Kamis, 01 Mei 2014

PENDIDIKAN SEBAGAI STRATEGI KEBUDAYAAN: ESAI UNTUK DAOED JOESOEF



Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta


Pendidikan adalah pilar kebangsaan. Dan sejarah Republik ini telah membuktikannya. Kurang dari lima puluh tahun sejak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan Politik Etis (Etische Politiek) pada awal abad ke-20, kebijakan itu telah melahirkan revolusi sosial di tanah jajahan mereka, berupa munculnya gerakan kebangsaan yang kian liat memperjuangkan kemerdekaannya. Pendidikan, yang merupakan salah satu dari trilogi Politik Etis (lainnya adalah “irigasi” dan “migrasi”), meski pada desain dasarnya dimaksudkan untuk melanggengkan praktik kolonialisme, pada akhirnya ternyata menjadi bumerang bagi kolonialisme itu sendiri. Pendidikan telah menumbuhkan lahirnya kesadaran baru, yaitu kebangsaan, sehingga akhirnya mampu mengubah semangat “perlawanan terhadap pemerintah kolonial”—yang telah hadir sejak jauh hari sebelum Politik Etis—menjadi semangat baru, “perlawanan terhadap kolonialisme”. Dengan nada ironi kita bisa mengatakan bahwa kebijakan pendidikan pemerintahan kolonial Belanda telah “membantu” melahirkan semangat kebangsaan Indonesia.

Pentingnya pendidikan juga disadari betul oleh para pendiri Republik. Inilah yang telah mendorong, misalnya, Mohammad Hatta, untuk mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (kemudian dikenal sebagai PNI-Baru) pada 1931,[1] sebuah organ gerakan yang menitikberatkan pendidikan sebagai alat perjuangan kemerdekaan. Posisi vital pendidikan juga diakui dan diabadikan dalam Pembukaan (Preambule) Undang Undang Dasar 1945, melalui kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang merupakan salah satu dari beberapa tujuan pokok kemerdekaan Indonesia. Jauh sebelum Hatta, Tan Malaka, Bapak Republik yang lain, juga telah menggunakan pendidikan sebagai alat untuk perjuangan kemerdekaan.

Jika di masa lalu pendidikan dijadikan alat untuk menumbuh-kembangkan benih kebangsaan, kini, setelah lebih dari enam dekade usia Proklamasi, masihkah pendidikan kita menghidupi semangat yang sama?!

Pertanyaan ini penting untuk diajukan, terutama untuk menjaga agar ironi dalam wajah sebaliknya tidak akan terjadi dalam sistem pendidikan kita. Yang dimaksud dengan “ironi dalam wajah sebaliknya” itu adalah bahwa jika di masa lalu kebijakan pendidikan kolonial telah “membantu” menyemai benih kebangsaan Indonesia, bukan tidak mungkin, karena kekurangcermatan kita, justru setelah kita memproklamasikan kemerdekaan, kebijakan pendidikan kita malah melumpuhkan semangat kebangsaan itu. Atau, dalam versi yang paling buruk, justru setelah kita merdeka kebijakan pendidikan kita—sekali lagi, bukan tidak mungkin—malah memfasilitasi sebentuk kolonialisme dalam bentuk yang tidak kita sadari.

salah satu cara untuk menaklukan sebuah bangsa adalah dengan menguasai pendidikannya

Dalam salah satu karya tetraloginya, Jejak Langkah, Pramoedya Ananta Toer pernah menguraikan bahwa salah satu cara untuk menaklukan sebuah bangsa adalah dengan menguasai pendidikannya. Pernyataan tersebut kian menegaskan bahwa pendidikan, dalam kediriannya (in it self), memang merupakan pilar kebangsaan. Rapuhnya pendidikan akan berimplikasi serius bukan hanya pada persoalan mental-intelektual, yang termasuk ke dalam aspek individual, melainkan juga secara sosial akan berimplikasi pada rontoknya ikatan kebangsaan. Hanya saja, memang, diperlukan sejumlah syarat agar pendidikan berimplikasi positif pada tegaknya kebangsaan, dan bukan sebaliknya. Salah satu syarat penting dimaksud tak lain adalah bahwa pendidikan harus berdiri di atas nilai-nilai kebudayaan-ibunya sendiri.

Melalui berbagai karangannya, Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1978-1983, kerap menulis bahwa salah satu sebab lapuknya pendidikan adalah ketika ia dicerabut dari akar kebudayaannya.[2] Dalam pandangan Daoed Joesoef, pendidikan adalah bagian konstitutif, jika bukannya integratif, dari kebudayaan. Pemisahan pendidikan dari kebudayaan akan bersifat destruktif bagi keduanya. Sebab, untuk dapat menjalankan fungsi-fungsinya, pendidikan memerlukan nilai-nilai instrumental, dan nilai-nilai tersebut tidak bisa lain harus digali dari kebudayaan inangnya. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa sistem pendidikan yang kita kembangkan untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”—sesuai amanat Proklamasi—adalah bagian utuh dari kebudayaan.

Lebih jauh mengenai hubungan keduanya, Daoed menegaskan bahwa pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan, dan bukan sebaliknya.[3] Artinya, sebelum “pendidikan” diberi pengertian, baik pengertian dalam arti makna-kata, makna-proses, maupun jangkauan tujuannya, terlebih dahulu harus dipahami apa yang dimaksud dengan “kebudayaan”, karena dalam pengertian kebudayaan terkandung penjelasan bagi pendidikan. Oleh karenanya, tanpa terlebih dahulu menjala pengertian kebudayaan dan menyelaminya, pendidikan akan tercampak dari makna hakikinya sebagai bagian dari kebudayaan.

Masalahnya kemudian, meskipun mungkin hampir semua orang menyetujui penegasan tersebut, dalam kenyataannya praktik pendidikan kita tidak selalu menghiraukan persoalan tadi. Salah satu persoalan yang mewakili dan sering disoroti oleh para pakar di bidang pendidikan, misalnya, adalah kebijakan mengenai adanya “kelas internasional” dan “sekolah berstandar internasional” dalam sistem pendidikan kita. Di kelas internasional, dan di sekolah berstandar internasional, bahasa pengantar kegiatan pendidikan menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Tentu saja tidak ada yang tidak sepakat bahwa penguasaan bahasa asing kian menempati posisi penting dalam pergaulan dunia saat ini. Hanya saja, menurut sejumlah pakar pendidikan, pemakaian bahasa asing sebagai pengantar dalam kegiatan pendidikan telah melumpuhkan posisi pendidikan sebagai bagian integral dari kebudayaan. Bahasa bukan hanya merupakan alat komunikasi, melainkan merupakan “alat kebudayaan”. Sehingga, pemakaian bahasa asing sebagai bahasa pengantar dalam proses pendidikan telah memutus akar kebudayaan dari kegiatan pendidikan itu sendiri. Meminjam bahasa Soedjatmoko, ketika kita mendatangkan traktor untuk membajak sawah-sawah kita, yang kita datangkan sebenarnya bukan hanya traktor, melainkan kebudayaan yang telah menciptakan traktor-traktor itu, yaitu industrialisme.[4] Dengan analogi serupa, jika kegiatan pendidikan kita maksudkan merupakan sarana untuk menghidupi kebudayaan, maka prosesnya tentu saja harus menggunakan alat dari kebudayaan yang hendak dihidupi itu, tidak bisa lain. Pendidikan nasional Indonesia, tidak bisa tidak, harus disampaikan hanya dengan bahasa Indonesia.

Kadang kita sering melupakan bahwa pendidikan kita, karena memiliki predikat “nasional”, pertama-tama tentunya harus berdimensi nasional (dalam hal ini untuk kepentingan negara-bangsa), selain juga berdimensi individual (dalam hal merupakan hak warga negara perseorangan). Berarti, kejelasan citra dari komunitas nasional yang diidam-idamkan harus ada lebih dulu. Dan, citra yang dimaksud tak lain adalah kebangsaan.[5]

Sampai di sini kita bisa melihat bahwa antara substansi pendidikan dengan praksis pendidikan ternyata tidak selalu ada jaminan untuk saling berkait. Bahkan, antara keduanya bisa sama sekali bertentangan. Pertanyaannya kuncinya kemudian adalah, bagaimana hal itu bisa terjadi?

Menyimak uraian pendahuluan di muka, nampak tegas bahwa antara pendidikan, kebangsaan, dan kebudayaan terdapat sebuah mata rantai yang menghubungkan. Hanya saja, perkembangan dunia kontemporer telah mengaburkan—atau lebih tepatnya “membuatnya seakan-akan kabur”—ikatan-ikatan itu tadi. Paling tidak ada dua hal yang bisa menjelaskan kenapa hal itu bisa terjadi.




Pertama, makin kuatnya dominasi “ekonomisme” dalam kehidupan kontemporer. Dominasi tersebut telah mereduksi berbagai lembaga dan instrumen sosial menjadi lebih bersifat ekonomistik. Atau, agar lebih mengena, kita bisa menyebutnya sebagai gejala kian merajalelanya komersialisme, sebuah gejala yang oleh John Madeley (2005) disebut sebagai masa “keranjingan berdagang” (hungry for trade).[6] Kegiatan perdagangan memang telah menjadi wajah mutakhir dari praktik dominasi dalam dunia modern. Ia, menurut Rosecrance (1991), telah menggantikan ekspansi wilayah dan invasi militer, sebuah corak dalam wacana kolonialisme lama.[7] Implikasi dari merajalelanya komersialisme adalah ia telah membuat pendidikan tidak lagi terhubung pada akar substantifnya, yaitu kebudayaan dalam bingkai kebangsaan, melainkan menggantikannya dengan sebuah hubungan langsung kepada institusi pasar. Munculnya konsep “link and match” dalam dunia pendidikan pada awal dekade 1990-an mewakili kecenderungan tersebut. Pendidikan kemudian tak lagi pertama-tama menjadi rantai kebudayaan, karena telah dirantai oleh pasar.

Hal kedua adalah kian terlipatnya dunia menjadi sebuah desa global. Globalisasi tidak hanya menjadi gejala dalam dunia teknologi informasi, melainkan telah menjalar ke berbagai bidang sehingga menjadi sebuah kecenderungan umum. Hari ini kita berkomunikasi dengan telepon seluler merek Finlandia yang diproduksi di India dengan jasa operator Singapura. Kita minum kopi Swiss yang dipetik dari perkebunan kopi di Brazil dan dihidangkan di sebuah kedai Amerika. Dunia menjadi ringkas. Inilah dunia yang oleh Kenichi Ohmae (1992) disebut sebagai “the borderless world”.[8] Pada akhirnya, berbagai kecenderungan tadi telah menempatkan imaji soal dunia tanpa tapal batas menjadi kian konkret, dan di sisi yang berseberangan, menempatkan imaji kebangsaan dalam posisi yang “problematis”. Dalam bidang ekonomi, pertanyaan provokatif yang sering dikemukakan oleh mereka yang biasa disebut sebagai kaum fundamentalis pasar (market fundamentalist) adalah: apakah nasionalisme (nasion = bangsa) masih relevan di tengah perekonomian dunia yang kian terintegrasi?!

Jika melihat dengan jernih, globalisasi yang kini mengepung kita pada dasarnya adalah “kebangsaan yang mengglobal”

Dua perkembangan tadi, yaitu meruaknya ekonomisme dan mengkisutnya dunia oleh globalisasi, telah membuat imaji mengenai kebudayaan dan kebangsaan menjadi seolah-olah kabur. Dan kekaburan itu bisa membuat dunia pendidikan kehilangan kompasnya. Tinggal, pertanyaannya kemudian, apakah kondisi itu baru sekadar potensial, atau sudah menjadi kenyataan faktual?!

Sebagai pilar penting bagi kebudayaan-kebangsaan, dunia pendidikan kita dituntut untuk segera merefleksikan kembali eksistensinya. Dunia memang kian menjadi seperti desa global, namun nampaknya keliru jika mengira globalisasi transportasi dan telekomunikasi telah membuat identitas kebangsaan menjadi tak lagi relevan. Jika melihat dengan jernih, globalisasi yang kini mengepung kita pada dasarnya adalah “kebangsaan yang mengglobal”. Dalam dunia perdagangan, misalnya, apa yang dimaksud dengan “merek global” pada dasarnya adalah “merek-kebangsaan yang mengglobal”. Oleh karenanya, meski dipabrikasi di Semarang, Coca-Cola tetaplah sebuah merek minuman ringan dengan identitas Amerika. Begitu juga dengan ayam goreng Kentucky, meski ayam potongnya berasal dari peternakan di Bandung, misalnya, imajinya tetap identitas Amerika. Dengan demikian, dunia pendidikan tidak boleh tercerabut dari akar kebudayaan ibunya, serta harus membela dan menghidupi identitas kebangsaannya, meskipun dunia kontemporer seakan-akan telah melumatkan pelbagai bentuk tapal batas.


[1] Hatta pada waktu itu sebenarnya masih berada di negeri Belanda. Hanya saja, terbentuknya Pendidikan Nasional Indonesia merupakan usulan Hatta melalui sebuah kawat dari Belanda ketika Golongan Merdeka sedang menggelar kongres di Yogyakarta, 25-27 Desember 1931. Golongan Merdeka adalah gabungan organ pergerakan di luar Partindo, yang terdiri dari berbagai studie club, yang sejak awal memang memupuk semangat kemerdekaan melalui bidang pendidikan. Lihat Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 1995), hal. 348-350.

[2] Lihat, misalnya, Daoed Joesoef, “Sangkan Paraning Dumadi”, dalam Harian Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2004; dan Daoed Joesoef, “Konsep Dulu, Baru Uang”, dalam Harian Kompas, Rabu, 3 September 2008.

[3] Daoed Joesoef, Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Oktober 1980-Maret 1981 (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), hal. 305.

[4] Soedjatmoko, Economic Development as a Cultural Problem (Ithaca: Modern Indonesia Project, Cornell University, 1958).

[5] Joesoef, “Sangkan…”, op.cit.

[6] John Madeley, Loba, Keranjingan Berdagang: Kaum Miskin Tumbal Perdagangan Bebas (Yogyakarta: Cindelaras, 2005).

[7] Richard Rosecrance, Kebangkitan Negara Dagang (Jakarta: Gramedia, 1991).

[8] Kenichi Ohmae, The Borderless World: Power and Strategy in the Interlinked Economy (London: Fontana, 1992).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar