Jumat, 18 Juli 2014
TOKOH, TEROR, DAN FRUSTRASI
Tarli Nugroho
“Aku dulu banyak mengagumi tokoh. Namun, setelah ada media sosial dan mengetahui bagaimana mereka bersikap terhadap berbagai persoalan, ilang kabeh… Aku kecewa. Kapasitas mereka ternyata cuma segitu.” Kalimat itu meluncur dari mulut sahabat saya, Irfan Afifi, dua malam sebelum pemilihan presiden kemarin. Kami berbincang hingga larut di sebuah kedai kopi, malam itu, ditemani seorang kawan lain, David Setiawan, yang sedang galau dengan urusan kelaminnya. Apa yang disebut sebagai “tokoh” oleh Irfan tak lain adalah apa yang tempo hari sering disebut sebagai “intelektual”. Irfan, sebagaimana juga saya dan David, terutama memang mengimajinasikan kaum intelektual sebagaimana yang kami lihat pada kaum intelektual Indonesia tahun 1970-an hingga awal 1990-an, yang kami kenal melalui media-media yang mengisi masa remaja kami, seperti Prisma, Ulumul Quran, Analisa CSIS, atau Kalam, untuk menyebut beberapa. Dan nama-nama yang dikecewainya adalah nama-nama yang pasti banyak kita kenal.
Saya memahami kekecewaannya. Sedikit atau banyak, saya juga pernah memiliki kekecewaan yang sama. Kekecewaan itu pernah memuncak lima tahun lalu. Namun, kini saya sudah berhenti mengeluhkannya. Lebih tepatnya, saya mencoba berdiet dengan perasaan kecewa itu.
Sebelum ada media sosial, kita memang hanya berhubungan dengan para tokoh melalui karangan-karangannya saja. Dan seperti halnya sebuah pentas, atau sebuah film, dimana yang kita jumpai di sana bukanlah wajah sang artis dalam kehidupan nyatanya, begitu juga halnya dengan karangan, atau buku. Setidaknya, itulah kesimpulan yang saya ambil sejak lima tahun lalu. Pada sebuah karangan, kita sebenarnya hanya berhadapan dengan sang penulis yang sedang bermain seni peran. Tentu saja, sebagai ‘aktor’ (baca: author), mereka akan bermain sebaik mungkin dengan gagasan dan pengetahuannya. Namun, mengimajinasikan bahwa Julia Roberts memiliki romantisme yang sama dengan peran sebagaimana yang dia mainkan di Notting Hill, atau Pretty Woman, adalah sebuah kekonyolan. Sama seperti halnya membayangkan Harrison Ford selalu terlihat elegan sebagaimana penampilan dalam film-filmnya. Masih ingat bagaimana congkaknya Ford ketika bertamu ke Kementerian Kehutanan beberapa waktu silam? Dia sama sekali tidak mirip Jack Ryan yang simpatik dan kharismatik itu. Dia lebih mirip koboi udik yang arogan.
Di luar kenyataan bahwa sebuah karya, atau karangan, adalah sejenis pentas seni peran, kekecewaan kawan saya itu tentunya tidak senaif analogi imajinasi ala penonton film tadi. Bagaimanapun, para tokoh yang dikaguminya itu, yang sebagiannya juga merupakan tokoh-tokoh yang saya kagumi, memang sangat beralasan. Pertanyaannya kemudian, kenapa tokoh-tokoh yang sebelumnya mengagumkan itu, yang karya-karyanya telah menempatkan mereka sebagai “Tokoh” (dengan “T” besar), dalam kenyataannya pribadi mereka, atau kesehariannya, jauh dari sikap ketokohan tadi? Seorang tokoh, apalagi yang memiliki banyak pengikut, pada dasarnya adalah seorang pemimpin. Dan pada setiap figur pemimpin kita mengandaikan ada sikap bijaksana, adil, dan mengayomi.
Sebelumnya, persis sebelum Ramadhan kemarin, saya juga menjadi penyaksi ungkapan kekecewaan yang mendalam kawan lain, Mahfud Ikhwan, satu dari sedikit kawan segenerasi saya yang telah layak menyandang status sebagai sastrawan (dengan tingkat keseriusan yang menjanjikan), yang mengutarakan kekecewaan mendalam pada seorang sastrawan terkemuka, yang dihormatinya, yang tiba-tiba saja dalam dua bulan terakhir sibuk menenggelamkan dirinya, atas nama panggilan suci mencegah fasisme dan kejahatan berkuasa di Indonesia, pada isu-isu politik. Sebelum Anda keliru menyimpulkan, sastrawan yang dimaksudkannya bukanlah seorang penyair. Ya, bukan penyair terkemuka yang puisi-puisinya hanya berisi rengekan seperti puisi-puisi saya itu, he he he. Oya, jika Anda membaca puisi-puisi saya, dan menilai bahwa isinya hanya rengekan belaka, sesungguhnya puisi-puisi itu saya tulis untuk mengejek penyair terkenal tadi (Hua ha ha ha. Apologi).
Saya kira kita semua mafhum, bahwa setiap orang pasti memiliki preferensi politik. Namun menenggelamkan diri pada soal politik, dengan pilihan isu yang paling comberan, tentu saja merupakan pilihan yang patut disayangkan, terutama bagi seseorang yang telah diakui sebagai “seseorang” dalam dunianya, apalagi dunia kesusastraan. Dan persis di titik itulah kekecewaan Mahfud berakar.
Kita tahu, politik selalu melibatkan pertempuran di berbagai level, mulai dari yang paling sublim hingga yang paling comberan, yang itu juga melibatkan berbagai aktor, mulai dari kalangan paling terhormat hingga para bergajulan. Dalam bayangan kita, orang-orang yang kita anggap sebagai tokoh itu tentu akan bermain sesuai dengan kapasitasnya, dan tidak memelorotkan dirinya untuk bermain di level yang sesungguhnya merupakan dunianya para preman, yang berpolitik dengan menghardik, mengancam, dan mengumbar kata-kata kotor. Namun, secara kasat mata kita bisa menyaksikan bahwa banyak tokoh yang sebagian besar namanya kita kenal itu, ternyata lebih memilih untuk bertarung di wilayah “pokrol bambu”, membicarakan isu-isu yang kelasnya hanya gosip dan comberan saja.
Mahfud, kawan saya itu, memiliki kritik dan keberatan yang sama tajam, baik terhadap Prabowo maupun Jokowi, dan dia termasuk jenis orang yang terlalu skeptis untuk percaya kepada politik dengan semua tokoh-tokohnya. Skeptisismenya terhadap berbagai hal, saya kira hanya bisa ditandingi oleh kawan saya yang lain, Indi Aunullah, seorang sarjana filsafat yang menjanjikan yang kini mewakafkan hidupnya sebagai kyai di Madura. Saya sering menyebut keduanya sebagai “duo apatis tingkat dewa”. Keterangan ini perlu saya tegaskan untuk memberi gambaran bahwa kekecewaan Mahfud tidaklah dibangun oleh latar belakang perbedaan preferensi politik dengan tokoh yang dikecewainya itu.
Sebagai orang yang punya preferensi politik, tentunya saya pernah berusaha untuk mempengaruhinya, termasuk juga Indi, untuk berada sehaluan dengan preferensi saya. Namun, sebagaimana saya mengenalnya, dan dia juga mengenal saya, kami lebih hirau pada soal “content” daripada “kemasan”. Proses pengaruh-mempengaruhipun akhirnya jadi dagelan saja, sekadar bumbu bagi perbincangan kami, daripada sebuah ikhtiar politik yang sungguh-sungguh. Tak ada yang lebih menggelikan daripada berbicara soal ideologi dan politik kepada kawan yang sangat mengenalmu. Saya, Mahfud dan Irfan, serta beberapa kawan dekat lainnya, tahu batas-batas itu.
Kembali kepada soal kekecewaan Irfan dan Mahfud, sejak cukup lama saya mencoba memikirkan agak serius kenapa pada akhirnya para tokoh yang kami kagumi itu kemudian lebih memilih untuk masuk ke wilayah “pokrol bambu” dalam propaganda politiknya, sebuah wilayah yang mengandalkan isu-isu kotor yang sejatinya lebih tepat jadi lahannya koran-koran kuning. Apa yang membuat orang-orang terhormat itu masuk ke wilayah isu-pinggiran yang sebenarnya comberan? Kenapa mereka men-downgrade dirinya untuk membahas isu-isu yang cemen dan rendah?
Jawaban pertama yang saya peroleh adalah mereka melakukan itu, men-downgrade dirinya kepada isu-isu comberan, yang sebenarnya lebih dekat kepada gosip politik daripada isu substantif, lebih karena isu-isu comberan itu memiliki daya pukul secara langsung kepada tokoh atau kelompok politik yang hendak mereka serang. Dalam konteks politik kontestasi Pemilihan Presiden 2014, semua orang sepertinya menyadari bahwa pada akhirnya seluruh pertarungan ini adalah soal menggaet suara. Ketika ikhtiar untuk menabur simpati terhadap garis politiknya tak lagi memberikan pengaruh terhadap penambahan jumlah suara, maka satu-satunya cara untuk memenangkan kontestasi adalah dengan merusak dukungan pada pihak lawan. Dunia pokrol bambu adalah arenanya.
Tetapi, tetap saja muncul pertanyaan, kenapa akhirnya para tokoh yang terhormat itu mau melucuti kehormatannya dengan turun tangan di wilayah itu, dengan turut memproduksi teror dan kata-kata kotor untuk menjatuhkan lawan politik? Seorang akademisi, praktisi komunikasi dari sebuah perguruan tinggi ternama, bahkan setiap hari hanya menuliskan sumpah serapah dan umpatan di dindingnya, yang sama sekali tidak mewakili kelas keilmuan dan pengetahuannya. Alih-alih mencerahkan publik dengan memberikan kritik pada media massa yang semakin partisan, sehingga cenderung menciptakan disinformasi bagi publik, sebuah topik yang mestinya sangat dikuasainya, ia benar-benar hanya memproduksi sumpah serapah dengan memaki-maki media yang tak sehaluan dengan aspirasi politiknya, dan memuji-muji jurnalisme sampah dari media yang sehaluan dengannya. Jika mau fair, semua media yang ada saat ini sesungguhnya isinya sampah belaka, sehingga tak ada gunanya menyebut salah satu dan mendiskreditkan yang lain.
Hanya saja, jawaban itu sepertinya kurang memuaskan. Adakah hal lain, yang jauh lebih serius daripada sekadar penjelasan tadi, soal daya pukul itu? Jika diperhatikan dengan seksama, ada satu nada yang kita jumpai pada komentar para tokoh itu, apapun bentuk ekspresi linguistiknya. Nada itu tak lain adalah sikap “frustrasi”. Ya, frustrasi!
Pertanyaannya lalu, frustrasi atas apa?
Mereka, para tokoh itu, baik sastrawan, aktivis LSM, akademisi, jurnalis senior, atau profesi lainnya, menurut saya merasa frustrasi karena merasa gagal mengedukasi publik yang tak sehaluan dengannya. Mereka menganggap bahwa mereka yang tak sehaluan adalah publik yang bodoh, bebal, goblok, dan dungu (maaf, semua kata-kata ini saya dapat dari mereka), dan sudah merupakan kewajiban bagi mereka sebagai intelektual untuk mengedukasi orang-orang goblok ini. Dan karena mereka merasa sedang mengedukasi orang-orang goblok dan dungu, maka merekapun, para tokoh yang terhormat itu, tak segan untuk turun tangan menggunakan ekspresi linguistik dari orang-orang yang dianggap goblok dan dungu ini melalui penggunaan sumpah serapah dan kata-kata kotor dalam tulisan dan komentarnya. Ya, mereka benar-benar melakukannya!
Kenapa mereka merasa frustrasi?
Ini yang saya amati, mereka frustrasi karena merasa sudah “mengajari” publik mengenai apa-apa yang kini sedang berusaha mereka lawan. Ya, mereka frustrasi kenapa publik masih saja memproduksi isu rasial dalam politik, padahal selama belasan, atau puluhan tahun, mereka sudah mengedukasi publik soal itu. Mereka frustrasi kenapa dukungan politik kepada tokoh yang dianggap fasis itu demikian besar, padahal selama ini mereka merasa sudah mengedukasi publik mengenai bahaya fasisme. Mereka frustrasi kenapa publik tidak aware terhadap berbagai isu yang dalam hemat mereka sudah mereka “ajarkan” kepada publik sejak lama. Hal-hal itulah yang telah membuat mereka frustrasi.
Persoalannya, benarkah demikian adanya?
Pertama, sebelum mengulik lebih jauh, perlu dipahami bahwa apa yang dimaksud dengan “telah mengedukasi” itu jangan-jangan tak lain adalah sekadar mereka “telah menuliskan” hal-hal tadi. Tentu saja, sejak lama para tokoh itu telah banyak menulis mengenai berbagai hal, termasuk hal-hal yang telah disebutkan tadi. Tetapi, bukankah sangat menggelikan jika “telah menulis” sepenuhnya dianggap simetris dengan “telah mengedukasi”?! Bagian paling brengsek dari hidup di tengah rezim otoritarian yang buruk seperti Orde Baru rasanya adalah ia telah menciptakan kelas intelektual yang merasa bahwa dengan menulis saja mereka merasa sudah cukup memberikan kesadaran kepada publik, karena pada masanya, menulis pernah menjadi sejenis aktivitas perlawanan. Sampai di situ saya tercenung.
Karena mereka merasa telah melakukan banyak hal, melalui wacana yang mereka produksi pada masa otoritarian yang brengsek, maka kini mereka merasa frustrasi ketika sebagian besar publik, dalam jumlah yang signifikan (bahkan mungkin mayoritas), memberikan simpati dan dukungan politiknya kepada tokoh yang mereka anggap sebagai bagian dari rezim lama yang mestinya sudah dan harus punah. Frustrasi itulah yang telah mendorong para tokoh tadi untuk ramai-ramai masuk ke wilayah perdebatan pokrol bambu, dimana sebagian besar massa pemilih berada. Sejauh ini, penjelasan yang paling memuaskan dari turun tangannya para tokoh ke tengah-tengah isu comberan adalah itu tadi.
Sikap frustrasi mereka, dimana saya memiliki empati pada sebagiannya, semakin mengukuhkan satu tesis yang sejak lama saya miliki. Problem serius yang diidap oleh kalangan aktivis dan intelektual yang hidup di masa otoritarian adalah mereka seringkali gagal untuk melepaskan diri dari ingatan traumatiknya pada rezim lama. Hal ini bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan. Ingatan itu bisa menjadi kekuatan karena sensitivitasnya mampu menciptakan semacam early warning system bagi masyarakat kita yang secara umum memang hanya memiliki ingatan jangka pendek saja atas berbagai hal. Namun, ingatan traumatik itu bisa melahirkan bias yang fatal karena akan membuat mereka yang mewarisinya hanya akan memproduksi analisis yang bias trauma dan kebencian. Bagi saya, itulah yang kita saksikan hari ini. Dengan sudut pandang itu saya menyaksikan keseharian kita hari ini, dimana kampanye mengenai “harapan baru” dengan tanpa sikap risih sedikitpun dijajakan justru dengan memproduksi “teror”, “ketakutan”, dan “kebencian”. Tak ada penjelasan yang lebih masuk akal atas ironi tersebut kecuali bahwa demikianlah yang biasanya diwarisi oleh kesadaran-traumatik.
Kedua, menganggap bahwa mereka yang berseberangan dengan para tokoh tadi sebagai dungu dan bebal, tentu saja adalah sebuah kecongkakan yang secara tidak langsung mewakili bagaimana sesungguhnya mutu tokoh-tokoh bersangkutan. Paling tidak kita segera mengetahui bahwa mereka mengidap persoalan yang sangat serius dalam soal kemampuan apresiasi. Agaknya, mereka telah mengabsolutkan pengalaman traumatiknya dengan rejim otoritarian yang brengsek sebagai semacam semesta cara pandang, dimana kita tak mungkin menemukan sebentuk kebenaran parsial atau keliyanan di dalam semesta tadi. Jika Orde Baru adalah hutan, maka hutan itu adalah sejenis ekosistem yang homogen dengan hanya satu spesies di dalamnya. Bagaimana bisa asumsi bermasalah itu diterima? Hutan dan ekosistem, dalam dirinya mengandaikan eksistensi spesies yang beragam. Merampatkan mereka dalam sebuah generalisasi yang menyegala tentu saja sangat bermasalah. Seandainya distingsi “formasi sosial” dan “moda produksi” bisa dipinjam, maka Orde Baru memang telah berhasil menciptakan formasi sosial yang koheren dengan watak rezim bersangkutan. Namun, sebagaimana halnya di dalam setiap formasi sosial pasti terdapat berbagai moda produksi, termasuk moda produksi yang bertentangan dengan corak formasi sosial yang melingkunginya, maka demikian pula mestinya kita melihat dan menilai Orde Baru. Masalahnya, distingsi, keliyanan, atau penyempalan dari formasi sosial Orde Baru itu hanya bisa ditangkap oleh sebuah pandangan jernih yang tidak melibatkan trauma dan kebencian di dalamnya. Dan persis di situ para tokoh yang terhormat tadi gagal menajamkan apresiasinya. Mereka telah memajalkan pikirannya dengan menempatkan generalisasi sebagai gerbang utama bagi analisisnya, tanpa sedikitpun kemungkinan falsifikasi.
Ketiga, apakah orango0rang yang dianggap bebal dan dungu oleh para tokoh itu memang adalah orang-orang bebal dan dungu dalam pengertian yang sebenarnya? Para tokoh yang terhormat itu sepertinya melupakan satu hal, bahwa pengetahuan itu terus bertambah dan berproses. Dan banyak orang hidup dengan pengetahuan yang berproses itu. Apa yang kita ketahui enam belas tahun silam tentunya tak lagi sama pada hari ini. Apa yang semula dianggap pengetahuan, dalam perjalanannya tak sedikit yang telah mengalami revisi, dan bahkan falsifikasi. Apa yang semula gosip, bisa saja telah berubah menjadi fakta dalam rentang yang panjang itu. Persis di sini kita perlu menegaskan bedanya “sejarah” (history) dengan “ingatan” (memory). Ingatan bisa diawetkan, tapi sejarah akan terus meluncur secara dialektis. Nasi hari kemarin tentunya sudah menjadi basi hari ini, sehingga cara kita membicarakannya mestinya tak lagi sama setiap harinya. Para tokoh itu tentu tidaklah demikian bodoh untuk memahami soal sederhana macam ini, namun keterjebakan mereka pada ingatan (memory) telah membuat mereka gagap untuk sanggup berbicara mengenai sejarah (history) secara jernih dan metodik. Itulah yang kita saksikan hari ini dari para tokoh terhormat tersebut. Ketakberjarakan mereka telah memenjarakan mereka di kelampauan. Dan sikap merendahkan mereka pada orang lain yang tak sepemikiran dengannya adalah bentuk frustrasi yang teramat sangat. Frustrasi yang sesungguhnya berakar dari kegagalan mereka untuk bersikap tenang dan jernih.
Ah, kenapa saya jadi menulis panjang lebar soal konyol macam ini?!
Yogyakarta, 13 Juli 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar