Oleh Tarli Nugroho
Sebagai anak yang dibesarkan oleh dua kakek-nenek buta huruf, dilahirkan dari kedua orang tua yang juga tak mengenyam bangku sekolahan; bisa membaca, dan kemudian bisa berkelana di tengah belantara kata-kata, selalu saya anggap sebagai keajaiban. Itu sebabnya, sejak pertama kali bisa mengeja, saya bukan hanya takjub kepada kata-kata yang bertaburan di halaman-halaman buku, tapi juga takjub kepada bentuk fisik buku, koran, majalah, serta semua kertas bertulisan lainnya.
Alasannya sederhana. Jika kata-kata adalah keajaiban, maka keajaiban yang bisa ditenteng tentulah tak kalah menakjubkannya. Begitulah saya memandang buku, koran, majalah, serta semua kertas bertulisan lainnya, sejak hari itu, hari ketika nama Budi, serta Wati benar-benar bisa saya eja sendiri, tak sekadar menirukan suara dari mulut orang lain. Dan pandangan itu tak banyak berubah hingga kini.
Sayangnya, di tengah kampung nelayan miskin, tak banyak keajaiban yang bisa ditenteng-tenteng. Di sekolah, satu-satunya sumber bacaan yang tersedia hanyalah tumpukan buku pelajaran dan Majalah Suara Daerah yang ada di meja guru. Suara Daerah adalah majalah kecil seukuran Intisari yang diterbitkan PGRI Jawa Barat. Isinya, dalam penilaian saya ketika itu, adalah tulisan-tulisan membosankan dengan tata letak yang jauh dari menarik. Satu-satunya rubrik yang saya sukai hanyalah kumpulan lelucon pendek yang bertebaran mengisi ruang-ruang halaman yang kosong. Dan ruang-ruang kosong itu jumlahnya ternyata cukup banyak.
Saya sering membawa pulang majalah-majalah itu. Tanpa izin tentunya. Bukan karena saya nakal, tetapi karena saat itu saya masih sangat pemalu. Saya bahkan rela menahan kencing di kelas hingga anyang-anyangen hanya karena malu untuk meminta izin pergi ke kali. Bukti lainnya, majalah-majalah itu selalu saya kembalikan.
Sebagaimana halnya sekolah-sekolah kampung lainnya, tentu saja tak pernah ada yang namanya perpustakaan sekolah. Ah, jangan jauh-jauh perpustakaan, ruang kelas saya saja temboknya jebol di mana-mana, sehingga saat jam sekolah usai kelas-kelas itu bisa dimasuki oleh gerombolan kambing dan domba milik warga sekitar. Di ruang guru memang ada cukup banyak lemari. Tetapi saya tidak tahu apa isinya, dan enggan mencari tahu. Sebab, ketika itu, umumnya hanya ada dua jenis murid yang bisa dan biasa berurusan dengan ruang guru, yaitu murid nakal, serta murid yang suka cari perhatian. Dan saya tidak termasuk keduanya.
Namun, ketika dalam sebuah acara kerja bakti sekolah saya dan teman-teman diminta untuk membersihkan ruang guru, mungkin terjadi saat kelas 4, saya tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mencari tahu apa isi lemari di sana. Dengan otoritas yang diberikan, seluruh lemaripun saya geledah.
Ternyata ada banyak sekali buku di sana. Sebagian besarnya bahkan kelihatan belum pernah digunakan sama sekali. Tetapi, kecuali buku-buku pelajaran, serta bacaan-bacaan pendukung yang terlihat monoton, saya hanya menemukan sebuah buku saja yang pantas untuk disebut menarik. Buku itu bercerita tentang tiga detektif cilik Indonesia, Triona. Ceritanya mirip dengan serial Trio Detektif-nya Alfred Hitchcock, serta Lima Sekawan-nya Enid Blyton yang pernah saya baca. Buku itupun segera saya bawa pulang.
Berbeda dengan Majalah Suara Daerah, buku itu tak pernah saya kembalikan. Tepatnya, tak pernah kembali. Cerita karangan Dwianto Setyawan itu seingat saya sangat menarik. Mungkin karena setingnya lokal, jadi terasa begitu dekat. Saking senangnya ketemu buku itu, saya tak tahan untuk menceritakannya ke teman sebangku. Ternyata ia jadi penasaran dan minta dipinjami.
Meski cenderung rewel, saya tak pernah pelit dalam berbagi bacaan. Apalagi, buku itu sebenarnya milik sekolah. Konon, tak mau berbagi hasil kejahatan adalah kejahatan yang sebenar-benarnya. Akhirnya buku "hasil kejahatan" itupun saya pinjamkan. Masalahnya, sesudah selesai di teman sebangku tadi, buku itu tak pernah kembali, karena kemudian ada lagi yang meminjamnya. Lagi, dan lagi, sampai akhirnya saya tak tahu lagi siapa yang memegangnya.
Rasa takjub pada buku kian menjadi sesudah saya membaca Majalah Bobo No. 1/XVI, 16 April 1988. Itu adalah edisi khusus ulang tahun Bobo ke-15. Jika biasanya majalah itu terbit 34 halaman, maka pada edisi itu jumlah halamannya menjadi berlipat dua. Jika menengok kembali pengalaman hidup yang telah silam, saya bisa mengatakan, inilah majalah yang besar sekali pengaruhnya pada perjalanan hidup saya.
Di edisi khusus itu Bobo berbagi kecap dapur. Apa dan bagaimana proses pembuatan majalah itu dikupas habis dalam artikel sepanjang 4 halaman. Itulah pertama kalinya saya mengenal istilah ‘editor’, ‘rapat redaksi’, ‘dummy’, ‘pelat’, dan sejenisnya. Membayangkan proses penerbitan tersebut, terus terang memancing sebentuk kegairahan dalam diri saya. Tiba-tiba saya jadi begitu menginginkan bisa menjadi bagian dari semua itu. Saya ingin terlibat dalam memproduksi “keajaiban yang bisa ditenteng” semacam itu.
Jadi, jauh sebelum mengenal nama Adinegoro, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, B.M. Diah, atau Goenawan Mohamad, sejak membaca Bobo edisi khusus itu, saya mulai membayang-bayangkan diri menjadi jurnalis. Ini adalah profesi pertama yang saya ketahui paling dekat dengan kata-kata. Saya belum punya bayangan jika menulis bisa dilakukan oleh profesi lainnya.
Imajinasi menjadi jurnalis itu bukan hanya dilamunkan. Saya lalu mulai membuat koran sendiri dari lembaran-lembaran buku gambar. Logonya saya buat dengan spidol, kadang dengan huruf-huruf yang digunting dari koran bekas, sementara beritanya disusun dari guntingan berita di koran yang kemudian disusun ulang. Di kemudian hari saya baru menyadari jika perkenalan saya dengan praktik mengkliping sebenarnya dimulai dari pura-pura menjadi penerbit surat kabar tadi. Saya masih ingat nama-nama media yang pernah dibuat, yaitu Harian ‘Seputar Indonesia’, Majalah ‘WOW’, Harian ‘Aktual’, Majalah ‘Info’, Tabloid ‘Tegas’, Mingguan ‘Cakrawala’, dan masih banyak lainnya.
Saat duduk di bangku SMP, teknik yang saya gunakan untuk membuat media juga mengalami peningkatan. Jika semula menggunakan kertas dari buku gambar, maka sejak SMP mulai dipakailah kertas HVS. Judul-judul berita juga dibuat dengan rugos, tak lagi dari guntingan koran. Sejak saat itu pula saya mulai belajar menulis esai dan membuat berita sendiri. Setelah jadi, masternya lalu saya fotokopi. Hasil fotokopian itulah yang kemudian dibagikan ke beberapa kawan dekat. Saat sedang membaca media-media fotokopian itu, saya selalu membayangkan sedang membaca media seperti Kompas, Tempo, atau Republika, dengan nama saya tercantum di boks redaksinya.
Saya masih sering terkekeh kalau mengingatnya. Betapa ganjilnya imajinasi semacam itu. Ya, bagi sebagian besar orang, aktivitas tadi mungkin dianggap lebih dekat pada keanehan daripada keajaiban. Tetapi, mau bagaimana lagi? Hal-hal aneh semacam itulah yang telah membuat masa kecil dan remaja saya penuh dengan kebahagiaan.
Saya ingat, ketika diterima kuliah di Universitas Gadjah Mada, tempat yang pertama kali saya kunjungi adalah kantor penerbitan mahasiswanya, dan barang pertama yang saya beli di toko buku adalah majalah mahasiswanya. Saya sama sekali tak pernah punya bayangan masuk BEM atau Senat. Bukan karena merasa tak layak, atau tidak tertarik pada politik kemahasiswaan, tetapi karena sejak lama saya sudah menunggu-menunggu kesempatan itu, yaitu masuk ke dunia penerbitan yang sebenar-benarnya. Memang, ketika SMP dan SMA ada majalah dinding di sekolah. Tetapi, itu bukanlah sebentuk keajaiban yang bisa ditenteng-tenteng sebagaimana imajinasi masa kecil saya tentang buku dan bacaan. Jadi, ketika akhirnya kesempatan itu datang, saya tak ingin menduakannya dengan hal lain. Saya hanya ingin bergiat di penerbitan kampus. Titik.
Makanya, ketika sesudah Ospek sejumlah mahasiswa senior datang ke kosan untuk membujuk agar saya masuk ke organisasi ekstra yang mereka ikuti, dengan terus terang saya sampaikan bahwa imajinasi saya di dunia universiter sepertinya akan tertambat hanya pada dunia penerbitan, bukan pada aktivitas lainnya. Meskipun belakangan saya tak meneruskan mimpi menjadi jurnalis tadi, toh pergeseran itupun sebenarnya tak pernah membuat dunia saya menjauh.
Jadi, kalau hari ini ada yang bertanya seberapa besar pengaruh bacaan pada hidup seseorang, ketika membuka lagi Majalah Bobo No. 1/XVI, saya tahu, pengaruhnya bisa sangat besar dan tak terbayangkan. Majalah ini, yang pertama kali dibaca saat kelas 4 sekolah dasar, adalah saksinya. Bacaan kanak-kanak ini telah banyak mempengaruhi kompas kehidupan saya. #AkuDanMedia
22 Januari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar