Sabtu, 06 September 2014

GEORGE






















Oleh Tarli Nugroho


Pertemuan itu kecil, dan dihelat di sebuah tempat yang terpencil. Ada sekira tiga puluhan orang yang hadir siang itu. Semuanya duduk lesehan, sembari menikmati jajanan pasar bersama teh dan kopi hitam.

Lelaki itu duduk di kursi roda, di ujung sana. Rambutnya masih gondrong, dengan janggut putih memanjang. Topi baret berwarna gelap nangkring di kepalanya. Ia selalu tampil stylist, persis seperti dandanannya ketika kami bertemu terakhir kali di Joglo Winasis beberapa bulan sebelumnya, dalam sebuah diskusi tentang Tan Malaka bersama Harry Poeze.  

Meski sudah kehilangan tubuh gempal dan seluruh kegesitannya, ia masih bisa berkata-kata dengan agak terbata dan lirih. Kita harus mendekatkan kepala untuk bisa mendengar bicaranya. Namun, itu adalah sebuah kemajuan yang sangat besar.

Ya. Setelah bisa bangkit dari serangan stroke kedua yang menyerangnya dua tahun yang lalu, yang membuatnya harus berbulan-bulan berada dalam perawatan intensif di rumah sakit, ia kini sudah bisa bicara dengan kosakata tertata. Hanya, ia memang tak lagi mudah mengingat. Ketika adik kandungnya, yang duduk persis di sampingnya, memberikan testimoni mengenai dirinya, lelaki itu bertanya dengan memberi kode kepada isterinya yang duduk jauh di seberang, siapa gerangan yang sedang bicara ini. Adegan itu kontan memancing gelak. Sang adik hanya bisa berseloroh, “Iya tho, karo aku wae lali.”

Lelaki itu adalah George Junus Aditjondro. Dan pertemuan kecil itu, yang berlangsung Jumat, 5 September 2014 kemarin, adalah sebentuk pesta perpisahan untuknya. Sebab, Sabtu pagi tadi, George terbang ke Palu untuk menetap di sana.

Saya mengenal nama George waktu duduk di bangku SMP. Waktu itu, perpustakaan sekolah saya menyimpan cukup baik sejumlah Majalah Tempo tahun 1970-an. Dan sejak pertama kali bisa menikmati membaca Majalah Bobo di bangku kelas tiga sekolah dasar, saya memiliki kebiasaan untuk selalu memperhatikan dan mengingat nama-nama pengelola setiap media yang dibaca. George, bersama dengan Putu Wijaya, Salim Said, Bur Rasuanto, dan Martin Aleida, adalah nama-nama dalam boks redaksi Tempo yang saya catat baik-baik. Tentu saja, selain Goenawan Mohamad pastinya.

Tak banyak karangan George yang saya ingat. Namun tulisan-tulisannya mengenai Papua memang sudah muncul sejak ia masih bekerja di Tempo. Salah satu artikelnya yang pernah saya baca waktu SMP menulis tentang hutan bakau di sana. Ya, nama George memang identik dengan Papua, jauh sebelum berbagai peneliti lain menabalkan namanya sebagai pengkaji pulau terkaya di Indonesia itu. George, sebagaimana testimoni seorang rekannya, Imam Yudotomo, yang telah mengenalnya sejak 1970-an, adalah pelopor pendiri LSM di Papua. Tak heran, sebagaimana juga pengakuan seorang kawan, di Papua nama George sudah hampir sebentuk mantera. Sebutkan saja namanya, maka Anda akan segera dihormati orang-orang sana.

Selain soal Papua, George termasuk salah satu dari sedikit intelektual Indonesia yang sejak lama banyak menulis dan menyoroti soal korupsi. Sejak jauh-jauh hari, sebelum George menulis buku “Membongkar Gurita Cikeas” (2009) yang menghebohkan dan membuat namanya kembali terkenal lima tahun lalu itu, soal korupsi telah menjadi pusat perhatiannya. Secara kebetulan, buku pertamanya yang saya beli adalah “Membongkar KKN Keluarga Besar Habibie”. Buku itu saya beli pada 5 Oktober 1998, di sebuah kios koran di jalan protokol di Karawang.

George, yang menggondol gelar doktor dari Universitas Cornell, memang lebih menekuni jalan hidup sebagai “intelektual jalanan” daripada sebagai intelektual kampus yang “mriyayi”, yang congkak dengan sofistikasi akademik, namun miskin dan terbata ketika dimintai praktik. Ia lebih terpanggil untuk terlibat dan meleburkan diri dalam banyak persoalan lapangan daripada soal keilmuan. Dan barangkali hal ini pula yang membuat namanya tak mentereng di jajaran ilmuwan, dan pesta perpisahannya hanya dihadiri orang-orang jalanan.

Saya kadang melihat soal ini dengan ironi. Di dalam masyarakat kita yang masih sangat lisan, kita menyaksikan pemujaan yang kadang berlebihan terhadap tradisi literasi. Tindakan sepertinya mendapat penghargaan yang jauh lebih kecil daripada tulisan. Dimana, mereka yang banyak menulis selalu dianggap lebih hebat dari mereka yang tulisannya lebih sedikit, dan apalagi dari mereka yang sekadar bertindak dengan tanpa menulis.

Tentu saja kita sepakat bahwa tradisi literasi itu penting. Namun kita patut curiga bahwa selama ini penghargaan terhadap tradisi itu lebih banyak bermakna simbolik daripada substantif. Maksudnya, penghargaan itu bisa jadi lebih banyak dipengaruhi dan dibentuk oleh pemujaan terhadap tradisi priyayi dalam masyarakat kita, dimana pekerjaan halus dianggap lebih tinggi derajatnya daripada pekerjaan kasar.

Seandainya penghargaan terhadap tradisi literasi itu bersifat benar-benar, tak sekadar simbolik, nyatanya hingga kini dunia kesarjanaan kita belum juga melahirkan sebuah tradisi pemikiran yang solid dan konsisten. Bukankah itu mustahil terjadi jika kita benar-benar menghargai tradisi literasi secara substantif?

Di forum kecil yang menjadi pesta perpisahan bagi George, ironi itu hadir dengan tajam. George, lelaki di atas kursi roda itu, tentu saja tidak menginginkan penghargaan atas jerih payahnya. Forum sederhana itu saja sudah cukup menitikan air matanya. Ia hanya minta didoakan agar kesehatannya bisa pulih kembali, sehingga bisa berkarya lagi. Seorang anaknya bercerita, bagaimana papanya sampai menangis tersedu-sedu pada suatu hari hanya karena ingin kembali bisa membaca buku. Sebuah cerita yang membuat kami yang hadir menundukkan kepala. Terharu.

George pagi tadi sudah terbang ke Palu. Ribuan bukunya, dan berbagai arsip miliknya, ditinggalkannya di Yogya, kota yang sangat dicintainya; namun yang juga pernah mengusirnya, hanya karena George pernah mengkritik penguasanya. George menghibahkan buku-bukunya pada sebuah perpustakaan publik di belakang kampus ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, yang dikelola oleh anak-anak muda yang mencintainya.

Selamat jalan, George. Kami akan merindukanmu.


Yogyakarta, Sabtu, 6 September 2014

1 komentar:

  1. thank you for post, he is my favorite one persons in social literature, get well soon George :)

    BalasHapus