Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM
Dalam sebuah tulisannya,
Daoed Joesoef pernah melontarkan sebuah pertanyaan bernada menggugat:
kenapa di Indonesia seorang ilmuwan tidak bisa secara otomatis diakui
sebagai budayawan, dimana kerja kesarjanaan mereka sebenarnya dapat
dipersamakan sebagai sebuah karya kebudayaan.
Gagasan yang
mencoba menautkan ilmu pengetahuan (sebuah produk dari kerja
kesarjanaan) dengan kebudayaan (dimana berbagai pengetahuan telah
melesap pada berbagai praktik yang pada umumnya tak lagi dipikirkan)
sebenarnya telah tertabalkan pada karya banyak sarjana kita. Pada 1954,
Soedjatmoko, misalnya, menulis sebuah risalah di majalah Konfrontasi
yang menguar gagasan persis seperti apa yang terpacak sebagai judulnya:
“Pembangunan sebagai Masalah Kebudayaan”. Ketika kita mendatangkan
traktor untuk membajak sawah-sawah kita, demikian tulis Soedjatmoko,
tanpa disadari sebenarnya kita juga sedang mendatangkan kebudayaan yang
telah menciptakan traktor-traktor tadi. Dengan kata lain, pengetahuan
dan teknologi pembuatan traktor tidak bisa disapih—sebagaimana diyakini
oleh kebanyakaan orang—dari kebudayaan yang telah melahirkannya.
Sederhananya, Anda tidak bisa menerima traktor tapi menolak inangnya,
yaitu industrialisme.
Pada
1955 dan 1956 terbit pula dua jilid buku terjemahan karangan Kahrudin
Yunus, seorang sarjana (Ph.D.) minang yang mengenyam pendidikan di
Universitas Al-Azhar, Mesir, hingga Universitas Columbia, Amerika.
Disebut terjemahan karena pada mulanya buku itu ditulis dan disiarkan di
luar negeri dalam bahasa arab. Dari tak kurang tujuh ratus halaman
tulisannya, Yunus mengutarakan gagasan pokok bahwa “sistem ekonomi
berakar di kebudayaan”. Oleh karenanya, bukan tanpa alasan jika dalam
versi terjemahan Indonesia Yunus memilih judul Sistem Ekonomi Kemakmuran
Bersama. Untuk meringkus seluruh teori yang disusunnya, Yunus hanya
membutuhkan sebuah kata, "bersamaisme". Sebab, dalam pandangannya,
kebudayaan masyarakat Indonesia secara umum memang berciri kelembagaan.
Kini kita bisa mencatat bahwa pengakuan atas fakta sosial sejenis pula
yang telah mendorong kenapa para ahli ekonomi pertanian kita pada awal
dekade 1980-an menubuatkan bahwa unit analisis kajian ekonomi perdesaan
bukanlah individu petani, melainkan rumah tangga petani (Kasryno, dkk.
1984).
Selain Soedjatmoko dan Yunus, Hidayat
Nataatmadja, Daoed Joesoef, dan Mubyarto adalah sarjana lain yang juga
pernah mengemukakan pertautan antara ilmu pengetahuan dengan kebudayaan.
Pada akhir dekade 1970-an hingga akhir 1980-an, Hidayat berpolemik
dengan banyak sarjana ihwal apakah ideologi merupakan bagian dari
kebudayaan atau merupakan entitas yang terpisah darinya. Melalui banyak
bukunya, Hidayat mengajukan pandangan bahwa ideologi merupakan bagian
dari kebudayaan. Menurutnya kebudayaan adalah rumah pikiran, sehingga
dengan sendirinya ideologi (dan anak kandungnya, ilmu pengetahuan)
merupakan bagian darinya. Gagasan Ekonomi Pancasila sebagaimana yang
dipopulerkan oleh Mubyarto sebenarnya juga bisa dipahami melalui
kerangka ini. Dengan menggunakan nama Pancasila, Mubyarto mencoba
menjadikan “kebudayaan” sebagai determinan dalam proyek keilmuannya,
sebuah intensi yang akan mengingatkan kita pada pesan seorang ekonom
Cambridge, Joan Robinson: “the very nature of economics is rooted in
nationalism”. Daoed Joeosef sendiri, sebagaimana terbaca dalam banyak
tulisannya, mengimani gagasan bahwa di balik ilmu pengetahuan adalah
kebudayaan.
+++
Jika kebudayaan
adalah basis persoalan dari mana ilmu pengetahuan menstrukturasi
gagasannya, kenapa para sarjana kita, atau ilmuwan kita, tidak bisa
secara otomatis diakui sebagai budayawan, sebagaimana dipersoalkan oleh
Daoed Joesoef?
Ada dua cara untuk mendiskusikan
kemungkinan jawaban dari pertanyaan ini. Pertama adalah dengan
menganggap bahwa pertanyaan tersebut ditujukan kepada publik kebudayaan,
dimana soal diakui atau tidaknya seorang sarjana sebagai budayawan
tergantung pada pengakuan yang diberikan oleh publik kebudayaan terhadap
hasil kerja kesarjanaannya. Dalam kacamata ini, pertanyaan atau gugatan
tadi dianggap sebagai persoalan otorisasi dan definisional. Artinya,
soal masuk dan tidaknya kerja kesarjanaan sebagai sebuah karya
kebudayaan adalah tergantung kepada apa yang dimaksud dengan kebudayaan
dan budayawan oleh para hambanya sendiri. Dengan demikian, jika saat ini
para sarjana atau ilmuwan kita tidak bisa secara otomatis diakui
sebagai budayawan, maka itu disebabkan oleh definisi budayawan (dan
karya kebudayaan) yang masih sempit dan terbatas. Sudut pandang ini
kemudian melahirkan kritik bahwa pengertian budayawan dan kebudayaan
harus mengalami perluasan makna dengan menyertakan ilmuwan dan kerja
kesarjanaan sebagai bagian darinya. Secara sederhana, kita bisa menyebut
ini sebagai “kritik kebudayaan”.
Cara pandang kedua
adalah yang menganggap bahwa gugatan tadi sebenarnya ditujukan kepada
publik kesarjanaan. Bila dibandingkan dengan sudut pandang pertama,
sudut pandang ini sepertinya lebih jarang, untuk tidak menyebutnya sama
sekali tidak-diperhatikan atau dianggap ada. Melalui sudut pandang ini,
gugatan yang diintroduksi oleh Daoed Joesoef sebenarnya lebih banyak
tertuju kepada para ilmuwan dan kerja kesarjanaan mereka. Maksudnya,
telah seberapa jauhkah para ilmuwan atau sarjana kita melibatkan
kebudayaan dalam kerja keilmuan mereka selama ini? Jika kerja
kesarjanaan mereka hanya sedikit atau sama sekali tidak melibatkan
kebudayaan yang menjadi inangnya, maka memang sudah sepatutnya mereka
tidak layak untuk menyandang gelar sebagai budayawan atau kerja
kesarjanaan mereka dihargai sebagai karya kebudayaan. Sebagaimana sudah
disampaikan, kebudayaan adalah rumah pikiran, inang dalam mana ilmu
pengetahuan menjadi bagian darinya, sehingga jika sampai sebuah kerja
kesarjanaan tak melibatkan kebudayaan inangnya sebagai referensi, maka
tradisi kesarjanaan yang demikian pada prinsipnya sedang membangun
istananya di awan.
Tapi bisakah kerja kesarjanaan
melepaskan dirinya dari kebudayaan sama sekali? Ia mungkin saja bisa
terlepas dari kebudayaan ibunya, tapi mustahil ia sama sekali tidak
terikat dengan kebudayaan lain. Artinya, persetubuhan sebuah tradisi
kesarjanaan dengan kebudayaan mustahil disangkal, hanya saja apakah
kebudayaan itu adalah kebudayaan “ibunya” atau bukan, itu adalah masalah
yang berbeda.
Sudut pandang kedua ini membekali kita
sebuah kritik bahwa bisa jadi tradisi kesarjanaan yang kita hidupi
selama ini sama sekali tidak atau belum melibatkan kebudayaan ibu kita
sendiri, sehingga karenanya para ilmuwan atau sarjana kitapun tak bisa
otomatis disebut sebagai budayawan. Lebih jauh, tradisi yang demikian
adalah tradisi kesarjanaan yang tidak didukung oleh “kerja kesarjanaan”,
yaitu kerja dalam rangka penciptaan-otonom, karena meskipun inspirasi
perkembangan ilmu pengetahuan bisa berasal atau dicari dari kebudayaan
manapun, namun sebagai sarjana kita dibebani kewajiban (meminjam bahasa
Soedjatmoko) untuk mencari dan membangkitkan di dalam kebudayaan kita
sendiri asas-asas otonom, yang dengannya kita bisa mengembangkan
dinamika sosial kita sendiri. Ringkasnya, hanya individu otonom yang
bisa membangun tradisi kesarjanaan otonom. Tanpa sikap otonom kita hanya
akan menjadi epigon, peniru, yang sekadar membebek pada tradisi orang
lain. Kita bisa menyebut ini sebagai “kritik ideologi” atau “keilmuan”.
+++
Masalah
kebudayaan dan kerja kesarjanaan ini mendesak untuk diperhatikan karena
kita kini kian gemar mengamputasi sebuah konsep dari konteks kebudayaan
(atau semesta gagasan) yang telah melahirkannya. Sehingga tidak heran
jika pernah ada manifes dari sejumlah sarjana kita yang memacak Ekonomi
Pasar Sosial (Social Market Economy) sebagai visi politik ekonomi, tapi
di sisi lain mereka menolak neoliberalisme, tanpa memperhatikan bahwa
keduanya merupakan saudara kembar (bdk. Giersch, 1968). Konsep-konsep
yang seharusnya telah terikat kepada pengertian tertentu yang sudah baku
tiba-tiba diadopsi seolah merupakan kosakata generik yang belum diberi
pengertian. Semua itu disebabkan oleh absennya kerja kesarjanaan.
Alih-alih bekerja untuk menyusun dan menemukan konsep sendiri secara
otonom, para sarjana kita lebih suka mengkonsumsi dan mengadopsi
konsep-konsep yang sudah jadi, itupun dengan cara yang ceroboh.
Oleh
karena itu, jika ada kritik kenapa kebudayaan kita hanya sedikit sekali
melahirkan ilmu pengetahuan, maka perlu disadari bahwa kritik itu
sebenarnya bukan hanya ditujukan kepada domain kebudayaan, sebagaimana
telah terlalu sering dibahas, melainkan terutama kritik terhadap tradisi
kesarjanaan. Sehingga, kritik kebudayaan dan kritik keilmuan,
sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, harus dikerjakan secara
serentak. Tanpa kritik keilmuan, kita hanya akan terperosok menjadi
Sutan Takdir Alisjahbana yang baru, yang berhasil mendekonstruksi
kebudayaan prae-Indonesia tapi gagal bersikap kritis terhadap kebudayaan
baru (modernisme) yang dibelanya. Demikian juga dengan kritik keilmuan,
tanpa dibarengi kritik kebudayaan, kritik keilmuan hanya akan menjadi
seperti proyek hi-tech Habibie, yang gagal menjawab pertanyaan
sederhana: “apakah yang kita butuhkan; pergi ke Singapura dengan pesawat
buatan dalam negeri, atau pergi ke pasar dengan sandal jepit buatan
sendiri?
Jadi, itulah sebab kenapa budayawan kita belum
lagi pantas memakai toga, dan sarjana kita belum juga layak menjadi
budayawan, hingga kini.
*) Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Kabare KAGAMA, No. 169/Vol. XXXVII, November 2008
Oleh Tarli Nugroho
Kawan, masalah kita dengan demokrasi, bukanlah soal asli atau asing, tradisional atau modern, apalagi Timur atau Barat,
sebagaimana yang sering kau risaukan. Kita tahu, kubisme Picasso
mengambil inspirasi dari seni lukis tradisional afrika, puisi Sutardji
mencuri mantera melayu, dan bunyi parikan sunda kuat mewarnai
syair-syair Hartojo Andangdjaja. Apakah kubisme menjadi palsu hanya
karena ia memindai bentuk seni yang sudah menjadi tradisi sebuah suku di
afrika sejak masa yang lebih silam?! Mana yang asli menurutmu, mantera
melayu atau permainan bunyi puisi Sutardji?! Mana yang tradisional dan
modern, bunyi parikan atau syair Hartojo?!
Sejauh
yang berkaitan dengan penciptaan, menurut saya, pertanyaan mengenai
asal-usul memang tak lagi relevan. Sebuah penciptaan hanya harus
berhadapan dengan pertanyaan mengenai otonomi: sejauh mana si pengarang,
atau si perupa, atau si pemikir, mampu bersikap otonom dalam proses
kreatifnya. Sebab tanpa otonomi tidak akan pernah lahir kreativitas.
Kreativitas inilah yang membuat "tiruan" tak lagi sama dengan "aslinya";
dan sekaligus menjadi ukuran apakah "sang tiruan" layak disebut sebagai
"asli yang lain". Kubisme, melalui otonomi-kreatif Picasso,
sama aslinya dengan bentuk seni rupa yang ditirunya. Sehingga, lagi-lagi
(seperti biasa) meminjam Borges, setiap pengutip Shakespeare, dalam
batas tertentu, adalah Shakespeare (yang lain). Bahkan, Berger, dalam Capitalist Revolution (1986), dengan yakin menyebut bahwa kapitalisme di asia timur bukanlah merupakan "perluasan" kapitalisme Barat, karena keduanya melibatkan kebudayaan yang berbeda yang masing-masing berkembang secara otonom.
Dan seperti halnya Berger, Thurow dalam beberapa bukunya yang mengkaji berbagai corak kapitalisme (misalnya Head to Head: The Coming Economic Battle among Japan, Europe, and America; dan Zero-Sum Society),
akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa masing-masing bentuk kapitalisme
yang ada, yang diwakili oleh model Amerika, Eropa (Jerman), dan Jepang,
tadi tidak lagi merupakan satu bangunan yang sama, melainkan telah
menjadi perkampungan otonom yang berbeda.
Ini juga yang
membuat kenapa komunisme Cina tidak rontok seperti halnya komunisme
Soviet. Karena keduanya tak lagi sama. Di Cina, komunisme berhasil
"didomestifikasi" dengan tradisi agraris dan filsafat konfusian. Di sini
kita menyaksikan bahwa gagasan baru bisa diserap dari manapun, tapi
pada akhirnya dia harus tumbuh dengan cara seturut otonomi kebudayaan
yang mengadaftasinya. Bukan kebetulan jika Soedjatmoko, yang pernah
berucap bahwa ide punya kaki, dalam sebuah tulisannya mendudukkan
otonomi (dimana Koko menyebutnya sebagai "mempertahankan identitas")
sebagai "kebutuhan asasi kebudayaan". Otonomi bertanggung jawab untuk
menjauhkan penciptaan dari keterdominasian, sebuah
kondisi yang hanya akan menciptakan pengikut yang sekadar membebek,
atau--jika tidak--paling jauh hanya akan menghasilkan mimikri yang kenes.
Pertanyaannya
kemudian, apakah pilihan kita atas demokrasi-liberal (istilah ini harus
ditekankan, karena pengertian demokrasi tidaklah tunggal) lahir dari
sikap otonom? Saya selalu yakin jika jawabannya adalah tidak. Bahkan,
jika kita membaca lagi tulisan asli yang menimbulkan percekcokan kita
ini, pertanyaan yang bermaksud untuk menggugat keabsahan demokrasi pun
masih saja mengandaikan adanya sebuah "model".
Oleh
karena itu, saya tidak terkejut, misalnya, ketika dalam sebuah pentas
wicara di televisi beberapa tahun lalu, Jeffrie Geovanie, menyebut bahwa
sebaiknya kita tidak usah separo-separo meniru demokrasi Amerika.
Baginya, demokrasi liberal itu seperti software, ia bisa di-install
di komputer manapun, entah itu buatan IBM, Dell, atau komputer jangkrik
rakitan glodok. Bagi Jeffrie, bangun tata negara dan tata sosial
hanyalah soal peniruan dan pemilihan model belaka. Apa yang disampaikan
Jeffrie paling tidak memberi kita dua referensi. Pertama, itu adalah ucapan paling sembrono dari seseorang yang diposisikan sebagai kaum terpelajar. Dan kedua, ucapan itu membuktikan kalau praktik tata negara kita saat ini memang sekadar mencangkok, alias adopteren, yaitu peniruan bulat-bulat dari praktik dan pengalaman negara lain. (Kosakata Belanda membedakan 'adopteren' dengan 'adapteren', dimana yang terakhir bermakna meniru dengan melakukan perubahan, sehingga produk akhirnya bisa dianggap baru sama sekali)
Tentu
saja kita bisa dan boleh mengambil inspirasi dari kemajuan praktik
demokrasi di Amerika, atau di negara lain manapun. Tapi, jangan lupa,
tujuan yang sama tidak selalu bisa dikerjakan dengan jalan yang sama di
ruang dan waktu yang belainan. Persis di sini sikap otonom dan
kreativitas dibutuhkan, atau apa yang disebut seorang kawan kita sebagai
"peran inovatif yg kontekstual dari aktor yg menciptanya".
Bukan
tujuan dari tanggapan ini untuk menggugat keabsahan "norma demokrasi"
ataupun mendukungnya, kawan. Kegelisahan mengenai praktik demokrasi,
dengan sampel prosesi pemilu yang lalu, terlalu jauh untuk
dihubungkan secara langsung sebagai cacat dari "norma demokrasi" yang
diandaikan menjadi hulunya. Bagaimanapun, demokrasi adalah sebuah proyek
untuk menciptakan tatanan sosial dimana, setidaknya menurut Plato, kewarasan bisa menjinakkan naluri kebinatangan
manusia, dan bukan sebaliknya. Jika inti demokrasi adalah gagasan
mengenai tatanan yang dibangun oleh kewarasan, maka kebrengsekan pemilu lalu, alih-alih menunjukkan kegagalan demokrasi, sebenarnya
lebih tepat disebut sebagai "penyimpangan demokrasi dengan membajak
bendera demokrasi".
Kenapa disebut penyimpangan demokrasi? Karena pesta pemungutan suara itu dikerjakan tidak dalam kerangka menghadirkan order, tatanan. Ia hanyalah pesta para kawanan (herd)
yang sepenuhnya anarkis. Bahkan anarki sepertinya merupakan istilah
yang lebih tepat (daripada demokrasi) untuk menggambarkan praktik statecraft
kita itu; atau, lebih tepatnya lagi: "anarki dengan pemungutan suara".
Ketika kita gagal menjawab dengan tegas pertanyaan mengenai apakah
sistem pemerintahan kita berkelamin presidensial atau parlementer, atau
semi-presidensil (jika konsep ini diterima), persis di situ gagasan
mengenai tatanan telah absen, dan kita patut meragukan jika yang sedang
dipraktikkan adalah demokrasi.
Jika kita membaca
perundang-undangan politik pasca-Reformasi, misalnya, termasuk amandemen
empat kali atas UUD '45, kita tidak akan menemukan gagasan mengenai apa
yang disebut dengan struktur, bangun, tatanan, order, dalam
seluruh produk perundangan itu. Sehingga bisa dikatakan, desain politik
kita adalah desain-tanpa-desain (bahkan cenderung anti-desain).
Ia sepenuhnya merayakan anarki, persis seperti yang dipertontonkan oleh
seluruh proses pemilu sejauh ini. Banyak orang latah menyebutnya
demokrasi, padahal yang sesungguhnya terjadi adalah media-krasi dan
korporatokrasi, dimana yang berdaulat adalah segerombolan "Mafia Ohio"
(hampir semua pentolan lembaga konsultan politik dan lembaga survei
politik adalah alumni Ohio State University) yang bersekongkol dengan
kaum pengusaha.
Lantas apa selanjutnya, membatalkan
demokrasi?! Gagasan itu, bahkan dengan menyadari bahwa sebagai sebuah
modus berpolitik demokrasi juga tidak lepas dari kekurangan, tetap saja
terlalu prematur. Bukankah kita tidak perlu mengganti lemari pakaian di
rumah hanya karena baju kita bau?!
Sampai di sini,
pertanyaan kita mestinya adalah bagaimana menghadirkan kembali tatanan
dalam praktik politik kita. Ada perlunya kita merenungkan kembali konsep
"Ratu-Adil" yang populer di masyarakat Jawa. Hanya saja, jika kita
masih membayangkan "Ratu-Adil" sebagai persona, dan bukan gagasan mengenai sistem,
pertanyaan itu sepertinya tidak akan terjawab. Di sinilah repotnya.
Kita kadung menganggap "Ratu-Adil" adalah mitos dalam pengertian yang
inferior. Padahal, persis di sana, ketika mitos tetap dimaknai sebagai
mitos, kita telah jatuh sebagai si tertakluk (dari rasionalisme Eropa)
yang kehilangan otonomi untuk melakukan reinterpretasi-imajinatif atas
warisan kebudayaan ibu kita sendiri. Ketiadaan sikap otonom dan
imajinatif itulah yang telah membuat kita kehilangan khazanah warisan
sendiri, dan kehilangan itu pada akhirnya membuat kita harus mengemis ke
Barat dan ke Timur-Tengah untuk mencari jawab atas persoalan-persoalan
yang kita hadapi.
Jadi, masalah kita bukanlah
demokrasi, kawan. Masalah kita adalah otonomi. Kita bukan individu dan
bangsa yang otonom lagi. Kita tidak lagi menciptakan pilihan, melainkan
hanya sekadar memilih apa yang telah diciptakan orang lain; sekadar
menjadi resipien, dan bukannya produsen. Demokrasi tanpa sikap otonom hanya akan menghasilkan dunia yang tunggang-langgang.
Tabik.
Oleh Tarli Nugroho
Mubyarto Institute, Yogyakarta
Menyunting
sebuah buku lama berbahasa Indonesia dengan maksud untuk
menghidangkannya kembali kepada khalayak pembaca hari ini, bukanlah
sebuah pekerjaan yang mudah. Kesulitan itu pula yang dihadapi penyunting
ketika diminta untuk menyunting kembali buku ini, yang terbit pertama
kali pada 1941. Sumber kesulitannya, jika dirumuskan, ada beberapa.
Pertama,
ada persoalan tata bahasa yang tak gampang diatasi. Apa yang kini
disebut sebagai bahasa Indonesia, dalam perjalanan hidupnya, telah
mengalami banyak sekali perkembangan serta sejumlah pergeseran dari
waktu ke waktu. Dari segi ejaan saja, misalnya, sejak diperkenalkannya “Ejaan van Ophuijsen” pada 1901, yang kemudian digantikan oleh “Edjaan Republik” atau “Edjaan Soewandi” pada 1947, hingga kemudian dipungkasi “Ejaan Yang Disempurnakan”
pada 1972, bahasa Indonesia telah mengalami tiga kali perubahan. Dan
perubahan ejaan tentunya membawa konsekuensi perubahan tata bahasa, yang
pada gilirannya akan mempengaruhi proses pemaknaan (signifying)
atas teks dimaksud. Pergeseran-pergeseran itu telah membuat proses
penyuntingan harus melewati proses berjenjang yang tak bisa diringkas,
yaitu mulai dari pemaknaan atas teks awal hingga mentranslasikan
gramatika awalnya kepada gramatika baru yang digunakan hari ini, dan
semua itu harus dilakukan sedemikian rupa agar makna awalnya tak
bergeser.
Tapi, sesuai kaidah, semua ejaan nama orang
dan nama surat kabar dalam buku ini dipertahankan menurut ejaan van
Ophuijsen. Sedangkan ejaan nama lembaga disesuaikan dengan EYD.
Kedua, soal penggunaan istilah. Kita hari ini, misalnya, lazim menggunakan kata “penelitian” sebagai terjemahan dari kata “research”
dalam bahasa Inggris, dengan pengertian yang kurang lebih sama. Tapi
kata “penelitian” tidak akan kita temukan dalam sumber-sumber tertulis
berbahasa Indonesia sebelum tahun 1950-an. Dan itu bukan karena pada
masa itu orang belum mengenal kegiatan penelitian, melainkan karena pada
masa itu orang menggunakan istilah yang berbeda dengan yang digunakan
pada hari ini. Kata yang lazim digunakan pada masa itu adalah
“penyelidikan”, sebuah kata yang pada hari ini makna dan penggunaannya
semakin menyempit digunakan dalam bidang hukum. Jadi, “penyelidikan”,
dalam risalah-risalah lama, adalah istilah yang digunakan untuk merujuk
pada kegiatan penelitian, atau riset. Istilah lain
yang mencolok adalah “kerajinan”. Dalam risalah-risalah lama, termasuk
dalam buku ini, kata “kerajinan” tidak sama maksudnya dengan penggunaan
dan pemaknaan yang kita kenal hari ini. Di masa lalu, kata “kerajinan”
merupakan padanan dari istilah “industry” dalam bahasa Inggris, atau “nijverheid”
dalam bahasa Belanda. Artinya, pergeserannya sangat jauh sekali. Begitu
juga dengan kata “jabatan”. Dalam edisi pertama buku ini, kata
“jabatan” digunakan untuk menyebut beberapa maksud yang berlainan,
tergantung konteks kalimatnya. Kata ini, misalnya, digunakan untuk
menyebut “kedudukan”, dalam makna sebagaimana yang kita pahami hari ini.
Namun, kata “jabatan” juga digunakan untuk menunjuk kepada lembaga,
sehingga maksudnya tak lain adalah “jawatan”. Pada bagian lain, kata ini
juga digunakan untuk merujuk kepada konsep “pejabat”, dalam pengertian
sebagaimana yang kita pahami hari ini.
Contoh lain
adalah istilah “bahan barang”. Istilah yang banyak digunakan pada masa
lalu ini, dalam kosa kata hari ini tak lain maksudnya adalah “bahan
baku”. Atau juga “barang cat”, yang maksudnya tak lain adalah “bahan
pewarna”.
Kadang-kadang pergeseran makna itu menerbitkan geli, dan bahkan gelak. Technische Hogeschool,
misalnya, yang kini menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung), dahulu
disebut sebagai “sekolah tukang”, tak lain karena pada masa itu padanan
atas kata “tehnic” atau “engineering” dalam bahasa Inggris, atau “technische”
dalam bahasa Belanda, adalah “tukang”. Maka jadilah ITB pada masa itu
dikenal sebagai “sekolah pertukangan”. Jadi, ada banyak sekali kosa kata
yang terlibat dalam pergeseran-pergeseran semacam itu, dan kesemuanya
menuntut perhatian yang benar-benar.
Ketiga,
soal penggunaan singkatan. Dalam edisi pertama buku yang sedang dipegang
pembaca ini, penulis menggunakan beberapa singkatan (akronim) tanpa
memberikan kepanjangan atau artinya. Untuk konteks masa ketika buku ini
ditulis dan diterbitkan, singkatan-singkatan itu mungkin telah lazim
diketahui orang, sehingga penulis kemudian merasa tidak perlu lagi
memberikan keterangan. Persoalan muncul ketika buku ini dibaca lagi hari
ini, singkatan-singkatan itu bisa membuat pembaca “kehilangan jejak”.
Misalnya, dalam sejumlah uraian penulis banyak menyebut singkatan
“B.B.”. Tanpa membuka-buka kembali arsip-arsip atau buku-buku lama,
termasuk koran-koran atau majalah-majalah yang terbit ketika singkatan
ini digunakan, mustahil kita bisa menemukan arti dari singkatan ini.
“B.B.” tak lain adalah singkatan dari binnenlandsche bestuur,
yang artinya adalah “pamong praja”, atau yang hari ini biasa kita sebut
pegawai negeri sipil (PNS). Singkatan lain yang digunakan tanpa
keterangan, misalnya, adalah “S.S.”. Melihat konteks penggunaannya,
serta mencocokan dengan masa ketika singkatan itu digunakan, dan itu
semua memerlukan waktu, baru kemudian diketahui bahwa yang dimaksud tak
lain adalah “staatspoor”, alias “kereta api negara”, atau bisa juga dirujukkan kepada “jawatan kereta api”.
Hingga
proses penyuntingan ini selesai, ada satu singkatan yang hampir saja
tak bisa ditemukan kepanjangannya, yaitu “PBKBT”, sebuah singkatan nama
pusat koperasi kredit di Tasikmalaya, yang dipimpin oleh R.
Danoemihardja. Dalam buku Hanan Hardjasasmita (1982), Danoemihardja—yang
disebut memiliki nama lengkap R. Kosim Danoemihardja—adalah ketua Bank
Koperasi Simpan Pinjam Bumiputera. Setelah berbagai koperasi di Tasik
membentuk sejumlah pusat koperasi, yang disesuaikan dengan ruang
geraknya (yaitu kredit, konsumsi, dan produksi), maka pusat-pusat
koperasi yang baru terbentuk itu kemudian membentuk PKKT (Pusat Koperasi
Kredit Tasikmalaya). PKKT ini banyak disebut oleh sejumlah buku
mengenai koperasi, seperti buku karangan Teko Sumodiwirjo (1954), tapi
keterangan mengenai PBKBT ini nihil. Tentunya PBKBT ini tak sama dengan
PKKT, karena jika dilihat statusnya sebagai “pusat koperasi kredit”,
maka PBKBT adalah bagian dari PKKT. Apakah PBKBT adalah singkatan dari
“Pusat Bank Koperasi Bumiputera Tasikmalaya”? Ternyata bukan! PBKBT tak
lain adalah singkatan dari “Persatuan Bank Koperasi Bumiputera
Tasikmalaya”. Keterangan ini diperoleh dari skema yang disusun pengarang
buku ini mengenai hubungan antara koperasi-koperasi primer (disebut
juga koperasi biasa) dengan koperasi-koperasi pusat (centrales) di bagian akhir buku yang sedang dipegang pembaca ini.
Keempat,
penyuntingan ini harus memperhatikan konteks penggunaan bahasa dan
peristilahan pada masa ketika buku ini pertama kali terbit, atau sesuai
konteks peristiwa dan masa sebagaimana yang diceritakan oleh buku ini.
Misalnya, dalam edisi pertama buku ini banyak sekali digunakan bahasa
Belanda untuk menyebut jabatan, pekerjaan, dan nama lembaga
pemerintahan. Dan itu semua digunakan dengan tidak menyebutkan
padanannya dalam bahasa Indonesia. Istilah dalam bahasa Belanda itu
tentu saja tidak bisa begitu saja diterjemaahkan menggunakan kamus (tepat-makna), melainkan harus dicarikan padanannya sesuai konteks penggunaannya (tepat-waktu).
Dan padanan yang dimaksud tentu saja bukan padanannya dalam konteks
hari ini, melainkan padanannya pada konteks-masa sebagaimana yang
dinarasikan.
“Binnenlandsche Handel”, misalnya, tidak bisa diterjemahkan menjadi “perdagangan dalam negeri” (meskipun secara “tepat-makna”
adalah benar), karena istilah ini digunakan untuk menunjuk kepada
sebuah bagian dari kementerian kolonial yang menangani urusan tertentu.
Namun, pada masa ketika istilah ini berlaku, kata “dagang” dan
“perdagangan” tidak lazim digunakan sebagai padanan kata “handel”.
Istilah bahasa Indonesia yang digunakan pada masa itu adalah
“perniagaan”, dan inilah istilah resmi yang dipergunakan pada banyak
buku dan arsip resmi. Sehingga, padanan yang tepat dengan penggunaan
pada masa itu bagi “Binnenlandsche Handel” adalah “Perniagaan Dalam Negeri”.
Contoh lain adalah kata “dienst”.
Kata ini tidak bisa begitu saja diterjemahkan sebagai “dinas” dalam
bahasa Indonesia. Sebab, kata ini digunakan melekat pada kata lain atau
istilah lain yang merujuk nama lembaga di masa lalu. Misalnya, Visserijdienst,
karena ini berkaitan dengan nama lembaga, maka tidak bisa diterjemahkan
menjadi “Dinas Perikanan”, sebab pada masa ketika istilah ini
digunakan, padanannya dalam bahasa Indonesia memang bukan itu, melainkan
“Jawatan Perikanan”. Kata “dinas” baru dikenal dan digunakan
belakangan. Menemukan padanan-padanan sesuai konteks masanya tadi adalah
pekerjaan yang paling lama dan rumit dalam penyuntingan buku ini.
Namun, khusus untuk kata “banteras” yang banyak digunakan dalam buku ini, terutama ketika membahas schuldbevrijdingscooperatie,
atau “koperasi pemberantas utang”, setelah penyebutan pertama kata itu,
dalam uraian setelahnya kata itu telah diganti dengan kata “berantas”,
agar pembaca tak menganggapnya sebagai salah ketik. Perlu diketahui,
baik “banteras” maupun “berantas” sama-sama merupakan kosa kata bahasa
Indonesia, dan pengertian keduanya, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, adalah sama.
Dan kelima, setiap
penyuntingan ulang buku-buku lama pasti akan ketemu dengan dilema antara
mempertahankan gaya tutur dari masa ketika buku itu pertama kali
terbit, dengan gaya tutur masa kini yang lebih memudahkan pembaca untuk
memahaminya. Dilema ini memang tak berlaku untuk seluruh karya atau
pengarang. Buku-buku atau karangan-karangan Mohammad Hatta, misalnya,
tidak akan banyak mengalami dilema ini karena gaya tutur dan tata bahasa
Indonesia yang digunakan Hatta, bahkan sejak 1930-an, karena demikian
tertib dan tertatanya, relatif cukup dekat jaraknya dengan gaya tutur
dan tata bahasa yang kini lazim kita pergunakan, sehingga penyuntingan
ulang karya-karya Hatta hanya akan melibatkan konversi ejaan saja
daripada translasi tata bahasa.
Berhadapan dengan dilema ini, dalam proses penyuntingan buku ini penyunting akhirnya mencari jalan keluar dengan tetap mempertahankan
gaya tutur dan tata bahasa asli yang digunakan oleh pengarang, tapi
dengan memberikan tambahan keterangan melalui sejumlah catatan (anotasi),
baik dalam bentuk catatan kaki maupun dalam bentuk kurung-siku ([…]).
Semua keterangan dalam tanda kurung-siku di buku ini berasal dari
penyunting. Catatan-catatan itu diberikan untuk memudahkan para pembaca
memahami apa yang disampaikan oleh teks asli, terutama ketika bertemu
dengan sejumlah persoalan sebagaimana telah diuraikan di atas.
Mempertahankan
gaya tutur asli buku ini adalah sangat penting, meski dengan risiko
akan “dipersalahkan” menurut sudut pandang tata bahasa Indonesia hari
ini. Hanya saja, sebuah buku, dan juga bahasa, tidak bisa dinilai hanya
dari tata bahasanya, kejelasan informasi yang disampaikannya, atau dari
kemudahan pembaca menyimaknya. Sebuah buku, dan juga bahasa, karena ia
adalah bagian dari artefak, sehingga cukup penting juga untuk
dipertahankan sebisa mungkin bentuk aslinya. Dan demikianlah cara buku
ini kemudian disajikan kembali ke hadapan pembaca. Oleh karenanya,
pembaca akan berjumpa dengan pilihan kata “girang hati” daripada
“gembira”, serta banyak bertemu dengan sapaan “tuan”, sehingga suasana kebatinan yang antik dari buku ini tetap bertahan.
Sebagai
buah dari catatan yang ditulis penyunting untuk menerangkan
berbagai-bagai kata, istilah, atau uraian asli dari pengarang buku ini,
pada akhirnya perlu disusunkan sebuah glosari untuk melengkapi buku ini.
Glosari ini sekaligus untuk lebih memudahkan pembaca agar tidak
kehilangan kompas. Dalam hal penyusunan glosari dan pemberian padanan
atas istilah-istilah Belanda, buku-buku berikut harus disebut karena
memberikan bantuan yang sangat besar (sesuai abjad nama pengarang):
- A. Hanan Hardjasasmita, Sejarah Lahirnya Gerakan Koperasi Indonesia dan Perkembangannya sampai dengan Awal Periode ’80-an (Bandung: Armico, 1983);
- Almanak Pertanian 1953 (Djakarta: Badan Usaha Penerbit Almanak Pertanian, 1953)
- Almanak Pertanian 1954 (Djakarta: Badan Usaha Penerbit Almanak Pertanian, 1954)
- J. Thomas Lindblad (Editor), New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia (Leiden: Programme of Indonesian Studies, 1993);
- Kamaralsjah, Tentang Pengertian Hal Organisasi Perkumpulan Ko-operasi (Djakarta: J.B. Wolters, 1954);
- Margono Djojohadikusumo, Kenang-kenangan dari Tiga Zaman: Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis (Jakarta: Indira, [cetak ulang tanpa tahun; edisi pertama terbit pada 1969]);
- Mohammmad Hatta, Menindjau Masalah Kooperasi (Djakarta: Pembangunan, 1954);
- Pandu Suharto, Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat (Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1988);
- Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen (Editor), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987);
- Sagimun M.D., Koperasi Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 1984);
- Sugiarta Sriwibawa (Editor), 100 Tahun Margono Djojohadikusumo (Jakarta: UI-Press, 1994);
- Sumitro Djojohadikusumo, Kredit Rakyat di Masa Depresi (Jakarta: LP3ES, 1989);
- Suradjiman, Ideologi Koperasi membentuk Masjarakat Adil dan Makmur (Bandung: Ganaco, 1963);
- Teko Sumodiwirjo, Ko-operasi dan Artinja bagi Masjarakat Indonesia (Djakarta: GKBI, 1954); dan
- Tim Penyusun Buku Sejarah 100 Tahun BRI, Seratus Tahun Bank Rakyat Indonesia, 1895-1995 (Jakarta: Humas BRI, 1995);
Satu
hal yang perlu ditambahkan, pada edisi baru ini semua tabel statistik
telah dinomori ulang dan diberi judul oleh penyunting, karena pada edisi
aslinya tabel-tabel itu sebagian tidak bernomor dan ditampilkan tanpa
judul. Pemberian nomor dan judul tabel ini sangat penting karena
merupakan sejenis standar akademis, yang meskipun pada masa ketika buku
ini pertama kali ditulis standar itu belum berlaku, namun karena buku
ini termasuk karya akademik yang berbobot, sebagaimana ditulis oleh
pengantar M. Dawam Rahardjo untuk buku ini, maka penyesuaian itu harus
dilakukan.
Demikian keterangan yang harus disampaikan terkait penyuntingan buku ini. Selamat membaca!
Maguwoharjo-Yogyakarta, November 2012
*) Karangan ini adalah tulisan
pengantar saya sebagai penyunting bagi buku Margono Djojohadikusumo,
Sepuluh Tahun Koperasi, 1930-1940. Buku ini pertama kali terbit pada
1941, mula-mula ditulis dalam bahasa Belanda, sebelum kemudian
diterjemahkan oleh H.B. Jassin dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ini
adalah buku klasik yang menuliskan perkembangan gerakan koperasi di
Indonesia dalam lima puluh tahun pertama perkembangannya. Sebagai
pegawai Jawatan Koperasi (sebelumnya bekerja di Jawatan Perkreditan
Rakyat), Margono bekerja di bawah supervisi sarjana-sarjana Belanda
terkemuka, seperti Boeke, Fruin dan van der Kolff, yang memiliki banyak
simpati terhadap masyarakat Bumiputera. Pengantar edisi terbaru buku ini
diberikan oleh M.Dawam Rahardjo, dengan tetap menyertakan kata
pengantar edisi pertamanya, yang diberikan oleh J.J. Ochse, Kepala
Jawatan Koperasi dan Perniagaan Dalam Negeri masa itu. Karena pengantar
mengenai isi buku sudah diberikan, saya "hanya" bisa menuliskan
pengantar sebagai penyunting bahasa.