Kamis, 26 Juni 2014

GRAMATIKA








Oleh Tarli Nugroho
Bekas pencinta bahasa

 
 

Apakah Ki Hadjar adalah seorang totaliter hanya karena dia membubuhkan kata itu dalam anggaran Taman Siswa paling awal? Apakah Soekarno adalah seorang fasis hanya karena dia pernah meminjam beberapa lontaran Hitler? Apakah Soepomo mengimani fasisme hanya karena dia menggunakan terma integralistik ketika ikut merumuskan konstitusi pertama Republik ini? Apakah seseorang yang mengutip Marx otomatis menjadi Marxis? Apakah sebuah kata atau konsep yang pernah digunakan oleh sistem gagasan yang lahir lebih dulu akan membuat kata atau konsep itu kehilangan kesempatan mendapatkan pengertian yang berbeda dari apa yang pada mulanya telah merumuskannya?

Kita bukanlah penemu huruf dan pencipta kata. Kita mewarisi huruf dan kata beserta semua perjanjian tandanya. Pendeknya, kita lahir ke dunia sudah mewarisi kamus bahasa.

Namun, apakah kita menggunakan bahasa hanya sebatas pengertiannya di dalam kamus saja? Jangan jauh-jauh ke kehidupan sehari-hari, dimana orang lebih sering berimprovisasi dengan bahasa daripada bersyariat terhadap kamus, di lingkungan akademis saja kata dan konsep seringkali tidak diimani sebagaimana perjanjian akademisnya.

Kita tentu masih ingat bagaimana pada pengujung 2007 silam, Sukardi Rinakit dan kawan-kawannya memproklamirkan gagasan "Ekonomi Pasar Sosial" (Epasos) sebagai sebentuk persilangan antara kebaikan kapitalisme dengan sosialisme. Pengertian itu tentu saja menggelikan, karena gagasan Epasos telah memiliki pengertian baku. Dan Epasos adalah gagasan yang sepenuhnya berpijak di atas keutamaan sistem pasar yang kompetitif, yang oleh Sukardi ditolak sebagiannya.

Idealnya, Sukardi mencari frasa baru untuk menyebut ide yang dikampanyekannya. Ia harusnya menciptakan neologisme. Namun itu tidak dilakukannya.

Lantas, bagaimana kita harus membaca tawaran gagasannya Sukardi dan kawan-kawan masa itu?

Ada dua tentu saja. Pertama adalah dengan menggunakan kamus yang baku, dimana tawaran gagasannya Sukardi boleh kita tertawakan karena telah memperkosa pengertian yang sudah baku dari konsep Epasos. Jika pilihan ini diambil, selesai, tidak terjadi dialog dengan tawaran yang coba diajukannya.

Kedua, kita bisa mengabaikan kamus yang baku dan mencoba mencerna gagasan itu seturut penjelasan yang menyertainya. Jika ini dipilih, kita bisa dianggap tak bersetia dengan kamus, namun dengan begitu pintu dialog dan dialektik tidak jadi dikunci.

Cara kedua itu dalam beberapa obrolan dengan sejumlah rekan selalu saya sebut sebagai "pendekatan gramatika". Cara lain untuk memahami pengertian sebuah kata bukanlah dengan membuka kamus, melainkan dengan melihat dalam gramatika yang bagaimana kata tersebut digunakan. Artinya, setiap kata yang sama, jika digunakan dalam gramatika yang berlainan, maka pengertiannya juga menjadi berbeda.

Jika kita membaca lagi sejarah, kesetiaan terhadap pengertian itu langka sekali kita dapatkan. Soal gagasan koperasi Hatta, misalnya, bisa kita jadikan contoh. Secara umum, Hatta adalah seorang sarjana yang disiplin dengan soal konsep dan pengertian. Namun, dalam soal koperasi, Hatta melakukan "improvisasi akademis". Jika kita membaca riwayat koperasi di Eropa, koperasi adalah gagasan mengenai lembaga ekonomi, jadi levelnya mikroekonomi. Namun, oleh Hatta gagasan ini dibawa ke Indonesia sebagai gagasan mengenai politik perekonomian, jadi sebagai gagasan di level makroekonomi. Inilah yang membuat kenapa Herman Suwardi dulu tegas menyebut bahwa gagasan koperasi Indonesia itu berbeda dengan di Eropa. Secara semantik, itu mungkin menyalahi kamus. Namun, secara pragmatik, itu malah memperkaya konsep tersebut.

Dua cara pandang atau cara timbang itu saya kira berguna untuk melakukan taksonomi gagasan secara lebih jernih di negeri ini. Coba bayangkan, bagaimana bisa seorang Ki Hadjar Dewantara, yang membuang gelar ningratnya, anti-feodalisme, dan sangat egaliter, pernah disebut oleh seorang sarjana kita sebagai "Bapak Totalitarianisme" di Indonesia hanya karena ia memasukan kata itu dalam anggaran Taman Siswa paling awal? Dalam pengertian yang bagaimana Ki Hadjar menguraikan kata itu, tidak dibahas oleh sarjana yang bersangkutan. Baginya, penyebutan kata itu sudah cukup untuk memberikan labeling yang tandas tadi. Bisa dibayangkan jika modus klasifikasi macam itu digunakan tanpa kritik dan koreksi. Apakah karena Fir'aun bercinta, misalnya, maka setiap orang yang melakukan kegiatan percintaan setelah Fir'aun juga bisa dianggap sama dengan Fir'aun? Oalah...

Sampai di sini, menurut saya lebih bijak jika kita mendefinisikan kosa kata apapun pertama-tama dari gramatika yang mengantarkannya, agar kita tidak offside dari maksud dilontarkannya kosa kata tadi.

Menyebut Ahmad Dhani sebagai sedang mengkampanyekan Nazisme dan fasisme hanya karena dia menggunakan pakaian mirip Himmler adalah sama menggelikannya dengan menyebut lontaran Revolusi Mental Jokowi sebagai lahir dari pikiran komunistis. Kalau Anda menyebut Dhani sebagai fasis, maka dengan logika yang sama Anda juga harus menerima jika Jokowi disebut komunis karena Revolusi Mental-nya. Tapi kita sama-sama tahu bahwa dua penilaian itu sama-sama memperkosa penalaran.

Hari ini, politik sepertinya telah membuat semua orang menghalalkan segala cara. Bahkan kaum yang merasa dirinya terdidik dan tercerahkan sekalipun tak segan untuk melakukan hal yang sama, hanya untuk membela posisi politik yang diimaninya.

Ya, demokrasi memang butuh akah sehat. Tanpa itu, para jurnalis tak akan pernah tahu bedanya EDITORIAL dengan ADVERTORIAL, dan kaum intelektual tak akan tahu bedanya POLISEMI dengan POLIGAMI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar