Sabtu, 11 Maret 2023

JAKARTA-JAKARTA DAN UTANG SAYA KE PAK WARDI

 















Oleh Tarli Nugroho

Lelaki paruh baya itu bernama Pak Wardi, atau sebut saja begitu. Sekilas, perawakannya selalu mengingatkan saya pada pelawak Darto Helm. Bagian depan kepalanya botak, dengan rambut tipis beruban di samping dan belakang. Suara baritonnya agak menggelegar. Jika sedang tersenyum, bibirnya akan mengembang, dan matanya menyipit, yang membuatnya jadi mirip Pak Harto. Namun, saat sedang ketus, saya mengingatnya sebagai sosok yang menakutkan. Satu kali saya pernah dihardiknya hanya gara-gara menyilangkan kaki di sofa rumahhya saat sedang numpang menonton televisi. Itu sebabnya, tiap kali jajan permen Cocorico, yang memang hanya dijual di tokonya, saya lebih suka dilayani oleh pembantunya, atau keponakannya, daripada oleh Pak Wardi.
Meskipun tinggal di kampung, penampilannya berbeda dengan penampilan orang kampung pada umumnya, atau orang seumurannya. Di rumahnya, ia selalu bercelana panjang dan memakai singlet. Sangat jarang, bahkan hampir tak pernah, saya melihatnya mengenakan sarung. Namun, yang paling membuatnya terlihat berbeda adalah sebuah kacamata berbingkai tebal yang selalu terkalung di lehernya. Dengan kacamata seperti itu, Pak Wardi bukan hanya terlihat seperti orang kaya, tapi juga terlihat intelek.
Dulu, kalau melihat Pak Wardi memakai kacamatanya, saya selalu membayangkan mungkin demikianlah tampang para profesor di perguruan tinggi yang anekdotnya sering saya baca di majalah-majalah dan koran. Mereka pastilah bertampang dingin dan angkuh seperti Pak Wardi. Terlalu banyak tahu, konon memang seringkali lebih bahyak mendatangkan beban daripada kebahagiaan.
Beberapa kali saya diceritai kakek kalau Pak Wardi adalah orang berpendidikan tinggi. Dia seharusnya menjadi jaksa di ibukota, atau profesi-profesi yang terkait dengan bidang hukum lainnya, kalau saja tidak ada peristiwa 1965. Menurut kakek, Pak Wardi tinggal di kampung kami karena diungsikan oleh ayahnya, Pak Kaning. Waktu itu ia masih mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.
Konon, jika tak diungsikan, Pak Wardi mungkin tak akan selamat, atau setidaknya tak mungkin lagi bisa menikmati udara bebas. Saya tak pernah mengingat keterangan yang cukup jelas mengenai apa dan bagaimana status Pak Wardi sehingga harus diungsikan seperti itu. Keterangan semacam itu sebenarnya mungkin pernah saya dengar, namun terlalu rumit untuk dicatat oleh pikiran anak kecil.
Yang jelas, ketika SMA, saya memiliki dugaan kalau Pak Wardi adalah anggota CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Statusnya yang masih mahasiswa saat pindah ke kampung kami adalah dasarnya. Dugaan ini juga saya sesuaikan dengan keterangan yang didengar belakangan, bahwa Pak Wardi diungsikan karena di kampusnya ia terkait dengan organisasi yang berhubungan dengan PKI. Artinya, ia bukan aktivis partai. Selain CGMI, saya kesulitan mencari kemungkinan status Pak Wardi di masa lalu.
Dugaan jika Pak Wardi termasuk golongan kiri memang bukan sekadar gosip. Saya merasa menemukan buktinya pada Pemilu 1999. Itu adalah pemilu pertama sesudah Reformasi, sekaligus menjadi pemilu pertama yang saya ikuti. Pada saat penghitungan suara, di TPS tempat saya mencoblos Partai Rakyat Demokratik (PRD) mendapatkan dukungan satu suara. Itu adalah satu-satunya suara PRD di TPS kami, dan belakangan diketahui juga merupakan satu-satunya suara PRD di kampung saya.
Di tengah para pemilih yang masih tak beranjak dari Golkar, PPP, dan PDI-P, satu suara untuk PRD tentu saja sangat istimewa. Apalagi, selain 3 partai sisa Orde Baru tadi, partai lain yang bisa mendapatkan suara di desa saya hanya PAN dan PKB. Di TPS saya, PAN hanya dapat 5 suara. Semuanya disumbang oleh keluarga saya.
Ketika nama PRD disebut dalam penghitungan suara, saya segera tahu. Itu pasti suara Pak Wardi, demikian batin saya kala itu. Tak mungkin itu hasil salah coblos, karena PRD mendapatkan persis satu suara untuk masing-masing level perwakilan, mulai dari DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, hingga DPR RI.
Sebenarnya, orang-orang tua di desa saya juga tak tahu apa persisnya organisasi yang pernah diikuti Pak Wardi. Dan saya kira mereka juga tak mungkin menanyakannya. Selain karena naif untuk mengulik hal yang coba disembunyikan itu, juga karena mereka sendiri mungkin tak terlalu ambil pusing. Bagi orang-orang desa, kejahatan politik pada dasarnya bukanlah sejenis kejahatan yang mudah diterima. Jangankan Pak Wardi, yang kesalahannya—kalau memang benar-benar ada—bersifat abstrak, bahkan Waryamin, seorang preman kampung yang dikenal bengis dan kerap merampok pun, karena tak pernah bikin onar dan melakukan kejahatan di kampungnya sendiri, ia tak pernah diusik oleh orang-orang kampung kami.
Ketika dia ditembak mati polisi pada suatu malam di sebuah komplek pelacuran yang hanya berjarak sepelemparan batu dari kantor kepala desa, sebenaranya tak ada orang yang membocorkan keberadaannya. Penangkapan yang berujung eksekusi itu sepenuhnya karena ketelatenan polisi saja. Mereka konon sudah mengintai selama berhari-hari dengan menyamar sebagai tukang mancing. Ketika berhasil mengkonfirmasi buronannya, mereka segera mengepung lokalisasi tempat Waryamin berada. Tetapi lelaki bertato itu tak mau menyerah.
Ia memang punya ilmu kebal. Saya pernah melihatnya dengan mata kepala sendiri. Suatu ketika ia sedang mabuk di warung kopi di sebelah rumah. Entah apa alasannya, ia lalu menyabet-nyabetkan celurit ke tangannya sendiri. Tidak, ia tak menyakiti orang lain ketika itu. Saya lihat, tak ada sedikitpun luka di tangannya. Kesaktiannya memang sering dibicarakan orang.
Namun, saat dikepung malam itu, Waryamin menemui ajalnya. Konon, ia ditembak dengan peluru emas, atau peluru yang sudah dijampi-jampi kyai. Ada juga yang bercerita kalau itu adalah hari apesnya.
Saya ingat, malam itu saya terbangun karena kaget mendengar bunyi ledakan dari seberang sungai. Bunyi ledakan seperti petasan itu terjadi beberapa kali. Tapi, mustahil itu petasan, batin saya kala itu. Siapa orang gila yang menyalakan petasan di tengah malam buta seperti itu? Waktu itu saya duduk di kelas lima. Esoknya, kabar kematian Waryamin jadi pembicaraan semua orang, termasuk teman-teman di sekolah. Ternyata, bunyi ledakan yang saya dengar malam itu adalah suara tembakan.
Kembali ke Pak Wardi, ia adalah anak seorang tuan tanah yang disegani. Sawah dan empangnya sangat luas. Bahkan, bisa dikatakan kalau lebih dari separuh empang di desa saya dulunya adalah tanah keluarga Pak Wardi. Barangkali, ini juga yang kemudian membuat Pak Wardi aman tinggal di kampung saya. Secara ekonomi, ayahnya, yang tinggal di kampung lain, sangat dihormati orang-orang di kampung kami. Jadilah kemudian Pak Wardi penduduk di kampung kami.
Dengan tanah yang luas, serta usaha tokonya yang maju, Pak Wardi kemudian bisa menyekolahkan para keponakannya hingga ke perguruan tinggi. Saat itu, bisa sekolah hingga ke perguruan tinggi sangatlah luar biasa. Saya ingat, jika sedang musim liburan, para keponakannya selalu pulang berlibur di rumah Pak Wardi. Tampang mereka klimis-klimis. Dandanannya juga parlente. Beberapa berstatus sebagai mahasiswa dan mahasiswi, sebagian lainnya masih SMA. Jumlahnya mungkin empat atau lima orang, saat itu.
Tiap pagi, mereka akan menggantikan tugas Pak Wardi menimbangi udang yang dijual para petambak. Pak Wardi hanya akan duduk menyaksikan sembari membaca koran. Saya bisa tahu, karena sebelum berangkat ke sekolah, tiap pagi selalu disuruh kakek untuk menjual udang terlebih dahulu ke rumah Pak Wardi. Melihat mereka yang terlihat ganteng dan cantik itu, kadang muncul rasa iri. Kapan ya, saya bisa bersekolah di kota seperti mereka?!
Pak Wardi sendiri dengan isterinya tak dikaruniai anak. Dari sekian keponakan dan anak saudaranya yang lain yang dibiayai sekolah hingga ke perguruan tinggi, ada satu anak yang mereka adopsi sejak kecil. Namanya, sebut saja Sugandi. Usianya dua tahun di bawah saya. Karena hanya berselisih umur sedikit, sejak sekolah dasar ia menjadi teman sepermainan saya. Ketika saya duduk di kelas tiga sekolah dasar, Gandi duduk di kelas satu.
Anak ini terkenal royal dan boros. Ia sering mentraktir teman-temannya. Apalagi, sejak dini ia sudah memelihara semacam anak buah, yaitu anak-anak seumuran, atau lebih tua darinya, yang akan mengikutinya ke manapun dengan imbalan jajan dan makan gratis. Sehingga, meski uang sakunya besar, saya sering mendengar ia berutang ke orang lain. Urusan uang ini pula yang kemudian mempertemukan saya untuk pertama kalinya dengan Majalah Jakarta-Jakarta.
Ceritanya begini. Ketika duduk di kelas tiga SD, minat baca saya terus berkembang. Jika semula hanya puas membaca komik dan majalah anak-anak, saya kemudian juga mulai membaca majalah-majalah remaja dan dewasa, termasuk koran. “Peningkatan” obyek bacaan itu sebenarnya bukan terutama karena dorongan pribadi, melainkan karena minimnya bacaan yang tersedia.
Saat itu, satu Majalah Bobo, Kawanku, Ananda, Tomtom, atau Siswa, biasanya habis saya baca hanya dalam hitungan jam. Masalahnya, tak setiap hari saya bisa membeli majalah-majalah itu. Pedagang komik dan majalah juga tak setiap hari, bahkan tak setiap minggu mampir ke sekolah. Itu membuat saya jadi sering kehabisan bacaan. Buntutnya, saat sedang “sakau” membaca, saya kemudian jadi membaca apapun. Karena kebetulan ibu berjualan koran bekas kiloan di warung kelontongnya, maka jika sedang kehabisan bacaan, koran-koran itu jadi pelampiasannya.
Biasanya yang saya cari adalah Pos Kota atau koran hari minggu, karena di sana saya bisa menemukan komik, tulisan-tulisan ringan, atau lembaran untuk anak-anak. Koran minggu favorit saya ketika itu adalah Buana Minggu dan Suara Karya Minggu (SKM). Kedua koran itu memang punya tampilan yang catchy di edisi minggunya. Secara fisik, tampilan Suara Pembaruan dan Kompas kalah jauh. Selain banyak memuat gosip selebritas, kedua koran minggu itu kerap memajang foto perempuan-perempuan seksi dengan ukuran besar di halaman pertamanya. Pokoknya, wah!
Koran-koran bekas itu dijual untuk para pedagang nasi, atau tukang gorengan, sebagai pembungkus makanan, atau pelapis daun dan kertas nasi. Ibu sendiri membelinya dalam bentuk bal-balan di pasar. Kurang lebih, tiap bal beratnya sekitar 30 kilogram. Koran-koran itu kemudian dijual kembali dalam bentuk kiloan lebih kecil, yaitu seperempat kilogram, setengah kilogram, dan satu kilogram. Sesudah saya sekolah dan bisa menggunakan timbangan, kurang lebih sejak kelas dua SD, pekerjaan menimbangi koran itu diserahkan pada saya.
Sebenarnya, kalau diingat-ingat kembali, sesudah komik, saya lebih dulu belajar membaca koran daripada majalah, meskipun rubrik yang dibaca memang masih terbatas pada komik, atau lembaran untuk anak-anak. Majalah pertama yang saya baca adalah Majalah Bobo. Dan majalah itupun saya temukan pertama kali ketika sedang menimbangi koran. Sesudah ketemu dengan benda bernama majalah itulah saya jadi keranjingan membaca.
Alasannya sederhana. Isi majalah lebih ringan daripada koran, lebih mudah ditenteng daripada tabloid, dan jauh lebih bervariasi daripada komik. Itulah yang membuat saya keranjingan membaca majalah saat kelas tiga sekolah dasar. Kebetulan, pada saat bersamaan, sekolah saya kerap didatangi oleh pedagang komik dan majalah bekas. Lelaki berperawakan kecil itu tak pernah saya ingat namanya, dan ini sering saya sesali hingga kini. Menilik logat sundanya yang kental dan halus, saya kira ia datang dari tempat yang jauh di girang. Dialah pedagang majalah pertama di sekolah saya.
Selain Bobo, Kawanku, Si Kuncung, serta majalah anak-anak lainnya, ia juga membawa komik-komik terbitan Gramedia, Dian Rakyat, Misurind, dan sejumlah penerbit lain. Di situlah saya pertama kali berkenalan dengan komik-komik berwarna dan berukuran besar seperti Deni Manusia Ikan, Storm, Asterix, Agen Polisi 212, Mimin, Nina, Winnetou, Karl May, atau seri Album Cerita Ternama. Sebelumnya, saya hanya mengenal komik-komik silat, Petruk Gareng, superhero, atau komik-komik H.C. Andersen yang semuanya hitam putih dan berukuran kecil.
Karena majalah dan komik-komik itu bisa saya selesaikan hanya dalam hitungan jam, maka tiap kali si mamang yang jualan datang ke sekolah, saya selalu membeli banyak, sekitar sepuluh atau lima belas biji. Jumlah itu saya anggap cukup untuk mengisi hari-hari saya hingga pedagangnya muncul kembali di sekolah. Rupanya kebiasaan membeli majalah dan komik dalam jumlah besar semacam itu dianggap tidak lazim oleh sejumlah orang. Saya ingat, seorang pedagang nasi di sekolah, yang kebetulan kenal dengan nenek, pernah melaporkan kebiasaan saya memborong bacaan semacam itu seolah itu adalah sebentuk kejahatan. Saya kadang geli jika mengingatnya.
Memang, harga majalah dan komik ketika itu antara Rp100 hingga Rp200 per eksemplar. Sementara, harga sepiring kecil nasi goreng yang dijual di sekolah, misalnya, ketika itu hanya Rp75. Mungkin, karena harga bacaan tadi lebih mahal dari sepiring nasi yang dijualnya, pedagang nasi itu menganggap kebiasaan saya membeli banyak-banyak bahan bacaan sebagai pemborosan. Tapi, saya tidak peduli.
Uang saku saya sendiri ketika itu hanya Rp300. Hingga lulus SD, jumlahnya tak pernah berubah. Saya bisa membeli bacaan dalam jumlah banyak karena tiap hari, setelah membantu ibu di warungnya, saya selalu minta uang seratus atau dua ratus rupiah untuk dikumpulkan. Uang itulah, bersama dengan uang jajan Rp300 dari nenek, yang digunakan untuk belanja majalah dan komik.
Ketika Gandi masuk SD, dia jadi tahu kegilaan saya belanja bacaan di sekolah. Mengetahui hal itu, suatu sore, sepulang sekolah, dia datang ke rumah sembari menyodorkan sebuah majalah.
“Li, di rumahku ada banyak majalah seperti ini. Kalau kamu tertarik, aku mau menjualnya,” ujarnya.
Saya menerima majalah itu dengan antusias. Sampulnya seorang prajurit Amerika sedang diseret seorang rekannya. Di sampulnya yang rame dengan tulisan, yang mengingatkan saya pada sampul Majalah Kawanku Stil yang baru saja terbit dan iklannya sering saya lihat di koran-koran bekas, semua judul tulisannya diakhiri tanda seru. Nama majalah itu Jakarta-Jakarta. Terus terang, saya belum pernah melihat majalah seperti itu sebelumnya.
Namun, yang membuat saya segera tertarik pada majalah itu adalah tanggal terbitnya. Saat Gandi membawa majalah itu ke rumah saya, waktunya hanya berselang dua minggu sesudah majalah itu terbit.
“Wah, akhirnya bisa baca majalah baru,” batin saya, senang.
Bukan apa-apa, hingga sejauh itu, semua majalah yang pernah saya baca memang berselisih minimal tiga atau empat tahun ke belakang tanggal terbitnya. Sehingga, bisa membaca majalah yang hanya berselang belasan hari sejak terbit, rasanya jadi luar biasa. Ada rasa senang yang tiba-tiba membuncah saat mengalami hal itu.
Perasaan semacam itu belakangan terulang kembali saat saya duduk di bangku SMP. Sekolah saya ternyata dijangkau oleh tukang koran keliling, sehingga untuk pertama kalinya saya jadi bisa merasakan membaca koran persis pada tanggal terbitnya. Rasanya luar biasa.
Perasaan senang semacam itu mungkin terasa aneh untuk mereka yang sejak lahir telah hidup di pusat-pusat peradaban. Namun, kalau Anda lahir dan tumbuh di daerah pinggiran, percayalah, momen-momen kebahagiaan semacam itu memang benar-benar bisa terjadi.
Soal isi Jakarta-Jakarta, ketika itu sepertinya saya tak hirau benar. Apa sih yang bisa dipikirkan anak kelas tiga SD dari majalah seperti Jakarta-Jakarta? Saya memang tahu sedang ada Perang Teluk nun jauh di sana dari berita radio dan juga acara Dunia Dalam Berita yang ditonton di rumah Gandi. Saya tahu Presiden Irak bernama Saddam Husein. Namun, saat membuka-buka majalah itu, tulisan yang terasa dekat hanyalah mengenai Steven Seagal yang filmnya pernah ditayangkan RCTI itu.
Tanpa pikir panjang, saya setuju untuk membeli majalah-majalah itu. Awalnya Gandi menawarkan harga tinggi, Rp300. Tapi kemudian dia setuju untuk menjualnya seratus rupiah saja per majalah. Yang menyenangkan adalah Gandi berjanji akan rutin membawa majalah-majalah baru yang sudah selesai dibaca ayahnya, Pak Wardi. Saya tentu saja senang mendengarnya.
Pak Wardi memang rutin pergi ke kota. Bahkan, hampir tiap minggu. Kebanyakan, sepertinya untuk keperluan belanja isi tokonya. Setiap kembali dari kota itulah ia selalu membawa sejumlah koran atau majalah yang baru terbit, majalah-majalah yang kemudian dijual Gandi kepada saya. Agar tidak ketahuan, saya menyuruh Gandi menjualnya sesudah lebih dari satu minggu. Kalau masih seminggu, atau kurang dari itu, takutnya masih dicari oleh ayahnya. Gandi menuruti saran itu.
Belakangan, saya tahu kalau majalah yang dibeli Pak Wardi bukan hanya Jakarta-Jakarta, atau Majalah Kartini serta Femina untuk isterinya, tapi juga Majalah Tempo serta majalah-majalah berbahasa Inggris. Namun, ketika itu saya lebih menyukai Jakarta-Jakarta daripada Tempo. Sebab, selain lebih berwarna, porsi untuk fotonya juga lebih besar daripada porsi teksnya. Saya jadi seperti menonton berita kalau memegang majalah tersebut.
Hubungan jual beli majalah berita antara saya dengan Gandi berjalan terus hingga saya lulus SD. Setelahnya, saya kebetulan melanjutkan sekolah ke kecamatan yang agak jauh, yang mengharuskan saya indekos. Hanya dua minggu sekali, atau sebulan sekali, saya bisa pulang ke rumah. Ketika SMP itulah, seperti sudah disinggung, saya mulai berlangganan koran dan majalah sendiri. Bacaan saya jadi lebih up to date dibanding Pak Wardi, karena tiap hari saya membaca koran baru.
Saya ingat, entah bagaimana ceritanya, yang jelas ketika SMP itulah tiap kali saya sedang pulang ke rumah, Pak Wardi sering mampir ke rumah kakek, tempat saya tinggal. Selain ngobrol ke sana ke mari dengan kakek, ia mulai meminjam bacaan-bacaan yang saya bawa pulang. Ketika itu saya memang sudah rutin membaca Tabloid Paron, Tabloid Aksi, Tabloid Adil, dan juga Majalah Forum. Untuk koran, hampir semua koran nasional yang dibawa tukang koran langganan, juga saya langgani, mulai dari Kompas, Republika, Merdeka, hingga Media Indonesia. Setiap liburan, bacaan-bacaan itu saya bawa pulang. Pak Wardi merasa senang bisa meminjam bacaan-bacaan itu.
Ketika saya diterima kuliah di UGM, Pak Wardi adalah satu-satunya orang bukan anggota keluarga yang sangat gembira menerima kabar itu. “Akhirnya ada anak kampung sini yang bisa kuliah,” ujarnya. Selama saya kuliah, tak banyak percakapan yang saya ingat dengan Pak Wardi. Satu-satunya percakapan yang saya ingat adalah ketika dia meminta saya mampir ke rumahnya dan kami ngobrol hingga berjam-jam lamanya.
Alasan dia meminta saya mampir benar-benar tak terbayangkan. Saya waktu itu baru saja ditinggal kawin oleh pacar yang kebetulan orang sekampung. Pak Wardi mengaku sangat khawatir hal itu akan mempengaruhi studi saya. Saat mendengar pengakuannya itu, selain terharu—karena merasa diperhatikan, saya kontan tertawa terbahak-bahak.
Tentu saja saya berterima kasih kepadanya karena sudah memperhatikan. Namun, saya menjelaskan kalau sejujurnya peristiwa itu tak punya pengaruh besar apapun. Justru saya jadi merasa sangat ringan ketika itu.
Melihat ekspresi saya yang tak dibuat-buat, Pak Wardi terlihat lega. Dia kemudian bercerita mengenai sesuatu yang juga saya dengar dari orang lain. Ceritanya membuat saya kian lega. Sesudahnya, kami ngobrol kesana kemari, tentang politik, ekonomi, dan juga Pram.
Meskipun sempat terpikir untuk bertanya mengenai masa lalunya, hal itu kemudian saya urungkan. Saya lihat, Pak Wardi begitu menikmati percakapan kami. Saya tidak ingin merusaknya. Sebab, siapa tahu, hal itu mungkin bukan hal yang ingin ia ceritakan kembali. Ya, siapa yang tahu?!
Beberapa pekan setelah saya kembali ke Yogya, adik saya mengabari kalau Pak Wardi berpulang. Ketika mendengarnya, tiba-tiba saya merasa sangat sedih. Tanpa sepengetahuannya, ia telah ikut menyumbang bacaan-bacaan yang kemudian menghidupi saya. Dia pergi sebelum saya sempat mengucapkan terima kasih, atau membuat “pengakuan dosa” atas kontrak jual-beli majalah antara saya dengan anaknya.
Sekira dua tahun yang lalu, Sugandi juga telah pergi menyusul ayahnya. Menurut adik saya, ia tiba-tiba jatuh pingsan saat sedang bekerja shif malam. Sebelum sampai di rumah sakit, nyawanya tidak tertolong. Kata dokter, ia terkena serangan jantung. Karena sedang berada di luar kota, saya tak sempat mengantarkannya ke pemakaman.
Hingga kini, setiap kali saya melihat Majalah Jakarta-Jakarta No. 240, 2-8 Februari 1991 ini, saya akan selalu teringat kembali pada almarhum Pak Wardi dan Sugandi. Ini adalah Majalah Jakarta-Jakarta yang pertama kali saya baca, dan majalah ini sampai ke tangan saya melalui keduanya.
Semoga Allah mengasihi keduanya. #AkuDanMedia

1 Februari 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar