Oleh Tarli Nugroho
Penyuka sastra; Bekas penonton film.
Saya pertama kali membaca “One Hundred Years of Solitude”
dengan banyak mengernyitkan dahi. Ini novel yang mengguncang,
bertenaga, dan rumit. Kerumitan yang bikin frustrasi adalah untuk
membedakan nama-nama enam generasi keluarga José Arcadio Buendia yang
mirip satu sama lain. Nama-nama itu akan membuat pening setelah Anda
melewati seratus lima puluh halaman pertama. Coba bayangkan, José
Arcadio Buendia punya tiga anak, Aureliano Buendia, José Arcadio dan
Amaranta. Aureliano Buendia punya anak, salah satunya Aureliano José.
José Arcadio punya anak, namanya Arcadio. Arcadio, cucu José Arcadio
Buendia, punya tiga anak, yaitu Remedios, Aureliano Segundo, dan José
Arcadio Segundo. Aureliano Segundo, anak kedua Arcadio, punya tiga anak,
yaitu Renata Remedios, José Arcadio, dan Amaranta Ursula. Bayangkan,
semakin jauh membaca, agar tak kehilangan jejak soal posisi generasional
kita harus selalu kembali ke halaman pertama yang berisi silsilah
keluarga José Arcadio Buendia, karena semakin banyak nama yang muncul
secara bersamaan. Itulah karya Gabriel García Márquez yang pertama saya
baca. Dan itu adalah novel yang sangat memikat.
Sebelum
membaca novel itu, saya kebetulan sedang membaca risalah-risalah
mengenai Taman Siswa dan sangat terkesan oleh sebuah karangan Ki Hadjar
Dewantara yang terbit pada 1938. Dalam karangan mengenai pendidikan
nasional dan azas-azas Taman Siswa itu, Ki Hadjar, mungkin dengan
sedikit meminjam Tagore, menulis:
“Hidup
kita adalah kutipan dari hidup orang Barat; suara kita adalah kumandang
Eropa; kita ini yang seharusnya seorang intelek tidak boleh lebih
daripada sebuah tas penuh keterangan-keterangan; dalam jiwa kita ada
kekosongan, hingga kita tidak sanggup untuk meresapkan apa-apa yang
indah dan bernilai.”
Saya adalah
anak muda yang masih duduk di tahun-tahun awal kuliah dan memiliki
kegairahan teramat sangat untuk mengetahui dan memahami apapun, waktu
itu. Dan karangan itu berhasil mencuri kegelisahan saya.
Karenanya, ketika ketemu “One Hundred Years of Solitude”,
sejak halaman pertama Márquez langsung menarik perhatian karena
narasinya berhasil meletupkan kembali kegelisahan yang pertama kali
diprovokasi Ki Hadjar tadi: “Bertahun-tahun kemudian, ketika Kolonel
Aureliano Buendia menghadapi regu tembak, ia terkenang akan sebuah sore
yang jauh, tatkala ia bersama ayahnya menyaksikan es untuk pertama
kali. Pada waktu itu Macondo adalah sebuah desa dengan dua puluh rumah
batu, berada di tepi sungai teramat jernih yang dasarnya dihuni oleh
batu-batu berwarna putih, berkilauan dan besar-besar seperti telur-telur
zaman purba. Dunia seakan baru saja diciptakan sehingga segala sesuatu
belum mempunyai nama, dan untuk menyebut suatu benda, orang harus
langsung menunjuknya.” Bagi saya, waktu itu, cara Marquez membuka
halaman pertama novelnya memiliki ikatan batin dengan cara Ki Hadjar
merumuskan persoalan pendidikan nasional tahun 1938 itu, yang belakangan
saya sebut sebagai “kekerabatan epistemik post-kolonial”.
Saya
tidak ingat, apakah perkenalan dengan karya-karya Márquez mendahului
perkenalan dengan karya-karya Jorge Luis Borges, atau sebaliknya. Tapi
yang jelas, pada diri saya, ada tali yang mengikat dua narasi itu dengan
sebuah puisi Borges:
“Terberai di kota-kota berjauhan
sendiri dan berlaksa
kita bermain sebagai Adam
(atau Hawa)
memberi nama segala.
Di lereng panjang malam hari
di tapal batas dini hari
kita mencari (masih kuingat) kata-kata
untuk bulan, untuk maut, untuk pagi”
Ketiga
risalah tadi, merupakan tulisan-tulisan yang telah membentuk imajinasi
awal saya mengenai “otonomi intelektual” dan “otentisitas”. Setiap orang
yang merasa dirinya terpelajar harus terpanggil untuk menjadi Adam,
atau Hawa, dengan berusaha “memberi nama segala”, dan tak gampang
terikat kepada nama-nama yang telah terberi.
Selain “One Hundred Years of Solitude”, saya berkenalan dengan novel Márquez lainnya melalui sebuah film, “High Fidelity”.
Ya, itu adalah filmnya John Cussack. Entah kenapa saya selalu menyukai
untuk menonton semua “film brengsek” aktor yang satu ini. Dalam film
itu, Cussack membaca dan banyak menyebut novel “Love in the Time of Cholera”.
Tentu saja, selain dari daftar pustaka buku-buku yang pernah dibaca,
kita bisa menjadikan film sebagai referensi mencari buku bermutu. Saya
juga melakukannya. Dari film “With Honour”, misalnya, saya mulai membaca Walt Whitman dan Emile Zola. Dari “The Unbearable Lightness of Being”, yang novel dan filmnya sama-sama membuat mabuk kepayang, saya belajar membaca Tolstoi.
Untuk
mengenang Márquez, yang baru saja berpulang, saya selalu terkenang pada
kata-kata “satire”-nya yang selalu bisa menerbitkan gelak: “The problem with marriage is that it ends every night after making love, and it must be rebuilt every morning before breakfast.” Tapi, tentu saja tak ada yang lebih menggetarkan dari novel “Love in the Time of Cholera”, selain kalimat brengsek yang selalu membuat saya tercenung: “The only regret I will have in dying is if it is not for love.”
Adios, Gabo.
Oleh Tarli Nugroho
Penyuka sastra; Bekas penonton film
Membaca sejarah itu seperti membaca novel. “By its very nature, the novel indicates that we are becoming. There is no final solution. There is no last word.” Begitu yang ditelatahkan Carlos Fuentes. Namun, kita seringkali menyalahpahami sejarah. Kita sering mengaburkan “history” dengan “memory”, membaurkan sejarah dengan ingatan.
Dan sebagai ujungnya, impak dari “penyejarahan ingatan”, kita hanya
mampu melihat sungai waktu dari kacamata oposisi biner: ingat-lupa,
pelaku-korban, atau baik-jahat. Persoalannya, sejarah hanya bisa memberi
pelajaran jika kita mampu membacanya secara metodik, tak sekadar ingat
dan lupa. Sebab, dalam banyak hal, kita cenderung hanya mengingat apa
yang ingin kita ingat saja, tanpa menguji kualitas ingatan itu. Dan cara
macam itu tak akan mengajari kita apapun selain sekadar merawat
penalaran yang hanya penuh dengan penyangkalan, antitesis, dan
menghardik-hardik. Inilah yang telah membuat cara kita bersikap kepada
sejarah banyak didominasi oleh perasaan kebencian, penolakan, dan
negativitas.
Kesalahpahaman itu barangkali telah berlangsung sejak
lama, sejak Sutan Takdir Alisjahbana menghardik-hardik Sriwijaya dan
Majapahit dalam Polemik Kebudayaan yang terjadi di pertengahan
dekade 1930-an. Bagi Takdir, masalah Indonesia di kuartal kedua abad
keduapuluh adalah “kurang individualis”, “kurang materialis”, dan
“kurang egois”. Dan semua ikatan yang menyandera itu terhubung kepada
Sriwijaya, Majapahit, Hinduisme, Buddhisme, dan Islamisme. Pendek kata,
Takdir sedang mendakwa kejumudan di masa itu sebagai buah dari masa
lalu, yang penanggung jawabnya merentang hingga ke zaman Sriwijaya.
Dan
untuk keluar dari belenggu masa lalu itu, Takdir langsung melancong ke
masa depan dengan melupakan tautan keduanya. Apa yang dimaksud dengan
“masa depan” tentunya tiada lain adalah Barat. Persoalannya, persis pada
titik sebagaimana dikemukakan Takdir masa itu, Barat telah menjadi
bukan lagi kategori geografis maupun sosial yang netral, melainkan telah
menjadi sebuah kategori yang superior: ia adalah masa depan dari kekinian yang tersebar di koloni-koloni.
Ia adalah tempat kemana kita akan beranjak. Imaji yang demikian, hadir
tanpa ironi dalam tulisan-tulisan Takdir. Karena yang modern ada di luar
sana, maka ia harus diimpor. Lalu dimulailah gerilya pengejaran
terhadap modernitas dengan melakukan kremasi terhadap masa lampau.
Pendek kata, di Indonesia, modernitas dilakukan dengan penyangkalan
terhadap masa lalu dan pengejaran terhadap sesuatu yang berada di luar
sana.
Barangkali, persis di sinilah kekerabatan post-kolonial kita
dengan Amerika Latin berselisih jalan. Hampir seperempat abad silam,
pada kuliah Nobel Kesusastraan-nya, Octavio Paz, mencoba menelatahkan
kediriannya dengan lebih baik. “Kami adalah orang Eropa, walaupun
bukan!” ujarnya ironik. Dalam sungai waktu, Amerika Latin memang telah
dipisahkan dari Dunia Lama-nya, tapi di sisi lain mereka juga tak bisa
sepenuhnya menjadi Eropa. Itulah petaka yang senantiasa menguntit
pergunjingan mereka mengenai identitas. Lalu, ke manakah mereka harus
menginduk? Mereka bergumam dalam bahasa Eropa, kesusastraan mereka juga
dicetak dengan huruf yang diangkut oleh kapal-kapal Eropa, tapi
kesemua-miripan itu tak menjadikan mereka orang Eropa.
Namun,
dan ini yang membedakannya dengan kita, Amerika Latin cepat tersadar
untuk segera berhenti menguntit Barat, menjadi bayang-bayang Eropa, dan
tak pernah menghardik-hardik masa lalunya. Meski kuil-kuil dan dewa-dewa
Meksiko Pra-Kolombia telah tinggal onggokan artefak, kata Paz, namun
roh yang meniupkan kehidupan ke dunia itu belum punah; ia masih
berbicara kepada mereka dalam bahasa hermetik: mitos, legenda, seni
rakyat, dan adat istiadat. Dan lewat bahasa hermetik itu Amerika Latin
diam-diam melakukan pemberontakan atas Eropa. Benar kata Pablo Neruda,
Spanyol boleh saja telah mengambil emas mereka, tapi mereka juga
mendapatkan emas Eropa: kata-kata. Tidak heran, jika pemberontakan itu
secara sengit kemudian, terutama, dikerjakan lewat kesusastraan.
Maka,
demikian kata Paz, dalam kaitannya dengan modernitas, alih-alih dicari
dengan menemukannya di luar, mereka justru menemukannya di dalam;
terkubur, namun masih hidup. Mereka tidak menyalahkan masa lalu,
menanggalkan, atau menyangkalnya, melainkan mengolahnya sebagai ramuan
untuk merumuskan kedirian dan kekinian mereka.
Sungguh kontras
sekali dengan kita. Sejak kita menghapus bahasa dan gelar Belanda dari
perguruan tinggi pasca-Proklamasi, sejak rezim Soeharto mengajari kita
untuk mengkhawatirkan apapun yang berhubungan dengan Soekarno yang
merupakan pendahulunya, pada hari ini kita juga masih saja bertegak
risau dengan segala hal yang berhubungan dengan Soeharto. Tak berlebihan
jika dikatakan bahwa sejarah Indonesia modern adalah sejarah yang
bertarung dengan masa lalunya. Sejarah kita selalu berisi kerisauan
terhadap masa lalunya. Dan sebagian kaum terpelajar kita menghelat
pertarungan terhadap masa lalu itu sebagai proyek personal
pencerahannya.
Apakah semua itu, kecenderungan kita untuk selalu
bertarung dengan masa lalu, atau penyangkalan terhadapnya, merupakan
sebab kita tak pernah tanggap pada masa depan dan bingung mendefinisikan
hari ini? Entahlah.
Cara bersikap demikian itu mungkin terjadi
karena historiografi kita terlampau bersifat politik-sentris, dimana
pembabakannya hingga kini masih saja ditandai oleh tapal batas
pergantian rezim. Dengan model historiografi yang demikian, sudut
pandang kitapun rentan mengidap penyakit oposisi biner, yang bersifat
terlalu “politis”—dalam pengertiannya yang sangat peyoratif, sebagaimana
telah disebut di awal.
Persis di soal ini, kita kabur dalam membedakan sejarah dari ingatan. Dalam “Insider”,
sebuah film yang dibintangi Russell Crowe dan Al Pacino, ada dialog
yang menarik antara Crowe dengan Pacino, mengenai bagaimana kebanyakan
orang sesungguhnya tidak peduli kepada apa yang telah dilakukan orang
lain seumur hidupnya, yang merupakan representasi dari “history”, karena mereka hanya akan mengingat apa yang terakhir kali dilakukannya saja. Ada Tembok Berlin yang memisahkan “history” dengan “memory”. Namun, tak banyak orang yang menyadarinya.
Sekarang,
bagaimana kita mendefinisikan “yang terakhir kali” itu?! Di hadapan
sungai waktu, “terakhir kali” adalah sebuah konsep yang sangat
mengambang. Apa yang terakhir kali dilakukan hari ini akan menjadi masa
lampau keesokan harinya. Dan setiap hari, apa yang disebut “terakhir
kali” itu terus-menerus diciptakan. Tentu saja, ingatan mengenai masa
lalu sangat penting, agar kita tidak menjadi seorang pelupa. Tapi, kita
juga sebaiknya tidak melupakan satu hal: sejarah bukanlah sebuah penjara
dimana mereka yang terkurung di dalamnya mustahil untuk bebas atau
melarikan diri. Sejarah bukan hanya mengenai apa yang telah jauh
melampau, karena bukankah sejarah juga terus-menerus dicatatkan setiap
hari?!
Persis di situ kita harus bisa membedakan “sejarah” dari
“ingatan”. Sejarah selalu memproduksi “terakhir kali” yang lain. Setiap
hari. Sementara ingatan, ia memenjarakan kita di kelampauan.
*) Tulisan ini bisa dibaca juga di http://www.geotimes.co.id/blog/994-sejarah,-ingatan,-dan-novel.html