Kamis, 01 Mei 2014

BENYAMIN DAN RENAISANS BETAWI



Oleh Tarli Nugroho
Penggemar Bang Bens


“Hanya satu yang tidak diketahui orang tentang Benyamin. Dia menghidupkan lagu betawi yang nyaris mati, itu jasanya.” Kalimat itu keluar dari mulut Mus Mualim, musisi jazz terkemuka, yang juga suami dari Titiek Puspa, artis kawakan tiga zaman. Mus melontarkan kalimat itu ketika Benyamin Sueb, yang biasa disingkat Benyamin S. (baca: ‘Benyamin Es’), atau biasa dipanggil Bang Ben, baru saja merilis film barunya yang laris manis dan sekaligus memanen pujian, Si Doel Anak Modern (1976). Dalam film yang disutradarai oleh Sjuman Djaja itu, pada 1977 Benyamin mendapatkan Piala Citra keduanya. Sebelumnya, pada 1973, dalam karirnya sebagai aktor yang masih terbilang seumur jagung, Ben mendapatkan Piala Citra pertamanya, juga sebagai aktor terbaik, melalui film Intan Berduri (1972), yang disutradarai Turino Djunaidi.

Pada mulanya banyak orang mengira Benyamin adalah badut yang sekadar menjajakan kekonyolan. Ya, ia baru bermain seni peran pada 1970, melalui film Benyamin Biang Kerok, yang langsung membuat namanya melejit. Majalah TEMPO pada 1977 menulis bahwa sebelum bermain film Benyamin lebih dikenal sebagai “penyanyi dan pelawak kampung”. Namanya identik dengan gambang kromong, kesenian khas Betawi. Namun, meski film pertamanya langsung membuatnya terkenal, film itu dianggap sebagai peneguhan citra konyol sosok Benyamin. Oleh karenanya, ketika ia diganjar Piala Citra sebagai aktor terbaik pada 1973, banyak orang menjadi terhenyak. Si Badut ini bisa berakting bagus juga!





Membaca kembali riwayat Benyamin memang gampang menerbitkan tawa dan decak. Ketika kecil ia bercita-cita ingin menjadi pilot, namun nasib membawanya menjadi kondektur PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta). Ia melayani rute Banteng-Jalan Minangkabau-Manggarai. Tapi ia tak puas dengan profesinya itu. Di balik tampang konyolnya, Benyamin pernah mengecap status sebagai mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Sawerigading hingga tingkat dua. Ketika bekerja di PPD, ia menggunakan ijazah SMA-nya, yang diperoleh dari perguruan Taman Siswa. Padahal, untuk pekerjaannya itu, yang dibutuhkan sebenarnya hanya lulusan sekolah dasar. Jadi, ia tidak puas ijazah SMA-nya hanya digunakan untuk pekerjaan selevel lulusan SD. Setelah keluar dari PPD, selama tujuh tahun berikutnya ia bekerja di perusahaan negara, PN Asbes. Ketika perusahaannya akan melakukan rasionalisasi, Ben memilih cabut. Ia ingin mengabdikan hidupnya untuk musik. Dan sejarah hidupnya membuktikan itu.





Meski terlihat konyol, Ben sebenarnya sangat penuh perhitungan. Dan ia sama sekali bukan badut sebagaimana dikira banyak orang. Dari cara ia mengutarakan riwayat hidupnya, yang dimuat berbagai media hingga akhir hayatnya, Ben bukan hanya seorang yang memiliki spontanitas yang mengagumkan, terutama dalam hal melahirkan lelucon, tapi juga memiliki wawasan hidup yang tegas dan jernih. Di balik tampang bloonnya, Ben memang adalah pembaca buku yang serius dan penyuka filsafat. Ia juga gemar membaca biografi tokoh-tokoh terkemuka, seperti Bismarck dan Napoleon.

Suatu ketika Benyamin mengaku bahwa rahasia suksesnya sebagai musisi adalah karena ia menggunakan strategi Napoleon ketika menciptakan lagu. Dalam strategi perang, demikian Ben, jika kita punya gagasan jangan pertama-tama ditanyakan kepada jenderal, karena pasti akan “dihabisi”, tapi bertanyalah kepada kopral lebih dulu. Jadi, ketika ia menulis lagu, untuk mengukur apakah lagu itu bagus atau tidak Ben tidak minta komentar kepada musisi atau kritikus, tapi bertanya kepada anaknya. Jika anaknya senang dengan lagunya, maka menurut Ben berarti lagunya bisa dipahami dan diterima orang lain.

Tampang dan peran yang dilakoninya boleh jadi kebanyakan memerankan tokoh-tokoh bloon, tapi isi kepala Ben tidaklah demikian.





Pembacaan sosialnya yang tajam pula yang telah membuat lagu-lagunya terus dikenangkan hingga kini, dan membuat namanya terpacak sebagai seniman Betawi kontemporer terbesar hingga hari ini. Ketika musik “ngak-ngik-ngok” dilarang bersamaan dengan masa konfrontasi dengan Malaysia pada awal 1960-an, Ben melihat bahwa lagu-lagu Minang tiba-tiba saja mengorbit dan mendapat tempat. Sebagai orang Betawi ia merasa tertantang: kenapa lagu-lagu Betawi tidak bisa mengambil tempat juga?!

Maka dimulailah petualangannya menggali lagu-lagu Betawi. Belakangan, ketika hasil kerjanya diapresiasi banyak orang, dan reputasi kesenimanannya terus menerbitkan hormat, dengan rendah hati Ben hanya berujar bahwa dirinya sebenarnya tidak tahu apakah ikhtiarnya itu memang telah membangkitkan kembali atau justeru sebenarnya malah telah mengacaukan kebudayaan Betawi. Sungguh, jawaban rendah hati yang kocak.

Ketika ketenaran berhasil direngkuhnya, Ben tidak terjebak menjadi robot industri. Dia menjadi seniman dalam arti yang sebenar-benarnya, tak sekadar menjadi selebritas yang mengandalkan popularitas. Selepas mencipta lagu, menyanyi dan menjadi aktor, Ben belajar menulis skenario dan juga sutradara. Ia belajar dari Sjuman Djaja dan Turino Djunaidi, dua orang penulis dan sutradara yang dihormatinya. Usaha yang dirintisnya di luar karirnya juga masih berada dalam lingkungan dunia seni dan budaya. Bens Radio yang didirikannya masih mengudara hingga kini. Dia mendirikan PT Jiung Film dan PT Benyamin Bina Bersaudara, yang memproduksi film dan sinetron-sinetron Betawi. Pendek kata, sedari awal, karirnya memang menjadi seorang seniman. Menjadi selebritas adalah konsekuensi dari kesenimanannya.

Membaca lagi riwayat Benyamin pada hari ini bisa membawa kita pada semacam oase. Sulit untuk dimungkiri jika dunia seni peran, musik, dan pentas komedi di tanah air saat ini semakin didominasi para badut, yang sekadar menampilkan kekonyolan dan tak menawarkan konsep apapun.

Ya, ketika dunia hiburan hanya tinggal merayakan kegemparan tanpa pemikiran, kita memang sangat membutuhkan orang-orang seperti Benyamin, yang ketika berpulang pada 1995 silam, banyak orang tak segan menyebutnya sebagai simbol “Renaisans Betawi”.

Dunia hiburan kita memang sedang sangat membutuhkan “pencerahan”. Bukan begitu, Pemirsa?!



SARJANA KULINER


Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta


Tiga tahun lalu, ketika menulis buku “Pemikiran Agraria Bulaksumur: Sebuah Tinjauan Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun dan Mubyarto” (Yogyakarta: STPN Press, 2010), yang ditulis bersama dua orang kawan, dalam kata pengantar saya menulis ada empat penjelasan kenapa kajian atas pemikiran para pemikir Indonesia sangat jarang dilakukan.

Pertama, tentu saja karena hanya sedikit sekali sarjana Indonesia yang mencoba membangun pemikirannya sendiri. Kebanyakan sarjana kita, termasuk mereka yang menyandang gelar guru besar, lebih suka menjadi apa yang disebut Arief Budiman sebagai “intelektual pengecer”. Ini menyebabkan sumber pemikiran baru yang bisa digali menjadi langka.  

Kedua, tidak adanya apa yang disebut peer-group dalam dunia kesarjanaan di Indonesia. Hal ini telah menyebabkan absennya kebiasaan untuk saling mengkaji dan mengomentari pemikiran para kolega di kalangan sarjana Indonesia. Sehingga, gagasan penting apapun (termasuk juga yang “tidak-penting”) yang pernah dihasilkan pada akhirnya akan selalu menguap seiring waktu, atau hanya akan bertahan selama penggagasnya masih hidup. Tapi yang lebih fatal dari tidak adanya peer-group pada sebuah lingkungan akademik adalah pada akhirnya tak ada gagasan yang pernah benar-benar teruji di lingkungan bersangkutan.  

Ketiga, buruknya perpustakaan dan lembaga arsip di Indonesia. Studi pemikiran tidak mungkin bisa dilakukan tanpa ditopang oleh lembaga perpustakaan dan kearsipan yang bekerja dengan baik, terutama di lingkungan perguruan tinggi atau di pusat-pusat penelitian. Kesulitan teknis yang utama dalam melakukan studi pemikiran adalah langka dan sulitnya menelusuri arsip-arsip tulisan dari para sarjana yang pemikirannya hendak dijadikan bahan studi. Hal ini kian diperburuk oleh lemahnya tradisi mengarsip dan mendokumentasikan di kalangan sarjana kita sendiri. Ini, misalnya, bisa dilihat dari hanya sedikit saja sarjana di Indonesia yang memiliki perpustakaan pribadi yang layak.





Dan keempat, tradisi riset di Indonesia masih didominasi oleh riset berjenis terapan (applied research), dan itu berlaku bagi hampir seluruh bidang keilmuan. Dalam riset terapan, para peneliti lebih banyak disibukan oleh pertanyaan mengenai relevansi sosial, terutama dalam kaitannya dengan kegunaan sebuah kerangka teori/keilmuan di wilayah yang bersifat praksis. Kajian pemikiran, karena terutama bersifat teoritis dan konseptual, bukan terapan, dengan sendirinya tidak menjadi bidang penelitian ataupun metode yang populer.

Penjelasan pertama dan kedua, belakangan saya lihat diikat oleh sebuah simpul yang sama, sehingga keduanya saling berkaitan. Simpul yang sama itu adalah kenyataan bahwa banyak sarjana kita mempelajari segala ide dan gagasan hanya dari buku teks. Ya, buku teks!

Karena mereka terbiasa berkenalan dengan ide-ide dari buku teks, tidak mengikuti proses formatifnya, maka apresisasi mereka sangat lemah ketika bersinggungan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan yang baru memulai risalahnya, termasuk ketika bersinggungan dengan ikhtiar-ikhtiar ke arah itu.

Gagasan sebagaimana yang ditulis dalam buku teks adalah gagasan yang sudah di-“konstitusi”-kan oleh interpreter-middleman atau interpreter-compiler. Pada tahap ini, gagasan sebenarnya sudah tak lagi menjadi milik pencetusnya, karena sudah dibentuk sedemikian rupa seturut kebutuhan pedagogik. Seandainya gagasan adalah sejenis makanan, maka buku-buku teks telah menjajakan gagasan-gagasan tadi sebagaimana halnya sebuah warung buffet. Kita ketemu hidangan yang siap santap, mulai dari sayur asem, ayam kecap, udang goreng tepung, semur jengkol, hingga bakwan jagung.





Karena terbiasa berhadapan dengan makanan yang sudah jadi inilah maka banyak sarjana kita bingung ketika harus berhadapan dengan tepung terigu, ayam yang masih di kandang, udang yang belum di kupas, jengkol yang belum dikukus, jagung yang belum dipipil, dan rempah-rempah serta berbagai bumbu yang berjibun di dapur. Ketika disodori perbincangan mengenai kualitas daging ayam mereka bingung, sama bingungnya dengan bagaimana menentukan sebuah daging udang adalah segar atau tidak. Pendek kata, sebagai penikmat kuliner mereka sangat ahli, dan bahkan bisa sangat kritis, namun celakanya mereka sama sekali tak memahami pekerjaan chef dan para koki yang bekerja di dapur. Banyak dari mereka tidak paham, bahwa dari sekerat jahe yang sama, bisa dibuat wedang jahe, wedang bandrek, wedang uwuh, atau wedang secang, tergantung selera dan bahan imbuhannya.

Dengan iklim kesarjanaan yang demikian, saya tak bisa membayangkan, sudah berapa banyak pemikiran dari para pemikir kita yang punah begitu saja digilas waktu, karena tidak adanya apresiasi dan minimnya kajian yang pernah dilakukan. Dan entah sudah berapa banyak pula tunas pemikiran yang mati kekeringan, hanya karena tunas itu dituntut memenuhi fungsi sebagaimana sebuah pohon rimbun yang sudah berurat-akar, sebuah tuntutan yang sepenuhnya ahistoris dan abai terhadap fase perkembangan tunas tadi.

Sampai di sini, saya jadi teringat sebuah nasihat Joseph Stiglitz, “Textbook economics may be fine for teaching students, but not for advising government.” Dan sejak zaman Adam Smith, buku teks, seperti halnya taksonomi keilmuan di perguruan tinggi, memang lebih banyak dibuat untuk memudahkan dosen daripada tujuan selainnya. Makanya, tak banyak pemikir yang menulis buku teks, dan juga sebaliknya.

Karena itu, saya selalu menyukai penggalan pidato Soekarno yang diucapkan di hadapan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia pada 17 September 1965 ini:

“... for the execution of this, in the execution of this, kita sama sekali harus berpikir baru dan tidak bisa menggendoli atau nggenuki atau berdiri di atas apa-apa jang kita peroleh dari textbook-textbook ekonomi jang terkenal. Entah textbook, kata Pak Bandrio, tadi dari Harvard-kah, atau textbook dari Columbia-kah, entah textbook dari Leiden-kah, entah textbook dari manapun. Bahkan tidak dari texbook, kalau ada textbook itu, tidak dari textbook Sovjet-Uni, tidak dari textbook RRT, tidak dari textbook Korea-Utara, tidak dari textbook any socialist country in this world. Sebab apa? Sebab sosialisme kita sebagai sudah dibenarkan Ampera, sebagai sudah dibenarkan MPRS, adalah Sosialisme Indonesia, bukan sosialisme a la Sovjet, bukan sosialisme a la RRT, bukan sosialisme a la Korea, bukan sosialisme a la Polandia, bukan sosialisme a la Tjekoslowakia, bukan sosialisme a la Hongaria, ...”





Soekarno tahu betul risiko terjebak dalam pemikiran yang textbook minded, dan konsekuensi ahistoris yang menyertainya. Pada seminar-seminar di kampus, pada makalah-makalah yang ditulis di perguruan tinggi, di halaman-halaman jurnal yang kita terbitkan, dan dalam talkshow di layar kaca televisi kita, kita dengan mudah bisa menyaksikan bahwa “sarjana kuliner” hanya menghasilkan “obesitas intelektual” saja. Terlalu banyak teori dan terlalu banyak data yang mereka sajikan, namun sedikit saja yang relevan dengan persoalan-persoalan yang ingin kita pecahkan.

Pertanyaannya, sampai kapan kita akan meneruskan dan menghidupi tradisi kesarjanaan yang demikian?

SOEKARNO, HANUNG DAN GIEBELS



Oleh Tarli Nugroho
Mantan penonton film 


Kemarin petang, Minggu, 5 Januari 2014, ditemani secangkir kopi dan sepotong roti pisang coklat, saya menyimak acara "Tea Time with Desi Anwar", yang kali ini berkunjung ke rumah dan mewawancarai Hanung Bramantyo. Saya telah membaca ulasan-ulasan kekecewaan mereka yang sudah menonton film "Soekarno" yang disutradarai Hanung, dan hanya bisa menebak-nebak, karena belum sempat menonton film tersebut. Makanya, petang kemarin, saya menyimak betul perbincangan dengan sutradara asal Yogya tersebut, untuk menambah gambaran agak lebih utuh mengenai ramai-ramai yang mengekor film tersebut.

Tentu saja, bagian yang paling saya tunggu adalah tanggapannya atas kritik yang diberikan beberapa pengamat dan sejumlah pihak atas film laris tersebut. Saya menduga Hanung akan bertahan pada interpretasinya mengenai Soekarno. Tak ada yang salah dan aneh dengan hal itu. Yang penting adalah apa argumennya atas interpretasinya yang banyak digugat orang itu. Dan argumennya betul-betul membuat saya terkejut. Dengan yakin Hanung mengatakan bahwa interpretasinya mengenai Soekarno pasti korek karena interpretasi itu sangat sesuai dengan fakta-fakta yang dikemukakan oleh buku Lambert J. Giebels. Bagi saya, pengakuan itu menjelaskan segalanya, termasuk kritik Salim Said bahwa film tentang Soekarno itu secara ironis malah justru lebih mengangkat figur Sjahrir daripada Soekarno sendiri.

Giebels, yang menulis buku "Soekarno: Nederlandsch Onderdaan, Biografie 1900-1950" (1999), adalah politikus Partai Buruh (Partij van de Arbeid) Belanda. Dalam kurun 1970-an hingga 1980-an, ia pernah tinggal di Indonesia sebagai konsultan di Departemen Pekerjaan Umum, yang juga digunakannya untuk melakukan riset mengenai Soekarno. Kalau kita membaca buku biografi Soekarno yang disusunnya, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tiga belas tahun silam, buku ini memang berhasil melakukan 'zoom in' terhadap kehidupan Si Bung, yang membuatnya seolah hadir sangat dekat dengan pembaca. Tetapi Giebels, sebagaimana halnya Antonie C.A. Dake, dan Victor Miroslav Fic, sejak lama dianggap sebagai para penulis yang tendensius. Joesoef Isak bahkan dengan keras menyebut karya ketiganya mengenai Soekarno sebagai "klinkklare onzin", atau "semurni-murninya omong kosong". Apa yang disebut sebagai "fakta" dan "informasi" dalam karya-karya mereka, menurut Isak, seratus persen adalah produk abstraksi benak mereka sendiri, namun abstraksi itu diperlakukan sebagai kenyataan yang serba benar.

Mungkin ada yang masih ingat tulisan Rosihan Anwar, "Perbedaan Analisa Politik antara Sukarno dengan Hatta", yang dimuat di Harian Kompas, 15 September 1980. Dalam tulisan yang memancing polemik hingga berbulan-bulan hingga kuartal pertama 1981 itu, Rosihan menggoreng sebuah isu yang terselip dalam buku John Ingleson, "Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934" (1979), ihwal surat permohonan ampun Soekarno kepada pemerintahan kolonial sebelum dibuang ke Ende. Sumber yang dirujuk Ingleson adalah salinan surat-surat Soekarno di arsip pemerintah kolonial Belanda. Karena itu bukan surat-surat asli, banyak yang meragukan isinya. Beberapa tokoh dan pelaku sejarah menyebut hal itu sebagai rekayasa polisi rahasia pemerintah kolonial. Mohammad Roem, yang menyebut dirinya banyak berseberangan dengan Soekarno, dan bahkan pernah dipenjarakan Soekarno, tak urung ikut mempermasalahkan tulisan Rosihan itu dan mempertanyakan maksud di baliknya. Roem, setelah mengemukakan sejumlah data dan kesaksian, yang intinya membantah cerita yang diangkat Ingleson dan kemudian digoreng Rosihan, bahkan harus menulis lebih jauh, termasuk mempertanyakan kenapa dalam tulisan-tulisannya Rosihan selalu menulis Hatta lebih dulu daripada Soekarno, sesuatu yang ganjil bagi penulisan sejarah Indonesia, yang lazimnya mengenal"Soekarno-Hatta" sebagai sebuah frasa daripada sebaliknya. Menarik untuk memperhatikan, karangan-karangan Rosihan, bersama dengan terjemahan karya Dake dan Fic, yang semuanya diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, pada saat ini memang merupakan karya-karya tentang 1965 dan mengenai Soekarno yang paling mudah ditemui di toko buku dibanding buku-buku lainnya. Buku lainnya yang masih bisa dijumpai adalah karangan Bernard Dahm dan Onghokham. Dari kesemuanya, hanya karangan Ong yang bisa disebut “memberikan simpati” kepada Soekarno.

Ingleson, dalam sebuah konfirmasi yang diberikannya di Majalah Tempo, Maret 1981, mengklaim bahwa Hatta juga mempercayai kebenaran surat-surat Soekarno itu dalam sebuah perbincangan dengannya. Anehnya, Iding Wangsa Widjaja, sekretaris Bung Hatta, dengan tegas mengatakan bahwa Ingleson tidak pernah mewawancarai Hatta. Sejak 1964, menurut Wangsa, Bung Hatta tidak lagi memberikan wawancara kepada wartawan dan sarjana asing. Dalam buku agendanya, dan juga buku agenda kegiatan Hatta, dia tidak menemukan catatan bahwa Bung Hatta pernah diwawancarai Ingleson.





Ihwal surat permintaan ampun Soekarno kepada pemerintah kolonial Belanda ini menjadi salah satu tikungan dramatis dalam biografi yang ditulis Giebels. Dan persis pada bagian ini, dengan nada yang akan membuat kita merasa ganjil, dia kemudian mengetengahkan sosok Hatta dan Sjahrir, yang disebutnya sebagai tokoh yang lebih radikal daripada Soekarno. Mereka lebih berbahaya daripada Soekarno, demikian Giebels, karena keduanya merupakan didikan gerakan revolusioner Eropa!

Saya yakin Hanung sangat terpesona ketika membaca bagian ini pada buku Giebels, dan menganggapnya sebagai sebuah penemuan penting bagi dirinya. Saya bisa mengira demikian berdasarkan rekonstruksi dari sejumlah catatan yang ditulis oleh beberapa kawan yang sudah menonton film Soekarno. Sayangnya, Hanung saya kira tak berusaha mencari pembanding atas narasi yang disusun Giebels. Dan saya juga ragu dia memeriksa bagaimana posisi karya Giebels dalam hiruk-pikuk penulisan sejarah mengenai diri Soekarno, sebelum memutuskannya menjadi rujukan penting yang akurat bagi pembuatan filmnya. Dengan langsung merujuk kepada Giebels sebagai sanggahan atas kritik yang ditujukan kepada filmnya, sebagaimana yang disampaikannya dalam acara bincang-bincang dengan Desi Anwar petang kemarin, jelas terlihat bahwa Hanung memang alpa melakukan penilaian atas sumber yang dirujuknya. Dan, saya kira, ini adalah penjelasan masuk akal atas semua kritik yang telah dituliskan mengenai film Soekarno yang dibuatnya.

Meski berhasil menggali sisi-sisi kemanusiaan Soekarno, buku Giebels memang harus dianggap tendensius. Selain mengangkat soal surat permintaan ampun yang kontroversial itu, Giebels juga menulis bahwa Soekarno membuat kesepakatan dengan seorang agen rahasia Belanda pada masa revolusi. Intinya, Soekarno setuju Belanda tetap menjajah Indonesia, melalui pemerintahan yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal, asalkan Soekarno ditunjuk menjadi perdana menteri.





Selain tendensius, alur narasi yang disusunnya kadang memang menggelikan, yang tidak jarang malah melemahkan konstruksi yang sebetulnya ingin ditonjolkannya. Dalam uraian mengenai surat-surat Soekarno, misalnya, yang dia gunakan untuk mempertentangkan dan mengkontraskan pribadi Soekarno di satu sisi dengan Hatta-Sjahrir di sisi yang lain, narasinya juga menggelikan. Setelah ia menyebut bahwa Hatta dan Sjahrir jauh lebih radikal dan lebih berbahaya daripada Soekarno, yang telah dibuang ke Ende, maka pemerintah kolonial juga kemudian menangkap Hatta dan Sjahrir. Sjahrir ditangkap ketika ia sedang menunggu kapal yang akan membawanya berlayar ke Amsterdam untuk menjumpai kekasihnya, Maria Duchateau! Dengan segala hormat kepada Sjahrir, menurut saya konstruksi "lebih radikal daripada Soekarno" dan cerita penangkapan yang dibuat Giebels itu malah membuat Bung Kecil jadi terlihat menggelikan.

Hal menggelikan lainnya dari narasi Giebels, terlepas dari surat permintaan ampunnya yang hingga kini masih misterius, Soekarno diasingkan karena aktivitas politiknya semakin dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial. Giebels mengakui bahwa analisis sosial yang dilakukan Soekarno atas kondisi dan watak bangasanya, lebih realistis daripada yang dilakukan oleh Hatta dan Sjahrir. Itu yang membuatnya lebih bisa menggerakan orang dan mempengaruhi massa. Tentunya, di luar kemampuan orasinya yang memang sangat memikat. Lalu, kenapa Giebels memaksa untuk memberikan penilaian bahwa Hatta dan Sjahrir jauh lebih radikal dan lebih berbahaya daripada Soekarno?! Sebab, bukankah pada uraian yang sama, Giebels juga mengemukakan bahwa alasan pembuangan Hatta dan Sjahrir sebenarnya lebih bersifat preventif, dan itu berbeda dengan alasan yang dibuat pemerintah kolonial atas pembuangan Soekarno. Giebels menulis bahwa "pengasingan sebagai tindakan preventif [sebenarnya] belum ada presedennya". Nah! Lantas, tanpa maksud mengecilkan peran Hatta dan Sjahrir pada masa itu, dimana sebenarnya konstruksi "radikal" dan "revolusioner" yang dimaksud Giebels dalam uraiannya itu? Ia terlihat hanya bermain-main dengan soal labeling saja dan tidak cukup bertanggung jawab memaparkannya dalam sebuah uraian yang konsisten.

Alhasil, alih-alih berhasil membuat seorang Soekarno jadi terlihat menggelikan, jika itu memang maksudnya, dengan uraiannya itu Giebels sebenarnya telah membuat trio Soekarno, Hatta dan Sjahrir sekaligus jadi sama menggelikannya. Atas hal-hal menggelikan semacam ini, orang Yogya pasti akan mengatakan: “edan po piye?” Atau, kalau orang Betawi, mereka pasti akan berujar: “gile nggak tuh?” Dan, saya paham kenapa dulu Joesoef Isak sampai melempar kata-kata pedas atas karya Giebels ini.

Ya, seperti halnya minum obat, maka membaca buku pun harus memperhatikan petunjuk dan aturan pakai, selain sebaiknya harus dengan resep dokter. Dan Hanung sepertinya telah meluputkan keduanya.

Yogyakarta, 6 Januari 2014


Catatan Tambahan:
Saya mempertahankan mengeja nama Bung Karno dengan "Soekarno", dan bukannya "Sukarno", karena ejaan itu adalah ejaan nama orang yang harus dipertahankan sesuai dengan aselinya. Meski ejaan bahasa Indonesia telah tiga kali disempurnakan, namun nama orang sebaiknya dipertahankan seperti bentuk awalnya, agar orang jadi tidak kehilangan konteks sejarah yang melahirkan ejaan itu. Makanya, meskipun Bung Karno menghendaki namanya dieja sebagai "Sukarno", namun saya sendiri bertahan pada ejaan "Soekarno". Bukankah Bung Karno sendiri mempertahankan tanda tangannya yang menggunakan ejaan "Soekarno" dengan alasan sebagai artefak maka tanda tangan tidak bisa diubah? Sebagai pengamat, kita mestinya mendudukan ejaan "Soekarno" juga sebagai artefak bahasa yang harus dipertahankan, dan bukannya manut kepada kehendak si pemilik nama dalam menuliskan ejaannya. Posisi mempertahankan dan menjaga artefak bahasa, menurut saya, jauh lebih penting daripada menuruti kehendak Bung Karno. Makanya saya suka heran dengan orang yang gampang menyalahkan ejaan "Soekarno". Menurut saya, mereka tidak memiliki sensitifitas sebagai pencinta bahasa.