Kamis, 01 Mei 2014
WARISAN MUBYARTO DAN UTANG UGM KEPADANYA
Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta
Ketika sekira tiga minggu yang lalu muncul pemikiran untuk mengadakan peringatan sewindu wafatnya Profesor Mubyarto, yang pertama kali dilontarkan Pak Bambang Ismawan, spontan muncul berbagai ide mengenai bagaimana momen itu akan diperingati. Sejumlah usulan acarapun bermunculan, mulai dari mengadakan sarasehan, diskusi buku, pemutaran film, hingga pameran buku. Semua usulan itu hampir menjadi trademark dari kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan dan Mubyarto Institute. Namun, ada satu lagi kegiatan yang sepertinya telah agak lama dilupakan, tapi kini sepertinya mulai bergairah kembali di Bulaksumur B-2—tempat dimana Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (d.h. Pusat Studi Ekonomi Pancasila, PUSTEP) yang didirikan almarhum Profesor Mubyarto berkantor, yaitu: penerbitan buku.
Selama hampir tiga tahun memimpin PUSTEP, hampir setiap bulan Profesor Mubyarto menerbitkan buku. Sehingga ketika ia berpulang pada 24 Mei 2005, sudah puluhan buku karyanya, baik yang ditulisnya sendiri maupun bersama tim peneliti yang lain, yang telah diterbitkan oleh lembaga yang didirikan dan dipimpinnya itu. Sejak kepergiannya itu pula program penerbitan buku oleh PUSTEP seperti berhenti berdenyut, sehingga meninggalkan kesan bahwa produksi pemikiran Ekonomi Pancasila sudah berhenti. Tentu saja itu anggapan yang keliru, karena produksi gagasan Ekonomi Pancasila sebenarnya terus berlanjut dan terpublikasikan, meski tak lagi melalui PUSTEP.
Oleh karena itu, bersamaan dengan munculnya gagasan untuk mengadakan peringatan sewindu wafatnya Profesor Mubyarto, muncul pula gagasan untuk menerbitkan buku terkait peringatan itu. Pertanyaan yang pertama kali muncul kemudian adalah: buku mengenai apa?
Sejak sebelum Pak Muby berpulang sebenarnya telah beredar gagasan di sejumlah kolega dan bekas muridnya untuk menerbitkan sebuah buku penghormatan yang akan diterbitkan bersamaan dengan ulang tahunnya yang ke-70. Sayangnya takdir berkehendak lain, beliau sudah pergi mendahului ketika usianya belum lagi genap 67 tahun. Namun itu tak membuat acara peringatan ulang tahunnya yang ke-70, 3 September 2008, dilewatkan begitu saja. Tepat pada hari itu malah disepakati berdirinya Yayasan Mubyarto, sebuah lembaga yang didirikan untuk merawat dan meneruskan warisan pemikiran almarhum. Ketika itu, gagasan untuk menerbitkan buku penghormatan telah bergeser menjadi penerbitan biografi almarhum. Sayangnya, mimpi itu bahkan hingga hari ini belum terwujud.
Oleh karena itu, ketika muncul gagasan untuk menerbitkan buku bertepatan dengan peringatan sewindu wafatnya Pak Muby, muncul pertanyaan yang sudah disebut tadi: buku mengenai apa? Mengingat waktu yang sangat mepet, tentunya tidak mungkin mengorganisasikan sebuah proyek penulisan baru. “Kalau sekarang baru ditulis, mau terbit kapan?” ucap seorang rekan. Maka satu-satunya pilihan yang mungkin dilakukan adalah mengolah tulisan-tulisan yang sudah ada. Dan pilihan itu jatuh pada mengkolek tulisan obituari Pak Muby. Sebagai pelengkap kemudian turut disertakan sejumlah tulisan, termasuk wawancara panjang dengan almarhum yang pernah dimuat sebuah jurnal mahasiswa, dimana dari kumpulan tulisan ini diharapkan bisa tercapai sejumlah maksud.
Pertama, bagi mereka yang telah mengenalnya, maka kumpulan tulisan ini diharapkan bisa mengingatkan kembali mengenai sosok Pak Muby dan pemikirannya. Meski buku peringatan sewindu wafatnya almarhum ini bertajuk “Warisan Pemikiran Mubyarto”, judul yang tepat bagi mereka yang pernah mengenalnya, terutama bagi bekas murid-muridnya, adalah: “Utang Kita kepada Mubyarto”. Ya, setelah mengingat kembali almarhum, sepertinya masing-masing kita kemudian memiliki utang, yaitu utang untuk meneruskan cita-cita dan menghidupi warisannya. Utang ini tentu saja tidak berlaku bagi mereka yang tak setuju dengan pemikirannya.
Kedua, bagi mereka yang tak sempat mengenal Mubyarto, maka buku ini bisa dijadikan semacam pengantar untuk memperkenalkan apa dan siapa guru besar Fakultas Ekonomi UGM tersebut. Melalui kesan-kesan yang ditinggalkan oleh Mubyarto pada sejumlah orang yang karangan atau komentarnya dimuat dalam buku ini, bisa disimak bahwa Pak Muby bukan hanya seorang pemikir yang tangguh, melainkan juga pribadi yang menyenangkan, dan guru yang banyak memfasilitasi murid-muridnya untuk maju. Pada sosok Mubyarto memang terdapat pengertian seorang “guru” yang sebenarnya, di mana di lingkungan perguruan tinggi kini tak lagi banyak yang tersisa orang-orang semacam ini. Bagi Pak Muby menjadi pendidik bukanlah pertama-tama soal pekerjaan, melainkan dedikasi.
Ketiga, buku ini disusun dengan keyakinan bahwa setiap pemikiran akan punah jika tak terus-menerus ditulis atau dibahas. Dan terbitnya buku ini, selain dimaksudkan untuk terus mengawetkan dan menghidupi pemikiran Mubyarto, juga dimaksudkan untuk mengingatkan kita bahwa tanpa kita sadari dalam usianya yang “baru” menginjak enam dekade, Universitas Gadjah Mada sepertinya telah kehilangan banyak pemikiran penting yang pernah dilahirkan oleh para begawannya. Apa fasal? Di usianya yang kepala enam, ada berapakah buku semacam ini yang pernah terbit di lingkungan Kampus Bulaksumur?! Semakin sedikit jumlah buku semacam ini yang pernah terbit, bisa dijadikan indikasi punahnya sejumlah pemikiran yang pernah dilahirkan di kampus ini. Siapa masih ingat Profesor Sardjito, Profesor Herman Johanes, Profesor Jacob atau Profesor Koesnadi?! Jika nama-nama itu disebut, sebagian besar orang mungkin masih mengingatnya, karena kebetulan mereka pernah jadi rektor UGM, alias mantan “pejabat”. Namun jika ditanyakan, apakah sumbangan pemikiran mereka bagi dunia keilmuan yang pernah tercatat, banyak orang pasti gelagapan. Salah satu sumber gelagapan itu adalah karena kita tidak pernah mencatatkan hal-hal terkait pemikiran tokoh-tokoh tadi secara baik. Jika hari ini ada yang hendak mencari karya-karya Mubyarto, orang masih bisa pergi ke perpustakaan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) atau perpustakaan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM. Namun, kemana kita bisa mencari karya-karya Herman Johanes, Djojodigoeno, Iman Soetiknjo, atau Soedarsono Hadisapoetro?! Pada masanya sumbangan pemikiran dan karya mereka sangat besar artinya bagi bidang keilmuan yang ditekuninya, dan bagi kemanusiaan secara umum. Namun, sekali lagi, dimana karya-karya mereka tersimpan?! Adakah yang merawat karya-karya mereka?!
Tanpa ikhtiar yang serius dan terus-terus untuk merawat dan menghidupi sebuah pemikiran, dalam dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan pemikiran Mubyarto juga mungkin akan bernasib sama. Dan agar hal itu tidak terjadi, maka buku semacam ini harus diterbitkan. Tentu saja kami menyadari bahwa penerbitan buku ini adalah ikhtiar paling sederhana dari upaya untuk merawat dan menghidupi pemikiran Pak Muby.
Akhir kata, buku ini adalah hasil gotong royong dari banyak pihak. Mas Satriyantono Hidayat telah mengirimkan foto-foto yang dimuat sebagai ilustrasi dalam buku ini. Pak Puthut Indroyono telah menyumbangkan transkrip wawancara dengan Pak Sartono dan Pak Koesnadi ketika kedua beliau itu masih sugeng. Sebuah wawancara yang langka dan telah menjadi antik. Dan ucapan terima kasih juga tak lupa disampaikan kepada kolega dan bekas murid Pak Muby yang karangannya bersedia dicuplik untuk buku ini.
Terakhir, kepada Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, dan Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Prof. Dr. Wihana Kirana Jaya, yang telah mendukung dan memberikan fasilitas bagi acara peringatan sewindu wafatnya Prof. Dr. Mubyarto, kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga buku ini ada manfaatnya.
Yogyakarta, Mei 2013
*) Ini adalah tulisan kata pengantar saya untuk buku "Warisan Pemikiran Mubyarto: Memperingati Sewindu Wafatnya Prof. Dr. Mubyarto, MA" (Mubyarto Institute & Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, 2013)
ESAI UNTUK HIDAYAT
Oleh Tarli Nugroho
Mantan Asisten Dr. Hidajat Nataatmadja (2006-2009)
Tradisi keilmuan di Indonesia barangkali memang tidak dihidupi oleh kegairahan untuk membangun otentisitas. Indikasinya bisa dilihat dari miskinnya kegiatan kritik teori maupun tiadanya tendensi strukturasi teori baru yang dilakukan oleh para sarjana kita. Kegiatan penelitian maupun penalaran didominasi oleh vak verifikasi, yang pada dasarnya hanya mempraktikkan, lalu menegaskan kembali gagasan orang lain. Hampir tidak ada problematisasi serius atas berbagai persoalan keilmuan. Seandainyapun ada sebentuk kegiatan kritik teori, maka kegiatan tersebut pun pada dasarnya sukar dibedakan dari sekadar epigon atas pergulatan kritik serupa yang dilakukan para sarjana di luar negeri. Jadi, seandainya ada, atau pernah ada, kritik itu hadir tanpa problematisasi yang otentik.
Bagi sebagian orang, tendensi otentisitas barangkali tidak relevan dibicarakan dalam kegiatan keilmuan. Apalagi, sejarah kelahiran dunia universiter di kita memang pertama-tama bukan untuk melahirkan pencerahan, melainkan sekadar untuk menyediakan ambtenaar, para pekerja di birokrasi pemerintahan. Sehingga, fungsi perguruan tinggi tidak pernah beranjak dari produsen tenaga kerja, dan bukannya produsen ilmu pengetahuan. Sebagaimana bisa kita lihat pada berbagai perbincangan yang menyoal state of the art ilmu sosial di Indonesia, seperti yang pernah mengemuka di tahun 1970-an dan awal 1980-an, sebagian besar sarjana kita berpendirian bahwa tidak ada yang salah dengan ilmu dan teori, yang keliru adalah penerapannya; sehingga mempersoalkan keabsahan ilmu dan teori adalah pekerjaan yang tidak berguna.
Namun, tentu saja itu adalah pendapat yang sepenuhnya salah. Bahkan sangat salah karena secara tak sadar sedang mendudukkan positivisme sebagai proto dari state of the art keilmuan itu sendiri. Hidayat Nataatmadja (1932-2009), terlepas dari kesepakatan atau ketidaksepakatan orang terhadap hasil pemikirannya, adalah satu dari sedikit orang yang gigih melakukan perlawanan terhadap kejumudan dunia kesarjanaan. Melalui sikap otonom yang teguh, Hidayat berusaha membongkar benteng regularitas diskursif. Dia hanya ingin mengajukan dan mempersoalkan apa-apa yang belum pernah diajukan dan dipersoalkan orang lain, demikian tulisnya suatu ketika.
Memang, setiap pemikir berdiri di atas pundak pemikir lainnya, sama seperti halnya setiap tradisi kesarjanaan bertumpu di atas tradisi kesarjanaan pendahulunya yang lebih klasik. Tapi kait-kelindan itu bukan pembenaran terhadap perayaan—meminjam Galbraith—conventional wisdom dan pemujaan terhadap—mencuri Kuhn—normal science. Seperti diimani Borges, setiap pengutip Shakespeare adalah Shakespeare itu sendiri. Dan ilmu pengetahuan, hampir serupa sastra, membangun dirinya dari model serupa itu: penciptaan yang terus-menerus, karena pada dasarnya setiap orang adalah pencipta.
Pada diri Hidayat, etos itu hadir sangat kental. Apalagi, bagi Hidayat, kebudayaan adalah rumah pikiran, sehingga setiap tradisi keilmuan mestinya berakar di kebudayaan inangnya. Tapi tidak berarti Hidayat tak jernih dalam memahami distingsi ihwal universalitas dan partikularitas. Persoalan universalitas dan partikularitas itu justru merupakan salah satu kata kunci dari segepok hasil pemikirannya. Kemanusiaan, misalnya, mungkin bersifat universal. Tapi bagaimana kemanusiaan itu dipelihara, pastinya itu bersifat partikular. Ini sama seperti halnya bahwa semua manusia lahir ke dunia dalam keadaan telanjang. Dengan apa ia akan menutupi tubuh telanjangnya, sangat tergantung pada dimana ia lahir. Bayi yang lahir di kutub barangkali harus dibungkus dengan mantel bulu yang tebal, sementara bayi yang lahir di pesisir Jawa cukup ditutupi jarik tipis. Dan persis di titik partikular itu otonomi kesarjanaan dan tendensi otentisitas, sebagaimana yang melingkupi pemikiran Hidayat, menemukan relevansinya.
Tentu saja otentisitas dalam dunia keilmuan sebagaimana yang dihidupi Hidayat berbeda dengan, misalnya, otentisitas sebagaimana yang diimani dalam karya kesenian. Otentisitas dalam dunia keilmuan, meminjam istilah Daoed Joesoef (1986), adalah otentisitas dalam hal menemukan tata-hubungan prioritas yang baru yang lebih memuaskan dalam memberikan pemahaman terhadap sesuatu . Newton dikatakan telah menyumbang pengetahuan karena analisis ilmiahnya mampu menunjukkan hubungan antara gerakan bulan dan benda-benda langit dengan jatuhnya buah apel. Padahal, gerakan benda-benda langit merupakan pengetahuan astronomis yang sudah lazim, bahkan sejak masa yang lebih lampau. Artinya, gagasan Newton sebenarnya berangkat dari bahan-bahan yang telah lazim diketahui, hanya tata-hubungan dan struktur yang dikemukakan bersifat baru.
Tanpa tendensi otentisitas, ilmu pengetahuan sekadar menjadi kegiatan adopsi, verifikasi, yang pada akhirnya hanya membebek pada kebakuan. Pada titik itu, dunia kesarjanaan sebenarnya sedang sebatas mendudukkan ilmu pengetahuan sekadar sebagai produk yang tinggal dikonsumsi, bukan sebagai proses yang terus-menerus diolah.
+ + +
Bagi generasi yang dilahirkan sesudah dekade 1980-an, Hidayat adalah khazanah intelektual yang terselip. Namanya hampir tidak tercatatkan. Tapi memang, dalam semua tradisi keilmuan, selalu dibutuhkan orang besar untuk memperkenalkan orang besar lainnya, dimana ke-besar-an dalam dunia keilmuan dipelihara melalui siklus bertukar simak dan kaji. Dan tradisi kesarjanaan di Indonesia, apa lacur, tidak mengenal keduanya: keterbukaan untuk menyimak, dan ketekunan untuk mengkaji, yang menjadi prasyarat bagi lahirnya pemikir dan pemikiran besar.
Untuk memahami gagasan Hidayat memang dibutuhkan sebuah ketekunan sekaligus empati intelektual yang tinggi, karena gagasan-gagasannya dituliskan dalam banyak sekali buku dan dalam bahasa yang seringkali “tidak lazim”. Kalau menyimak judul buku-bukunya, menurut ukuran masa kini, atau menurut kebiasaan yang menguntit, dengan mudah kita akan menemukan “ketidaklaziman” itu. Tanpa empati-intelektual, kita akan dengan mudah terpeleset menuduh Hidayat sekadar sedang mencari sensasi, atau memancing kontroversi, sehingga pada akhirnya meluputkan substansi serta argumentasi kokoh yang dengan sangat serius sebenarnya sedang coba dia tuturkan. Begitu juga, dengan tanpa ketekunan untuk menyimak keseluruhan karya-karyanya, kita hanya akan menemukan penggalan-penggalan gagasan penting yang tidak padu. Bangunan penting gagasan Hidayat tersimpan (kadang tersembunyi) dengan rapi dalam keseluruhan karyanya, yang meskipun ada berbagai pengulangan dalam tiap tulisannya, pembaca yang tekun akan menemukan bahwa ada lebih banyak lagi argumen dan uraian penting yang tidak dia tuturkan ulang pada tulisan-tulisannya yang lebih kini. Tanpa menyimak keseluruhan karyanya, kita mungkin hanya akan ketemu kesimpulan-kesimpulan tanpa argumentasi, karena berbagai argumen yang mendasari kesimpulan-kesimpulan itu sudah dia paparkan dalam karya-karyanya yang telah silam.
+ + +
Selasa, 13 Januari 2009, lebih dari setahun silam, Hidayat berpulang, setelah sebelumnya selama lebih dari satu semester bolak-balik ke rumah sakit karena berbagai komplikasi. Tak ada satu obituaripun yang mengantarkannya. Tapi sebenarnya yang dibutuhkan oleh Hidayat memang bukan sebuah obituari, melainkan sebuah ucapan selamat datang. Ketika beberapa bekas murid Hidayat, yang kini telah profesor, mengabari untuk memperkenalkan lagi pemikiran gurunya, itu mungkin adalah ucapan yang lama ditunggunya.
Selamat datang kembali ke dunia universiter, Pak Hidayat!
MENJAJAKAN MINAT BACA, MENAFKAHI TRADISI INTELEKTUAL
Oleh Tarli Nugroho
Pencinta Buku
Ibarat tubuh, perpustakaan adalah jantungnya universitas. Dari jantung-perpustakaan inilah ilmu pengetahuan dipompa ke sekujur tubuh-universitas sehingga kehidupan akademik terus berdenyut. Menuju ke jantung ini pula hasil seluruh pertengkaran ilmiah dikirimkan untuk diperiksa, dikaji-ulang, dikuliti, dikembangkan, lalu disebarkan kembali. Sebagai organ vital, ia tak boleh berhenti berdetak, karena perguruan tinggi secara “medis” akan mati.
Sayangnya, dalam deretan meja kosong dan kursi-kursi menjelujur rapi sebagaimana rutin dijumpai di perpustakaan kita, jantung ilmu pengetahuan tadi dibiarkan sekarat. Beberapa orang boleh jadi tidak terlampau khawatir, sebab toh perguruan tinggi bisa terus memproduksi ribuan sarjana tiap tahun meski perpustakaannya sunyi senyap. Tapi itu tentu saja pikiran yang menghinakan. Sebab pada titik yang demikian, perguruan tinggi tak ubahnya seolah sebatang bangkai: tubuh yang tak lagi bernyawa.
Tulisan ini hendak menyoroti posisi perpustakaan dalam kaitannya dengan tradisi intelektual di perguruan tinggi. Jika selama ini masalah minat baca didudukkan sebagai persoalan teknis yang harus dipecahkan pustakawan, maka tulisan ini berpendapat bahwa masalah tersebut merupakan masalah seluruh elemen perguruan tinggi.
Perpustakaan dan Dunia Ilmiah
Kekeliruan berpikir paling mendasar ketika membincangkan perpustakaan adalah mendudukkan perpustakaan semata sebagai unit teknis dari institusi perguruan tinggi. Ketika perpustakaan hanya dibicarakan sebagai sebuah unit teknis (untuk melayani kebutuhan baca dan pinjam-meminjam pustaka), maka perpustakaan telah dicabut dari kompleksitas keterkaitannya dengan dunia ilmiah.
Sudut pandang ini membuat segenap persoalan yang berkaitan dengan perpustakaanpun kemudian dianggap teknis, bukan sebagai persoalan yang menyangkut dunia ilmiah. Ini bisa ditengarai dari minimnya respon sebagian besar aparatus akademik terhadap segala persoalan yang berkaitan dengannya. Mereka mengira bahwa perpustakaan adalah urusannya pengelola lembaga yang bersangkutan—yaitu pustakawan, tidak ada sangkut-pautnya dengan akademisi. Kalaupun ada tenaga akademik terlibat, biasanya mereka adalah yang sedang menjabat di struktur birokrasi perguruan tinggi.
Pikiran serupa juga dimiliki oleh para pustakawan. Mereka menganggap wilayah kerjanya bersifat mandiri dan bebas dari campur tangan non-pustakawan. Sehingga, setiap persoalan yang berkaitan dengan perpustakaan hanya akan diselesaikan lewat perspektif profesi mereka. Pada akhirnya penyelesaian akan ditarik ke soal profesionalitas serta teknik manajerial, wilayah yang sangat teknis sifatnya. Soal minimnya pengunjung perpustakaan, misalnya. Dengan sudut pandang profesi, mereka akan cenderung melihat persoalan ini sebagai tantangan untuk meningkatkan pelayanan dan fasilitas yang ada agar pengguna menjadi lebih nyaman dan tertarik datang.
Peningkatan profesionalitas layanan dan penambahan fasilitas tentu saja bukan hal yang tidak berguna. Hal itu memang bisa berimplikasi positif terhadap antusiasme pengguna. Hanya saja, hal itu akan lebih berguna jika ditunjang oleh hal lain yang lebih vital sifatnya, yaitu minat baca penghuni kampus. Dalam kaitannya dengan minat baca inilah perpustakaan memiliki hubungan non-teknis dengan dunia ilmiah.
Ilmu Pengetahuan dan Buku
Kegiatan ilmiah merupakan kegiatan mengubah fakta menjadi teori—membuat masalah (fakta) menjadi permasalahan (teori), mengerjakannya dan merumuskan pemecahannya (Daoed Joesoef, 1986). Jadi, ilmu pengetahuan terbentuk dari dorongan untuk memecahkan masalah. Kegiatan yang relevan dengan tujuan untuk memecahkan masalah adalah meneliti, investigasi, serta mengkaji secara mendalam suatu persoalan.
Pengertian mengenai kegiatan ilmiah sengaja dikemukakan untuk memperjelas bahwa minat baca sebenarnya tidak semata “bawaan sejak lahir” sebagaimana yang umumnya kita bayangkan. Dari pengertian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa aktivitas membaca merupakan tuntutan kegiatan ilmiah. Apakah seseorang mewarisi bakat atau tidak untuk membaca, ketika dia berkecimpung di dunia ilmiah maka dia wajib terlibat dalam aktivitas menekuri buku-buku daras.
Tetapi, sebagaimana juga diingatkan oleh Daoed Joesoef, tidak setiap kegiatan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan adalah kegiatan ilmiah. Bekerja di laboratorium atau di perpustakaan ataupun memberikan kuliah, misalnya, bukan merupakan kegiatan ilmiah. Pada aktivitas mengajar, misalnya, tidak ada proses sebagaimana pengertian kegiatan ilmiah di muka. Mengajar adalah aktivitas menyampaikan ilmu pengetahuan yang telah jadi (ilmu pengetahuan sebagai produk), sementara kegiatan ilmiah merupakan proses untuk mencari dan merumuskan pengertian. Demikian pula dengan bekerja di laboratorium, jika sekadar mempraktikkan pengetahuan yang telah jadi, maka itu bukanlah kegiatan ilmiah. Jadi, persyaratannya terletak pada ada atau tidak adanya motif untuk mengubah fakta menjadi teori, memecahkan masalah untuk merumuskan kerangka teoritiknya, dan bukannya segala hal yang berkaitan dengan pengetahuan.
Kembali ke perbincangan awal mengenai perpustakaan, jelas tidak ada kegiatan ilmiah yang bisa lepas dari buku. Buku adalah tempat dimana segala pengetahuan dicatatkan, dipersoalkan, dikaji, dihabisi, untuk kemudian dituliskan kembali. Lewat buku seorang ilmuwan bisa terpandu untuk menemukan jawaban atas persoalan yang ditelitinya, lewat buku pula para ilmuwan menemukan inspirasi masalah yang harus dipecahkan. Kegiatan ilmiah pada akhirnya bermuara pada teks: sebuah cara dalam mana pengetahuan diabadikan.
Jika kegiatan ilmiah tidak bisa dipisahkan dari teks, maka aparatus akademik jelas memiliki tanggung jawab pada persoalan yang berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut minat baca. Irisan keduanya sangat besar. Sehingga, secara tidak langsung segenap dinamika yang terjadi di perpustakaan juga harus masuk dalam radar aparatus akademik, karena masa depan kegiatan ilmiah turut ditentukan oleh aktivitas yang berkaitan dengannya.
Integritas Kesarjanaan
Dari uraian ringkas di atas kita bisa menyimpulkan bahwa menumbuhkan minat baca pertama-tama adalah perkara memperbaiki etos intelektual dan bukannya menambah fasilitas ataupun perbaikan teknis manajerial perpustakaan. Sebab tanpa etos intelektual, berbagai fasilitas yang lengkap hanya akan habis dimakan rayap dan digerus waktu, sementara peningkatan pelayanan akan sia-sia karena hasilnya tidak akan optimal.
Setelah memahami posisi demikian, persoalannya sekarang adalah kenapa minat baca rendah sehingga perpustakaan kita sepi pengunjung?!
Barangkali beberapa orang akan menolak penilaian bahwa perpustakaan kita sepi pengunjung. Mereka yang menolak ini akan mengajukan argumen berupa hitung-hitungan kuantitatif mengenai jumlah pengunjung ataupun jumlah buku yang dipinjam.
Kinerja perpustakaan sejauh ini memang hanya diukur melalui parameter-parameter yang bersifat kuantitatif dan sederhana, seperti jumlah pengunjung, jumlah buku yang dipinjam, jumlah pertambahan buku, dan parameter sejenisnya. Karena terbatas di pengukuran kuantitatif semacam itu, para pengelola perpustakaan atau pejabat perguruan tinggi yang dilapori kinerja tadi menjadi tidak peka terhadap gejala-gejala penting yang terjadi di lapangan.
Boleh jadi, misalnya, secara kuantitatif penggunaan perpustakaan suatu ketika adalah tinggi. Tetapi itu tidak dengan sendirinya menunjukkan hal yang positif berkenaan dengan minat baca, apalagi dengan etos intelektual atau modus ilmiah. Jika aktivitas di dalam perpustakaan kita golongkan menjadi dua, yaitu aktivitas membaca dan menulis, misalnya, di lapangan akan terlihat kalau masing-masing kategori akan didominasi oleh tiga materi bacaan, yaitu skripsi/tesis/disertasi, buku teks, serta koran dan majalah. Urutannya bisa berubah-ubah, tapi unsurnya tetap tiga materi tercetak tadi.
Jika dipikirkan, ini jelas merupakan gejala memprihatinkan. Meskipun tradisi baca masyarakat kita memang rendah, tetapi kegiatan membaca skripsi/tesis/disertasi, buku teks dan koran di perpustakaan di perguruan tinggi kita bukanlah merupakan bentuk kemajuan budaya baca. Alasannya sederhana saja. Sudah bukan merupakan rahasia jika para mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhir, keseluruhan atau sebagian besar dasar teorinya tidak diambil dari buku sumbernya, melainkan dari skripsi/tesis/disertasi pendahulunya. Sehingga, kalau mahasiswa rajin membuka-buka skripsi/tesis/disertasi yang bertumpuk di perpustakaan, itu sebenarnya bukanlah bentuk ke-rajin-an, melainkan bentuk kemalasan membaca buku-buku daras. Begitu pula halnya dengan buku-buku teks dan majalah. Sayangnya, tak banyak yang memperhatikan fenomena ini, baik aparatus akademik maupun pengelola perpustakaan. Atau, kalaupun memperhatikan tidak ada respon yang berarti terhadap fenomena ini. Lebih celaka lagi kalau gejala ini malah direstui.
Kegiatan membaca dan menulis sebagaimana yang dipertontonkan di perpustakaan kita sejauh ini baru merupakan rutinitas akademik: mengerjakan tugas, mencari hiburan, atau memenuhi tuntutan kelulusan. Jadi, jauh untuk bisa disebut sebagai kegiatan ilmiah yang berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam bahasa lain bisa disebutkan bahwa aktivitas tersebut hanya sekadar memenuhi syarat minimal (necessary condition) saja, tapi sangat tidak memenuhi syarat kecukupan (suficient condition) untuk bisa disebut menegakkan etos ilmiah.
Buku teks, misalnya, jelas bukan merupakan sumber utama untuk menguliti sisik-melik ilmu pengetahuan. Buku teks hanyalah sumber sekunder—atau bahkan tersier berkaitan dengan sistem gagasan, apapun bidang keilmuannya. Sedapat mungkin mahasiswa mestinya bersentuhan langsung dengan sumber-sumber utama, yaitu buku-buku yang ditulis oleh para penggagas teori atau buku-buku diskursif yang mendedahkan suatu persoalan secara lebih kompleks dan utuh.
Kecenderungan kian merebaknya praktik “mencari” skripsi/tesis/disertasi di perpustakaan dan utuhnya buku-buku non-textbook ataupun buku-buku berbahasa asing, meskipun sangat awal bisa jadi merupakan gejala longgarnya kultur akademik kita. Meskipun hakikat perguruan tinggi adalah menjadi cagar alam intelektualitas—menjadi pengembang ilmu pengetahuan, dalam praktiknya hakikat itu ternyata dikerjakan dengan standar yang teramat longgar.
perguruan tinggi sebenarnya diharapkan bisa memupuk lahirnya sarjana-sarjana mental yang memiliki etos intelektual dan bukan hanya sarjana-sarjana formal yang hanya memiliki ijazah semataTanpa etos intelektual, pergulatan dengan buku hanyalah sekadar rutinitas akademik yang secara substansial tak berarti. Jika itu yang terjadi, yaitu kegiatan akademik telah menjadi rutin, maka integritas perguruan tinggi sebenarnya tengah terancam. Inilah yang akan membuat sebuah universitas kehilangan ruh, atau tubuh yang tak lagi bernyawa sebagaimana disebut di bagian awal tulisan ini.
Melonggarnya kultur akademik jelas merusak integritas kesarjanaan. Seorang sarjana diharapkan bisa tampil tidak hanya sebagai intelegensia yang menguasai bidang keilmuan profesional, melainkan juga bisa menjadi seorang intelektual yang senantiasa kritis terhadap ilmu pengetahuan dan struktur masyarakatnya. Jadi selain memiliki komitmen yang kuat terhadap nalar dan proses pencarian kebenaran, seorang sarjana juga diharapkan memiliki komitmen moral yang kuat, dalam arti memiliki keprihatinan mendalam terhadap nilai-nilai budaya dan sejarah dari masyarakatnya.
Artinya, perguruan tinggi sebenarnya diharapkan bisa memupuk lahirnya sarjana-sarjana mental yang memiliki etos intelektual dan bukan hanya sarjana-sarjana formal yang hanya memiliki ijazah semata. Di sinilah aparatus akademik memegang peranan penting dalam membantu lahirnya kultur akademik di perguruan tinggi. Tanpa terlebih dahulu lahir kultur akademik, etos intelektual hanya akan menjadi bintang di langit dan integritas kesarjanaan patut dipersoalkan.
Aparatus akademik bukan hanya agen penyampai ilmu pengetahuan yang telah jadi sebagaimana dominan dipahami selama ini, melainkan perlu terlibat menjadi agen intelektual yang berkomitmen terhadap ditegakkannya etika kesarjanaan dan terciptanya etos serupa di kalangan mahasiswa. Dengan cara demikian maka perpustakaan dengan sendirinya akan mengail dinamika aktivitas ilmiah yang membanggakan, tidak sunyi senyap sebagaimana yang ada sekarang.
Menegakkan Etos Intelektual
Jika masalah pokok pengembangan perpustakaan adalah minat baca—dalam keterkaitannya yang kompleks dengan tradisi ilmiah sebagaimana yang telah kita bicarakan, maka persoalan ini tidak hanya merupakan pekerjaan rumah buat pustakawan, melainkan juga buat aparatus akademik. Tanggung jawab para pendidik tak hanya sebatas di ruang kelas atau ruang ujian, melainkan di seluruh sudut tempat bekerjanya kegiatan ilmiah.
intelektual bukanlah sebuah kelas sosial tersendiri, sebagaimana halnya konsep “buruh”, “borjuis” atau “kelas menengah” yang sering diperbincangkan. Intelektual bukanlah persoalan latar belakang, melainkan soal sikap mental dan etos. Artinya, seorang intelektual bisa saja datang dari kelas buruh, petani, militer, dan lain sebagainyaKetatnya kultur akademik atau tradisi ilmiah merupakan pemicu bagi terbentuknya etos intelektual. Pada titik itu, minat baca dan segenap keperluan untuk menegakkan saintisme akan berjalan secara inheren dengan sendirinya. Segenap insan akademik yang ada di kampus akan memiliki kegairahan untuk menjelajahi setiap jengkal wawasan yang tercetak di halaman berjilid-jilid buku yang menumpuk di perpustakaan. Tuntutan akademik tidak lagi dipenuhi sekadar untuk formalitas—sehingga mahasiswa terpaku mengejar kelulusan dengan cukup hanya membaca skripsi, tesis, dan disertasi pendahulunya atau dosen hanya asyik mengajar dan mengejar pangkat tanpa pernah mempublikasikan karya penting—melainkan untuk menjaga integritas keintelektualan. Jika kesadaran mengenai integritas ini telah terpupuk dan terpelihara, baku-dalih ilmiah akan lebih berwibawa karena lebih kaya wacana.
Hal penting yang kadang dilupakan, dalam menciptakan kultur yang demikian contoh dan teladan dari aparatus akademik tidak bisa diabaikan, termasuk penghargaan mereka terhadap perpustakaan. Penghargaan di sana termasuk di antaranya dengan mengunjungi dan mempergunakan jasa perpustakaan. Di sinilah kemudian hal-hal sekunder yang juga telah kita bicarakan mengemuka, yaitu peningkatan pelayanan dan penambahan koleksi.
Sebelumnya, perlu dipahami kalau intelektual bukanlah sebuah kelas sosial tersendiri, sebagaimana halnya konsep “buruh”, “borjuis” atau “kelas menengah” yang sering diperbincangkan. Intelektual bukanlah persoalan latar belakang, melainkan soal sikap mental dan etos. Artinya, seorang intelektual bisa saja datang dari kelas buruh, petani, militer, dan lain sebagainya. Sehingga dalam kaitannya dengan intelektualisme, kebutuhan dosen dan mahasiswa pada prinsipnya sama. Dalam hal ini, tidak ada alasan bagi aparatus akademik untuk enggan datang ke perpustakaan. Persoalannya tinggal apakah perpustakaan telah menyediakan kebutuhan mereka secara memadai atau belum. Hal-hal yang memadai itu adalah hal-hal yang di bagian terdahulu disebut teknis-manajerial (profesionalitas pelayanan, penambahan fasilitas, koleksi pustaka, dan lain-lain). Di sini kita melihat pertemuan antara berbagai hal yang sebelumnya sering diperpsepsikan tak saling berhubungan.
Kelompok Panel Penimbang Buku
Kelemahan sistem pendukung perpustakaan yang ada selama ini adalah terletak pada hal-penambahan buku. Perpustakaan selama ini lebih mengedepankan fungsi sirkulasi, yaitu menyediakan peminjaman buku-buku teks perkualiahan. Sedangkan fungsi referensi, yaitu penyediaan koleksi-koleksi pustaka yang lebih berbobot, seperti jurnal dan buku-buku babon (magnum opus) masih minim. Fungsi sirkulasi dan referensi di sini hendaknya tidak diterjemahkan secara teknis sebagai koleksi yang bisa dipinjam dan hanya bisa dibaca di tempat, melainkan sebagai ukuran mengenai kualifikasi bahan pustaka.
Pengadaan buku selama ini sangat minim melibatkan elemen-elemen kampus lainnya, terutama aparatus akademik dan mahasiswa. Memang di perpustakaan disediakan lembaran usulan pengadaan buku untuk mahasiswa, tetapi bisa dipastikan kalau tingkat partisipasinya tidak optimal. Ini bisa disebabkan karena beberapa hal.
Pertama, sistem pengadaan lembar usulan itu memakai sistem kuota. Artinya, meskipun buku yang diusulkan mahasiswa sangat penting bobot kualifikasinya, kalau dia mengusulkan seorang diri atau hanya dengan sedikit orang secara kuantitatif akan dianggap tidak penting. Kedua, mahasiswa yang terlibat dalam pengisian lembar usulan kebanyakan hanya terbatas mengajukan judul buku-buku teks.
Keterlibatan aparatus akademikpun serupa. Beberapa dari mereka yang peduli barangkali akan mengusulkan atau menyumbangkan salinan literatur penting yang mereka miliki untuk perpustakaan. Tetapi hal ini saja tidak cukup untuk membuat perpustakaan menjadi tempat nyaman buat eksplorasi intelektual. Karena itu pengelola perpustakaan harus mencari jalan keluar lain yang lebih kreatif.
Sebuah jalan yang bisa dicoba mungkin dengan membentuk semacam “Kelompok Panel Penimbang Buku” (KPPB), yaitu sebuah tim yang bertugas untuk menggodok materi literatur yang akan dibeli perpustakaan. Tim ini berisi perwakilan pengelola perpustakaan, dosen, dan mahasiswa. Untuk skup fakultas, perwakilan dosen dan mahasiswa harus merepresentasikan jurusan yang ada di fakultas yang bersangkutan.
Sistem pemilihan tim ini adalah dengan seleksi, seperti pembuatan paper, wawancara yang “mengukur” kecintaan seseorang pada buku (seperti koleksi bacaannya, atau penguasaan literaturnya) dan berbagai parameter lain yang terutama mengukur intelektualitas seseorang dan apresiasinya pada buku. Seleksi diadakan setiap dua tahun sekali untuk memberi keleluasaan kerja bagi KPPB. Tugas KPPB adalah menjaring aspirasi dari elemen yang diwakilinya, atau bisa juga dengan pertimbangannya sendiri dia mengusulkan kira-kira bahan pustaka apa yang harus dibeli perpustakaan.
Anggota KPPB harus bisa mengemukakan argumen yang jelas berkaitan dengan setiap usulan pustaka yang diajukannya. Selain itu, anggota KPPB juga harus kritis terhadap usulan yang diajukan oleh rekan setimnya, sehingga tidak ada dominasi selera dari keputusan yang diambil KPPB secara keseluruhan. Dengan adanya KPPB diharapkan pengadaan buku di perpustakaan bisa lebih dipertanggungjawabkan dan pengguna menjadi lebih tertarik karena isinya berbobot dan variatif.
Epilog
Perpustakaan memang merupakan jantung perguruan tinggi, sehingga menjadi tanggung jawab seluruh sivitas akademik untuk menjaga kelangsungan hidup lembaga ini. Kelangsungan hidup perpustakaan bukan hanya diukur dari eksistensi fisiknya, melainkan kontribusinya dalam dinamika kegiatan ilmiah di perguruan tinggi. Dalam hal ini, selain fungsi teknis sebagai penyedia layanan pinjam-meminjam dan menyediakan ruang baca, perpustakaan adalah simbol dari kegairahan terhadap etos intelektual. Jika sebuah perguruan tinggi telah melemah etos intelektualnya, maka perpustakaan hanya akan menjadi kumpulan rak yang sunyi senyap, dan universitas tengah meregang nyawa dan bersiap menjadi bangkai. Semoga itu tidak terjadi pada kita.
Karanggayam, 8 September 2006
Langganan:
Postingan (Atom)