Hari itu, Minggu, 21 November 1965,
hujan turun berderai-derai. Hari yang sendu, karena tak seorangpun
menampakkan batang hidungnya waktu itu. Mungkin orang-orang sedang
berteduh di rumahnya masing-masing, dan berpikir tak banyak hal berarti
yang bisa dilakukan di bawah hujan semacam itu. Tapi tidak demikian
halnya dengan serombongan lelaki berseragam loreng itu. Hujan tak
membuat mereka surut berkeliaran di gang sempit itu. Mereka, Pasukan
Siaga Brigif 4, setelah berhari-hari menyisir, akhirnya sampai di Gang
Sidaredja, Sambeng, tak jauh dari Stasiun Solo Balapan tersebut.
Mereka tak pernah melepaskan pandangannya dari rumah lusuh milik
seorang lelaki yang dipanggil Pak Kasim. Sudah berkali-kali mereka
menyisir rumah itu, yang diduga menjadi tempat persembunyian seorang
lelaki, namun hasilnya nihil. Anehnya, kacamata, radio dan tas yang
diduga milik lelaki yang sedang dicari tadi ada di sana, sehingga mereka
tak segera meninggalkan gang itu.
Setelah bertahan cukup
lama, lelaki yang dipanggil Pak Kasim itupun akhirnya menyerah. Dia
menunjukkan tempat persembunyian orang yang sedang dicari tadi: di balik
lemari makan. Sejumlah lelaki berseragampun bersiaga.
Setelah
mengambil nafas, Yasir, komandan Brigif 4, membuka lemari yang
ditunjukkan itu. Untuk sesaat dia terdiam, sebelum kemudian memberikan
sebuah hormat militer. Seorang lelaki berperawakan langsing keluar dari
balik lemari.
"Apa Bapak ini Menko?" tanya Yasir.
"Ya, betul!" jawab lelaki dari balik lemari itu.
"Maaf, saya bertugas menjemput Bapak ke markas," terus Yasir.
Lelaki itu, yang menjabat Menteri Koordinator dan Wakil Ketua MPRS,
menurut tanpa melawan. Sesampai di Lojigandrung, lelaki itu dipersilakan
menuliskan pengalamannya sejak dari Jakarta hingga Solo. Begitulah
prosedurnya.
Lelaki itu tak lain adalah Aidit. Hari itu Kolonel
Yasir segera diperintahkan oleh atasannya untuk membawa tokoh penting
tadi ke Semarang. Aidit dibawa dengan menggunakan sebuah Jeep. Yasir
dan sopirnya duduk di depan, sementara Aidit duduk di belakang dengan
pengawalan Letnan Prayitno. Di belakang Jeep menguntit sebuah mobil yang
dikendarai Kapten Hartono, yang mengawal secara rapat.
Ketika
Jeep sedang melaju, Letnan Prayitno memasang borgol ke tangan Aidit.
Merasa jadi tawanan, Aidit memberontak. Ia tak terima diperlakukan
sebagai tawanan. Karena terjadi keributan, iring-iringanpun terpaksa
berhenti.
Yasir, yang geram dengan ulah tawanannya, akhirnya
berkata dengan logat Banyumas kental, "Wes 'sembur' waelah! Setelah
'disembur', tinggal wae."
Begitulah.
Tak lama
sesudahnya, Yasir datang melapor kepada Kolonel Widodo, Pangdam VII
Diponegoro, yang kemudian segera meneruskan laporan itu kepada Mayjen
Soeharto, yang waktu itu menjabat Menpangad. Soeharto meminta Yasir
menemuinya di Gedung Agung, Yogyakarta, 24 November 1965. Menurut
pengakuan Yasir, lama sesudah kejadian itu, ketika dilapori langsung
kejadian tadi, Soeharto cuma diam saja. Ya, Cuma diam saja. Tak memberi
tanggapan apapun.
Saya membaca cerita itu di Majalah Adil, No.
1/Th. 52, Oktober 1983, yang saya temukan di sebuah pojokan Kota Solo medio 2012 lalu. Setiap kali membaca cerita semacam itu, saya
selalu murung. Itu adalah sejenis percampuran antara perasaan sedih,
malu, marah, bingung, dan entah apalagi. Tapi saya kemudian lebih suka
menyebutnya sebagai “murung”.
Saya selalu punya imajinasi
kecil, bagaimana seandainya saya sendiri yang berada di pusaran zaman
penuh cekcok itu? Apakah saya akan berposisi sama dengan pandangan saya
hari ini?! Ataukah saya akan berada pada posisi yang berbeda, mungkin
lebih baik, atau mungkin juga lebih buruk, siapa yang tahu?!
Bagi kita yang tak pernah mengalami jaman yang penuh percekcokan haibat
semacam tadi, mengambil sikap apapun sepertinya memang mudah. Ya,
mudah, karena ibarat buku, sejarah sudah sampai pada bab terakhirnya.
Dan sebuah buku yang telah selesai ditulis memang mudah sekali
disimpulkan...
Bagaimanakah saya pada hari itu ingin dan/atau akan dikenangkan oleh
hari ini?! Bagaimanakah bayangan saya pada hari itu mengenai berbagai
sudut pandang yang mungkin berkembang pada hari ini, termasuk
kemungkinan bahwa posisi saya hari itu akan dilihat sebagai keliru,
tidak tepat, dan bahkan tidak patut, yang akan menerbitkan bukannya
kebanggaan pada masa lebih kemudian, melainkan justru rasa malu?!
Bagaimana saya bisa mengetahui semua hal tadi pada hari itu?!
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu membuat saya murung.
Bagi kita yang tak pernah mengalami jaman yang penuh percekcokan haibat
semacam tadi, mengambil sikap apapun sepertinya memang mudah. Ya,
mudah, karena ibarat buku, sejarah sudah sampai pada bab terakhirnya.
Dan sebuah buku yang telah selesai ditulis memang mudah sekali
disimpulkan, untuk kemudian dinilai, apapun kesimpulan dan penilaian
yang diambil.
Tapi coba bayangkan, bagaimana seandainya kita
hidup dalam sebuah epos sejarah yang belum usai. Misalnya, kita hidup
sejaman dengan Umar bin Khattab, ketika yang bersangkutan masih jadi
bergajulan. Ah, imajinasi ini tiba-tiba saja lewat. Bagaimanakah kita
akan menilai seorang Umar ketika yang bersangkutan berada pada tikungan
hidupnya? Apakah kita akan menyambutnya, dengan memberi dukungan dan
kedua tangan terbuka, karena menyadari bahwa setiap orang niscaya
berubah; atau menjadi penghujatnya, sembari mengabarkan kepada dunia
bahwa Umar hanyalah seorang bergajulan dan akan tetap demikian
selamanya?! Bagaimana kita akan bersikap atau menarik kesimpulan dari
sebuah sejarah yang masih berproses dan belum usai semacam itu?!
Seandainya kita hidup di tahun 1965, dan terlibat dalam semua
percekcokan masa itu, kira-kira akan dimanakah posisi kita? Menjadi
mereka yang dikejar-kejar, ataukah menjadi mereka yang mengejar-ngejar?
Sejak di bangku sekolah menengah saya kadang membayangkan, sebagai
muslim, jika hidup sejaman dengan Rasul, saya mungkin saja akan
tergolong kepada mereka yang termasuk memusuhinya, bahkan mungkin
menistakannya. Ya, kenapa tidak?! Apa yang menjamin saya, dan juga Anda,
tak akan termasuk ke dalam golongan semacam itu?! Sebijak itukah kita,
sehingga kita bisa mudah menerima begitu saja kebenaran-kebenaran baru
yang tak terbayangkan sebelumnya dari seseorang yang hampir seluruh
hidupnya kita saksikan, atau menerima tikungan-tikungan tajam hampir
muskil dari kehidupan orang-orang yang juga kita kenal?!
Seandainya kita hidup di tahun 1965, dan terlibat dalam semua
percekcokan masa itu, kira-kira akan dimanakah posisi kita? Menjadi
mereka yang dikejar-kejar, ataukah menjadi mereka yang mengejar-ngejar?
Kita mungkin saja menjadi mereka yang mengejar-ngejar, karena sebelumnya
kita pernah jadi kelompok yang dikejar-kejar. Begitukah?! Akan
sanggupkah kita bersikap jernih dan bijaksana dalam suasana persaingan
dan pertarungan ideologi-politik yang menguras perasaan sebagaimana
berlangsung pada dekade itu?
Ah, untungnya kita hidup pada hari
ini, setelah epos-epos besar tadi telah liwat, yang masing-masing telah
memberikan timbunan pengetahuan dan hikmat selama ribuan, ratusan, dan
puluhan tahun, sehingga kita bisa lebih mudah untuk menilai dan bersikap
atasnya.
Tapi, kadang saya bertanya-tanya, apakah epos-epos
besar hanya terjadi di masa lalu?! Tidakkah sungai waktu yang sedang
kita layari hari ini mungkin saja adalah sebuah epos besar juga bagi
sesuatu hal, atau beberapa hal, untuk suatu masa yang lebih kemudian?!
Lalu pertanyaan yang membuat murung itupun akan kembali menguntit:
sudah seberapa jernih dan bijaksana kita menimbang dan menilai jaman
kita ini, kesekarangan ini? Sudah seberapa adil kita dalam melihat dan
menimbang mereka yang saat ini berposisi berbeda, berseberangan, dan
bahkan terlibat cekcok hebat dengan kita? Dengan cara bagaimana kita
hendak menyudahi semua percekcokan hari ini? Dengan cara bagaimana kita
akan dan hendak dilihat oleh masa tiga, atau empat generasi sesudah ini?
Membaca cerita kematian Aidit, dan keseluruhan tragedi masa itu, saya
kadang berpikir bahwa mungkin saja kita sebenarnya tak sedang berada
pada sungai sejarah yang mengalir. Seperti sungai yang kadang meluap,
kita saat ini mungkin sedang berada dalam genangan dari luapan tadi,
yang limpas pada 1965 itu. Genangan itu tak kunjung mengering, karena
setiap kali mengering selalu mendapat limpasan baru, mungkin pada 1974,
1978, 1984, 1991, 1998 atau momen-momen sejarah lainnya yang membuat
kita terus-menerus mencatat sejarah dengan memori traumatik.
Jadi, sementara sungai sejarah terus mengalir, kita tak pernah beranjak
kemana-mana, karena masih berada dalam genangan yang sama, memutar
secara berulang-ulang pirangan hitam berisi lagu rindu-dendam. Dan epos
besar jaman ini barangkali adalah bagaimana mengalirkan kembali genangan
itu kepada sungai sejarah. Mampukah kita?
Yogyakarta, 1 Oktober 2014
Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)
Namanya Hazairin (1906-1975). Sebuah perguruan tinggi terkemuka di Bengkulu kini mengabadikan namanya. Hazairin, yang lahir di Bukit Tinggi, 1906, adalah guru besar Hukum Adat dan Hukum Islam di Universitas Indonesia. Pada zamannya, bersama dengan Soepomo dan Mas Mukmin Djojodigoeno dari Universitas Gadjah Mada, ia adalah ahli hukum adat paling terkemuka. Pada awal Proklamasi, Hazairin pernah menjabat Bupati Sibolga (1946), lalu menjadi Residen Bengkulu (1950), sebelum kemudian diamanati jabatan Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Berayahkan orang Bengkulu dan beribukan perempuan Minangkabau, Hazairin kemudian lebih dikenal sebagai seorang sarjana Minang terkemuka pada masanya. Dalam sejumlah seminar penting mengenai Minangkabau, seperti seminar legendaris “Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau” (1968), ketika para sarjana yang lebih kemudian, seperti Mochtar Naim, misalnya, masih ingusan, Hazairin telah menjadi tokoh senior, bersama dengan HAMKA, M. Nasroen, dan Soetan Haroen al Rasjid.
Saya membuka kembali file mengenai Hazairin setelah istilah “Demokrasi Pancasila” kembali disebut-sebut belakangan ini, ketika muncul cekcok politik terkait pemilihan kepala daerah, yaitu mengenai apakah sebaiknya kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) dipilih secara langsung ataukah cukup melalui DPRD. Cekcok itu telah menghidupkan kembali istilah yang telah lama mati, “Demokrasi Pancasila”.
Istilah “Demokrasi Pancasila” kembali dimunculkan sebagai identitas untuk merujuk model pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Secara sederhana, di kalangan mereka yang setuju dengan gagasan pemilihan secara tidak langsung, gagasan “Demokrasi Pancasila” dianggap sebagai gagasan mengenai demokrasi tidak langsung. Sementara, di kalangan mereka yang setuju dengan pemilihan secara langsung, istilah “Demokrasi Pancasila” dinilai secara peyoratif, bahkan hampir mirip comberan, karena diimajinasikan sebagai mewakili praktik politik rezim Orde Baru.
Benarkah demikian? Tepatkah dua anggapan itu?
Sepertinya, dua anggapan itu, yang bersifat klise dan stigmatik, sama-sama menunjukkan rendahnya mutu tradisi kesarjanaan di negeri kita. Baik yang klise maupun stigmatik sama-sama menunjukkan ciri betapa longgarnya standar kesarjanaan di Indonesia, karena keduanya sama-sama membangun pendiriannya bukan di atas penalaran yang metodik dan sistematis, melainkan sekadar berpijak pada ingatan dan stereotip.
Pandangan pertama, yang menganggap bahwa “Demokrasi Pancasila” adalah gagasan tentang demokrasi tidak langsung, bersifat klise, karena terlalu menyederhanakan persoalan dan dikemukakan hampir tanpa rujukan gagasan, kecuali kepada praktik yang pernah berlangsung di masa lalu. Istilah itu pada akhirnya lebih dikemukakan untuk menciptakan kesan stigmatik bahwa mereka yang berada pada posisi sebaliknya, dengan semua andaiannya, adalah “tidak Pancasila(is)”. Ini memang agak mirip dengan gaya Orde Baru dahulu.
Pandangan kedua, yang secara sembrono menyebut bahwa istilah “Demokrasi Pancasila” adalah ciptaan Orde Baru, yang dibuat untuk melegitimasi praktik politik totalitarian rezim tersebut, juga menunjukkan betapa cara pandang sarjana-sarjana kita pada umumnya masih bersifat stigmatik, dan bukannya analitik. Meskipun mereka yang memiliki anggapan ini merupakan kelompok yang sangat kritis, baik di masa lalu maupun masa kini, namun ironisnya modus berpikir mereka seringkali justru merepro modus berpikir dari rezim yang sering mereka kritik dan bahkan benci itu: stigmatik dan stereotipis.
Saya masih ingat bagaimana pada penghujung 1980-an terjadi kehebohan di Bandung terkait penjualan kaos oblong dan kalender bergambar arit. Ya, gambar arit. Pemerintah Orde Baru segera melarang penjualan kedua barang itu, karena keduanya memuat gambar yang dianggap dekat dengan simbol komunisme: palu-arit. Begitulah penalaran stigmatik.
Ironisnya, penalaran semacam itu juga yang pernah mendakwa Ahmad Dhani sebagai penyebar gagasan fasisme beberapa bulan silam, hanya karena yang bersangkutan memakai seragam Himmler dalam sebuah video klipnya. Padahal baju seragam itu, termasuk dengan berbagai simbol Perang Dunia II lainnya, telah menjadi produk fashion yang mendunia. Dan video klip yang dihebohkan itu bukanlah kali pertama Dhani menggunakan seragamnya tersebut.
Menghubungkan produk fashion dengan kampanye mengenai fasisme hanya mungkin lahir dari penalaran stigmatik, selain tentu saja bentuk serangan politik yang disengaja, karena kebetulan video Ahmad Dhani yang dipersoalkan itu adalah video klip kampanye politik dalam pemilihan presiden kemarin.
Dalam obrolan di lingkaran kecil kadang saya berkelakar: jangan-jangan, hanya karena Stalin kencing berdiri, maka semua orang yang kencing berdiri juga akan disebut Stalinis. Itu hanyalah contoh karikatural dari bagaimana menggelikannya cara berpikir stigmatik.
Kembali ke soal awal, menyebut bahwa “Demokrasi Pancasila” adalah ciptaan Orde Baru, dan bahkan menganggap bahwa konsep itu artinya tak lain adalah praktik tata pemerintahan sebagaimana yang berlangsung pada masa rezim tersebut, sepenuhnya merupakan produk pemikiran stigmatik. Dan pemikiran itu tentu saja keliru.
Persis di situ kita harus mengingat kembali Profesor Hazairin. Pada 27 hingga 30 Desember 1968, diadakan “Seminar Hukum Nasional II” yang diadakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) untuk membahas bagaimana konsep untuk menegakkan negara hukum di Indonesia. Para ahli hukum berkumpul untuk merumuskan konsep detail mengenai negara hukum, termasuk membicarakan sebuah topik yang disebut “Demokrasi Pancasila”. MPRS, melalui TAP MPRS XXXVII/1968 memang sudah menyinggung istilah itu. Namun, istilah itu tak diajukan sebagai konsep, sehingga tidak mengandung rumusan. Persis di situ perbincangan dalam seminar tersebut menjadi penting.
Hazairin, yang terlibat dalam seminar tersebut, pada 1969 menulis sebuah buku berjudul “Demokrasi Pancasila”. Dalam buku itu ia melakukan kritik terhadap sejumlah pendekatan yang berkembang pada masa itu yang mencoba melakukan konseptualisasi “Demokrasi Pancasila”. Melalui bukunya, Hazairin mencoba mengemukakan konsepnya sendiri. Secara teknis konsep yang dikemukakannya merupakan turunan dari sistem negara hukum sebagaimana yang ditetapkan setelah Proklamasi, dan secara filosofikal merupakan interpretasi filsafat hukum terhadap gagasan Pancasila.
Dalam buku itu, misalnya, Hazairin mengkritik penautan ide “Demokrasi Pancasila” kepada sila keempat Pancasila. Dalam penafsirannya, sila keempat memang mengandung rumusan mengenai gagasan demokrasi, namun Pancasila tidak bisa dipreteli kembali menjadi sila-sila penyokongnya. Artinya, gagasan “Demokrasi Pancasila” harus merujuk kepada kompleks-gagasan Pancasila secara utuh, bukannya kepada sila keempat secara terpisah. Hal demikian dianggapnya sebagai keliru secara metodik. Nah, uraian interpretif mengenai kompleks gagasan Pancasila itulah yang kemudian dipaparkan oleh bukunya. Tentu saja, itu dilakukan dengan sudut pandang filsafat hukum, sesuai bidang yang ditekuninya.
Selain Hazairin, sarjana kita yang terlibat membahas perumusan gagasan tersebut adalah Ismail Suny. Dibanding Hazairin yang lebih senior, nama Ismail Suny relatif masih cukup dikenal. Terkait dengan konseptualisasi “Demokrasi Pancasila”, Ismail Suny (1982) merangkumkannya menjadi tujuh prinsip, yaitu:
1. Rule of Law
2. Constitutionalism
3. Supremacy of the People’s Congress
4. Responsible Government
5. Democratic and Representative Government
6. Presidential Government
7. Parliamentary Control
Apakah yang dilakukan Hazairin dan Ismail Suny merupakan ikhtiar kesarjanaan untuk melegitimasi tata pemerintahan Orde Baru? Tentu saja itu tuduhan yang menggelikan.
Apa yang dilakukan Hazairin dan Ismail Suny adalah ikhtiar dari sebuah proyek kesarjanaan yang bisa kita sebut sebagai “mengilmukan Pancasila”, yang dasar-dasarnya telah dimulai oleh Notonagoro, terutama melalui karyanya, “Berita Pikiran Ilmiah tentang Kemungkinan Djalan Keluar dari Kesulitan mengenai Pantjasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia” (1957). Apa yang dilakukan oleh Notonagoro adalah sebuah kerja kesarjanaan untuk membawa perbincangan mengenai Pancasila keluar dari wilayah politik praktis dan memasuki arena baru: wilayah akademis. Sejak itulah berbagai kajian mengenai Pancasila berkembang. Selain “Demokrasi Pancasila”, kemudian juga lahir kajian “Ekonomi Pancasila”. Khusus mengenai kajian Ekonomi Pancasila bahkan sudah dimulai sejak 1965, jauh sebelum Mubyarto mulai membahasnya pada 1979. Profesor Ismail Suny termasuk salah satu elaborator awalnya, meski dia melakukannya dari sudut pandang ilmu hukum, dan bukan ekonomi.
Baik gagasan “Demokrasi Pancasila”, maupun gagasan “Ekonomi Pancasila” yang kemudian dihidupi oleh para sarjana terkemuka seperti Mubyarto, Hidajat Nataatmadja, M. Dawam Rahardjo dan Sri-Edi Swasono, adalah bagian dari kerja kesarjanaan untuk “mengilmukan Pancasila” itu tadi.
Apakah gagasan itu dilontarkan untuk melegitimasi rezim?
Gagasan Ekonomi Pancasila, yang tercatat pernah melahirkan polemik paling panjang dalam sejarah ilmu sosial di Indonesia, alih-alih merupakan legitimasi terhadap rezim, justru pertama kali dilontarkan sebagai kritik terhadap strategi pembangunan ekonomi pemerintah, selain sebagai kritik keilmuan terhadap ilmu ekonomi konvensional yang diimani oleh para teknokrat ekonomi.
Memang, dengan kekuasaannya rezim kemudian bisa memanipulasi wacana tersebut. Dan berhasil. Setelah Mubyarto dan kawan-kawan diintimidasi untuk tak lagi menggunakan istilah itu di mimbar akademik, pelan-pelan wacana itu diproduksi ulang oleh pemerintah melalui Lemhanas. Pada awal 1990-an, wacana yang semula merupakan kritik terhadap pemerintah itupun kemudian berubah seolah menjadi label dari praktik kebijakan ekonomi pemerintah.
Hal yang sama juga terjadi pada gagasan Demokrasi Ekonomi. Setelah gagasan Ekonomi Pancasila “diistirahatkan” paksa, sejumlah ekonom kritis pada pertengahan 1980-an getol mengkritik kebijakan konglomerasi yang dilakukan pemerintah dengan mempopulerkan kembali gagasan Demokrasi Ekonomi. Apa ujungnya? Melalui tangan J.B. Sumarlin dan ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia), pemerintah kemudian mengeluarkan rumusan mengenai Demokrasi Ekonomi versi ISEI, yang isinya memberikan pembenaran terhadap praktik ekonomi konglomerasi.
Apa yang bisa kita catat dari soal-soal itu?
Persis di situlah seorang sarjana mestinya memposisikan dirinya tak ubahnya seorang rimbawan (forester). Meskipun seluruh sudut hutan kelihatan berwarna hijau, seorang rimbawan bisa membedakan antara satu pohon dengan pohon lainnya, satu tanaman dengan tanaman lainnya, termasuk semak-semaknya. Warna hijau sebuah hutan tak akan mengaburkan pandangan seorang rimbawan bahwa di balik warna itu terdapat berbagai spesies yang berlainan satu sama lain.
Begitu juga seharusnya seorang sarjana. Di hutan rimba gagasan, ia harus bisa memetakan pohon-pohon konsep, mengenali posisi tiap pohon konsep dalam kerajaan besar pohon gagasan, termasuk untuk menemu-kenali bentuk persilangan dari pohon-pohon konsep yang telah ada, dan bahkan mengenali spesies-spesies baru yang mungkin belum terpetakan. Dan itu tentu saja mensyaratkan kecermatan, selain pengetahuan yang sistematis dan luas.
Melakukan generalisasi bahwa semua wacana mengenai Pancasila yang lahir pada masa Orde Baru merupakan bagian dari perkakas rezim untuk melegitimasi kekuasaannya adalah sebuah kesimpulan sembrono. Ada banyak sekali produksi wacana mengenai Pancasila yang lahir dalam periode tiga dekade setelah kejatuhan Soekarno hingga kejatuhan Soeharto, dimana wacana-waana itu hadir dalam berbagai spektrum model interpretasi, baik yang serius, mendalam, hingga yang tak ubahnya sekadar pelumas bibir saja. Menunggalkan semua itu tak ada bedanya dengan menganggap bahwa semua tanaman yang berwarna hijau adalah serupa dan pasti berasal dari satu spesies. Betapa sembrononya kesimpulan itu.
Dalam sebuah karangannya, Taufik Abdullah pernah membahas bahwa salah satu sebab kenapa gagasan untuk mengilmukan Pancasila itu seolah melorot derajatnya dalam dunia akademik, tak lain adalah karena faktor Bardosono. Ketika Bardosono memimpin PSSI antara 1975 hingga 1977, ia memperkenalkan apa yang disebut “Sepakbola Pancasila”. Tentu saja, ide itu menjadi bahan tertawaan banyak kaum terdidik. Dan “Sepakbola Pancasila” kemudian telah menjadikan seluruh ikhtiar untuk mengilmukan Pancasila jadi terdengar seperti lelucon juga. Begitulah impak dari penalaran stigmatik.
Menyimak kenyataan begitu banyaknya sarjana kita hari ini yang tidak lagi mengetahui bahwa gagasan Demokrasi Pancasila pernah jadi proyek kesarjanaan Hazairin dan Ismail Suny, misalnya, tentu saja membuat miris. Itu semakin menunjukkan betapa rendahnya mutu tradisi kesarjanaan di Indonesia. Kealpaan itu hanya mungkin muncul dari absennya tradisi saling membaca dan membahas.
Apa yang celaka dari absennya kebiasaan saling membaca dan membahas itu?
Absennya kebiasaan untuk saling membaca dan membahas itulah yang telah menyuburkan penalaran stigmatik dalam dunia kesarjanaan kita. Tanpa kebiasaan saling membaca dan membahas, tradisi kesarjanaan kita hidup dengan daya jangkau ingatan yang pendek saja. Tak ada kerumitan analitikal dalam ingatan pendek semacam itu. Dan kondisi itu memang gampang memproduksi stigma.
Dalam kegaduhan politik hari ini, misalnya, orang gampang sekali menghakimi sebuah gagasan dari perilaku aktornya. Sebuah bentuk penalaran yang janggal. Betapa brengseknya semua gagasan jika begitu, karena kita selalu bisa menemukan anggota jamaah yang brengsek di belakang setiap rombongan pengusung ide, apapun idenya tersebut. Modus penilaian semacam itu lahir karena banyak orang umumnya enggan untuk memeriksa secara serius dan seksama anatomi gagasan yang hendak dinilai atau dikritiknya. Maka cara yang paling mudah untuk menjatuhkan gagasan yang tak disepakati adalah dengan meminjam modus berpikir stigmatik tadi. Apalagi, jika gagasan yang sedang disengketakan terkait dengan soal politik.
Jadi, jika kita hari ini menyaksikan para sarjana kita hanya sibuk berlomba memproduksi stigma dalam tulisannya, dan gagal melakukan problematisasi yang reflektif-mendalam, kita mengetahui sebabnya.
Daripada capek-capek meneruskan ikhtiar Hazairin dan Ismail Suny, memang lebih mudah mengimpor demokrasi dari Hong Kong. Bukan begitu, Pemirsa?
Yogyakarta, 3 Oktober 2014
Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat), Yogyakarta
Diskusi
mengenai calon presiden yang menghangat sejak kurang lebih satu
setengah tahun terakhir ini masih saja berkutat di soal popularitas dan
elektabilitas. Sebagaimana telah dikeluhkan sejumlah sarjana dan
pengamat, karena hanya berkutat di dua soal itu, demokrasi kita jadi
minim memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Dan kontestasi
popularitas yang tidak melibatkan pertarungan gagasan, agenda, dan
program, pada akhirnya telah mereduksi demokrasi menjadi semacam ajang
pencarian idola-politik saja.
Infrastruktur kekuasaan
adalah perangkat yang menunjukkan seberapa jauh seorang tokoh politik
menguasai simpul-simpul penting di lingkungan sosial, politik dan
ekonomi yang bisa digunakannya sebagai kolega, alat penekan, alat
penawar, serta alat lobi ketika yang bersangkutan sedang mengoperasikan
kekuasaan pemerintahan.
Popularitas dan
elektabilitas bisa saja mengantarkan seorang kandidat memenangi hari
pemilihan. Namun, dalam proses politik selanjutnya, apakah yang
bersangkutan akan bisa mengoperasikan kekuasaan pemerintahan atau tidak
di rentang masa jabatannya, atau apakah dia bisa atau tidak mengerjakan
agenda yang dititipkan publik kepadanya, tidak lagi tergantung kepada
popularitasnya pada waktu kampanye dan pemilihan, melainkan pada
penguasaannya atas hal lain, terutama penguasaan infrastruktur kekuasaan (power apparatus).
Infrastruktur kekuasaan inilah yang sebetulnya akan menentukan posisi
tawar seorang tokoh, atau kandidat, ketika berhadapan dengan kelompok
kepentingan dalam proses perumusan kebijakan. Tanpa infrastruktur
kekuasaan yang memadai, ia tak akan bisa mengoperasikan kekuasaan
pemerintahan secara efektif seturut harapan publik yang dititipkan
kepadanya.
Infrastruktur kekuasaan adalah perangkat yang
menunjukkan seberapa jauh seorang tokoh politik menguasai simpul-simpul
penting di lingkungan sosial, politik dan ekonomi yang bisa digunakannya
sebagai kolega, alat penekan, alat penawar, serta alat lobi ketika yang
bersangkutan sedang mengoperasikan kekuasaan pemerintahan.
Infrastruktur kekuasaan hadir dalam bentuk jaringan sumber daya,
dukungan politik, ekonomi, dan birokratik, yang kesemuanya bersifat
organik dan formal. Secara umum, di alam demokrasi, infrastruktur
kekuasaan terutama terlembagakan di dalam partai politik. Namun, seorang
kandidat atau tokoh bisa juga menguasai infrastruktur kekuasaan di luar
kelembagaan partai politik, misalnya melalui jejaring alumni perguruan
tinggi, organisasi pergerakan, organisasi profesi, serta ikatan-ikatan
keorganisasian lainnya, yang ketika ia memegang kekuasaan bisa
dikonversi dan didayagunakan untuk membantu mengoperasikan kekuasaannya.
Padahal,
seorang kandidat yang populer sekalipun, termasuk jika ia memiliki
agenda dan program politik yang jelas, belum tentu bisa mengoperasikan
kekuasaannya secara efektif jika yang bersangkutan tidak menguasai
infrastruktur kekuasaan yang memadai.
Hanya
saja, meskipun ada infrastruktur kekuasaan di luar kelembagaan partai
politik, infrastruktur kekuasaan itu biasanya tidak digunakan secara
langsung dan tiba-tiba untuk mengoperasikan kekuasaan. Infrastruktur
tadi biasanya digunakan melalui kelembagaan partai politik juga.
Tentunya bukan merupakan rahasia bahwa untuk menguasai infrastruktur
kekuasaan yang terlembagakan di dalam partai politik, seorang tokoh
memang harus memiliki modal infrastruktur kekuasaan lain yang telah
disebut sebelumnya. Jadi, pada akhirnya, infrastruktur kekuasaan yang
efektif digunakan untuk mengoperasikan kekuasaan pemerintahan adalah
yang terlembagakan di dalam partai politik. Sebab, bagaimanapun partai
politik merupakan miniatur kehidupan politik, sehingga ia memang menjadi
basis perhitungan bagi infrastruktur kekuasaan pemerintahan.
Selain
soal agenda dan program politik, soal infrastruktur kekuasaan ini tidak
banyak diperhatikan dalam perbincangan politik di tanah air, terutama
yang biasa ditampilkan di layar dan halaman media. Padahal, seorang
kandidat yang populer sekalipun, termasuk jika ia memiliki agenda dan
program politik yang jelas, belum tentu bisa mengoperasikan kekuasaannya
secara efektif jika yang bersangkutan tidak menguasai infrastruktur
kekuasaan yang memadai.
Demokrasi yang Efektif
Salah
satu persoalan serius terkait pelembagaan demokrasi di era
post-otoritarian saat ini adalah bagaimana mengefektifkan demokrasi.
Bagaimanapun, demokrasi memang tidak otomatis menghasilkan pemerintahan
yang bekerja untuk demos (rakyat). Apalagi jika pelembagaan
demokrasi jauh dari efektif, akan membuatnya semakin berjarak dari
kepentingan rakyat. Kita pernah mengalami masa demokrasi parlementer
dengan puluhan partai, dan pasca-Reformasi kita hidup dalam sistem
presidensial yang juga dengan puluhan (kini belasan) partai politik.
Jumlah partai yang terlalu banyak ini telah membuat demokrasi jadi tidak
efektif, karena kelompok kepentingan yang terlibat dalam proses
perumusan kebijakan juga jadi terlalu banyak.
Hadirnya gagasan
Demokrasi Terpimpin dan Nasakom pada masa Soekarno dan dilakukannya fusi
partai politik dan pemberlakuan asas tunggal pada masa Soeharto, di
luar tuduhan stigmatik bahwa itu dilakukan untuk menegakkan
otoritarianisme, sebenarnya bisa dibaca sebagai pilihan politik untuk
mengefektifkan demokrasi. Hatta, yang sering diposisikan sebagai
berseberangan dengan Soekarno terkait soal demokrasi, secara tegas
menyebut bahwa gagasan Nasakom merupakan cara yang harus ditempuh untuk
menghindari “free fight democracy”. Melalui Nasakom, demikian
Hatta, maka kepentingan partai-partai politik yang jumlahnya puluhan
coba diagregasikan, sehingga demokrasi tak menjadi arena pertempuran
liar. Istilah free fight democracy, yang diperkenalkan Hatta, sepertinya mengadopsi istilah free fight capitalism
yang telah diperkenalkan Soekarno lebih dahulu, dimana konsep yang
terakhir terutama ditadaruskan untuk melegitimasi gagasan Ekonomi
Terpimpin, sebuah gagasan yang juga turut disetujui Hatta.
Dukungan publik yang besar dalam pemilu memang tidak selalu bisa dikonversi untuk mengoperasikan kekuasaan secara efektif.
Namun,
menyederhanakan jumlah partai politik, atau melakukan fusi ideologis
sebagaimana yang pernah dilakukan pada masa lalu, bukanlah solusi untuk
mengefektifkan demokrasi di masa kini, karena akan gampang dituduh
menyalahi prinsip demokrasi dan bisa dicurigai sebagai hendak
melembagakan oligarki. Persis di sinilah urgensi dan relevansi isu infrastruktur kekuasaan.
Jika dan hanya jika calon presiden menguasai infrastruktur kekuasaan
yang memadai, maka ia bisa efektif mengoperasikan kekuasaannya, atau
dengan kata lain mengefektifkan demokrasi. Sebaliknya, tanpa
infrastruktur kekuasaan yang memadai, kita akan selalu berhadapan dengan
dilema free fight democracy. Bahkan, di level yang paling
buruk, karena institusi politik semakin banyak menjadi kepanjangan
tangan para pemodal, tanpa modal infrastruktur kekuasaan yang memadai,
seorang calon presiden yang populis sekalipun akan mudah didikte oleh
pasar.
Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana bisa popularitas dan
dukungan publik yang besar dalam pemilu tidak bisa menjadi jaminan
seorang kandidat atau tokoh bisa mengoperasikan kekuasaannya secara
efektif?
Dukungan publik yang besar dalam pemilu memang tidak
selalu bisa dikonversi untuk mengoperasikan kekuasaan secara efektif.
Kasus kepemimpinan Jokowi-Basuki di DKI Jakarta merupakan contoh yang
baik. Terlambatnya pengesahan APBD DKI tahun 2014, serta ditolaknya
pengadaan truk sampah oleh DPRD DKI, menjadi contoh bahwa popularitas
dan dukungan publik yang luas terhadap keduanya tidak menjamin mereka
berada dalam posisi yang sangat kuat ketika harus berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan politik yang terlibat dalam perumusan kebijakan
publik, dalam hal ini yang ada di DPRD.
... sekadar menjadi simpatisan politik saja tidak akan memberikan perbedaan apapun, kecuali hanya di hari pemilihan.
Proses
perumusan kebijakan secara teknis memang hanya melibatkan
lembaga-lembaga kekuasaan formal, baik yang berada di wilayah politik
maupun ekonomi. Posisi publik, seberapapun besar dan massifnya, hanya
akan menempatkan mereka sebagai kelompok penekan (pressure group)
saja. Tanpa penetrasi ke dalam lembaga-lembaga kekuasaan formal tadi,
dukungan besar itu tidak bisa dikonversi menjadi infrastruktur
kekuasaan.
Persis di sini publik harus menyadari bahwa sekadar menjadi simpatisan
politik saja tidak akan memberikan perbedaan apapun, kecuali hanya di
hari pemilihan. Proses politik selanjutnya, dimana seorang pemimpin
terpilih harus bernegosiasi dan bertanding dengan berbagai kepentingan
dalam proses perumusan kebijakan, membutuhkan dukungan infrastruktur
kekuasaan. Dan itu hanya bisa diperoleh melalui para partisipan,
yaitu mereka yang terlibat di dalam institusi-institusi resmi
pengambilan kebijakan, mulai dari lembaga politik, birokratik, dan
sejenisnya. Para partisipan inilah yang bisa dijahit dan dikonversi
menjadi infrastruktur kekuasaan. Dan hal yang sama tidak bisa terjadi
pada dukungan para simpatisan.
Demokrasi Terbajak
Jika beberapa riset yang pernah dilakukan sejumlah lembaga survei menyebut bahwa jumlah swing voters
(pemilih mengambang) dan golput merupakan penentu kekuatan perubahan,
maka penilaian itu bernilai benar sejauh yang dimaksud sebagai perubahan
itu sebatas yang terjadi di hari pemilihan. Kalau diperhatikan, angka
golput dalam tiap Pemilu di Indonesia sejak Reformasi 1998 memang terus
meningkat. Jika pada Pemilu 1999 angkanya hanya 10,21 persen, maka pada
Pemilu 2004 dan 2009 masing-masing angkanya menjadi 23,34 persen dan
29,01 persen. Sedangkan, angka swing voters bisa dilihat dari fluktuasi perolehan suara partai-partai politik, yang angka dan konfigurasinya terus-menerus berubah. Jumlah swing voters
ini berkisar antara 14 hingga 19 persen, jika dilihat dari
perubahan-perubahan yang terjadi dalam perolehan suara partai-partai
politik sejak Pemilu 1999 hingga 2009.
Angka swing voters
ini memang menjadi penentu perubahan, sekali lagi, jika yang dimaksud
adalah perubahan di hari pemilihan. Pada Pemilu 2009 lalu, ketika suara
Partai Golkar turun 8 persen, PDI-Perjuangan turun 4,5 persen, dan
Partai Kebangkitan Bangsa turun 5,5 persen, pada saat yang bersamaan
suara Partai Demokrat naik menjadi 14 persen. Pada Pemilu 2009, swing voters telah berhasil membuat Partai Demokrat menjadi pemenang Pemilu.
Tanpa
infrastruktur kekuasaan yang kuat, seorang kandidat bisa sangat mudah
dipaksa untuk mengerjakan agenda-agenda pemilik infrastruktur kekuasaan
lain yang lebih kuat, meskipun mereka yang terakhir ini tidak pernah
ikut Pemilu dan dipilih rakyat.
Namun,
sebagaimana telah diuraikan di atas, karena kemenangan itu hanya
ditentukan oleh para simpatisan saja, yang tak menjadi bagian organik
dari kekuatan harian institusi politik dan ekonomi di tanah air,
kemenangan itu tak bisa dikonversi oleh Partai Demokrat menjadi
infrastruktur kekuasaan yang mampu menyokong mereka dalam menjalankan
roda pemerintahan. Mereka masih harus menjalin berbagai koalisi yang
kebanyakan tidak perlu, dan akhirnya memang tersandera dalam
mengoperasikan kekuasaan pemerintahan secara efektif. Di luar faktor
lemahnya kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana
telah sering diulas selama ini, faktor penjelas yang mengena mengenai
kenapa posisi Partai Demokrat tetap lemah meski memenangi Pemilu adalah
bahwa kemenangan itu tak membuat infrastruktur kekuasaan mereka jadi
lebih kuat. Kondisinya mirip dengan posisi PDI-Perjuangan pada Pemilu
1999. Meski bisa menjadi pemenang Pemilu dengan meraup suara hingga
33,75 persen, namun modal suara yang besar itu tak mampu mengantarkan
Megawati ke kursi presiden, karena suara yang besar itu terbukti
disumbang oleh swing voters, sekadar simpatisan, yang terbukti dalam Pemilu setelahnya mengalihkan dukungan politiknya ke partai lain.
Menghadapi
pemilihan presiden 2014, para pemilih sebenarnya mudah saja untuk
mengukur apakah para kandidat calon presiden yang bertarung memiliki
kompetensi untuk merealisasikan janji dan programnya atau tidak, dengan
melihat infrastruktur kekuasaan yang telah dibangun para kandidat. Jika
mereka sudah cukup lama membangun infrastruktur kekuasaan, kita bisa
menyebut bahwa kompetensi mereka jauh lebih baik daripada kandidat yang
sekadar mengandalkan popularitas tapi belum apa-apa dalam menyiapkan
infrastruktur kekuasaan. Tanpa infrastruktur kekuasaan yang kuat,
seorang kandidat bisa sangat mudah dipaksa untuk mengerjakan
agenda-agenda pemilik infrastruktur kekuasaan lain yang lebih kuat,
meskipun mereka yang terakhir ini tidak pernah ikut Pemilu dan dipilih
rakyat.
Jika yang terakhir itu kembali terjadi dalam Pemilu 2014 ini, maka demokrasi sesungguhnya kembali telah terbajak.
*) Tulisan ini dimuat di Tabloid The Politic No. 11/III, 04-17 April 2014, hal. 20.