Oleh Tarli Nugroho
Suatu siang saya diundang mampir ke salah satu rumah Pak Imam Yudotomo yang terletak di belakang Polda DIY, daerah Condong Catur, Yogyakarta. Rumah besar yang menghadap sawah itu terdiri dari beberapa bangunan.
Bangunan dua lantai di bagian belakang dijadikan kos-kosan ekslusif, dengan area parkir mobil dan motor cukup lapang di tengahnya, sementara bangunan paling depan, yang juga terdiri dari dua lantai dan dibagi menjadi beberapa ruangan, difungsikan sebagai kantor. Di rumah itulah Pak Imam biasa menjamu para tamunya. Di rumah itu pula dulu kawan saya, Rudi Casrudi Soedjono, tinggal sebagai penghuninya.
Pak Imam sendiri tidak meninggali rumah itu. Bersama dengan istrinya, mereka tinggal di daerah Janti, Banguntapan.
Meski dikenal sebagai aktivis kiri hingga hari tuanya, Pak Imam memang tergolong hidup berkecukupan. Kemakmuran itu, sebagaimana pernah diakuinya, terutama berasal dari istrinya yang berprofesi sebagai notaris.
“Sebagai aktivis, saya ini miskin. Tapi, karena istri saya notaris, ya, bisalah saya mentraktir mahasiswa atau aktivis-aktivis miskin lainnya untuk sesekali ngopi di Starbucks,” kelakarnya, suatu ketika.
Saat sampai di rumah di bilangan Condong Catur itu, saya melihat Pak Imam sudah datang dan tengah duduk berbincang dengan Mas Rudi dan seorang lelaki. Saya tidak kenal lelaki itu. Ia mengenakan kemeja putih bergaris. Perawakannya tidak terlalu tinggi. Di sela-sela kumisnya yang tipis, mulai tumbuh uban di sana-sini. Suara tawanya cukup lantang.
“Mas Tarli, kenalkan, ini kawan saya. Namanya Bambang Isti Nugroho. Kalau Anda kini bisa bebas mengkoleksi buku-buku Pram, maka Bung Isti ini dulu pernah merasakan bagaimana disiksa tentara hanya gara-gara menyimpan dan mengedarkan fotokopian buku-buku Pram,” ujar Pak Imam, memperkenalkan lelaki yang duduk di sampingnya.
Saya segera menyalami lelaki itu.
Meski baru pertama kali bertemu, nama Bambang Isti tidak sepenuhnya asing. Saya pertama kali mengetahui nama itu saat duduk di bangku sekolah menengah, melalui Majalah Tempo. Di beberapa edisi Tempo akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, berita mengenai Bambang Isti Nugroho memang pernah berseliweran ditulis. Namanya ketika itu selalu disebut setarikan nafas dengan nama Bonar Tigor Naipospos.
“Anda tahu, ada satu cerita yang selalu bisa membuat saya menangis sekaligus tertawa mengenai Bung Isti ini. Jadi, salah satu siksaan paling jahat dan menyakitkan waktu dia ditahan adalah jempol kakinya ditindihi kaki meja, lalu beberapa orang tentara duduk-duduk di atasnya sembari menginterogasi dirinya,” ujar Pak Imam.
Mukanya tiba-tiba menjadi keruh. Saya bisa membayangkan, betapa bengisnya siksaan itu.
“Namun, sesudah para tentara itu keluar ruangan, Bung Isti ini malah menari-nari sambil menyanyi, ‘tiidak sakit, tiidak sakit,…’” lanjut Pak Imam, kali ini sembari terkekeh. “Padahal, itu sakitnya pasti luar biasa sekali,” imbuhnya.
Bambang Isti Nugroho, yang duduk di samping Pak Imam, hanya tertawa kecut mendengar cerita itu.
Lelaki ini, sesudah saya mencari tahu kisahnya lebih jauh, memang liat luar biasa. Anak pensiunan tentara ini hanya lulusan SMP, tidak pernah menyelesaikan SMA-nya, namun bersama dengan dua orang temannya, Ons Untoro dan Panji Patah, ia bisa membesarkan sebuah kelompok studi yang isinya adalah para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Pada tahun 1980-an, Kelompok Studi Sosial Palagan cukup terkenal di Yogya.
Banyak intelektual Yogya, seperti Mochtar Mas’oed, Nasikun, Loekman Soetrisno, dan sejumlah nama lain, yang mengaku bangga pernah menghadiri diskusi-diskusi yang digelar oleh kelompok diskusi ini. Dan salah satu sumber kekaguman mereka terhadap kelompok ini adalah karena Kelompok Studi Sosial Palagan ternyata dipimpin dan digerakan salah satunya oleh seorang anak muda yang karena alasan ekonomi tidak sempat menyelesaikan SMA-nya, namun berhasil bisa menggerakan anggotanya yang merupakan para mahasiswa.
Sesudah ayahnya meninggal pada tahun 1977, Bambang Isti sempat terputus sekolahnya. Agar bisa meneruskan sekolahnya, ia harus bekerja sebagai tukang batu dan tukang cat tembok di siang hari. Ia memilih SMP Yayasan Usaha Buruh yang membuka kelas malam hari sebagai tempat melanjutkan pelajaran.
Pada tahun 1980, saat masih duduk di bangku SMP, ia melamar menjadi pesuruh di Laboratorium Analis Kimia Fisika Pusat, Universitas Gadjah Mada. Sesudah melalui testing, ia akhirnya diterima bekerja di sana.
Saat lulus SMP pada tahun 1981, Bambang Isti kemudian meneruskan pelajarannya di SMA YUB, juga kelas malam, agar siang harisnya bisa tetap bekerja mencari nafkah. Namun, karena asyik bergulat dengan dunia sastra dan kesenimanan, belum sempat lulus, ia kemudian memutuskan berhenti sekolah.
Lingkungan kerjanya, yaitu UGM, menurut pengakuan Bambang Isti, telah memperkenalkannya pada dunia pemikiran dan kesadaran sosial. Apalagi, tiap hari ia bergaul dengan intelektual kampus dan para mahasiswa.
Iapun semakin asyik dengan dunia kepenulisan. Ia menulis puisi, cerpen, kritik sastra, teater dan naskah drama anak. Sejak usia 17 tahun Bambang Isti sudah menulis naskah teater. Tak heran, pada tahun 1982, saat usianya belum genap 21 tahun, ia telah dipercaya menjadi redaktur sastra dan kebudayaan di Harian Masa Kini.
Ada banyak cerita dan kesaksian yang menunjukkan jika Bambang Isti pada masanya memang sangat disegani oleh kawan-kawannya, yang sebagian besar adalah mahasiswa UGM. Pengetahuannya mengenai kesusastraan dianggap sangat menonjol.
Kasus yang menjerat Bambang Isti mungkin agak sulit dibayangkan oleh generasi yang lahir sesudah Reformasi. Tak lama sesudah novel “Bumi Manusia” terbit pada bulan Agustus 1980, pemerintah Orde Baru melalui Surat Edaran Nomor 73106/Sekjen PDK/1980 tanggal 27 September 1980 segera menjadikan novel tersebut sebagai buku terlarang. Karena ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, seorang tahanan Pulau Buru, oleh pemerintah novel itu dituduh menyebarkan ideologi komunisme.
Karena dilarang, publik intelektual dan penikmat sastra terpaksa harus bergerilya dan kucing-kucingan dengan aparat agar bisa membaca karya tersebut. Sebab, siapapun yang ketahuan menyimpan, apalagi mendistribusikan karya tersebut, mereka bakal menghadapi tuduhan serius. Tuduhan itu pula yang telah menjerat Bambang Isti Nugroho dan beberapa kawannya. Gara-gara mengedarkan karya Pram, Bambang Isti divonis 8 tahun penjara
Buku ini, “Memperjuangkan Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia” (1991), merupakan pledoi yang disampaikan Bambang Isti Nugroho di hadapan Pengadilan Negeri Yogyakarta pada tanggal 16 Agustus 1989. Dalam kata pengantarnya, Kuntowijoyo tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sosok Bambang Isti Nugroho.
Gara-gara ditahan itu, Bambang Isti bukan hanya kehilangan kebebasannya. Ia juga jadi kehilangan seluruh isi perpustakan pribadinya.
1 Agustus 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar