PERNYATAAN SIKAP
SERIKAT PETANI KARAWANG (SEPETAK)
PERNYATAAN SIKAP ATAS EKSEKUSI TANAH PETANI DESA WANASARI, WANAKERTA DAN MARGAMULYA DENGAN KEBIADABAN APARAT
1. Peradilan hitam
a. Bukti-bukti palsu
Selama konflik berlangsung, hingga saat ini tak satupun bukti kepemilikan atas tanah tersebut dimiliki oleh PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP). Justru yang selalu disucikan oleh PT SAMP di hadapan pengadilan adalah bukti berupa Surat Pelepasan Hak dan Peta global yang dikeluarkan BPN Kanwil Jawa Barat. Dan kedua bukti atas hak itu telah terbukti palsu. Bahkan kedua bukti tersebut telah lama bergulir ke kepolisian namun hingga detik ini kejahatan tersebut yang telah menetapkan direktur PT SAMP, Irawan Cahyadi, sebagai tersangka tidak pernah diungkap, alih-alih mengubah putusan pengadilan dalam memenangkan PT SAMP pada perkara tersebut.
b. Kriminalisasi
Tidak cukup dengan peradilan hitam. Sepanjang berlangsungnya konflik, PT SAMP tak henti-hentinya melakukan tindakan kriminalisasi terhadap para petani dengan tuduhan menyerobot tanah. Namun tak satupun terbukti bersalah sebagaimana yang dituduhkan. Yang terakhir korban kriminalisasi ialah Ratna Ningrum (mantan Kades Margamulya) yang dituduh melakukan pemalsuan salinan Surat C desa. Padahal tuduhan itu sama sekali tidak terbukti. Justru rekayasa hitam kembali dilakukan oleh kejaksaan dalam surat tuntutan. Anehnya lagi pengadilan tetap memvonis Ratna Ningrum bersalah dengan kurungan 6 bulan penjara.
c. Kekerasan
Disamping peradilan hitam dan kriminalisasi yang sering dilakukan oleh PT SAMP, kekerasan pun tak jarang menimpa para petani. Yang sulit diterima akal sehat, kekerasan dilakukan oleh preman bayaran yang didukung oleh aparat.
2. Sistematika Eksekusi
Ketua PN Karawang sebelum-sebelumnya menyatakan putusan PK Nomor 160 PK/PDT/2011 yang memenangkan PT SAMP tidak bisa ditindaklanjuti dengan eksekusi. Ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adanya tumpang tindih putusan di atas tanah berperkara tersebut; tidak memiliki batas tanah; serta terdapat tanah yang bersertifikat di atas tanah yang diklaim PT SAMP.
Namun saat PN Karawang dipimpin oleh Marsudin Nainggolan, dua pekan dia menjabat sudah mengeluarkan surat anmaning/teguran terhadap pihak yang kalah. Atau lebih tegasnya peringatan kepada pihak yang kalah bahwa akan segera dilaksanakan eksekusi dan para petani yang dikalahkan dalam peradilan hitam agar secara suka rela segera meninggalkan tanah kelahirannya dengan uang kerohiman sebesar Rp4000/meter. Marsudin Nainggolan berdalih bahwa dia hanya bertugas menjalankan putusan, bukan pada kapasitas mengkaji putusan.
Sebagaimana halnya di Pengadilan Negeri Karawang, Kapolres sebelum-sebelumnya tidak membenarkan eksekusi dilakukan. Namun pada saat yang hampir bersamaan beberapa pekan saja AKBP Daddi Hartadi memimpin Kepolisian Resort Karawang, eksekusi dilangsungkan. Yang sangat mengiris hati kaum tani, Kapolres dan Kapolda mengatakan bahwa di atas tanah 350 hektar yang berperkara tidak ada masyarakat penghuni. Parahnya lagi, kapolres menyatakan bahwa yang aksi menolak eksekusi bukanlah petani, tapi mereka unsur oknum LSM yang memanfaatkan situasi.
Dalam melancarkan eksekusi, tak tanggung-tanggung ribuan Brimob, Sabhara dan Dalmas diturunkan dengan alasan pengamanan. Namun pada pelaksanaan di lapangan yang menjadi pemandangan publik adalah tindak represif, penganiayaan sampai penembakan.
Guna melindungi nama baiknya, dibeberapa media, Polda Jawa Barat menyampaikan pernyataannya bahwa konflik ini bukan konflik antara Agung Podomoro Land dengan petani, tapi konflik antara pengusaha dengan pengusaha. Padahal, Polda sendiri pernah melakukan pemanggilan kepada para petani yang berperkara untuk dikriminalisasi. Kalau memang benar pernyataan Polda Jabar tersebut, mengapa yang dipanggil itu petani, bukan pengusaha seperti yang dituduhkannya? Bahkan jelas PK yang dimenangkan PT SAMP yang berperkara adalah 49 petani (sebagai penggugat) dengan PT SAMP (sebagai tergugat).
Artinya dalam hal ini, Polda Jabar telah melakukan kebohongan publik untuk melindungi nama baik institusi Polri.
3. Eksekusi yang Cacat Hukum/Inkonstitusional
Tanah yang telah kuasai, dikelola dan dimanfaatkan oleh para petani secara turun temurun selama berpuluh-puluh tahun adalah merupakan kehendak UUD 1945 Pasal 33 yang diturunkan melalui UUPA No. 5 Tahun 1960. Dimana petani sebagai tenaga produktif memiliki hak yang sangat absolut atas tanah bagi kesejahteraan hidupnya. Adapun penguasaan fisik tanah yang dilengkapi oleh bukti kepemilikan berupa Girik/Leter C dan ketaatan membayar Pajak Bumi dan Bangunan kepada Negara. Namun kini tanah itu harus jatuh ke pangkuan PT SAMP yang secara penuh diakuisisi oleh "kompeni" Agung Podomoro melalui perampasan yang dalam tindakannya menyertakan Kejaksaan, Pengadilan dan ribuan aparat kepolisian.
Saat jalannya eksekusi, massa yang menghadang pasukan Brimob meminta kapolres Karawang menunjukan bukti kepemilikan PT SAMP dan menunjukan batas-batas tanah, Kapolres tidak bisa membuktikannya. Malah, jawaban atas pertanyaan massa adalah berupa semprotan water canon dan pentungan kepada massa petani dan massa yang bersolidaritas.
Kebenaran, kemanusiaan dan keadilan yang sesuai dengan falsafah hidup bangsa Indonesia (PANCASILA, Sila ke-2, dan ke-5) telah diinjak-injak oleh aparat kepolisian dan pengadilan sesat didalam eksekusi.
4. Implikasi dan dampak terhadap petani yang jadi korban
Lalu bagaimana nasib para petani yang terusir dari kampung halamannya sendiri? Saat ini saja mereka masih punya gubug tempat tinggal dan lahan yang bisa dikelola, mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan, apalagi kalau tidak memiliki rumah (tuna wisma) dan tidak memiliki tanah (tuna kisma), tentu saja mereka hanya akan menambah panjangnya sederetan nama korban keangkaramurkaan Republik.
Dengan demikian, atas nama UUD 1945 melalaui UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai landasan hukum untuk melindungi kedaulatan kaum tani atas akses tanah sebagai alat produksi bagi kehidupannya, dan atas peradilan hitam sebagai media untuk merampas tanah petani, kemudian dengan bukti adanya pelanggaran hukum dan HAM berat berupa kejahatan kemanusian (Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM), perlakuan yang kejam ( Pasal 33 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 21 ayat 1 Peraturan Kapolri Nomor 9 tahun 2008 tentang Tata cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, Pasal 18 ayat 2 huruf d, e dan f Peraturan Kapolri Nomor 8 tentang 2010 tentang Tata Cara Lintas ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru-Hara, kami menuntut:
- Kembalikan Tanah Petani desa Wanasari, Wanakerta dan Margamulya di atas obyek tanah 350 hektar
- kami mengutuk keras kebiadaban (pemukulan sampai penembakan) yang dilakukan aparat kepolisian. Segera Copot Kapolres Karawang dan Copot Kapolda Jabar dari jabatannya
- Copot ketua Pengadilan Negeri Karawang dari jabatannya
- Tarik Pasukan Brimob dan aparat kepolisian lain dari lokasi konflik
Karawang 26 Juni 2014
Serikat Petani Karawang (SEPETAK)
Ketua Umum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar