia jika para mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhir, keseluruhan atau sebagian besar dasar teorinya tidak diambil dari buku sumbernya, melainkan dari skripsi/tesis/disertasi pendahulunya. Sehingga, kalau mahasiswa rajin membuka-buka skripsi/tesis/disertasi yang bertumpuk di perpustakaan, itu sebenarnya bukanlah bentuk ke-rajin-an, melainkan bentuk kemalasan membaca buku-buku daras. Begitu pula halnya dengan buku-buku teks dan majalah. Sayangnya, tak banyak yang memperhatikan fenomena ini, baik aparatus akademik maupun pengelola perpustakaan. Atau, kalaupun memperhatikan tidak ada respon yang berarti terhadap fenomena ini. Lebih celaka lagi kalau gejala ini malah direstui.

Kegiatan membaca dan menulis sebagaimana yang dipertontonkan di perpustakaan kita sejauh ini baru merupakan rutinitas akademik: mengerjakan tugas, mencari hiburan, atau memenuhi tuntutan kelulusan. Jadi, jauh untuk bisa disebut sebagai kegiatan ilmiah yang berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam bahasa lain bisa disebutkan bahwa aktivitas tersebut hanya sekadar memenuhi syarat minimal (necessary condition) saja, tapi sangat tidak memenuhi syarat kecukupan (suficient condition) untuk bisa disebut menegakkan etos ilmiah.

Buku teks, misalnya, jelas bukan merupakan sumber utama untuk menguliti sisik-melik ilmu pengetahuan. Buku teks hanyalah sumber sekunder—atau bahkan tersier berkaitan dengan sistem gagasan, apapun bidang keilmuannya. Sedapat mungkin mahasiswa mestinya bersentuhan langsung dengan sumber-sumber utama, yaitu buku-buku yang ditulis oleh para penggagas teori atau buku-buku diskursif yang mendedahkan suatu persoalan secara lebih kompleks dan utuh.

Kecenderungan kian merebaknya praktik “mencari” skripsi/tesis/disertasi di perpustakaan dan utuhnya buku-buku non-textbook ataupun buku-buku berbahasa asing, meskipun sangat awal bisa jadi merupakan gejala longgarnya kultur akademik kita. Meskipun hakikat perguruan tinggi adalah menjadi cagar alam intelektualitas—menjadi pengembang ilmu pengetahuan, dalam praktiknya hakikat itu ternyata dikerjakan dengan standar yang teramat longgar.

perguruan tinggi sebenarnya diharapkan bisa memupuk lahirnya sarjana-sarjana mental yang memiliki etos intelektual dan bukan hanya sarjana-sarjana formal yang hanya memiliki ijazah semata
Tanpa etos intelektual, pergulatan dengan buku hanyalah sekadar rutinitas akademik yang secara substansial tak berarti. Jika itu yang terjadi, yaitu kegiatan akademik telah menjadi rutin, maka integritas perguruan tinggi sebenarnya tengah terancam. Inilah yang akan membuat sebuah universitas kehilangan ruh, atau tubuh yang tak lagi bernyawa sebagaimana disebut di bagian awal tulisan ini.

Melonggarnya kultur akademik jelas merusak integritas kesarjanaan. Seorang sarjana diharapkan bisa tampil tidak hanya sebagai intelegensia yang menguasai bidang keilmuan profesional, melainkan juga bisa menjadi seorang intelektual yang senantiasa kritis terhadap ilmu pengetahuan dan struktur masyarakatnya. Jadi selain memiliki komitmen yang kuat terhadap nalar dan proses pencarian kebenaran, seorang sarjana juga diharapkan memiliki komitmen moral yang kuat, dalam arti memiliki keprihatinan mendalam terhadap nilai-nilai budaya dan sejarah dari masyarakatnya.

Artinya, perguruan tinggi sebenarnya diharapkan bisa memupuk lahirnya sarjana-sarjana mental yang memiliki etos intelektual dan bukan hanya sarjana-sarjana formal yang hanya memiliki ijazah semata. Di sinilah aparatus akademik memegang peranan penting dalam membantu lahirnya kultur akademik di perguruan tinggi. Tanpa terlebih dahulu lahir kultur akademik, etos intelektual hanya akan menjadi bintang di langit dan integritas kesarjanaan patut dipersoalkan.

Aparatus akademik bukan hanya agen penyampai ilmu pengetahuan yang telah jadi sebagaimana dominan dipahami selama ini, melainkan perlu terlibat menjadi agen intelektual yang berkomitmen terhadap ditegakkannya etika kesarjanaan dan terciptanya etos serupa di kalangan mahasiswa. Dengan cara demikian maka perpustakaan dengan sendirinya akan mengail dinamika aktivitas ilmiah yang membanggakan, tidak sunyi senyap sebagaimana yang ada sekarang.




Menegakkan Etos Intelektual

Jika masalah pokok pengembangan perpustakaan adalah minat baca—dalam keterkaitannya yang kompleks dengan tradisi ilmiah sebagaimana yang telah kita bicarakan, maka persoalan ini tidak hanya merupakan pekerjaan rumah buat pustakawan, melainkan juga buat aparatus akademik. Tanggung jawab para pendidik tak hanya sebatas di ruang kelas atau ruang ujian, melainkan di seluruh sudut tempat bekerjanya kegiatan ilmiah.

intelektual bukanlah sebuah kelas sosial tersendiri, sebagaimana halnya konsep “buruh”, “borjuis” atau “kelas menengah” yang sering diperbincangkan. Intelektual bukanlah persoalan latar belakang, melainkan soal sikap mental dan etos. Artinya, seorang intelektual bisa saja datang dari kelas buruh, petani, militer, dan lain sebagainya
Ketatnya kultur akademik atau tradisi ilmiah merupakan pemicu bagi terbentuknya etos intelektual. Pada titik itu, minat baca dan segenap keperluan untuk menegakkan saintisme akan berjalan secara inheren dengan sendirinya. Segenap insan akademik yang ada di kampus akan memiliki kegairahan untuk menjelajahi setiap jengkal wawasan yang tercetak di halaman berjilid-jilid buku yang menumpuk di perpustakaan. Tuntutan akademik tidak lagi dipenuhi sekadar untuk formalitas—sehingga mahasiswa terpaku mengejar kelulusan dengan cukup hanya membaca skripsi, tesis, dan disertasi pendahulunya atau dosen hanya asyik mengajar dan mengejar pangkat tanpa pernah mempublikasikan karya penting—melainkan untuk menjaga integritas keintelektualan. Jika kesadaran mengenai integritas ini telah terpupuk dan terpelihara, baku-dalih ilmiah akan lebih berwibawa karena lebih kaya wacana.

Hal penting yang kadang dilupakan, dalam menciptakan kultur yang demikian contoh dan teladan dari aparatus akademik tidak bisa diabaikan, termasuk penghargaan mereka terhadap perpustakaan. Penghargaan di sana termasuk di antaranya dengan mengunjungi dan mempergunakan jasa perpustakaan. Di sinilah kemudian hal-hal sekunder yang juga telah kita bicarakan mengemuka, yaitu peningkatan pelayanan dan penambahan koleksi.

Sebelumnya, perlu dipahami kalau intelektual bukanlah sebuah kelas sosial tersendiri, sebagaimana halnya konsep “buruh”, “borjuis” atau “kelas menengah” yang sering diperbincangkan. Intelektual bukanlah persoalan latar belakang, melainkan soal sikap mental dan etos. Artinya, seorang intelektual bisa saja datang dari kelas buruh, petani, militer, dan lain sebagainya. Sehingga dalam kaitannya dengan intelektualisme, kebutuhan dosen dan mahasiswa pada prinsipnya sama. Dalam hal ini, tidak ada alasan bagi aparatus akademik untuk enggan datang ke perpustakaan. Persoalannya tinggal apakah perpustakaan telah menyediakan kebutuhan mereka secara memadai atau belum. Hal-hal yang memadai itu adalah hal-hal yang di bagian terdahulu disebut teknis-manajerial (profesionalitas pelayanan, penambahan fasilitas, koleksi pustaka, dan lain-lain). Di sini kita melihat pertemuan antara berbagai hal yang sebelumnya sering diperpsepsikan tak saling berhubungan.




Kelompok Panel Penimbang Buku

Kelemahan sistem pendukung perpustakaan yang ada selama ini adalah terletak pada hal-penambahan buku. Perpustakaan selama ini lebih mengedepankan fungsi sirkulasi, yaitu menyediakan peminjaman buku-buku teks perkualiahan. Sedangkan fungsi referensi, yaitu penyediaan koleksi-koleksi pustaka yang lebih berbobot, seperti jurnal dan buku-buku babon (magnum opus) masih minim. Fungsi sirkulasi dan referensi di sini hendaknya tidak diterjemahkan secara teknis sebagai koleksi yang bisa dipinjam dan hanya bisa dibaca di tempat, melainkan sebagai ukuran mengenai kualifikasi bahan pustaka.

Pengadaan buku selama ini sangat minim melibatkan elemen-elemen kampus lainnya, terutama aparatus akademik dan mahasiswa. Memang di perpustakaan disediakan lembaran usulan pengadaan buku untuk mahasiswa, tetapi bisa dipastikan kalau tingkat partisipasinya tidak optimal. Ini bisa disebabkan karena beberapa hal.

Pertama, sistem pengadaan lembar usulan itu memakai sistem kuota. Artinya, meskipun buku yang diusulkan mahasiswa sangat penting bobot kualifikasinya, kalau dia mengusulkan seorang diri atau hanya dengan sedikit orang secara kuantitatif akan dianggap tidak penting. Kedua, mahasiswa yang terlibat dalam pengisian lembar usulan kebanyakan hanya terbatas mengajukan judul buku-buku teks.

Keterlibatan aparatus akademikpun serupa. Beberapa dari mereka yang peduli barangkali akan mengusulkan atau menyumbangkan salinan literatur penting yang mereka miliki untuk perpustakaan. Tetapi hal ini saja tidak cukup untuk membuat perpustakaan menjadi tempat nyaman buat eksplorasi intelektual. Karena itu pengelola perpustakaan harus mencari jalan keluar lain yang lebih kreatif.

Sebuah jalan yang bisa dicoba mungkin dengan membentuk semacam “Kelompok Panel Penimbang Buku” (KPPB), yaitu sebuah tim yang bertugas untuk menggodok materi literatur yang akan dibeli perpustakaan. Tim ini berisi perwakilan pengelola perpustakaan, dosen, dan mahasiswa. Untuk skup fakultas, perwakilan dosen dan mahasiswa harus merepresentasikan jurusan yang ada di fakultas yang bersangkutan.

Sistem pemilihan tim ini adalah dengan seleksi, seperti pembuatan paper, wawancara yang “mengukur” kecintaan seseorang pada buku (seperti koleksi bacaannya, atau penguasaan literaturnya) dan berbagai parameter lain yang terutama mengukur intelektualitas seseorang dan apresiasinya pada buku. Seleksi diadakan setiap dua tahun sekali untuk memberi keleluasaan kerja bagi KPPB. Tugas KPPB adalah menjaring aspirasi dari elemen yang diwakilinya, atau bisa juga dengan pertimbangannya sendiri dia mengusulkan kira-kira bahan pustaka apa yang harus dibeli perpustakaan.

Anggota KPPB harus bisa mengemukakan argumen yang jelas berkaitan dengan setiap usulan pustaka yang diajukannya. Selain itu, anggota KPPB juga harus kritis terhadap usulan yang diajukan oleh rekan setimnya, sehingga tidak ada dominasi selera dari keputusan yang diambil KPPB secara keseluruhan. Dengan adanya KPPB diharapkan pengadaan buku di perpustakaan bisa lebih dipertanggungjawabkan dan pengguna menjadi lebih tertarik karena isinya berbobot dan variatif.




Epilog

Perpustakaan memang merupakan jantung perguruan tinggi, sehingga menjadi tanggung jawab seluruh sivitas akademik untuk menjaga kelangsungan hidup lembaga ini. Kelangsungan hidup perpustakaan bukan hanya diukur dari eksistensi fisiknya, melainkan kontribusinya dalam dinamika kegiatan ilmiah di perguruan tinggi. Dalam hal ini, selain fungsi teknis sebagai penyedia layanan pinjam-meminjam dan menyediakan ruang baca, perpustakaan adalah simbol dari kegairahan terhadap etos intelektual. Jika sebuah perguruan tinggi telah melemah etos intelektualnya, maka perpustakaan hanya akan menjadi kumpulan rak yang sunyi senyap, dan universitas tengah meregang nyawa dan bersiap menjadi bangkai. Semoga itu tidak terjadi pada kita.


Karanggayam, 8 September 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar