Jumat, 10 Maret 2023

TRAGEDI NOL BUKU











Oleh Tarli Nugroho

Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, Aksara, anak saya, kian menunjukkan minatnya dalam membaca karya-karya sastra. Ia kerap bertanya mengenai buku sastra apa yang harus dibaca oleh anak-anak sepantarannya. Saya tentu saja senang melayani pertanyaan semacam itu.

Buku apapun, saya bilang, sebenarnya pantas untuk dibaca. Hanya saja, pada usianya, karya-karya yang tidak terlalu rumit dan panjang tentunya akan lebih enak dibaca dan lebih mudah dicerna. Saya kemudian merekomendasikan sejumlah buku kumpulan cerpen sebagai awalan, sebelum ia mulai terlibat dengan novel-novel panjang.
Saran itu diperhatikannya. Ia kemudian mulai membaca sendiri—atas dasar keinginannya, dan bukan atas dasar tugas sebagaimana yang sebelumnya saya berikan ketika ia masih sekolah dasar—sejumlah buku kumpulan cerpen, mulai dari antologi cerpen Amerika yang disusun Anton Kurnia, sebuah buku yang saya baca saat kuliah dulu, hingga majalah-majalah cerita pendek yang terbit pada dekade 1980-an hingga pertengahan 1990-an.
Selanjutnya, saya tidak tahu lagi apa yang dibacanya. Yang jelas, buku-buku yang dipegangnya tiap minggu dan hari terus-menerus berubah. Dan saya senang menyaksikan hal itu.
Membaca sastra, menurut saya, punya arti penting bagi tradisi literasi secara umum, yaitu tradisi baca-tulis dan apresiasi-teks, sesuatu yang menjadi urat nadi dunia keilmuan. Bagi anak-anak, karya sastra merupakan medium penting untuk menanamkan “ketagihan membaca”, di mana pada akhirnya mereka akan terangsang untuk membaca berbagai jenis karangan lainnya. Jika tradisi membaca sastra ini tak berkembang, maka akan putus jugalah semua rantai bacaan lainnya.
Kalau kita hari ini, misalnya, sering mengeluhkan hanya ada sedikit sekali sarjana di perguruan tinggi yang memiliki karya, berbeda dengan para sarjana di zaman lampau, maka kita bisa melacak sebab-sebabnya pada putusnya tradisi membaca sastra sejak usia dini tadi.
Selain itu, sastra juga punya hubungan erat dengan keterampilan berbahasa. Sama seperti halnya matematika, bahasa merupakan salah satu alat penalaran penting. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan dunia penalaran secara umum kita jika keterampilan berbahasa (dan juga matematika) anak-anak kita sangat rendah.
Lebih dari setengah abad lalu, tepatnya pada 1997, penyair Taufiq Ismail pernah merilis hasil penelitian mengenai jumlah buku sastra yang dibaca oleh siswa-siswa SMA di sejumlah negara. Dari survei terhadap lulusan SMA di 13 negara tersebut, ditemukan jika siswa-siswa SMA di Amerika Serikat membaca buku paling banyak jika dibandingkan teman-teman sebayanya di negara lain. Selama tiga tahun bersekolah, mereka rata-rata menyelesaikan 32 judul buku.
Sesudah Amerika, siswa SMA di Belanda menamatkan 30 judul buku, disusul oleh Perancis (20-30 judul buku), Jerman (22 judul buku), Jepang (15 judul buku), Swiss (15 judul buku), Kanada (13 judul buku), Rusia (12 judul buku), Brunei Darussalam (7 judul buku), Malaysia (6 judul buku), Singapura (6 judul buku), dan Thailand (5 judul buku).
Yang menarik adalah, dari survei tersebut siswa-siswa SMA di Indonesia ternyata tidak harus menamatkan satu judul bukupun untuk bisa lulus sekolah. Jadi, selama tiga tahun bersekolah, siswa-siswa kita hanya membaca nol judul!
Fakta tersebut tentu saja memprihatinkan. Sebab, jika kita bandingkan dengan pendidikan di masa kolonial, kualitas literasi pendidikan nasional kita bisa dikatakan lebih buruk. Sebagai perbandingan, siswa-siswa AMS (Algemene Middelbare School, kini sederajat dengan SMA) di masa Hindia Belanda bahkan masih membaca 25 judul buku sastra dalam tiga tahun. Artinya, pada zaman kolonial dulu kemampuan membaca siswa-siswa kita tak ada bedanya dengan kemampuan rekan-rekannya di Perancis, Belanda, Jepang, Rusia, atau Swiss.
Menurut Taufiq Ismail, bukan hanya dalam tradisi membaca kita tidak kalah dibandingkan dengan Eropa, tapi juga dalam tradisi menulis. Sebelum tahun 1950-an, siswa-siswa SMA kita masih diwajibkan menulis satu halaman karangan tiap minggu. Sehingga, dalam setahun mereka minimal menulis 36 karangan, atau menjadi 108 karangan selama tiga tahun bersekolah. Itu jumlah yang cukup banyak.
Celakanya, sesudah kita merdeka, saat kita sebenarnya punya kesempatan untuk membangun sistem pendidikan yang ideal, semua tradisi literasi itu justru runtuh. Menurut survei UNESCO, indeks tingkat membaca masyarakat kita hanya 0,001. Artinya, hanya ada satu orang dari 1.000 penduduk yang membaca buku secara serius.
Tragedi nol buku ini, yang telah membuat anak-anak kita tak harus menyelesaikan bacaan apapun saat mereka meninggalkan bangku sekolah menengah, seharusnya merisaukan kita. Itu sebabnya, saya senang sekali kalau melihat anak-anak asyik duduk terpukau oleh bacaannya.

21 Februari 2023

Tidak ada komentar:

Posting Komentar