Persisnya agak lupa, mungkin kelas empat atau lima, ketika pertama kali mulai bisa menikmati Majalah Hai. Saya membaca Hai sesudah bosan membaca semua majalah anak-anak. Pak Janggut, Paman Kikuk, dan Garfield lama-lama tak lagi memikat seperti saat pertama kali berjumpa. Saya butuh bacaan baru, dan Hai menyediakannya.
Dari serial Lupus Kecil yang juga ditulis Hilman, saya pun mulai menyukai membaca Lupus remaja dengan aneka skandal asmaranya. Jika oleh Majalah Kawanku saya hanya dicekoki NKOTB (New Kids on the Block), dalam semua edisi, maka melalui Hai saya mulai membaca Europe, Depp Purple, dan lain-lain. Jordan Knight tiba-tiba jadi terlihat kemayu dan tak lagi jantan.
Sayangnya, seperti halnya Kawanku yang telah pamit lebih dulu, Hai juga telah undur diri dari peredaran bulan lalu. Majalah ini telah mati.
Hai pertama kali terbit pada 1977. Ia menggantikan Majalah Midi. Penjaga dapur Midi dan Hai adalah orang-orang yang sama.
Saya tidak punya nomor perdana Majalah Hai, tapi punya nomor-nomor yang berasal dari tahun pertamanya. Dibandingkan dengan Kawanku yang genit dan sering gonta-ganti logo, termasuk gonta-ganti segmen, Majalah Hai relatif tak sering berganti logo dan segmen. Sejak awal ia adalah majalah remaja dengan concern yang kuat terhadap musik. Sesudah Kawanku diambil alih oleh Grup Gramedia, di era kejayaan majalah remaja akhir tahun 1980-an/1990-an, Hai hanya sekali mengubah segmennya, yaitu menjadi ‘Majalah Remaja Pria’, sebuah identitas yang terus dipertahankannya hingga almarhum kemarin.
Logo Hai yang legendaris, dan paling saya sukai, adalah logo dengan garis pantul yang mulai dipakai sejak tahun 1988 (atau 1987?). Mulanya jumlah garis pantul itu tak pernah sama dalam tiap edisi. Baru sesudah tahun 1989, jumlah garis pantul itu diseragamkan.
Saya hanya mengikuti Hai hingga tahun 1995. Edisi terakhir yang saya baca adalah edisi khusus Nicky Astria sebelum lady rocker itu pensiun sesudah dipinang oleh anaknya Solihin G.P. Sesudahnya saya tak lagi mengikuti Hai yang kemudian ganti logo. Sejak 1995, minat saya memang kembali berubah, mulai gandrung pada majalah-majalah berita, kebudayaan, dan majalah-majalah “dewasa” lainnya.
Ketika kuliah, saya pernah iseng membaca sebuah Majalah Hai saat antri di sebuah warnet. Majalah itu segera saja saya lempar. Saya kaget, karena Hai kemudian memilih untuk menggunakan bahasa lisan sebagai gaya bagi seluruh tulisannya. Saya tak lagi menenal Hai yang dulu, yang meskipun tulisan jurnalistiknya renyah, namun masih menggunakan bahasa Indonesia yang bagus. Terus terang saya tidak merasa nyaman dengan pengadopsian bahasa lisan sebagai bahasa tulis tersebut. Membuat capek pikiran yang membaca.
Sejak itu saya tak lagi mengikuti Hai. Namun, ketika membaca kabar bahwa pada akhirnya Hai juga harus tutup buku, mengikuti Kawanku—saudarinya yang telah mati lebih dulu, tak urung saya sempat merasa kehilangan.
Saya telah membaca Hai sejak sebelum remaja, dan mulai berhenti membacanya persis sesudah remaja.
Berikut adalah evolusi logo Hai dari sejak awal terbit hingga edisi terakhirnya.
Selamat jalan, Hai!
25 Juli 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar