Jumat, 26 September 2014

KELAS MENENGAH MENGAMBANG



Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)

Berbeda dengan masyarakat kelas bawah, dan terutama mereka yang tinggal di pedesaan, kelas menengah kita, yang umumnya hidup di kawasan urban, merupakan "massa mengambang". Meskipun mereka bisa menjadi kelas yang kritis terhadap pemerintah, namun corak dan karakter mereka juga menjadi semacam batu sandungan bagi pelembagaan politik dan konsolidasi demokrasi.

Kenapa bisa begitu?

Sebelumnya, paling tidak ada beberapa hal kenapa mereka bisa disebut massa mengambang. Untuk membedakannya dengan massa mengambang pada masa Orde Baru, kita sebut saja corak politik kelas menengah ini sebagai “massa mengambang baru” (MMB). 


Pertama, mereka disebut "mengambang" karena preferensi politiknya tidak terikat kepada ideologi tradisional tertentu, sehingga dari tiap pemilu ke pemilu preferensinya selalu berubah, tergantung peta kontestasi politik yang sedang berlangsung.

Kedua, sebagai kaum urban yang ruang publiknya didominasi oleh ruang-publik-media yang intens, mereka lebih percaya kepada model penyaluran aspirasi melalui pembentukan dan penggalangan opini publik di media, daripada melembagakan atau menyalurkan aspirasinya melalui partai politik, termasuk lembaga-lembaga politik resmi lainnya.

Ketiga, berbeda dengan kelas bawah dan mereka yang tinggal di pedesaan, kelas menengah urban yang terdidik ini memiliki kesadaran kelas yang tinggi. Mereka tahu persis apa yang menjadi kepentingan kelasnya. Kepentingan kelas ini menjadi satu-satunya kepentingan konkret yang mendominasi preferensi dan aspirasi politik mereka.

Tiga hal inilah yang telah menyebabkan terjadinya proses “individualisasi politik” di kalangan kelas menengah, dimana kepercayaan terhadap efektivitas dan akuntabilitas partai politik, termasuk lembaga politik formal lainnya, secara signifikan menjadi semakin mengecil.

Ini juga yang membuat kenapa corak massa mengambang baru ini berbeda dengan massa mengambang ala rezim Orde Baru. Jika pada masa Orde Baru massa mengambang didesain untuk menciptakan stabilitas, maka terjadinya masa mengambang baru ini cenderung menjadi sumber kegaduhan politik, sebagai imbas dari proses individualisasi politik tadi.

Tentu saja merupakan persoalan bagi kita jika pelembagaan demokrasi secara diametral terus-menerus harus berhadapan dengan proses individualisasi politik atau massa mengambang baru tadi. Memang, skeptisisme, dan bahkan apatisme terhadap partai politik itu bermula dari gagalnya partai politik menjadi representasi kepentingan rakyat. Argumen soal oligarki seringkali dikemukakan di sini. Namun, kita perlu menyadari bahwa kini persoalannya tidak lagi di sana.

Persoalan kita kini sudah bergeser menjadi bagaimana menggeser oligarki di dalam partai politik, sehingga partai politik semakin terbuka dan sehaluan dengan kepentingan rakyat. Tentu saja pergeseran itu tidak mungkin terjadi begitu saja. Persis di sini publik perlu menyadari bahwa perubahan itu tidak mungkin terjadi jika mereka tidak terlibat secara aktif dalam proses dan mekanisme politik yang berlangsung di dalam tubuh partai politik.

Tuduhan bahwa partai politik kita telah gagal dalam berposisi sehaluan dengan kepentingan rakyat seringkali merupakan tuduhan sepihak yang tidak jernih. Sebabnya sederhana, apa yang dimaksud dengan “kepentingan rakyat” itu sendiri bukanlah sesuatu yang jelas dengan sendirinya. Rakyat bukanlah sebuah entitas yang bulat dan homogen, melainkan sangat terfragmentasi, termasuk aspirasi dan kepentingannya.

Partai politik, di atas kertas, memang tidak seharusnya berada pada posisi untuk memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat. Ini bedanya partai politik dengan lembaga pemerintahan, yang harus bisa berdiri di atas semua kepentingan. Itu sebabnya setiap partai mestinya memiliki ideologi dan platform yang berbeda-beda. Di atas kertas, mereka memang hanya harus memperjuangkan aspirasi para konstituennya.

Persoalannya adalah: siapakah yang disebut konstituen itu? Apakah seluruh rakyat? Apakah pemilihnya pada waktu pemilu? Atau, mereka yang punya kartu anggota partai? Inilah persoalan pokok kita.

Sekali lagi, persis di sini publik perlu menyadari bahwa perubahan di dalam partai politik tidak mungkin terjadi jika mereka tidak terlibat secara aktif dalam proses dan mekanisme politik yang berlangsung di dalam tubuh partai politik. Dan itu artinya publik harus terlibat menjadi bagian dari partai politik.

Selama ini partai politik eksis karena sokongan para elite dan cukong, sehingga tidak mengherankan jika pelembagaan partai politikpun lebih merupakan representasi kepentingan mereka.

Jadi, jika tidak ingin kepentingan dan suara Anda dirampok oleh elite, masuklah ke dalam partai politik secara berbondong-bondong, bayarlah iuran supaya tidak ada lagi korupsi di sana, bikinlah konvensi partai ketika hendak memilih kepala daerah, dan calonkan diri Anda sendiri jika Anda tidak percaya pada orang lain.

Pilihan model demokrasi itu seperti televisi. Jika tidak ingin diganggu iklan, maka bayarlah tipi kabel. Dan kalau ingin panen tomat, ya harus punya kebun tomat, atau minimal ikut merawat kebun dan menanam bibitnya, sehingga ketika panen bisa ikut menuntut hasilnya.

Kalau masih ingin mengambang, jadi balon sajalah, Pemirsa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar