Oleh Tarli Nugroho
Dulu nenek sering bercerita, bahwa dalam acara selamatan Tedak Siten, ketika saya berumur 7 atau 8 bulan, barang yang saya ambil adalah kertas dengan pulpen. Saya tidak mengambil cincin, uang, cermin, kapas, serta benda-benda lainnya yang disediakan untuk dipilih.
Tedak Siten adalah upacara saat anak pertama kali diperkenankan menginjak tanah. Di tengah masyarakat desa yang masih memegang adat, anak memang baru diperkenankan untuk menapakan kakinya di atas tanah sesudah memasuki usia tertentu, ketika kakinya sudah cukup kuat untuk berdiri dan mulai belajar jalan.
Momen tersebut dianggap penting, sehingga dalam masyarakat Sunda dan Jawa momen itu dirayakan dengan sebuah upacara khusus, yang disebut Tedak Siten. Di desa saya, karena dodol merupakan menu utama dalam upacara, bahkan sebelum Si Anak ditetahkan ke atas tanah kakinya harus diinjakkan di atas dodol terlebih dahulu, upacara ini kemudian sering juga disebut sebagai “ndodol”.
Salah satu fragmen penting dalam upacara Tedak Siten ada kaitannya dengan prediksi masa depan anak. Pada fragmen ini, bayi yang akan ditetahkan kakinya akan dihadapkan kepada sejumlah barang untuk dipilih, di mana tiap-tiap barang dianggap mewakili simbol pekerjaan atau profesi tertentu. Secara tradisional, barang-barang yang disajikan biasanya adalah uang, cincin, alat tulis, cermin, padi dan kapas.
Di desa saya, barang-barang itu diikat/digantungkan dengan sejumlah hiasan kertas pada batang-batang kayu dari bambu yang ditancapkan pada sebutir kelapa hijau. Dalam kepercayaan masyarakat, konon jika anak mengambil cincin atau uang, maka anak tersebut di masa depan diperkirakan akan hidup bergelimang harta dan kemungkinan besar berprofesi sebagai pedagang. Jika yang diambilnya adalah padi atau kapas, anak itu diperkirakan akan jadi petani. Atau, jika yang diambil adalah buku, kertas, atau pensil, si anak dipercaya akan menjadi orang terpelajar atau menjadi priyayi.
Saya tidak tahu apakah prediksi saat upacara Tedak Siten memang benar-benar akurat, atau ini hanyalah kebetulan belaka. Yang jelas, sejak kecil—terutama sejak pertama kali bisa membaca—hidup saya memang tak pernah jauh dari buku. Pekerjaan saya tiap hari juga tidak pernah jauh-jauh dari buku.
Anak-anak saya, sayangnya tidak ada satupun yang pernah melewati upacara Tedak Siten. Mereka semua dibesarkan secara urban. Pilihan itu lahir bukan karena saya menolak tradisi, tetapi lebih karena saya melihat bahwa semua upacara itu ribet dan tidak praktis. Persis di situ, belakangan, sesudah dipikirkan kembali, kadang saya jadi merasa bersalah.
16 Agustus 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar