Kamis, 18 September 2014

PENDIDIKAN TANPA KONSEP: PERTANYAAN UNTUK PEMERINTAH BARU





Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Ketua P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat) 


Rencana pemerintahan baru untuk membagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menjadi dua kementerian, yaitu kementerian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah dengan kementerian yang mengurusi pendidikan tinggi dan riset, terus terang menerbitkan tanda tanya. Siapakah gerangan penggagas konsep tersebut? Apa yang melatarbelakangi lahirnya konsep tersebut? Sudahkah konsep awalnya diuji dengan melibatkan para ahli yang kompeten dan mumpuni? Lalu, dimana nomenklatur "kebudayaan" akan ditempatkan?

Pertanyaan-pertanyaan itu harus dikemukakan mengingat implikasi dari rencana tersebut tak bisa dianggap enteng. Namun, sementara ini, di atas kertas rencana pemisahan Kemdikbud menjadi dua kementerian tadi bisa kita anggap sebagai terusan dari sejumlah salah kaprah yang telah berlangsung di dunia pendidikan kita dalam lima belas tahun terakhir.

Salah kaprah pertama adalah diubahnya (nama) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Departemen Pendidikan Nasional pada masa pemerintahan Gus Dur (1999), dimana nomenklatur kebudayaan dihilangkan darinya. Dikeluarkannya nomenklatur kebudayaan dari kementerian pendidikan ini berlangsung hingga 18 Oktober 2011, ketika pemerintahan SBY mengumumkan perubahan susunan (reshuffle) Kabinet Indonesia Bersatu II. Dalam perubahan itu, nama Kementerian Pendidikan Nasional dikembalikan menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dikeluarkannya nomenklatur kebudayaan dari kementerian pendidikan secara konseptual merupakan kekeliruan fatal. Pendidikan, menurut Daoed Joesoef (1981), merupakan bagian dari kebudayaan, dan tidak pernah merupakan sebaliknya. Pendidikan merupakan instrumen untuk mewariskan, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan. Meskipun pada zaman ini isi kebudayaan semakin banyak yang berasal dari sumbangan ilmu pengetahuan, namun ilmu pengetahuan tadi bukanlah kebudayaan itu sendiri, melainkan sekadar produk saja dari kebudayaan yang menjadi inangnya.

Jika pendidikan dipisahkan dari kebudayaan, lantas pendidikan menjadi instrumen dari apa?

Salah kaprah yang kedua adalah ihwal munculnya status BHMN (Badan Hukum Milik Negara), lalu BHP (Badan Hukum Pendidikan) dan terakhir BLU (Badan Layanan Umum) sebagai identitas hukum bagi lembaga pendidikan. Munculnya status-status ini telah menempatkan tata kelola pendidikan nasional menjadi subordinat dari tata administrasi keuangan dan perbendaharaan negara.

BLU, kita tahu, adalah anak kandung UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Merujuk kepada kriteria yang disebut oleh UU tersebut, seperti bahwa BLU dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas a la korporasi, nampak sekali bahwa spirit dibentuknya BLU adalah untuk “mewirausahakan” birokrasi. Meskipun dibentuk bukan untuk mencari keuntungan, BLU memiliki ciri seperti korporasi. Misalnya, pada pasal 69 ayat (6) disebutkan bahwa pendapatan BLU dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan. Pendapatan yang dimaksud itu dapat diperoleh dari hibah, sumbangan, atau sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan.

Singkatnya, BLU pertama-tama adalah konsep mengenai perbendaharaan negara yang terutama lebih banyak terkait dengan soal pengelolaan keuangan. Cukup jelas, dengan kerangka itu BLU tidak bisa memberikan orientasi terhadap substansi pendidikan. Jika pengelolaan lembaga pendidikan hanya menginduk kepada tata aturan pengelolaan keuangan, maka secara tidak langsung kegiatan pendidikan telah direduksi semata menjadi soal administrasi.

Soal berikutnya, dengan ciri wirausaha tadi, sulit untuk disangkal bahwa BLU memang sengaja didorong untuk melakukan komersialisasi. Pada intinya, pelayanan yang dilakukan oleh BLU tidak lagi berada dalam kerangka melakukan pelayanan terhadap public goods (dimana semestinya masyarakat tidak perlu membayar), melainkan dalam kerangka private goods (dimana daya beli menjadi ukuran). Karena diterapkan bagi dunia pendidikan, maka BLU sebenarnya merupakan terusan dari konsep awal privatisasi dunia pendidikan yang telah dimulai sejak 1999.

Salah kaprah yang ketiga adalah jargon tentang “universitas riset”. Tugas utama yang diemban oleh universitas dimanapun adalah pendidikan. Riset bukanlah tugas universitas sebagai sebuah lembaga, melainkan tugas personal dari para sarjana yang berada di dalamnya dan para sarjana yang dihasilkannya. Itupun dengan catatan bahwa riset yang dilakukan di universitas pertama-tama bukanlah untuk tujuan komersial, melainkan untuk menunaikan dharma “ilmu pengetahuan sebagai proses” (science in term of process), sebagai pelengkap kegiatan pengajaran di kelas yang merupakan bentuk dari diseminasi “pengetahuan sebagai produk” (science in term of product).

Kegiatan riset, baik untuk keperluan komersial maupun instrumental lainnya, telah dinaungi oleh kementerian dan lembaga-lembaga milik negara lainnya, seperti LIPI, Batan, Dewan Riset Nasional, dan lain-lain, termasuk diselenggarakan oleh departemen litbang di berbagai perusahaan dan lembaga swasta.

Dua salah kaprah terakhir tadi, yaitu soal tata kelola sistem pendidikan yang tunduk kepada tata kelola perbendaharaan negara, serta salah kaprah isu universitas riset ini, sebenarnya semakin jelas menunjukkan bahwa pendidikan nasional kita dalam lima belas tahun terakhir ini memang secara sengaja dikondisikan untuk menjadi instrumen dari kepentingan pasar.

Oleh karenanya, dapur perumus kebijakan dari pemerintahan baru yang akan dilantik bulan Oktober nanti harus membuka latar belakang dan rumusan konseptual yang melatarbelakangi rencana pemisahan Kemdikbud menjadi dua kementerian sebagaimana telah disinggung di muka.

Dimana dan dengan cara bagaimana pemerintahan baru nanti akan menempatkan nomenklatur kebudayaan?

Daoed Joesoef, dalam berbagai karangannya, kerap menulis bahwa salah satu sebab lapuknya pendidikan adalah ketika ia dicerabut dari akar kebudayaannya. Menurutnya, pendidikan adalah bagian konstitutif, jika bukannya integratif, dari kebudayaan. Sehingga pemisahan pendidikan dari kebudayaan akan bersifat destruktif bagi keduanya.

Pendidikan, untuk dapat menjalankan fungsi-fungsinya, memerlukan nilai-nilai instrumental. Nilai-nilai tersebut tidak bisa lain harus digali dari kebudayaan inangnya. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa sistem pendidikan yang kita kembangkan untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”—sesuai amanat Proklamasi—adalah bagian utuh dari kebudayaan.

Selain itu, karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan, maka sebelum “pendidikan” diberi pengertian, baik pengertian dalam arti makna-kata, makna-proses, maupun jangkauan tujuannya, terlebih dahulu dipahami apa yang dimaksud dengan “kebudayaan”. Sebab, dalam pengertian kebudayaan itulah terkandung penjelasan bagi pendidikan. Tanpa itu, maka pendidikan akan tercampak dari makna hakikinya sebagai bagian dari kebudayaan.
Jadi, khusus mengenai konsep pendidikan, pemerintahan baru harus membuka dan mengujikannya kepada publik terlebih dahulu. Jangan sampai soal pendidikan yang krusial ini kita biarkan diatur dan dikacaukan oleh  orang-orang yang, meminjam Daoed Joesoef, mengidap penyakit "defisit filosofi" dan "defisit intelektual" yang kronis


Yogyakarta, Kamis, 18 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar