Jumat, 18 Juli 2014

KEBENARAN DAN METAFORA



Tarli Nugroho


Daya jelas—juga daya jangkau—ilmu pengetahuan semakin ke sini semakin menyempit. Ia ibarat benang, hanya berguna jika membentuk semacam jejaring laba-laba dengan pengetahuan lainnya. Setiap konsep, meskipun terang, hanya memiliki rentang penerapan yang terbatas dan bersyarat. Para fisikawan barangkali adalah golongan ilmuwan paling awal yang menemukan dan berhasil membuktikan keterbatasan-keterbatasan esensial dari pikiran rasional manusia. Oleh karenanya, hingga hari ini masih saja tersisa geli menyimak banyak orang yang mendaku dirinya sebagai sarjana masih saja berbicara dengan tingkat kepastian dan keyakinan yang tak terperi atas konsep-konsep pengetahuan yang diimani dan persoalan yang dijelaskannya. Tak ada ruang bagi "entah" sama sekali dalam benak mereka.

Banyak orang tidak menyadari bahwa teori-teori pengetahuan tidak akan pernah bisa memberikan sebuah deskripsi realitas yang lengkap dan definitif. Seluruhnya hanya merupakan aproksimasi belaka. Oleh karenanya saya selalu hormat kepada para begawan seperti Heisenberg. Menurutnya, para sarjana—aslinya dia menyebut para ilmuwan—tidaklah menggarap kebenaran, melainkan sekadar menggarap deskripsi-deskripsi realitas yang terbatas dan aproksimat. Dan untuk menggarap deskripsi itu, manusia selalu membutuhkan metafora.

Agaknya, tak ada yang lebih baik dalam menjelaskan posisi penting metafora dalam dunia pemikiran selain sebuah lelucon Gregory Bateson, ahli cybernetic dan antropolog sosial dari negerinya Pangeran Charles. Alkisah, kata Bateson, ada seorang lelaki yang memiliki sebuah komputer canggih. Lelaki itu penasaran, apakah para komputer bisa berpikir. Maka, iapun bertanya pada komputernya, "Apakah kamu bisa berpikir seperti manusia?" Komputernya berkedip-kedip barang sesaat, kemudian mencetakkan jawabannya pada selembar kertas melalui printer. Kata-kata yang tercetak di sana cuma ini: "INI MENGINGATKAN SAYA PADA SEBUAH CERITA". Aih...

Ya, cerita, umpama, dan metafora, menurut Bateson, adalah ekspresi esensial dari pikiran manusia. Bahkan seorang matematikawan atau fisikawan yang menekuni kajian paling abstrak sekalipun, pada akhirnya membutuhkan metafora. Mereka tak bisa sepenuhnya menggunakan abstraksi untuk mengutarakan pemikirannya. Mereka harus mengemukakannya secara konkret melalui cerita. Dan pada kenyataannya, merakit cerita adalah gambaran dari cara berpikir manusia.

Sejak zaman Heraklitus di Barat dan Lao Tzu di Timur, metafora telah dianggap sebagai jembatan yang melampaui jangkauan logika. Ia adalah wujud jejaring mental manusia. Dan dalam jejaring itu kita selalu menyadari keterbatasan, bahwa pengetahuan yang kita miliki sesungguhnya hanya bernilai seutas benang saja, yang tak akan sanggup menjerat kebenaran.


Yogyakarta, 14 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar