Kamis, 01 Mei 2014

MÁRQUEZ (1927-2014)



Oleh Tarli Nugroho
Penyuka sastra; Bekas penonton film.

Saya pertama kali membaca “One Hundred Years of Solitude” dengan banyak mengernyitkan dahi. Ini novel yang mengguncang, bertenaga, dan rumit. Kerumitan yang bikin frustrasi adalah untuk membedakan nama-nama enam generasi keluarga José Arcadio Buendia yang mirip satu sama lain. Nama-nama itu akan membuat pening setelah Anda melewati seratus lima puluh halaman pertama. Coba bayangkan, José Arcadio Buendia punya tiga anak, Aureliano Buendia, José Arcadio dan Amaranta. Aureliano Buendia punya anak, salah satunya Aureliano José. José Arcadio punya anak, namanya Arcadio. Arcadio, cucu José Arcadio Buendia, punya tiga anak, yaitu Remedios, Aureliano Segundo, dan José Arcadio Segundo. Aureliano Segundo, anak kedua Arcadio, punya tiga anak, yaitu Renata Remedios, José Arcadio, dan Amaranta Ursula. Bayangkan, semakin jauh membaca, agar tak kehilangan jejak soal posisi generasional kita harus selalu kembali ke halaman pertama yang berisi silsilah keluarga José Arcadio Buendia, karena semakin banyak nama yang muncul secara bersamaan. Itulah karya Gabriel Garcí­a Márquez yang pertama saya baca. Dan itu adalah novel yang sangat memikat.

Sebelum membaca novel itu, saya kebetulan sedang membaca risalah-risalah mengenai Taman Siswa dan sangat terkesan oleh sebuah karangan Ki Hadjar Dewantara yang terbit pada 1938. Dalam karangan mengenai pendidikan nasional dan azas-azas Taman Siswa itu, Ki Hadjar, mungkin dengan sedikit meminjam Tagore, menulis:

“Hidup kita adalah kutipan dari hidup orang Barat; suara kita adalah kumandang Eropa; kita ini yang seharusnya seorang intelek tidak boleh lebih daripada sebuah tas penuh keterangan-keterangan; dalam jiwa kita ada kekosongan, hingga kita tidak sanggup untuk meresapkan apa-apa yang indah dan bernilai.”

Saya adalah anak muda yang masih duduk di tahun-tahun awal kuliah dan memiliki kegairahan teramat sangat untuk mengetahui dan memahami apapun, waktu itu. Dan karangan itu berhasil mencuri kegelisahan saya.




Karenanya, ketika ketemu “One Hundred Years of Solitude”, sejak halaman pertama Márquez langsung menarik perhatian karena narasinya berhasil meletupkan kembali kegelisahan yang pertama kali diprovokasi Ki Hadjar tadi: “Bertahun-tahun kemudian, ketika Kolonel Aureliano Buendia menghadapi regu tembak, ia terkenang akan sebuah sore yang jauh, tatkala ia bersama ayahnya menyaksikan es untuk pertama kali. Pada waktu itu Macondo adalah sebuah desa dengan dua puluh rumah batu, berada di tepi sungai teramat jernih yang dasarnya dihuni oleh batu-batu berwarna putih, berkilauan dan besar-besar seperti telur-telur zaman purba. Dunia seakan baru saja diciptakan sehingga segala sesuatu belum mempunyai nama, dan untuk menyebut suatu benda, orang harus langsung menunjuknya.” Bagi saya, waktu itu, cara Marquez membuka halaman pertama novelnya memiliki ikatan batin dengan cara Ki Hadjar merumuskan persoalan pendidikan nasional tahun 1938 itu, yang belakangan saya sebut sebagai “kekerabatan epistemik post-kolonial”.

Saya tidak ingat, apakah perkenalan dengan karya-karya Márquez mendahului perkenalan dengan karya-karya Jorge Luis Borges, atau sebaliknya. Tapi yang jelas, pada diri saya, ada tali yang mengikat dua narasi itu dengan sebuah puisi Borges:

Terberai di kota-kota berjauhan
sendiri dan berlaksa
kita bermain sebagai Adam
(atau Hawa)
memberi nama segala.
Di lereng panjang malam hari
di tapal batas dini hari
kita mencari (masih kuingat) kata-kata
untuk bulan, untuk maut, untuk pagi

Ketiga risalah tadi, merupakan tulisan-tulisan yang telah membentuk imajinasi awal saya mengenai “otonomi intelektual” dan “otentisitas”. Setiap orang yang merasa dirinya terpelajar harus terpanggil untuk menjadi Adam, atau Hawa, dengan berusaha “memberi nama segala”, dan tak gampang terikat kepada nama-nama yang telah terberi.

Selain “One Hundred Years of Solitude”, saya berkenalan dengan novel Márquez lainnya melalui sebuah film, “High Fidelity”. Ya, itu adalah filmnya John Cussack. Entah kenapa saya selalu menyukai untuk menonton semua “film brengsek” aktor yang satu ini. Dalam film itu, Cussack membaca dan banyak menyebut novel “Love in the Time of Cholera”. Tentu saja, selain dari daftar pustaka buku-buku yang pernah dibaca, kita bisa menjadikan film sebagai referensi mencari buku bermutu. Saya juga melakukannya. Dari film “With Honour”, misalnya, saya mulai membaca Walt Whitman dan Emile Zola. Dari “The Unbearable Lightness of Being”, yang novel dan filmnya sama-sama membuat mabuk kepayang, saya belajar membaca Tolstoi.




Untuk mengenang Márquez, yang baru saja berpulang, saya selalu terkenang pada kata-kata “satire”-nya yang selalu bisa menerbitkan gelak: “The problem with marriage is that it ends every night after making love, and it must be rebuilt every morning before breakfast.” Tapi, tentu saja tak ada yang lebih menggetarkan dari novel “Love in the Time of Cholera”, selain kalimat brengsek yang selalu membuat saya tercenung: “The only regret I will have in dying is if it is not for love.”

Adios, Gabo.

SEJARAH, INGATAN DAN NOVEL



Oleh Tarli Nugroho
Penyuka sastra; Bekas penonton film


Membaca sejarah itu seperti membaca novel. “By its very nature, the novel indicates that we are becoming. There is no final solution. There is no last word.” Begitu yang ditelatahkan Carlos Fuentes. Namun, kita seringkali menyalahpahami sejarah. Kita sering mengaburkan “history” dengan “memory”, membaurkan sejarah dengan ingatan. Dan sebagai ujungnya, impak dari “penyejarahan ingatan”, kita hanya mampu melihat sungai waktu dari kacamata oposisi biner: ingat-lupa, pelaku-korban, atau baik-jahat. Persoalannya, sejarah hanya bisa memberi pelajaran jika kita mampu membacanya secara metodik, tak sekadar ingat dan lupa. Sebab, dalam banyak hal, kita cenderung hanya mengingat apa yang ingin kita ingat saja, tanpa menguji kualitas ingatan itu. Dan cara macam itu tak akan mengajari kita apapun selain sekadar merawat penalaran yang hanya penuh dengan penyangkalan, antitesis, dan menghardik-hardik. Inilah yang telah membuat cara kita bersikap kepada sejarah banyak didominasi oleh perasaan kebencian, penolakan, dan negativitas.


Kesalahpahaman itu barangkali telah berlangsung sejak lama, sejak Sutan Takdir Alisjahbana menghardik-hardik Sriwijaya dan Majapahit dalam Polemik Kebudayaan yang terjadi di pertengahan dekade 1930-an. Bagi Takdir, masalah Indonesia di kuartal kedua abad keduapuluh adalah “kurang individualis”, “kurang materialis”, dan “kurang egois”. Dan semua ikatan yang menyandera itu terhubung kepada Sriwijaya, Majapahit, Hinduisme, Buddhisme, dan Islamisme. Pendek kata, Takdir sedang mendakwa kejumudan di masa itu sebagai buah dari masa lalu, yang penanggung jawabnya merentang hingga ke zaman Sriwijaya.





Dan untuk keluar dari belenggu masa lalu itu, Takdir langsung melancong ke masa depan dengan melupakan tautan keduanya. Apa yang dimaksud dengan “masa depan” tentunya tiada lain adalah Barat. Persoalannya, persis pada titik sebagaimana dikemukakan Takdir masa itu, Barat telah menjadi bukan lagi kategori geografis maupun sosial yang netral, melainkan telah menjadi sebuah kategori yang superior: ia adalah masa depan dari kekinian yang tersebar di koloni-koloni. Ia adalah tempat kemana kita akan beranjak. Imaji yang demikian, hadir tanpa ironi dalam tulisan-tulisan Takdir. Karena yang modern ada di luar sana, maka ia harus diimpor. Lalu dimulailah gerilya pengejaran terhadap modernitas dengan melakukan kremasi terhadap masa lampau. Pendek kata, di Indonesia, modernitas dilakukan dengan penyangkalan terhadap masa lalu dan pengejaran terhadap sesuatu yang berada di luar sana.

Barangkali, persis di sinilah kekerabatan post-kolonial kita dengan Amerika Latin berselisih jalan. Hampir seperempat abad silam, pada kuliah Nobel Kesusastraan-nya, Octavio Paz, mencoba menelatahkan kediriannya dengan lebih baik. “Kami adalah orang Eropa, walaupun bukan!” ujarnya ironik. Dalam sungai waktu, Amerika Latin memang telah dipisahkan dari Dunia Lama-nya, tapi di sisi lain mereka juga tak bisa sepenuhnya menjadi Eropa. Itulah petaka yang senantiasa menguntit pergunjingan mereka mengenai identitas. Lalu, ke manakah mereka harus menginduk? Mereka bergumam dalam bahasa Eropa, kesusastraan mereka juga dicetak dengan huruf yang diangkut oleh kapal-kapal Eropa, tapi kesemua-miripan itu tak menjadikan mereka orang Eropa.




Namun, dan ini yang membedakannya dengan kita, Amerika Latin cepat tersadar untuk segera berhenti menguntit Barat, menjadi bayang-bayang Eropa, dan tak pernah menghardik-hardik masa lalunya. Meski kuil-kuil dan dewa-dewa Meksiko Pra-Kolombia telah tinggal onggokan artefak, kata Paz, namun roh yang meniupkan kehidupan ke dunia itu belum punah; ia masih berbicara kepada mereka dalam bahasa hermetik: mitos, legenda, seni rakyat, dan adat istiadat. Dan lewat bahasa hermetik itu Amerika Latin diam-diam melakukan pemberontakan atas Eropa. Benar kata Pablo Neruda, Spanyol boleh saja telah mengambil emas mereka, tapi mereka juga mendapatkan emas Eropa: kata-kata. Tidak heran, jika pemberontakan itu secara sengit kemudian, terutama, dikerjakan lewat kesusastraan.

Maka, demikian kata Paz, dalam kaitannya dengan modernitas, alih-alih dicari dengan menemukannya di luar, mereka justru menemukannya di dalam; terkubur, namun masih hidup. Mereka tidak menyalahkan masa lalu, menanggalkan, atau menyangkalnya, melainkan mengolahnya sebagai ramuan untuk merumuskan kedirian dan kekinian mereka.

Sungguh kontras sekali dengan kita. Sejak kita menghapus bahasa dan gelar Belanda dari perguruan tinggi pasca-Proklamasi, sejak rezim Soeharto mengajari kita untuk mengkhawatirkan apapun yang berhubungan dengan Soekarno yang merupakan pendahulunya, pada hari ini kita juga masih saja bertegak risau dengan segala hal yang berhubungan dengan Soeharto. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa sejarah Indonesia modern adalah sejarah yang bertarung dengan masa lalunya. Sejarah kita selalu berisi kerisauan terhadap masa lalunya. Dan sebagian kaum terpelajar kita menghelat pertarungan terhadap masa lalu itu sebagai proyek personal pencerahannya.

Apakah semua itu, kecenderungan kita untuk selalu bertarung dengan masa lalu, atau penyangkalan terhadapnya, merupakan sebab kita tak pernah tanggap pada masa depan dan bingung mendefinisikan hari ini? Entahlah.

Cara bersikap demikian itu mungkin terjadi karena historiografi kita terlampau bersifat politik-sentris, dimana pembabakannya hingga kini masih saja ditandai oleh tapal batas pergantian rezim. Dengan model historiografi yang demikian, sudut pandang kitapun rentan mengidap penyakit oposisi biner, yang bersifat terlalu “politis”—dalam pengertiannya yang sangat peyoratif, sebagaimana telah disebut di awal.

Persis di soal ini, kita kabur dalam membedakan sejarah dari ingatan. Dalam “Insider”, sebuah film yang dibintangi Russell Crowe dan Al Pacino, ada dialog yang menarik antara Crowe dengan Pacino, mengenai bagaimana kebanyakan orang sesungguhnya tidak peduli kepada apa yang telah dilakukan orang lain seumur hidupnya, yang merupakan representasi dari “history”, karena mereka hanya akan mengingat apa yang terakhir kali dilakukannya saja. Ada Tembok Berlin yang memisahkan “history” dengan “memory”. Namun, tak banyak orang yang menyadarinya.




Sekarang, bagaimana kita mendefinisikan “yang terakhir kali” itu?! Di hadapan sungai waktu, “terakhir kali” adalah sebuah konsep yang sangat mengambang. Apa yang terakhir kali dilakukan hari ini akan menjadi masa lampau keesokan harinya. Dan setiap hari, apa yang disebut “terakhir kali” itu terus-menerus diciptakan. Tentu saja, ingatan mengenai masa lalu sangat penting, agar kita tidak menjadi seorang pelupa. Tapi, kita juga sebaiknya tidak melupakan satu hal: sejarah bukanlah sebuah penjara dimana mereka yang terkurung di dalamnya mustahil untuk bebas atau melarikan diri. Sejarah bukan hanya mengenai apa yang telah jauh melampau, karena bukankah sejarah juga terus-menerus dicatatkan setiap hari?!

Persis di situ kita harus bisa membedakan “sejarah” dari “ingatan”. Sejarah selalu memproduksi “terakhir kali” yang lain. Setiap hari. Sementara ingatan, ia memenjarakan kita di kelampauan.


*) Tulisan ini bisa dibaca juga di http://www.geotimes.co.id/blog/994-sejarah,-ingatan,-dan-novel.html