Oleh Tarli Nugroho
Pembaca media
Hari ini (Rabu, 25 Juni 2014), Koran Tempo di halaman tujuh memuat pernyataan Goenawan Mohamad (GM) bahwa "media massa tidak harus bersikap netral dalam kebijakan pemberitaannya". Yang penting, menurutnya, isinya "tidak memfitnah". Untuk menguatkan pendapatnya, GM menggunakan contoh Majalah Fikiran Ra'jat yang dipimpin Soekarno pada tahun 1930-an. Bung Karno juga tidak netral ketika menulis, ujarnya.
Menurut saya, "tidak harus" adalah bentuk pernyataan spekulatif penuh keraguan. Itu lebih mewakili sikap pembenaran daripada ikhtiar yang benar-benar untuk merumuskan ulang, jika itu memang diperlukan, hal-hal terkait standar jurnalistik. Dengan mengkontraskan "boleh tidak netral" dengan "fitnah" dalam posisi yang secara konseptual seolah equal, pernyataan itu secara tidak langsung juga sedang meremehkan standar liputan berimbang. Asal bukan fitnah, media boleh bersikap tidak netral dengan mengabaikan cover both sides, misalnya. Saya tidak percaya ucapan macam itu bisa keluar dari seorang yang sering disebut sebagai salah satu "empu jurnalis(tik)" di Indonesia, dan itu diucapkan pada peringatan pembredelan sebuah media yang dulu sering disebut sebagai barometer standar jurnalistik. Zaim Uchrowi dulu bahkan pernah menyebutnya sebagai kuil. Ya, kuil, tempat para rahib dan pendekar berlatih mengasah ketajaman pena dan pikiran.
Memasukan "fitnah" sebagai sebuah ukuran verbal dalam jurnalisme juga cukup problematis. Bukan substansinya, tapi verbalismenya. Ukuran "faktual" dan "cover both sides" sebenarnya sudah cukup memagari standar jurnalistik. Saya khawatir, hanya karena intensi untuk memberikan pembenaran atas kekacauan praktik jurnalisme politik paling kurang pada dua tahun terakhir ini, setelah ini jangan-jangan "suudzon" (prasangka buruk) juga menjadi ukuran baru yang lain. Bagaimana, misalnya, para jurnalis bisa melakukan liputan investigatif jika "presumption of guilty" yang biasanya menjadi dasar sebuah liputan investigatif tiba-tiba dianggap sebagai 'suudzon', sebuah sikap yang dalam kacamata agama bernilai dosa. Menyerap kosakata sejenis "fitnah" ke dalam perbincangan jurnalistik, apalagi dilakukan oleh para jurnalis sendiri, menurut saya adalah sebuah kemunduran dengan komplikasi terusan yang tak terbayangkan.
Dan terus terang saya merasa geli ketika GM menggunakan Fikiran Ra'jat sebagai contoh ukuran bagi jurnalisme yang tidak netral itu. Fikiran Ra'jat adalah media agitasi dan propaganda (agitprop) kaum pergerakan kebangsaan, seperti halnya Majalah Daulat Ra'jat yang digawangi Hatta, dan media-media kaum pergerakan lainnya di masa itu. Media-media itu diterbitkan sebagai alat propaganda untuk menyebarkan kesadaran kebangsaan. Tepatkah menjadikan media propaganda sebagai standar jurnalistik? Kalau begitu, apakah GM sedang memproklamirkan secara terbuka bahwa media yang pernah dilahirkannya kini juga adalah sejenis media agitprop?! Selain faktor "fitnah", berarti tak ada bedanya dong antara Koran Tempo dengan Obor Rakyat jika begitu?! Apa memang iya begitu?
Pertanyaan lain saya, bukankah dulu GM dan kawan-kawannya pernah sangat menggelisahkan model pemberitaan Harian Rakjat dan rombongannya? Kenapa dulu digelisahkan jika logika yang sama, bahwa media pada dasarnya hanyalah alat propaganda untuk membela kepentingan politik yang diimani, kini justru digunakan sebagai legitimasi untuk membela praktik jurnalistik yang diimaninya sendiri?! Kemana gerangan kegelisahannya dulu itu?!
Akhirnya, tak ada yang lebih menggelikan daripada seorang pejuang kejatuhan Soekarno yang kemudian menggunakan Soekarno sebagai pembela posisinya hari ini, dan seorang pejuang Orde Baru yang kini mengkampanyekan ketakutan pada orde yang pernah didirikannya itu.
Begitulah politik. Dan sepertinya begitulah setiap orang berpolitik hari ini. Tapi, jika begitu, kenapa ada yang merasa dirinya lebih suci, lebih benar, sehingga lebih berhak menentukan kebenaran bagi semua orang?!
Yogyakarta, 25 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar