Oleh Tarli Nugroho
Peneliti Mubyarto Institute; Kepala P2M
(Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)
Memperhatikan
perdebatan politik yang terjadi di tanah air sebelum dan setelah Pilpres
kemarin, saya jadi semakin menemukan relevansi kenapa ketika pulang dari Negeri
Belanda dulu, kegiatan politik yang pertama kali dikerjakan Hatta adalah mendirikan
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru). Tanpa pendidikan, yang menjadi medium
untuk melakukan pencerahan, politik hanya akan menjadi propaganda kosong yang
bukan hanya bisa menyesatkan, melainkan juga mencelakakan.
Tentu saja
Hatta bukan orang pertama yang menyadari itu. Jauh sebelumnya, Ki Hadjar
Dewantara sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa, dan berbagai tokoh serta organisasi
pergerakan juga telah mendirikan sejumlah studie
klub.
Pendidikan
produk politik etis yang sebetulnya cuma dimaksudkan (intended goal) untuk menciptakan kelas terdidik untuk memenuhi
kebutuhan tenaga administratif pemerintahan kolonial, ternyata secara tak diduga
(unintended goal) telah melahirkan
kelas tercerahkan pribumi yang sanggup berpikir kritis mengenai nasib
bangsanya. Pada tahun 1930-an, kelas terdidik produk politik etis ini telah menjadikan
pendidikan sebagai kunci dalam pergerakan politik mereka. Memang, tak akan ada
kemerdekaan yang hakiki tanpa pendidikan.
Apa bagian
penting dari pendidikan yang membuatnya menempati posisi krusial bagi
perjalanan sebuah bangsa?
Pendidikan,
secara ringkas, adalah sebuah proses simultan yang menuntun individu untuk bisa
mengolah (1) informasi menjadi pengetahuan, serta mengolah (2) pengetahuan
menjadi kebijaksanaan. Produk akhir dan ideal dari pendidikan memang adalah
kebijaksanaan, dan bukannya pengetahuan.
Informasi
dengan pengetahuan memiliki distingsi yang cukup jelas dan mudah dipahami. Kita
bisa memperoleh informasi tentang berbagai hal tanpa harus mendapatkan
pengetahuan riil mengenai bidang yang bersangkutan. Pada hari ini, misalnya, internet
telah memungkinkan kita menjaring dan menyerap jutaan informasi secara real time. Namun, satu hal yang sering
dilupakan, informasi memang berisi fakta, namun kumpulan fakta tidaklah
otomatis memiliki ide. Begitu juga halnya dengan kronik. Kumpulan peristiwa sejarah
tidak dengan sendirinya menyampaikan atau mengandung sebuah ide.
Itu sebabnya,
sejak jaman Yunani Antik, para filosof sudah membedakan antara mengetahui “the fact that” dengan “the reason why”. Persis di sini kita
mulai memasuki distingsi antara “informasi” dengan “pengetahuan”.
Pengetahuan
mengandaikan adanya sistem atau nalar yang tertata. Jika fakta bisa diperoleh
dari pengalaman, maka pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui penalaran sistematis
(ordered thinking). Hanya fakta-fakta
atau informasi-informasi teruji saja yang bisa melahirkan pengertian, atau ide,
dalam bentuk pengetahuan. Kemampaun untuk mengolah informasi menjadi pengetahuan
ini merupakan karakteristik pertama dari keterdidikan (educated). Jadi, ini belum merupakan karakteristik keterdidikan
yang penuh.
Dalam proses
untuk mengolah informasi menjadi pengetahuan ini, seorang individu tidak boleh
hanya secara pasif melihat, membaca, atau mendengarkan “informed teacher”. Setiap individu terdidik harus berusaha secara
aktif untuk mengorganisasikan, menata dan menghubungkan informasi-informasi atau
fakta-fakta yang ada di sekelilingnya menjadi pengetahuan. Proses pengorganisasian
inilah yang disebut sebagai “kemampuan belajar”. Dan kemampuan belajar bukan
hanya mensyaratkan kedisiplinan, melainkan juga imajinasi dan kreatifitas.
Faktor imajinasi
dan kreatifitas ini membuat pengetahuan tak hanya dibentuk oleh “being able to learn”, sebuah pengertian
paling antik mengenai pendidikan, melainkan juga oleh “being able to unlearn” dan termasuk “relearn”. Proses ini berjalan simultan, bertukar tangkap dengan
lepas, dari satu modus ke modus lainnya, baik urut maupun acak.
Pada akhirnya,
muara paling ujung dari proses pendidikan adalah produksi kebijaksanaan. “Being well educated” harus berisi lebih
dari sekadar pengetahuan, dan nilai-lebih itu tak lain adalah kebijaksanaan. Inilah
makna keterdidikan yang kedua.
Sampai di
sini saya jadi teringat kepada ajaran Ernst Schumacher, bahwa sejak jaman antik
dahulu tujuan ilmu pengetahuan sebenarnya memang bukanlah untuk menemukan kebenaran,
melainkan kearifan. Kita bisa melihat bagaimana sinkronnya ajaran tersebut dengan
filosofi pendidikan, bahwa produk akhir dari pendidikan bukanlah pengetahuan,
melainkan kebijaksanaan.
Lantas,
apakah “kebijaksanaan” yang dimaksud?
Kebijaksanaan,
meminjam Daoed Joesoef (2005), tak lain adalah kebajikan atau keluhuran budi
yang merupakan konsekuensi dari pengendalian nafsu dan emosi yang dikontrol
oleh nalar. Kita tahu, pengetahuan, seperti halnya kebenaran, tak selalu
bernilai maslahat. Persis di situ, di soal maslahat itu, kita membutuhkan
pertolongan kebijaksanaan. Seperti sering saya singgung, relasi ilmu
pengetahuan dengan kebenaran memang
problematis.
Kebenaran itu seperti bulan, dimana
kebenaran
ilmu pengetahuan hanyalah seperti jari yang sedang menunjuk bulan, bukan bulan itu sendiri. Kebijaksanaan adalah
kesadaran bahwa kita hanyalah pemilik jari yang sekadar sedang menunjuk bulan, dimana selain
jari kita, di tempat yang berbeda juga ada jari-jari lainnya yang bisa dan
sedang menunjuk bulan yang sama.
Apa jadinya jika jari
yang di sini mengklaim bahwa bulan di atas sana hanyalah miliknya, sementara
jari yang lain adalah sebuah kesalahan, dan bahkan kejahatan?! Persis di situ
kita membutuhkan kebijaksanaan dan kearifan.
Seperti sudah
disinggung, kemampuan belajar bukan hanya dibangun dengan “being able to learn”, tapi juga “being able to unlearn”, yaitu kemampuan untuk meninggalkan pengetahuan
yang sebelumnya diyakini untuk beralih kepada pengetahuan-pengetahuan baru. Dan
juga “relearn”, yaitu kemampuan untuk
menemukan hikmah-hikmah baru dari pengetahuan-pengetahuan lama yang mungkin
telah ditinggalkan. Dalam proses pertukaran modus belajar itulah persis kita
membutuhkan kebijaksanaan dan kearifan.
Oleh karenanya,
saya selalu tak habis pikir, betapa mendalamnya pemikiran para pendiri Republik
ini ketika mereka merumuskan kalimat “Kerakyatan yang dipimpin oleh HIKMAT KEBIJAKSANAAN dalam
permusyawaratan/perwakilan”. Demokrasi, dengan bermacam modelnya, memang tak otomatis
membawa maslahat jika tidak dipimpin oleh “hikmat kebijaksanaan”. Sehingga,
rumusan sila keempat Pancasila itu hanya mungkin dirumuskan oleh orang-orang yang
bukan hanya memiliki pengetahuan mendalam, melainkan juga bijaksana.
Tak heran,
ketika Soekarno datang ke Taman Siswa untuk berkonsultasi mengenai karut-marut
demokrasi parlementer multi-partai, sebuah persoalan yang juga digelisahkan
Hatta, Ki Hadjar Dewantara menyodorkan konsep “Demokrasi dan Leiderschap”. Agar demokrasi “tidak
salah kedaden”, tulis Ki Hadjar
(1959), atau “bertumbuh salah menjadi keadaan yang tak teratur”, persis di situ
demokrasi membutuhkan pimpinan. Dan yang dimaksud dengan pimpinan itu tak lain
adalah “kebijaksanaan”.
Kita tahu,
Soekarno kemudian mengadaptasi gagasan “Demokrasi dan Leiderschap” dari Taman Siswa tersebut menjadi “Demokrasi Terpimpin”.
Kemudian terjadilah unintended goal,
dimana akhirnya Si Bung-lah yang lalu menjadi pimpinan dari konsepsi demokrasi
itu, dan bukan “kebijaksanaan”. Tentu saja bukan tujuan tak diharapkan itu yang
sebenarnya didesain dan dibayangkan oleh Soekarno. Ketik awal Demokrasi
Terpimpin diperkenalkan, dengan tegas Si Bung juga mengatakan bahwa “demokrasi
ini tidak dipimpin oleh Soekarno”, tetapi oleh “akal sehat”. Sayangnya, roda sejarah
tak selalu bergulir sebagaimana yang dikehendaki.
Konsep “leiderschap” atau “kebijaksanaan” itu
sebenarnya diserap Ki Hadjar dari ajaran Soetatmo Soerjokoesoemo, salah satu
pendiri Taman Siswa. Filosofi ajaran Soetatmo bisa diketahui dari semboyan
Majalah “Weder-opbouw” yang
dipimpinnya. Majalah tersebut memiliki semboyan “Schoonheid die Macht regeert; Macht die Liefde looft; Wijsheid die
Recht doet wedervaren”. Artinya, “Keindahan
yang membatasi Kekuasaan; Kekuasaan yang memuja Cinta Kasih; Kebijaksanaan yang
membawa Keadilan”. Itulah inti ajaran Soetatmo. Jadi, dilihat dari segi
nilai, inti dari “kebijaksanaan” bukanlah hanya kebenaran per se, tapi juga keadilan dan kemaslahatan.
Kembali ke
uraian awal tulisan ini, gaduhnya praktik demokrasi sebagaimana yang kita
saksikan hari ini, merupakan cermin dari absennya kebijaksanaan tadi. Tanpa kebijaksanaan,
perbedaan pendapat tak akan melahirkan ukir yang membawa keindahan, melainkan
retak yang membawa pecah; tak akan membawa kita kepada kebenaran-kebenaran baru
(melalui to unlearn, atau relearn), melainkan mengukuhkan
masing-masing pendapat pada keyakinan awalnya. Itu sebabnya, meskipun banyak
orang mengaku mengimani demokrasi, tapi pada saat yang sama mereka bisa seenaknya mendelegitimasi
proses dan produk dari demokrasi itu sendiri. Sungguh ironis.
Tentu saja,
absennya kebijaksanaan itu lahir dari problem yang diidap oleh dunia pendidikan
kita. Itu sebabnya kita harus menolak keras rencana pemecahan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan menjadi dua kementerian. Tanpa konsep yang jelas, pembahasan
terbuka, serta analisis persoalan yang tepat, rencana itu patut kita
khawatirkan hanya akan menambah kacau saja tata kelola pendidikan nasional kita
yang sudah semrawut ini. Bisa dibayangkan, manusia macam apa lagi yang akan
dihasilkan oleh pendidikan nasional yang diselenggarakan secara kacau itu? Dan praktik
demokrasi macam mana yang akan merongrong kehidupan kita di masa depan?
Setiap kekurangan
pada praktik demokrasi kita hari ini, pada dasarnya merupakan panggilan untuk membenahi
filosofi dan praktik pendidikan di tanah air. Tanpa pendidikan yang sanggup
mengajari kebijaksanaan, demokrasi hanya akan melahirkan sengketa, bukan
kebajikan.
Yogyakarta, 28 September 2014
Menyimak bang.. Terima kasih atas tulisannya yang mencerahkan.
BalasHapus