Oleh Tarli Nugroho
Mubyarto Institute, Yogyakarta
Menyunting
sebuah buku lama berbahasa Indonesia dengan maksud untuk
menghidangkannya kembali kepada khalayak pembaca hari ini, bukanlah
sebuah pekerjaan yang mudah. Kesulitan itu pula yang dihadapi penyunting
ketika diminta untuk menyunting kembali buku ini, yang terbit pertama
kali pada 1941. Sumber kesulitannya, jika dirumuskan, ada beberapa.
Pertama,
ada persoalan tata bahasa yang tak gampang diatasi. Apa yang kini
disebut sebagai bahasa Indonesia, dalam perjalanan hidupnya, telah
mengalami banyak sekali perkembangan serta sejumlah pergeseran dari
waktu ke waktu. Dari segi ejaan saja, misalnya, sejak diperkenalkannya “Ejaan van Ophuijsen” pada 1901, yang kemudian digantikan oleh “Edjaan Republik” atau “Edjaan Soewandi” pada 1947, hingga kemudian dipungkasi “Ejaan Yang Disempurnakan”
pada 1972, bahasa Indonesia telah mengalami tiga kali perubahan. Dan
perubahan ejaan tentunya membawa konsekuensi perubahan tata bahasa, yang
pada gilirannya akan mempengaruhi proses pemaknaan (signifying)
atas teks dimaksud. Pergeseran-pergeseran itu telah membuat proses
penyuntingan harus melewati proses berjenjang yang tak bisa diringkas,
yaitu mulai dari pemaknaan atas teks awal hingga mentranslasikan
gramatika awalnya kepada gramatika baru yang digunakan hari ini, dan
semua itu harus dilakukan sedemikian rupa agar makna awalnya tak
bergeser.
Tapi, sesuai kaidah, semua ejaan nama orang
dan nama surat kabar dalam buku ini dipertahankan menurut ejaan van
Ophuijsen. Sedangkan ejaan nama lembaga disesuaikan dengan EYD.
Kedua, soal penggunaan istilah. Kita hari ini, misalnya, lazim menggunakan kata “penelitian” sebagai terjemahan dari kata “research”
dalam bahasa Inggris, dengan pengertian yang kurang lebih sama. Tapi
kata “penelitian” tidak akan kita temukan dalam sumber-sumber tertulis
berbahasa Indonesia sebelum tahun 1950-an. Dan itu bukan karena pada
masa itu orang belum mengenal kegiatan penelitian, melainkan karena pada
masa itu orang menggunakan istilah yang berbeda dengan yang digunakan
pada hari ini. Kata yang lazim digunakan pada masa itu adalah
“penyelidikan”, sebuah kata yang pada hari ini makna dan penggunaannya
semakin menyempit digunakan dalam bidang hukum. Jadi, “penyelidikan”,
dalam risalah-risalah lama, adalah istilah yang digunakan untuk merujuk
pada kegiatan penelitian, atau riset. Istilah lain
yang mencolok adalah “kerajinan”. Dalam risalah-risalah lama, termasuk
dalam buku ini, kata “kerajinan” tidak sama maksudnya dengan penggunaan
dan pemaknaan yang kita kenal hari ini. Di masa lalu, kata “kerajinan”
merupakan padanan dari istilah “industry” dalam bahasa Inggris, atau “nijverheid”
dalam bahasa Belanda. Artinya, pergeserannya sangat jauh sekali. Begitu
juga dengan kata “jabatan”. Dalam edisi pertama buku ini, kata
“jabatan” digunakan untuk menyebut beberapa maksud yang berlainan,
tergantung konteks kalimatnya. Kata ini, misalnya, digunakan untuk
menyebut “kedudukan”, dalam makna sebagaimana yang kita pahami hari ini.
Namun, kata “jabatan” juga digunakan untuk menunjuk kepada lembaga,
sehingga maksudnya tak lain adalah “jawatan”. Pada bagian lain, kata ini
juga digunakan untuk merujuk kepada konsep “pejabat”, dalam pengertian
sebagaimana yang kita pahami hari ini.
Contoh lain
adalah istilah “bahan barang”. Istilah yang banyak digunakan pada masa
lalu ini, dalam kosa kata hari ini tak lain maksudnya adalah “bahan
baku”. Atau juga “barang cat”, yang maksudnya tak lain adalah “bahan
pewarna”.
Kadang-kadang pergeseran makna itu menerbitkan geli, dan bahkan gelak. Technische Hogeschool,
misalnya, yang kini menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung), dahulu
disebut sebagai “sekolah tukang”, tak lain karena pada masa itu padanan
atas kata “tehnic” atau “engineering” dalam bahasa Inggris, atau “technische”
dalam bahasa Belanda, adalah “tukang”. Maka jadilah ITB pada masa itu
dikenal sebagai “sekolah pertukangan”. Jadi, ada banyak sekali kosa kata
yang terlibat dalam pergeseran-pergeseran semacam itu, dan kesemuanya
menuntut perhatian yang benar-benar.
Ketiga,
soal penggunaan singkatan. Dalam edisi pertama buku yang sedang dipegang
pembaca ini, penulis menggunakan beberapa singkatan (akronim) tanpa
memberikan kepanjangan atau artinya. Untuk konteks masa ketika buku ini
ditulis dan diterbitkan, singkatan-singkatan itu mungkin telah lazim
diketahui orang, sehingga penulis kemudian merasa tidak perlu lagi
memberikan keterangan. Persoalan muncul ketika buku ini dibaca lagi hari
ini, singkatan-singkatan itu bisa membuat pembaca “kehilangan jejak”.
Misalnya, dalam sejumlah uraian penulis banyak menyebut singkatan
“B.B.”. Tanpa membuka-buka kembali arsip-arsip atau buku-buku lama,
termasuk koran-koran atau majalah-majalah yang terbit ketika singkatan
ini digunakan, mustahil kita bisa menemukan arti dari singkatan ini.
“B.B.” tak lain adalah singkatan dari binnenlandsche bestuur,
yang artinya adalah “pamong praja”, atau yang hari ini biasa kita sebut
pegawai negeri sipil (PNS). Singkatan lain yang digunakan tanpa
keterangan, misalnya, adalah “S.S.”. Melihat konteks penggunaannya,
serta mencocokan dengan masa ketika singkatan itu digunakan, dan itu
semua memerlukan waktu, baru kemudian diketahui bahwa yang dimaksud tak
lain adalah “staatspoor”, alias “kereta api negara”, atau bisa juga dirujukkan kepada “jawatan kereta api”.
Hingga
proses penyuntingan ini selesai, ada satu singkatan yang hampir saja
tak bisa ditemukan kepanjangannya, yaitu “PBKBT”, sebuah singkatan nama
pusat koperasi kredit di Tasikmalaya, yang dipimpin oleh R.
Danoemihardja. Dalam buku Hanan Hardjasasmita (1982), Danoemihardja—yang
disebut memiliki nama lengkap R. Kosim Danoemihardja—adalah ketua Bank
Koperasi Simpan Pinjam Bumiputera. Setelah berbagai koperasi di Tasik
membentuk sejumlah pusat koperasi, yang disesuaikan dengan ruang
geraknya (yaitu kredit, konsumsi, dan produksi), maka pusat-pusat
koperasi yang baru terbentuk itu kemudian membentuk PKKT (Pusat Koperasi
Kredit Tasikmalaya). PKKT ini banyak disebut oleh sejumlah buku
mengenai koperasi, seperti buku karangan Teko Sumodiwirjo (1954), tapi
keterangan mengenai PBKBT ini nihil. Tentunya PBKBT ini tak sama dengan
PKKT, karena jika dilihat statusnya sebagai “pusat koperasi kredit”,
maka PBKBT adalah bagian dari PKKT. Apakah PBKBT adalah singkatan dari
“Pusat Bank Koperasi Bumiputera Tasikmalaya”? Ternyata bukan! PBKBT tak
lain adalah singkatan dari “Persatuan Bank Koperasi Bumiputera
Tasikmalaya”. Keterangan ini diperoleh dari skema yang disusun pengarang
buku ini mengenai hubungan antara koperasi-koperasi primer (disebut
juga koperasi biasa) dengan koperasi-koperasi pusat (centrales) di bagian akhir buku yang sedang dipegang pembaca ini.
Keempat,
penyuntingan ini harus memperhatikan konteks penggunaan bahasa dan
peristilahan pada masa ketika buku ini pertama kali terbit, atau sesuai
konteks peristiwa dan masa sebagaimana yang diceritakan oleh buku ini.
Misalnya, dalam edisi pertama buku ini banyak sekali digunakan bahasa
Belanda untuk menyebut jabatan, pekerjaan, dan nama lembaga
pemerintahan. Dan itu semua digunakan dengan tidak menyebutkan
padanannya dalam bahasa Indonesia. Istilah dalam bahasa Belanda itu
tentu saja tidak bisa begitu saja diterjemaahkan menggunakan kamus (tepat-makna), melainkan harus dicarikan padanannya sesuai konteks penggunaannya (tepat-waktu).
Dan padanan yang dimaksud tentu saja bukan padanannya dalam konteks
hari ini, melainkan padanannya pada konteks-masa sebagaimana yang
dinarasikan.
“Binnenlandsche Handel”, misalnya, tidak bisa diterjemahkan menjadi “perdagangan dalam negeri” (meskipun secara “tepat-makna”
adalah benar), karena istilah ini digunakan untuk menunjuk kepada
sebuah bagian dari kementerian kolonial yang menangani urusan tertentu.
Namun, pada masa ketika istilah ini berlaku, kata “dagang” dan
“perdagangan” tidak lazim digunakan sebagai padanan kata “handel”.
Istilah bahasa Indonesia yang digunakan pada masa itu adalah
“perniagaan”, dan inilah istilah resmi yang dipergunakan pada banyak
buku dan arsip resmi. Sehingga, padanan yang tepat dengan penggunaan
pada masa itu bagi “Binnenlandsche Handel” adalah “Perniagaan Dalam Negeri”.
Contoh lain adalah kata “dienst”.
Kata ini tidak bisa begitu saja diterjemahkan sebagai “dinas” dalam
bahasa Indonesia. Sebab, kata ini digunakan melekat pada kata lain atau
istilah lain yang merujuk nama lembaga di masa lalu. Misalnya, Visserijdienst,
karena ini berkaitan dengan nama lembaga, maka tidak bisa diterjemahkan
menjadi “Dinas Perikanan”, sebab pada masa ketika istilah ini
digunakan, padanannya dalam bahasa Indonesia memang bukan itu, melainkan
“Jawatan Perikanan”. Kata “dinas” baru dikenal dan digunakan
belakangan. Menemukan padanan-padanan sesuai konteks masanya tadi adalah
pekerjaan yang paling lama dan rumit dalam penyuntingan buku ini.
Namun, khusus untuk kata “banteras” yang banyak digunakan dalam buku ini, terutama ketika membahas schuldbevrijdingscooperatie,
atau “koperasi pemberantas utang”, setelah penyebutan pertama kata itu,
dalam uraian setelahnya kata itu telah diganti dengan kata “berantas”,
agar pembaca tak menganggapnya sebagai salah ketik. Perlu diketahui,
baik “banteras” maupun “berantas” sama-sama merupakan kosa kata bahasa
Indonesia, dan pengertian keduanya, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, adalah sama.
Dan kelima, setiap
penyuntingan ulang buku-buku lama pasti akan ketemu dengan dilema antara
mempertahankan gaya tutur dari masa ketika buku itu pertama kali
terbit, dengan gaya tutur masa kini yang lebih memudahkan pembaca untuk
memahaminya. Dilema ini memang tak berlaku untuk seluruh karya atau
pengarang. Buku-buku atau karangan-karangan Mohammad Hatta, misalnya,
tidak akan banyak mengalami dilema ini karena gaya tutur dan tata bahasa
Indonesia yang digunakan Hatta, bahkan sejak 1930-an, karena demikian
tertib dan tertatanya, relatif cukup dekat jaraknya dengan gaya tutur
dan tata bahasa yang kini lazim kita pergunakan, sehingga penyuntingan
ulang karya-karya Hatta hanya akan melibatkan konversi ejaan saja
daripada translasi tata bahasa.
Berhadapan dengan dilema ini, dalam proses penyuntingan buku ini penyunting akhirnya mencari jalan keluar dengan tetap mempertahankan
gaya tutur dan tata bahasa asli yang digunakan oleh pengarang, tapi
dengan memberikan tambahan keterangan melalui sejumlah catatan (anotasi),
baik dalam bentuk catatan kaki maupun dalam bentuk kurung-siku ([…]).
Semua keterangan dalam tanda kurung-siku di buku ini berasal dari
penyunting. Catatan-catatan itu diberikan untuk memudahkan para pembaca
memahami apa yang disampaikan oleh teks asli, terutama ketika bertemu
dengan sejumlah persoalan sebagaimana telah diuraikan di atas.
Mempertahankan
gaya tutur asli buku ini adalah sangat penting, meski dengan risiko
akan “dipersalahkan” menurut sudut pandang tata bahasa Indonesia hari
ini. Hanya saja, sebuah buku, dan juga bahasa, tidak bisa dinilai hanya
dari tata bahasanya, kejelasan informasi yang disampaikannya, atau dari
kemudahan pembaca menyimaknya. Sebuah buku, dan juga bahasa, karena ia
adalah bagian dari artefak, sehingga cukup penting juga untuk
dipertahankan sebisa mungkin bentuk aslinya. Dan demikianlah cara buku
ini kemudian disajikan kembali ke hadapan pembaca. Oleh karenanya,
pembaca akan berjumpa dengan pilihan kata “girang hati” daripada
“gembira”, serta banyak bertemu dengan sapaan “tuan”, sehingga suasana kebatinan yang antik dari buku ini tetap bertahan.
Sebagai
buah dari catatan yang ditulis penyunting untuk menerangkan
berbagai-bagai kata, istilah, atau uraian asli dari pengarang buku ini,
pada akhirnya perlu disusunkan sebuah glosari untuk melengkapi buku ini.
Glosari ini sekaligus untuk lebih memudahkan pembaca agar tidak
kehilangan kompas. Dalam hal penyusunan glosari dan pemberian padanan
atas istilah-istilah Belanda, buku-buku berikut harus disebut karena
memberikan bantuan yang sangat besar (sesuai abjad nama pengarang):
- A. Hanan Hardjasasmita, Sejarah Lahirnya Gerakan Koperasi Indonesia dan Perkembangannya sampai dengan Awal Periode ’80-an (Bandung: Armico, 1983);
- Almanak Pertanian 1953 (Djakarta: Badan Usaha Penerbit Almanak Pertanian, 1953)
- Almanak Pertanian 1954 (Djakarta: Badan Usaha Penerbit Almanak Pertanian, 1954)
- J. Thomas Lindblad (Editor), New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia (Leiden: Programme of Indonesian Studies, 1993);
- Kamaralsjah, Tentang Pengertian Hal Organisasi Perkumpulan Ko-operasi (Djakarta: J.B. Wolters, 1954);
- Margono Djojohadikusumo, Kenang-kenangan dari Tiga Zaman: Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis (Jakarta: Indira, [cetak ulang tanpa tahun; edisi pertama terbit pada 1969]);
- Mohammmad Hatta, Menindjau Masalah Kooperasi (Djakarta: Pembangunan, 1954);
- Pandu Suharto, Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat (Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1988);
- Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen (Editor), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987);
- Sagimun M.D., Koperasi Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 1984);
- Sugiarta Sriwibawa (Editor), 100 Tahun Margono Djojohadikusumo (Jakarta: UI-Press, 1994);
- Sumitro Djojohadikusumo, Kredit Rakyat di Masa Depresi (Jakarta: LP3ES, 1989);
- Suradjiman, Ideologi Koperasi membentuk Masjarakat Adil dan Makmur (Bandung: Ganaco, 1963);
- Teko Sumodiwirjo, Ko-operasi dan Artinja bagi Masjarakat Indonesia (Djakarta: GKBI, 1954); dan
- Tim Penyusun Buku Sejarah 100 Tahun BRI, Seratus Tahun Bank Rakyat Indonesia, 1895-1995 (Jakarta: Humas BRI, 1995);
Satu
hal yang perlu ditambahkan, pada edisi baru ini semua tabel statistik
telah dinomori ulang dan diberi judul oleh penyunting, karena pada edisi
aslinya tabel-tabel itu sebagian tidak bernomor dan ditampilkan tanpa
judul. Pemberian nomor dan judul tabel ini sangat penting karena
merupakan sejenis standar akademis, yang meskipun pada masa ketika buku
ini pertama kali ditulis standar itu belum berlaku, namun karena buku
ini termasuk karya akademik yang berbobot, sebagaimana ditulis oleh
pengantar M. Dawam Rahardjo untuk buku ini, maka penyesuaian itu harus
dilakukan.
Demikian keterangan yang harus disampaikan terkait penyuntingan buku ini. Selamat membaca!
Maguwoharjo-Yogyakarta, November 2012
*) Karangan ini adalah tulisan
pengantar saya sebagai penyunting bagi buku Margono Djojohadikusumo,
Sepuluh Tahun Koperasi, 1930-1940. Buku ini pertama kali terbit pada
1941, mula-mula ditulis dalam bahasa Belanda, sebelum kemudian
diterjemahkan oleh H.B. Jassin dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ini
adalah buku klasik yang menuliskan perkembangan gerakan koperasi di
Indonesia dalam lima puluh tahun pertama perkembangannya. Sebagai
pegawai Jawatan Koperasi (sebelumnya bekerja di Jawatan Perkreditan
Rakyat), Margono bekerja di bawah supervisi sarjana-sarjana Belanda
terkemuka, seperti Boeke, Fruin dan van der Kolff, yang memiliki banyak
simpati terhadap masyarakat Bumiputera. Pengantar edisi terbaru buku ini
diberikan oleh M.Dawam Rahardjo, dengan tetap menyertakan kata
pengantar edisi pertamanya, yang diberikan oleh J.J. Ochse, Kepala
Jawatan Koperasi dan Perniagaan Dalam Negeri masa itu. Karena pengantar
mengenai isi buku sudah diberikan, saya "hanya" bisa menuliskan
pengantar sebagai penyunting bahasa.
Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta
Ketika
sekira tiga minggu yang lalu muncul pemikiran untuk mengadakan
peringatan sewindu wafatnya Profesor Mubyarto, yang pertama kali
dilontarkan Pak Bambang Ismawan, spontan muncul berbagai ide mengenai
bagaimana momen itu akan diperingati. Sejumlah usulan acarapun
bermunculan, mulai dari mengadakan sarasehan, diskusi buku, pemutaran
film, hingga pameran buku. Semua usulan itu hampir menjadi trademark
dari kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Ekonomi
Kerakyatan dan Mubyarto Institute. Namun, ada satu lagi kegiatan yang
sepertinya telah agak lama dilupakan, tapi kini sepertinya mulai
bergairah kembali di Bulaksumur B-2—tempat dimana Pusat Studi Ekonomi
Kerakyatan (d.h. Pusat Studi Ekonomi Pancasila, PUSTEP) yang didirikan
almarhum Profesor Mubyarto berkantor, yaitu: penerbitan buku.
Selama
hampir tiga tahun memimpin PUSTEP, hampir setiap bulan Profesor
Mubyarto menerbitkan buku. Sehingga ketika ia berpulang pada 24 Mei
2005, sudah puluhan buku karyanya, baik yang ditulisnya sendiri maupun
bersama tim peneliti yang lain, yang telah diterbitkan oleh lembaga yang
didirikan dan dipimpinnya itu. Sejak kepergiannya itu pula program
penerbitan buku oleh PUSTEP seperti berhenti berdenyut, sehingga
meninggalkan kesan bahwa produksi pemikiran Ekonomi Pancasila sudah
berhenti. Tentu saja itu anggapan yang keliru, karena produksi gagasan
Ekonomi Pancasila sebenarnya terus berlanjut dan terpublikasikan, meski
tak lagi melalui PUSTEP.
Oleh karena itu, bersamaan
dengan munculnya gagasan untuk mengadakan peringatan sewindu wafatnya
Profesor Mubyarto, muncul pula gagasan untuk menerbitkan buku terkait
peringatan itu. Pertanyaan yang pertama kali muncul kemudian adalah:
buku mengenai apa?
Sejak sebelum Pak Muby berpulang
sebenarnya telah beredar gagasan di sejumlah kolega dan bekas muridnya
untuk menerbitkan sebuah buku penghormatan yang akan diterbitkan
bersamaan dengan ulang tahunnya yang ke-70. Sayangnya takdir berkehendak
lain, beliau sudah pergi mendahului ketika usianya belum lagi genap 67
tahun. Namun itu tak membuat acara peringatan ulang tahunnya yang ke-70,
3 September 2008, dilewatkan begitu saja. Tepat pada hari itu malah
disepakati berdirinya Yayasan Mubyarto, sebuah lembaga yang didirikan
untuk merawat dan meneruskan warisan pemikiran almarhum. Ketika itu,
gagasan untuk menerbitkan buku penghormatan telah bergeser menjadi
penerbitan biografi almarhum. Sayangnya, mimpi itu bahkan hingga hari
ini belum terwujud.
Oleh karena itu, ketika muncul
gagasan untuk menerbitkan buku bertepatan dengan peringatan sewindu
wafatnya Pak Muby, muncul pertanyaan yang sudah disebut tadi: buku
mengenai apa? Mengingat waktu yang sangat mepet, tentunya tidak mungkin
mengorganisasikan sebuah proyek penulisan baru. “Kalau sekarang baru
ditulis, mau terbit kapan?” ucap seorang rekan. Maka satu-satunya
pilihan yang mungkin dilakukan adalah mengolah tulisan-tulisan yang
sudah ada. Dan pilihan itu jatuh pada mengkolek tulisan obituari Pak
Muby. Sebagai pelengkap kemudian turut disertakan sejumlah tulisan,
termasuk wawancara panjang dengan almarhum yang pernah dimuat sebuah
jurnal mahasiswa, dimana dari kumpulan tulisan ini diharapkan bisa
tercapai sejumlah maksud.
Pertama, bagi mereka
yang telah mengenalnya, maka kumpulan tulisan ini diharapkan bisa
mengingatkan kembali mengenai sosok Pak Muby dan pemikirannya. Meski
buku peringatan sewindu wafatnya almarhum ini bertajuk “Warisan
Pemikiran Mubyarto”, judul yang tepat bagi mereka yang pernah
mengenalnya, terutama bagi bekas murid-muridnya, adalah: “Utang
Kita kepada Mubyarto”. Ya, setelah mengingat kembali almarhum,
sepertinya masing-masing kita kemudian memiliki utang, yaitu utang untuk
meneruskan cita-cita dan menghidupi warisannya. Utang ini tentu saja
tidak berlaku bagi mereka yang tak setuju dengan pemikirannya.
Kedua,
bagi mereka yang tak sempat mengenal Mubyarto, maka buku ini bisa
dijadikan semacam pengantar untuk memperkenalkan apa dan siapa guru
besar Fakultas Ekonomi UGM tersebut. Melalui kesan-kesan yang
ditinggalkan oleh Mubyarto pada sejumlah orang yang karangan atau
komentarnya dimuat dalam buku ini, bisa disimak bahwa Pak Muby bukan
hanya seorang pemikir yang tangguh, melainkan juga pribadi yang
menyenangkan, dan guru yang banyak memfasilitasi murid-muridnya untuk
maju. Pada sosok Mubyarto memang terdapat pengertian seorang “guru” yang
sebenarnya, di mana di lingkungan perguruan tinggi kini tak lagi banyak
yang tersisa orang-orang semacam ini. Bagi Pak Muby menjadi pendidik
bukanlah pertama-tama soal pekerjaan, melainkan dedikasi.
Ketiga,
buku ini disusun dengan keyakinan bahwa setiap pemikiran akan punah
jika tak terus-menerus ditulis atau dibahas. Dan terbitnya buku ini,
selain dimaksudkan untuk terus mengawetkan dan menghidupi pemikiran
Mubyarto, juga dimaksudkan untuk mengingatkan kita bahwa tanpa kita
sadari dalam usianya yang “baru” menginjak enam dekade, Universitas
Gadjah Mada sepertinya telah kehilangan banyak pemikiran penting yang
pernah dilahirkan oleh para begawannya. Apa fasal? Di usianya yang
kepala enam, ada berapakah buku semacam ini yang pernah terbit di
lingkungan Kampus Bulaksumur?! Semakin sedikit jumlah buku semacam ini
yang pernah terbit, bisa dijadikan indikasi punahnya sejumlah pemikiran
yang pernah dilahirkan di kampus ini. Siapa masih ingat Profesor
Sardjito, Profesor Herman Johanes, Profesor Jacob atau Profesor
Koesnadi?! Jika nama-nama itu disebut, sebagian besar orang mungkin
masih mengingatnya, karena kebetulan mereka pernah jadi rektor UGM,
alias mantan “pejabat”. Namun jika ditanyakan, apakah sumbangan
pemikiran mereka bagi dunia keilmuan yang pernah tercatat, banyak orang
pasti gelagapan. Salah satu sumber gelagapan itu adalah karena kita
tidak pernah mencatatkan hal-hal terkait pemikiran tokoh-tokoh tadi
secara baik. Jika hari ini ada yang hendak mencari karya-karya Mubyarto,
orang masih bisa pergi ke perpustakaan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan
(PSPK) atau perpustakaan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM. Namun,
kemana kita bisa mencari karya-karya Herman Johanes, Djojodigoeno, Iman
Soetiknjo, atau Soedarsono Hadisapoetro?! Pada masanya sumbangan
pemikiran dan karya mereka sangat besar artinya bagi bidang keilmuan
yang ditekuninya, dan bagi kemanusiaan secara umum. Namun, sekali lagi,
dimana karya-karya mereka tersimpan?! Adakah yang merawat karya-karya
mereka?!
Tanpa ikhtiar yang serius dan terus-terus
untuk merawat dan menghidupi sebuah pemikiran, dalam dua puluh atau tiga
puluh tahun ke depan pemikiran Mubyarto juga mungkin akan bernasib
sama. Dan agar hal itu tidak terjadi, maka buku semacam ini harus
diterbitkan. Tentu saja kami menyadari bahwa penerbitan buku ini adalah
ikhtiar paling sederhana dari upaya untuk merawat dan menghidupi
pemikiran Pak Muby.
Akhir kata, buku ini adalah hasil
gotong royong dari banyak pihak. Mas Satriyantono Hidayat telah
mengirimkan foto-foto yang dimuat sebagai ilustrasi dalam buku ini. Pak
Puthut Indroyono telah menyumbangkan transkrip wawancara dengan Pak
Sartono dan Pak Koesnadi ketika kedua beliau itu masih sugeng.
Sebuah wawancara yang langka dan telah menjadi antik. Dan ucapan terima
kasih juga tak lupa disampaikan kepada kolega dan bekas murid Pak Muby
yang karangannya bersedia dicuplik untuk buku ini.
Terakhir,
kepada Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, dan Dekan Fakultas Ekonomika dan
Bisnis UGM, Prof. Dr. Wihana Kirana Jaya, yang telah mendukung dan
memberikan fasilitas bagi acara peringatan sewindu wafatnya Prof. Dr.
Mubyarto, kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga buku ini ada manfaatnya.
Yogyakarta, Mei 2013
*) Ini adalah tulisan kata pengantar saya
untuk buku "Warisan Pemikiran Mubyarto: Memperingati Sewindu Wafatnya
Prof. Dr. Mubyarto, MA" (Mubyarto Institute & Pusat Studi Ekonomi
Kerakyatan, 2013)
Oleh Tarli Nugroho
Mantan Asisten Dr. Hidajat Nataatmadja (2006-2009)
Tradisi
keilmuan di Indonesia barangkali memang tidak dihidupi oleh kegairahan
untuk membangun otentisitas. Indikasinya bisa dilihat dari miskinnya
kegiatan kritik teori maupun tiadanya tendensi strukturasi teori baru
yang dilakukan oleh para sarjana kita. Kegiatan penelitian maupun
penalaran didominasi oleh vak verifikasi, yang pada dasarnya hanya
mempraktikkan, lalu menegaskan kembali gagasan orang lain. Hampir tidak
ada problematisasi serius atas berbagai persoalan keilmuan.
Seandainyapun ada sebentuk kegiatan kritik teori, maka kegiatan tersebut
pun pada dasarnya sukar dibedakan dari sekadar epigon atas pergulatan
kritik serupa yang dilakukan para sarjana di luar negeri. Jadi,
seandainya ada, atau pernah ada, kritik itu hadir tanpa problematisasi
yang otentik.
Bagi sebagian orang, tendensi otentisitas
barangkali tidak relevan dibicarakan dalam kegiatan keilmuan. Apalagi,
sejarah kelahiran dunia universiter di kita memang pertama-tama bukan
untuk melahirkan pencerahan, melainkan sekadar untuk menyediakan
ambtenaar, para pekerja di birokrasi pemerintahan. Sehingga, fungsi
perguruan tinggi tidak pernah beranjak dari produsen tenaga kerja, dan
bukannya produsen ilmu pengetahuan. Sebagaimana bisa kita lihat pada
berbagai perbincangan yang menyoal state of the art ilmu sosial di
Indonesia, seperti yang pernah mengemuka di tahun 1970-an dan awal
1980-an, sebagian besar sarjana kita berpendirian bahwa tidak ada yang
salah dengan ilmu dan teori, yang keliru adalah penerapannya; sehingga
mempersoalkan keabsahan ilmu dan teori adalah pekerjaan yang tidak
berguna.
Namun, tentu saja itu adalah pendapat yang
sepenuhnya salah. Bahkan sangat salah karena secara tak sadar sedang
mendudukkan positivisme sebagai proto dari state of the art keilmuan itu
sendiri. Hidayat Nataatmadja (1932-2009), terlepas dari kesepakatan
atau ketidaksepakatan orang terhadap hasil pemikirannya, adalah satu
dari sedikit orang yang gigih melakukan perlawanan terhadap kejumudan
dunia kesarjanaan. Melalui sikap otonom yang teguh, Hidayat berusaha
membongkar benteng regularitas diskursif. Dia hanya ingin mengajukan dan
mempersoalkan apa-apa yang belum pernah diajukan dan dipersoalkan orang
lain, demikian tulisnya suatu ketika.
Memang, setiap
pemikir berdiri di atas pundak pemikir lainnya, sama seperti halnya
setiap tradisi kesarjanaan bertumpu di atas tradisi kesarjanaan
pendahulunya yang lebih klasik. Tapi kait-kelindan itu bukan pembenaran
terhadap perayaan—meminjam Galbraith—conventional wisdom dan pemujaan
terhadap—mencuri Kuhn—normal science. Seperti diimani Borges, setiap
pengutip Shakespeare adalah Shakespeare itu sendiri. Dan ilmu
pengetahuan, hampir serupa sastra, membangun dirinya dari model serupa
itu: penciptaan yang terus-menerus, karena pada dasarnya setiap orang
adalah pencipta.
Pada diri Hidayat, etos itu hadir
sangat kental. Apalagi, bagi Hidayat, kebudayaan adalah rumah pikiran,
sehingga setiap tradisi keilmuan mestinya berakar di kebudayaan
inangnya. Tapi tidak berarti Hidayat tak jernih dalam memahami
distingsi ihwal universalitas dan partikularitas. Persoalan
universalitas dan partikularitas itu justru merupakan salah satu kata
kunci dari segepok hasil pemikirannya. Kemanusiaan, misalnya, mungkin
bersifat universal. Tapi bagaimana kemanusiaan itu dipelihara, pastinya
itu bersifat partikular. Ini sama seperti halnya bahwa semua manusia
lahir ke dunia dalam keadaan telanjang. Dengan apa ia akan menutupi
tubuh telanjangnya, sangat tergantung pada dimana ia lahir. Bayi yang
lahir di kutub barangkali harus dibungkus dengan mantel bulu yang tebal,
sementara bayi yang lahir di pesisir Jawa cukup ditutupi jarik tipis.
Dan persis di titik partikular itu otonomi kesarjanaan dan tendensi
otentisitas, sebagaimana yang melingkupi pemikiran Hidayat, menemukan
relevansinya.
Tentu saja otentisitas dalam dunia
keilmuan sebagaimana yang dihidupi Hidayat berbeda dengan, misalnya,
otentisitas sebagaimana yang diimani dalam karya kesenian. Otentisitas
dalam dunia keilmuan, meminjam istilah Daoed Joesoef (1986), adalah
otentisitas dalam hal menemukan tata-hubungan prioritas yang baru yang
lebih memuaskan dalam memberikan pemahaman terhadap sesuatu . Newton
dikatakan telah menyumbang pengetahuan karena analisis ilmiahnya mampu
menunjukkan hubungan antara gerakan bulan dan benda-benda langit dengan
jatuhnya buah apel. Padahal, gerakan benda-benda langit merupakan
pengetahuan astronomis yang sudah lazim, bahkan sejak masa yang lebih
lampau. Artinya, gagasan Newton sebenarnya berangkat dari bahan-bahan
yang telah lazim diketahui, hanya tata-hubungan dan struktur yang
dikemukakan bersifat baru.
Tanpa tendensi
otentisitas, ilmu pengetahuan sekadar menjadi kegiatan adopsi,
verifikasi, yang pada akhirnya hanya membebek pada kebakuan. Pada titik
itu, dunia kesarjanaan sebenarnya sedang sebatas mendudukkan ilmu
pengetahuan sekadar sebagai produk yang tinggal dikonsumsi, bukan
sebagai proses yang terus-menerus diolah.
+ + +
Bagi
generasi yang dilahirkan sesudah dekade 1980-an, Hidayat adalah
khazanah intelektual yang terselip. Namanya hampir tidak tercatatkan.
Tapi memang, dalam semua tradisi keilmuan, selalu dibutuhkan orang besar
untuk memperkenalkan orang besar lainnya, dimana ke-besar-an dalam
dunia keilmuan dipelihara melalui siklus bertukar simak dan kaji. Dan
tradisi kesarjanaan di Indonesia, apa lacur, tidak mengenal keduanya:
keterbukaan untuk menyimak, dan ketekunan untuk mengkaji, yang menjadi
prasyarat bagi lahirnya pemikir dan pemikiran besar.
Untuk
memahami gagasan Hidayat memang dibutuhkan sebuah ketekunan sekaligus
empati intelektual yang tinggi, karena gagasan-gagasannya dituliskan
dalam banyak sekali buku dan dalam bahasa yang seringkali “tidak lazim”.
Kalau menyimak judul buku-bukunya, menurut ukuran masa kini, atau
menurut kebiasaan yang menguntit, dengan mudah kita akan menemukan
“ketidaklaziman” itu. Tanpa empati-intelektual, kita akan dengan mudah
terpeleset menuduh Hidayat sekadar sedang mencari sensasi, atau
memancing kontroversi, sehingga pada akhirnya meluputkan substansi serta
argumentasi kokoh yang dengan sangat serius sebenarnya sedang coba dia
tuturkan. Begitu juga, dengan tanpa ketekunan untuk menyimak
keseluruhan karya-karyanya, kita hanya akan menemukan
penggalan-penggalan gagasan penting yang tidak padu. Bangunan penting
gagasan Hidayat tersimpan (kadang tersembunyi) dengan rapi dalam
keseluruhan karyanya, yang meskipun ada berbagai pengulangan dalam tiap
tulisannya, pembaca yang tekun akan menemukan bahwa ada lebih banyak
lagi argumen dan uraian penting yang tidak dia tuturkan ulang pada
tulisan-tulisannya yang lebih kini. Tanpa menyimak keseluruhan karyanya,
kita mungkin hanya akan ketemu kesimpulan-kesimpulan tanpa argumentasi,
karena berbagai argumen yang mendasari kesimpulan-kesimpulan itu sudah
dia paparkan dalam karya-karyanya yang telah silam.
+ + +
Selasa,
13 Januari 2009, lebih dari setahun silam, Hidayat berpulang, setelah
sebelumnya selama lebih dari satu semester bolak-balik ke rumah sakit
karena berbagai komplikasi. Tak ada satu obituaripun yang
mengantarkannya. Tapi sebenarnya yang dibutuhkan oleh Hidayat memang
bukan sebuah obituari, melainkan sebuah ucapan selamat datang. Ketika
beberapa bekas murid Hidayat, yang kini telah profesor, mengabari untuk
memperkenalkan lagi pemikiran gurunya, itu mungkin adalah ucapan yang
lama ditunggunya.
Selamat datang kembali ke dunia universiter, Pak Hidayat!
Oleh Tarli Nugroho
Pencinta Buku
Ibarat
tubuh, perpustakaan adalah jantungnya universitas. Dari
jantung-perpustakaan inilah ilmu pengetahuan dipompa ke sekujur
tubuh-universitas sehingga kehidupan akademik terus berdenyut. Menuju ke
jantung ini pula hasil seluruh pertengkaran ilmiah dikirimkan untuk
diperiksa, dikaji-ulang, dikuliti, dikembangkan, lalu disebarkan
kembali. Sebagai organ vital, ia tak boleh berhenti berdetak, karena
perguruan tinggi secara “medis” akan mati.
Sayangnya,
dalam deretan meja kosong dan kursi-kursi menjelujur rapi sebagaimana
rutin dijumpai di perpustakaan kita, jantung ilmu pengetahuan tadi
dibiarkan sekarat. Beberapa orang boleh jadi tidak terlampau khawatir,
sebab toh perguruan tinggi bisa terus memproduksi ribuan sarjana tiap
tahun meski perpustakaannya sunyi senyap. Tapi itu tentu saja pikiran
yang menghinakan. Sebab pada titik yang demikian, perguruan tinggi tak
ubahnya seolah sebatang bangkai: tubuh yang tak lagi bernyawa.
Tulisan
ini hendak menyoroti posisi perpustakaan dalam kaitannya dengan tradisi
intelektual di perguruan tinggi. Jika selama ini masalah minat baca
didudukkan sebagai persoalan teknis yang harus dipecahkan pustakawan,
maka tulisan ini berpendapat bahwa masalah tersebut merupakan masalah
seluruh elemen perguruan tinggi.
Perpustakaan dan Dunia Ilmiah
Kekeliruan berpikir paling mendasar ketika membincangkan perpustakaan adalah mendudukkan perpustakaan semata sebagai unit teknis dari
institusi perguruan tinggi. Ketika perpustakaan hanya dibicarakan
sebagai sebuah unit teknis (untuk melayani kebutuhan baca dan
pinjam-meminjam pustaka), maka perpustakaan telah dicabut dari
kompleksitas keterkaitannya dengan dunia ilmiah.
Sudut
pandang ini membuat segenap persoalan yang berkaitan dengan
perpustakaanpun kemudian dianggap teknis, bukan sebagai persoalan yang
menyangkut dunia ilmiah. Ini bisa ditengarai dari minimnya respon
sebagian besar aparatus akademik terhadap segala persoalan yang
berkaitan dengannya. Mereka mengira bahwa perpustakaan adalah urusannya
pengelola lembaga yang bersangkutan—yaitu pustakawan, tidak ada
sangkut-pautnya dengan akademisi. Kalaupun ada tenaga akademik terlibat,
biasanya mereka adalah yang sedang menjabat di struktur birokrasi
perguruan tinggi.
Pikiran serupa juga dimiliki oleh
para pustakawan. Mereka menganggap wilayah kerjanya bersifat mandiri dan
bebas dari campur tangan non-pustakawan. Sehingga, setiap persoalan
yang berkaitan dengan perpustakaan hanya akan diselesaikan lewat
perspektif profesi mereka. Pada akhirnya penyelesaian akan ditarik ke
soal profesionalitas serta teknik manajerial, wilayah yang sangat teknis
sifatnya. Soal minimnya pengunjung perpustakaan, misalnya. Dengan sudut
pandang profesi, mereka akan cenderung melihat persoalan ini sebagai
tantangan untuk meningkatkan pelayanan dan fasilitas yang ada agar
pengguna menjadi lebih nyaman dan tertarik datang.
Peningkatan
profesionalitas layanan dan penambahan fasilitas tentu saja bukan hal
yang tidak berguna. Hal itu memang bisa berimplikasi positif terhadap
antusiasme pengguna. Hanya saja, hal itu akan lebih berguna jika
ditunjang oleh hal lain yang lebih vital sifatnya, yaitu minat baca penghuni kampus. Dalam kaitannya dengan minat baca inilah perpustakaan memiliki hubungan non-teknis dengan dunia ilmiah.
Ilmu Pengetahuan dan Buku
Kegiatan ilmiah merupakan kegiatan mengubah fakta menjadi teori—membuat masalah (fakta) menjadi permasalahan
(teori), mengerjakannya dan merumuskan pemecahannya (Daoed Joesoef,
1986). Jadi, ilmu pengetahuan terbentuk dari dorongan untuk memecahkan masalah. Kegiatan yang relevan dengan tujuan untuk memecahkan masalah adalah meneliti, investigasi, serta mengkaji secara mendalam suatu persoalan.
Pengertian
mengenai kegiatan ilmiah sengaja dikemukakan untuk memperjelas bahwa
minat baca sebenarnya tidak semata “bawaan sejak lahir” sebagaimana yang
umumnya kita bayangkan. Dari pengertian di atas kita bisa menyimpulkan
bahwa aktivitas membaca merupakan tuntutan kegiatan ilmiah. Apakah
seseorang mewarisi bakat atau tidak untuk membaca, ketika dia
berkecimpung di dunia ilmiah maka dia wajib terlibat dalam aktivitas
menekuri buku-buku daras.
Tetapi, sebagaimana juga
diingatkan oleh Daoed Joesoef, tidak setiap kegiatan yang berkaitan
dengan ilmu pengetahuan adalah kegiatan ilmiah. Bekerja di laboratorium
atau di perpustakaan ataupun memberikan kuliah, misalnya, bukan
merupakan kegiatan ilmiah. Pada aktivitas mengajar, misalnya, tidak ada
proses sebagaimana pengertian kegiatan ilmiah di muka. Mengajar adalah
aktivitas menyampaikan ilmu pengetahuan yang telah jadi (ilmu
pengetahuan sebagai produk), sementara kegiatan ilmiah merupakan proses
untuk mencari dan merumuskan pengertian. Demikian pula dengan bekerja di
laboratorium, jika sekadar mempraktikkan pengetahuan yang telah jadi,
maka itu bukanlah kegiatan ilmiah. Jadi, persyaratannya terletak pada
ada atau tidak adanya motif untuk mengubah fakta menjadi teori,
memecahkan masalah untuk merumuskan kerangka teoritiknya, dan bukannya
segala hal yang berkaitan dengan pengetahuan.
Kembali
ke perbincangan awal mengenai perpustakaan, jelas tidak ada kegiatan
ilmiah yang bisa lepas dari buku. Buku adalah tempat dimana segala
pengetahuan dicatatkan, dipersoalkan, dikaji, dihabisi, untuk kemudian
dituliskan kembali. Lewat buku seorang ilmuwan bisa terpandu untuk
menemukan jawaban atas persoalan yang ditelitinya, lewat buku pula para
ilmuwan menemukan inspirasi masalah yang harus dipecahkan. Kegiatan
ilmiah pada akhirnya bermuara pada teks: sebuah cara dalam mana
pengetahuan diabadikan.
Jika kegiatan ilmiah tidak bisa
dipisahkan dari teks, maka aparatus akademik jelas memiliki tanggung
jawab pada persoalan yang berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut minat
baca. Irisan keduanya sangat besar. Sehingga, secara tidak langsung
segenap dinamika yang terjadi di perpustakaan juga harus masuk dalam
radar aparatus akademik, karena masa depan kegiatan ilmiah turut
ditentukan oleh aktivitas yang berkaitan dengannya.
Integritas Kesarjanaan
Dari uraian ringkas di atas kita bisa menyimpulkan bahwa menumbuhkan minat baca pertama-tama adalah perkara memperbaiki etos intelektual
dan bukannya menambah fasilitas ataupun perbaikan teknis manajerial
perpustakaan. Sebab tanpa etos intelektual, berbagai fasilitas yang
lengkap hanya akan habis dimakan rayap dan digerus waktu, sementara
peningkatan pelayanan akan sia-sia karena hasilnya tidak akan optimal.
Setelah
memahami posisi demikian, persoalannya sekarang adalah kenapa minat
baca rendah sehingga perpustakaan kita sepi pengunjung?!
Barangkali
beberapa orang akan menolak penilaian bahwa perpustakaan kita sepi
pengunjung. Mereka yang menolak ini akan mengajukan argumen berupa
hitung-hitungan kuantitatif mengenai jumlah pengunjung ataupun jumlah
buku yang dipinjam.
Kinerja perpustakaan sejauh ini
memang hanya diukur melalui parameter-parameter yang bersifat
kuantitatif dan sederhana, seperti jumlah pengunjung, jumlah buku yang
dipinjam, jumlah pertambahan buku, dan parameter sejenisnya. Karena
terbatas di pengukuran kuantitatif semacam itu, para pengelola
perpustakaan atau pejabat perguruan tinggi yang dilapori kinerja tadi
menjadi tidak peka terhadap gejala-gejala penting yang terjadi di
lapangan.
Boleh jadi, misalnya, secara kuantitatif
penggunaan perpustakaan suatu ketika adalah tinggi. Tetapi itu tidak
dengan sendirinya menunjukkan hal yang positif berkenaan dengan minat
baca, apalagi dengan etos intelektual atau modus ilmiah. Jika aktivitas
di dalam perpustakaan kita golongkan menjadi dua, yaitu aktivitas membaca dan menulis, misalnya, di lapangan akan terlihat kalau masing-masing kategori akan didominasi oleh tiga materi bacaan, yaitu skripsi/tesis/disertasi, buku teks, serta koran dan majalah. Urutannya bisa berubah-ubah, tapi unsurnya tetap tiga materi tercetak tadi.
Jika
dipikirkan, ini jelas merupakan gejala memprihatinkan. Meskipun tradisi
baca masyarakat kita memang rendah, tetapi kegiatan membaca
skripsi/tesis/disertasi, buku teks dan koran di perpustakaan di
perguruan tinggi kita bukanlah merupakan bentuk kemajuan budaya baca.
Alasannya sederhana saja. Sudah bukan merupakan rahasia jika para
mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhir, keseluruhan atau sebagian
besar dasar teorinya tidak diambil dari buku sumbernya, melainkan dari
skripsi/tesis/disertasi pendahulunya. Sehingga, kalau mahasiswa rajin
membuka-buka skripsi/tesis/disertasi yang bertumpuk di perpustakaan, itu
sebenarnya bukanlah bentuk ke-rajin-an, melainkan bentuk kemalasan
membaca buku-buku daras. Begitu pula halnya dengan buku-buku teks dan
majalah. Sayangnya, tak banyak yang memperhatikan fenomena ini, baik
aparatus akademik maupun pengelola perpustakaan. Atau, kalaupun
memperhatikan tidak ada respon yang berarti terhadap fenomena ini. Lebih
celaka lagi kalau gejala ini malah direstui.
Kegiatan
membaca dan menulis sebagaimana yang dipertontonkan di perpustakaan kita
sejauh ini baru merupakan rutinitas akademik: mengerjakan tugas,
mencari hiburan, atau memenuhi tuntutan kelulusan. Jadi, jauh untuk bisa
disebut sebagai kegiatan ilmiah yang berkontribusi pada pengembangan
ilmu pengetahuan. Dalam bahasa lain bisa disebutkan bahwa aktivitas
tersebut hanya sekadar memenuhi syarat minimal (necessary condition) saja, tapi sangat tidak memenuhi syarat kecukupan (suficient condition) untuk bisa disebut menegakkan etos ilmiah.
Buku
teks, misalnya, jelas bukan merupakan sumber utama untuk menguliti
sisik-melik ilmu pengetahuan. Buku teks hanyalah sumber sekunder—atau
bahkan tersier berkaitan dengan sistem gagasan, apapun bidang
keilmuannya. Sedapat mungkin mahasiswa mestinya bersentuhan langsung
dengan sumber-sumber utama, yaitu buku-buku yang ditulis oleh para
penggagas teori atau buku-buku diskursif yang mendedahkan suatu
persoalan secara lebih kompleks dan utuh.
Kecenderungan kian merebaknya praktik “mencari” skripsi/tesis/disertasi di perpustakaan dan utuhnya buku-buku non-textbook
ataupun buku-buku berbahasa asing, meskipun sangat awal bisa jadi
merupakan gejala longgarnya kultur akademik kita. Meskipun hakikat
perguruan tinggi adalah menjadi cagar alam intelektualitas—menjadi
pengembang ilmu pengetahuan, dalam praktiknya hakikat itu ternyata
dikerjakan dengan standar yang teramat longgar.
perguruan tinggi sebenarnya diharapkan bisa memupuk lahirnya sarjana-sarjana mental yang memiliki etos intelektual dan bukan hanya sarjana-sarjana formal yang hanya memiliki ijazah semata
Tanpa
etos intelektual, pergulatan dengan buku hanyalah sekadar rutinitas
akademik yang secara substansial tak berarti. Jika itu yang terjadi,
yaitu kegiatan akademik telah menjadi rutin, maka integritas perguruan
tinggi sebenarnya tengah terancam. Inilah yang akan membuat sebuah
universitas kehilangan ruh, atau tubuh yang tak lagi bernyawa
sebagaimana disebut di bagian awal tulisan ini.
Melonggarnya kultur akademik jelas merusak integritas kesarjanaan. Seorang sarjana diharapkan bisa tampil tidak hanya sebagai intelegensia
yang menguasai bidang keilmuan profesional, melainkan juga bisa menjadi
seorang intelektual yang senantiasa kritis terhadap ilmu pengetahuan
dan struktur masyarakatnya. Jadi selain memiliki komitmen yang kuat
terhadap nalar dan proses pencarian kebenaran, seorang sarjana juga
diharapkan memiliki komitmen moral yang kuat, dalam arti memiliki
keprihatinan mendalam terhadap nilai-nilai budaya dan sejarah dari
masyarakatnya.
Artinya, perguruan tinggi sebenarnya diharapkan bisa memupuk lahirnya sarjana-sarjana mental yang memiliki etos intelektual dan bukan hanya sarjana-sarjana formal
yang hanya memiliki ijazah semata. Di sinilah aparatus akademik
memegang peranan penting dalam membantu lahirnya kultur akademik di
perguruan tinggi. Tanpa terlebih dahulu lahir kultur akademik, etos
intelektual hanya akan menjadi bintang di langit dan integritas
kesarjanaan patut dipersoalkan.
Aparatus akademik bukan
hanya agen penyampai ilmu pengetahuan yang telah jadi sebagaimana
dominan dipahami selama ini, melainkan perlu terlibat menjadi agen
intelektual yang berkomitmen terhadap ditegakkannya etika kesarjanaan
dan terciptanya etos serupa di kalangan mahasiswa. Dengan cara demikian
maka perpustakaan dengan sendirinya akan mengail dinamika aktivitas
ilmiah yang membanggakan, tidak sunyi senyap sebagaimana yang ada
sekarang.
Menegakkan Etos Intelektual
Jika masalah pokok pengembangan perpustakaan adalah minat baca—dalam
keterkaitannya yang kompleks dengan tradisi ilmiah sebagaimana yang
telah kita bicarakan, maka persoalan ini tidak hanya merupakan pekerjaan
rumah buat pustakawan, melainkan juga buat aparatus akademik. Tanggung
jawab para pendidik tak hanya sebatas di ruang kelas atau ruang ujian,
melainkan di seluruh sudut tempat bekerjanya kegiatan ilmiah.
intelektual
bukanlah sebuah kelas sosial tersendiri, sebagaimana halnya konsep
“buruh”, “borjuis” atau “kelas menengah” yang sering diperbincangkan.
Intelektual bukanlah persoalan latar belakang, melainkan soal sikap mental dan etos. Artinya, seorang intelektual bisa saja datang dari kelas buruh, petani, militer, dan lain sebagainya
Ketatnya
kultur akademik atau tradisi ilmiah merupakan pemicu bagi terbentuknya
etos intelektual. Pada titik itu, minat baca dan segenap keperluan untuk
menegakkan saintisme akan berjalan secara inheren dengan sendirinya.
Segenap insan akademik yang ada di kampus akan memiliki kegairahan untuk
menjelajahi setiap jengkal wawasan yang tercetak di halaman
berjilid-jilid buku yang menumpuk di perpustakaan. Tuntutan akademik
tidak lagi dipenuhi sekadar untuk formalitas—sehingga mahasiswa terpaku
mengejar kelulusan dengan cukup hanya membaca skripsi, tesis, dan
disertasi pendahulunya atau dosen hanya asyik mengajar dan mengejar
pangkat tanpa pernah mempublikasikan karya penting—melainkan untuk
menjaga integritas keintelektualan. Jika kesadaran mengenai integritas
ini telah terpupuk dan terpelihara, baku-dalih ilmiah akan lebih
berwibawa karena lebih kaya wacana.
Hal penting yang
kadang dilupakan, dalam menciptakan kultur yang demikian contoh dan
teladan dari aparatus akademik tidak bisa diabaikan, termasuk
penghargaan mereka terhadap perpustakaan. Penghargaan di sana termasuk
di antaranya dengan mengunjungi dan mempergunakan jasa perpustakaan. Di
sinilah kemudian hal-hal sekunder yang juga telah kita bicarakan
mengemuka, yaitu peningkatan pelayanan dan penambahan koleksi.
Sebelumnya,
perlu dipahami kalau intelektual bukanlah sebuah kelas sosial
tersendiri, sebagaimana halnya konsep “buruh”, “borjuis” atau “kelas
menengah” yang sering diperbincangkan. Intelektual bukanlah persoalan
latar belakang, melainkan soal sikap mental dan etos.
Artinya, seorang intelektual bisa saja datang dari kelas buruh, petani,
militer, dan lain sebagainya. Sehingga dalam kaitannya dengan
intelektualisme, kebutuhan dosen dan mahasiswa pada prinsipnya sama.
Dalam hal ini, tidak ada alasan bagi aparatus akademik untuk enggan
datang ke perpustakaan. Persoalannya tinggal apakah perpustakaan telah
menyediakan kebutuhan mereka secara memadai atau belum. Hal-hal yang
memadai itu adalah hal-hal yang di bagian terdahulu disebut
teknis-manajerial (profesionalitas pelayanan, penambahan fasilitas,
koleksi pustaka, dan lain-lain). Di sini kita melihat pertemuan antara
berbagai hal yang sebelumnya sering diperpsepsikan tak saling
berhubungan.
Kelompok Panel Penimbang Buku
Kelemahan
sistem pendukung perpustakaan yang ada selama ini adalah terletak pada
hal-penambahan buku. Perpustakaan selama ini lebih mengedepankan fungsi
sirkulasi, yaitu menyediakan peminjaman buku-buku teks perkualiahan.
Sedangkan fungsi referensi, yaitu penyediaan koleksi-koleksi pustaka
yang lebih berbobot, seperti jurnal dan buku-buku babon (magnum opus)
masih minim. Fungsi sirkulasi dan referensi di sini hendaknya tidak
diterjemahkan secara teknis sebagai koleksi yang bisa dipinjam dan hanya
bisa dibaca di tempat, melainkan sebagai ukuran mengenai kualifikasi
bahan pustaka.
Pengadaan buku selama ini sangat minim
melibatkan elemen-elemen kampus lainnya, terutama aparatus akademik dan
mahasiswa. Memang di perpustakaan disediakan lembaran usulan pengadaan
buku untuk mahasiswa, tetapi bisa dipastikan kalau tingkat
partisipasinya tidak optimal. Ini bisa disebabkan karena beberapa hal.
Pertama,
sistem pengadaan lembar usulan itu memakai sistem kuota. Artinya,
meskipun buku yang diusulkan mahasiswa sangat penting bobot
kualifikasinya, kalau dia mengusulkan seorang diri atau hanya dengan
sedikit orang secara kuantitatif akan dianggap tidak penting. Kedua, mahasiswa yang terlibat dalam pengisian lembar usulan kebanyakan hanya terbatas mengajukan judul buku-buku teks.
Keterlibatan
aparatus akademikpun serupa. Beberapa dari mereka yang peduli
barangkali akan mengusulkan atau menyumbangkan salinan literatur penting
yang mereka miliki untuk perpustakaan. Tetapi hal ini saja tidak cukup
untuk membuat perpustakaan menjadi tempat nyaman buat eksplorasi
intelektual. Karena itu pengelola perpustakaan harus mencari jalan
keluar lain yang lebih kreatif.
Sebuah jalan yang bisa
dicoba mungkin dengan membentuk semacam “Kelompok Panel Penimbang Buku”
(KPPB), yaitu sebuah tim yang bertugas untuk menggodok materi literatur
yang akan dibeli perpustakaan. Tim ini berisi perwakilan pengelola
perpustakaan, dosen, dan mahasiswa. Untuk skup fakultas, perwakilan
dosen dan mahasiswa harus merepresentasikan jurusan yang ada di fakultas
yang bersangkutan.
Sistem pemilihan tim ini adalah dengan seleksi, seperti pembuatan paper,
wawancara yang “mengukur” kecintaan seseorang pada buku (seperti
koleksi bacaannya, atau penguasaan literaturnya) dan berbagai parameter
lain yang terutama mengukur intelektualitas seseorang dan apresiasinya
pada buku. Seleksi diadakan setiap dua tahun sekali untuk memberi
keleluasaan kerja bagi KPPB. Tugas KPPB adalah menjaring aspirasi dari
elemen yang diwakilinya, atau bisa juga dengan pertimbangannya sendiri
dia mengusulkan kira-kira bahan pustaka apa yang harus dibeli
perpustakaan.
Anggota KPPB harus bisa mengemukakan
argumen yang jelas berkaitan dengan setiap usulan pustaka yang
diajukannya. Selain itu, anggota KPPB juga harus kritis terhadap usulan
yang diajukan oleh rekan setimnya, sehingga tidak ada dominasi selera
dari keputusan yang diambil KPPB secara keseluruhan. Dengan adanya KPPB
diharapkan pengadaan buku di perpustakaan bisa lebih
dipertanggungjawabkan dan pengguna menjadi lebih tertarik karena isinya
berbobot dan variatif.
Epilog
Perpustakaan
memang merupakan jantung perguruan tinggi, sehingga menjadi tanggung
jawab seluruh sivitas akademik untuk menjaga kelangsungan hidup lembaga
ini. Kelangsungan hidup perpustakaan bukan hanya diukur dari eksistensi
fisiknya, melainkan kontribusinya dalam dinamika kegiatan ilmiah di
perguruan tinggi. Dalam hal ini, selain fungsi teknis sebagai penyedia
layanan pinjam-meminjam dan menyediakan ruang baca, perpustakaan adalah
simbol dari kegairahan terhadap etos intelektual. Jika sebuah perguruan
tinggi telah melemah etos intelektualnya, maka perpustakaan hanya akan
menjadi kumpulan rak yang sunyi senyap, dan universitas tengah meregang
nyawa dan bersiap menjadi bangkai. Semoga itu tidak terjadi pada kita.
Karanggayam, 8 September 2006
Oleh Tarli Nugroho
Penggemar Bang Bens
“Hanya
satu yang tidak diketahui orang tentang Benyamin. Dia menghidupkan lagu
betawi yang nyaris mati, itu jasanya.” Kalimat itu keluar dari mulut
Mus Mualim, musisi jazz terkemuka, yang juga suami dari Titiek Puspa,
artis kawakan tiga zaman. Mus melontarkan kalimat itu ketika Benyamin
Sueb, yang biasa disingkat Benyamin S. (baca: ‘Benyamin Es’), atau biasa
dipanggil Bang Ben, baru saja merilis film barunya yang laris manis dan
sekaligus memanen pujian, Si Doel Anak Modern (1976). Dalam
film yang disutradarai oleh Sjuman Djaja itu, pada 1977 Benyamin
mendapatkan Piala Citra keduanya. Sebelumnya, pada 1973, dalam karirnya
sebagai aktor yang masih terbilang seumur jagung, Ben mendapatkan Piala
Citra pertamanya, juga sebagai aktor terbaik, melalui film Intan Berduri (1972), yang disutradarai Turino Djunaidi.
Pada
mulanya banyak orang mengira Benyamin adalah badut yang sekadar
menjajakan kekonyolan. Ya, ia baru bermain seni peran pada 1970, melalui
film Benyamin Biang Kerok, yang langsung membuat namanya
melejit. Majalah TEMPO pada 1977 menulis bahwa sebelum bermain film
Benyamin lebih dikenal sebagai “penyanyi dan pelawak kampung”. Namanya
identik dengan gambang kromong, kesenian khas Betawi. Namun, meski film
pertamanya langsung membuatnya terkenal, film itu dianggap sebagai
peneguhan citra konyol sosok Benyamin. Oleh karenanya, ketika ia
diganjar Piala Citra sebagai aktor terbaik pada 1973, banyak orang
menjadi terhenyak. Si Badut ini bisa berakting bagus juga!
Membaca
kembali riwayat Benyamin memang gampang menerbitkan tawa dan decak.
Ketika kecil ia bercita-cita ingin menjadi pilot, namun nasib membawanya
menjadi kondektur PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta). Ia melayani
rute Banteng-Jalan Minangkabau-Manggarai. Tapi ia tak puas dengan
profesinya itu. Di balik tampang konyolnya, Benyamin pernah mengecap
status sebagai mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Sawerigading
hingga tingkat dua. Ketika bekerja di PPD, ia menggunakan ijazah
SMA-nya, yang diperoleh dari perguruan Taman Siswa. Padahal, untuk
pekerjaannya itu, yang dibutuhkan sebenarnya hanya lulusan sekolah
dasar. Jadi, ia tidak puas ijazah SMA-nya hanya digunakan untuk
pekerjaan selevel lulusan SD. Setelah keluar dari PPD, selama tujuh
tahun berikutnya ia bekerja di perusahaan negara, PN Asbes. Ketika
perusahaannya akan melakukan rasionalisasi, Ben memilih cabut. Ia ingin
mengabdikan hidupnya untuk musik. Dan sejarah hidupnya membuktikan itu.
Meski
terlihat konyol, Ben sebenarnya sangat penuh perhitungan. Dan ia sama
sekali bukan badut sebagaimana dikira banyak orang. Dari cara ia
mengutarakan riwayat hidupnya, yang dimuat berbagai media hingga akhir
hayatnya, Ben bukan hanya seorang yang memiliki spontanitas yang
mengagumkan, terutama dalam hal melahirkan lelucon, tapi juga memiliki
wawasan hidup yang tegas dan jernih. Di balik tampang bloonnya, Ben
memang adalah pembaca buku yang serius dan penyuka filsafat. Ia juga
gemar membaca biografi tokoh-tokoh terkemuka, seperti Bismarck dan
Napoleon.
Suatu ketika Benyamin mengaku bahwa rahasia
suksesnya sebagai musisi adalah karena ia menggunakan strategi Napoleon
ketika menciptakan lagu. Dalam strategi perang, demikian Ben, jika kita
punya gagasan jangan pertama-tama ditanyakan kepada jenderal, karena
pasti akan “dihabisi”, tapi bertanyalah kepada kopral lebih dulu. Jadi,
ketika ia menulis lagu, untuk mengukur apakah lagu itu bagus atau tidak
Ben tidak minta komentar kepada musisi atau kritikus, tapi bertanya
kepada anaknya. Jika anaknya senang dengan lagunya, maka menurut Ben
berarti lagunya bisa dipahami dan diterima orang lain.
Tampang dan peran yang dilakoninya boleh jadi kebanyakan memerankan tokoh-tokoh bloon, tapi isi kepala Ben tidaklah demikian.
Pembacaan
sosialnya yang tajam pula yang telah membuat lagu-lagunya terus
dikenangkan hingga kini, dan membuat namanya terpacak sebagai seniman
Betawi kontemporer terbesar hingga hari ini. Ketika musik
“ngak-ngik-ngok” dilarang bersamaan dengan masa konfrontasi dengan
Malaysia pada awal 1960-an, Ben melihat bahwa lagu-lagu Minang tiba-tiba
saja mengorbit dan mendapat tempat. Sebagai orang Betawi ia merasa
tertantang: kenapa lagu-lagu Betawi tidak bisa mengambil tempat juga?!
Maka
dimulailah petualangannya menggali lagu-lagu Betawi. Belakangan, ketika
hasil kerjanya diapresiasi banyak orang, dan reputasi kesenimanannya
terus menerbitkan hormat, dengan rendah hati Ben hanya berujar bahwa
dirinya sebenarnya tidak tahu apakah ikhtiarnya itu memang telah
membangkitkan kembali atau justeru sebenarnya malah telah mengacaukan kebudayaan Betawi. Sungguh, jawaban rendah hati yang kocak.
Ketika
ketenaran berhasil direngkuhnya, Ben tidak terjebak menjadi robot
industri. Dia menjadi seniman dalam arti yang sebenar-benarnya, tak
sekadar menjadi selebritas yang mengandalkan popularitas. Selepas
mencipta lagu, menyanyi dan menjadi aktor, Ben belajar menulis skenario
dan juga sutradara. Ia belajar dari Sjuman Djaja dan Turino Djunaidi,
dua orang penulis dan sutradara yang dihormatinya. Usaha yang
dirintisnya di luar karirnya juga masih berada dalam lingkungan dunia
seni dan budaya. Bens Radio yang didirikannya masih mengudara hingga
kini. Dia mendirikan PT Jiung Film dan PT Benyamin Bina Bersaudara, yang
memproduksi film dan sinetron-sinetron Betawi. Pendek kata, sedari
awal, karirnya memang menjadi seorang seniman. Menjadi selebritas adalah
konsekuensi dari kesenimanannya.
Membaca lagi riwayat
Benyamin pada hari ini bisa membawa kita pada semacam oase. Sulit untuk
dimungkiri jika dunia seni peran, musik, dan pentas komedi di tanah air
saat ini semakin didominasi para badut, yang sekadar menampilkan
kekonyolan dan tak menawarkan konsep apapun.
Ya, ketika
dunia hiburan hanya tinggal merayakan kegemparan tanpa pemikiran, kita
memang sangat membutuhkan orang-orang seperti Benyamin, yang ketika
berpulang pada 1995 silam, banyak orang tak segan menyebutnya sebagai
simbol “Renaisans Betawi”.
Dunia hiburan kita memang sedang sangat membutuhkan “pencerahan”. Bukan begitu, Pemirsa?!
Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta
Tiga tahun lalu, ketika menulis buku “Pemikiran Agraria Bulaksumur: Sebuah Tinjauan Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun dan Mubyarto”
(Yogyakarta: STPN Press, 2010), yang ditulis bersama dua orang kawan,
dalam kata pengantar saya menulis ada empat penjelasan kenapa kajian
atas pemikiran para pemikir Indonesia sangat jarang dilakukan.
Pertama,
tentu saja karena hanya sedikit sekali sarjana Indonesia yang mencoba
membangun pemikirannya sendiri. Kebanyakan sarjana kita, termasuk mereka
yang menyandang gelar guru besar, lebih suka menjadi apa yang disebut
Arief Budiman sebagai “intelektual pengecer”. Ini menyebabkan sumber
pemikiran baru yang bisa digali menjadi langka.
Kedua, tidak adanya apa yang disebut peer-group
dalam dunia kesarjanaan di Indonesia. Hal ini telah menyebabkan
absennya kebiasaan untuk saling mengkaji dan mengomentari pemikiran para
kolega di kalangan sarjana Indonesia. Sehingga, gagasan penting apapun
(termasuk juga yang “tidak-penting”) yang pernah dihasilkan pada
akhirnya akan selalu menguap seiring waktu, atau hanya akan bertahan
selama penggagasnya masih hidup. Tapi yang lebih fatal dari tidak adanya
peer-group pada sebuah lingkungan akademik adalah pada
akhirnya tak ada gagasan yang pernah benar-benar teruji di lingkungan
bersangkutan.
Ketiga, buruknya perpustakaan dan lembaga arsip
di Indonesia. Studi pemikiran tidak mungkin bisa dilakukan tanpa
ditopang oleh lembaga perpustakaan dan kearsipan yang bekerja dengan
baik, terutama di lingkungan perguruan tinggi atau di pusat-pusat
penelitian. Kesulitan teknis yang utama dalam melakukan studi pemikiran
adalah langka dan sulitnya menelusuri arsip-arsip tulisan dari para
sarjana yang pemikirannya hendak dijadikan bahan studi. Hal ini kian
diperburuk oleh lemahnya tradisi mengarsip dan mendokumentasikan di
kalangan sarjana kita sendiri. Ini, misalnya, bisa dilihat dari hanya
sedikit saja sarjana di Indonesia yang memiliki perpustakaan pribadi
yang layak.
Dan keempat, tradisi riset di Indonesia masih didominasi oleh riset berjenis terapan (applied research),
dan itu berlaku bagi hampir seluruh bidang keilmuan. Dalam riset
terapan, para peneliti lebih banyak disibukan oleh pertanyaan mengenai relevansi sosial,
terutama dalam kaitannya dengan kegunaan sebuah kerangka teori/keilmuan
di wilayah yang bersifat praksis. Kajian pemikiran, karena terutama
bersifat teoritis dan konseptual, bukan terapan, dengan sendirinya tidak menjadi bidang penelitian ataupun metode yang populer.
Penjelasan pertama dan kedua, belakangan saya lihat diikat oleh sebuah simpul yang sama,
sehingga keduanya saling berkaitan. Simpul yang sama itu adalah
kenyataan bahwa banyak sarjana kita mempelajari segala ide dan gagasan
hanya dari buku teks. Ya, buku teks!
Karena mereka
terbiasa berkenalan dengan ide-ide dari buku teks, tidak mengikuti
proses formatifnya, maka apresisasi mereka sangat lemah ketika
bersinggungan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan yang baru memulai
risalahnya, termasuk ketika bersinggungan dengan ikhtiar-ikhtiar ke arah
itu.
Gagasan sebagaimana yang ditulis dalam buku teks adalah gagasan yang sudah di-“konstitusi”-kan oleh interpreter-middleman atau interpreter-compiler.
Pada tahap ini, gagasan sebenarnya sudah tak lagi menjadi milik
pencetusnya, karena sudah dibentuk sedemikian rupa seturut kebutuhan
pedagogik. Seandainya gagasan adalah sejenis makanan, maka buku-buku
teks telah menjajakan gagasan-gagasan tadi sebagaimana halnya sebuah
warung buffet. Kita ketemu hidangan yang siap santap, mulai dari sayur
asem, ayam kecap, udang goreng tepung, semur jengkol, hingga bakwan
jagung.
Karena
terbiasa berhadapan dengan makanan yang sudah jadi inilah maka banyak
sarjana kita bingung ketika harus berhadapan dengan tepung terigu, ayam
yang masih di kandang, udang yang belum di kupas, jengkol yang belum
dikukus, jagung yang belum dipipil, dan rempah-rempah serta berbagai
bumbu yang berjibun di dapur. Ketika disodori perbincangan mengenai
kualitas daging ayam mereka bingung, sama bingungnya dengan bagaimana
menentukan sebuah daging udang adalah segar atau tidak. Pendek kata,
sebagai penikmat kuliner mereka sangat ahli, dan bahkan bisa sangat
kritis, namun celakanya mereka sama sekali tak memahami pekerjaan chef
dan para koki yang bekerja di dapur. Banyak dari mereka tidak paham,
bahwa dari sekerat jahe yang sama, bisa dibuat wedang jahe, wedang
bandrek, wedang uwuh, atau wedang secang, tergantung selera dan bahan
imbuhannya.
Dengan iklim kesarjanaan yang demikian,
saya tak bisa membayangkan, sudah berapa banyak pemikiran dari para
pemikir kita yang punah begitu saja digilas waktu, karena tidak adanya
apresiasi dan minimnya kajian yang pernah dilakukan. Dan entah sudah
berapa banyak pula tunas pemikiran yang mati kekeringan, hanya karena
tunas itu dituntut memenuhi fungsi sebagaimana sebuah pohon rimbun yang
sudah berurat-akar, sebuah tuntutan yang sepenuhnya ahistoris dan abai
terhadap fase perkembangan tunas tadi.
Sampai di sini, saya jadi teringat sebuah nasihat Joseph Stiglitz, “Textbook economics may be fine for teaching students, but not for advising government.”
Dan sejak zaman Adam Smith, buku teks, seperti halnya taksonomi
keilmuan di perguruan tinggi, memang lebih banyak dibuat untuk
memudahkan dosen daripada tujuan selainnya. Makanya, tak banyak pemikir
yang menulis buku teks, dan juga sebaliknya.
Karena
itu, saya selalu menyukai penggalan pidato Soekarno yang diucapkan di
hadapan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia pada 17 September 1965 ini:
“... for the execution of this, in the execution of this, kita sama sekali harus berpikir baru dan tidak bisa menggendoli atau nggenuki atau berdiri di atas apa-apa jang kita peroleh dari textbook-textbook ekonomi jang terkenal. Entah textbook, kata Pak Bandrio, tadi dari Harvard-kah, atau textbook dari Columbia-kah, entah textbook dari Leiden-kah, entah textbook dari manapun. Bahkan tidak dari texbook, kalau ada textbook itu, tidak dari textbook Sovjet-Uni, tidak dari textbook RRT, tidak dari textbook Korea-Utara, tidak dari textbook any socialist country in this world. Sebab apa? Sebab sosialisme kita sebagai sudah dibenarkan Ampera, sebagai sudah dibenarkan MPRS, adalah Sosialisme Indonesia, bukan sosialisme a la Sovjet, bukan sosialisme a la RRT, bukan sosialisme a la Korea, bukan sosialisme a la Polandia, bukan sosialisme a la Tjekoslowakia, bukan sosialisme a la Hongaria, ...”
Soekarno tahu betul risiko terjebak dalam pemikiran yang textbook minded,
dan konsekuensi ahistoris yang menyertainya. Pada seminar-seminar di
kampus, pada makalah-makalah yang ditulis di perguruan tinggi, di
halaman-halaman jurnal yang kita terbitkan, dan dalam talkshow
di layar kaca televisi kita, kita dengan mudah bisa menyaksikan bahwa
“sarjana kuliner” hanya menghasilkan “obesitas intelektual” saja.
Terlalu banyak teori dan terlalu banyak data yang mereka sajikan, namun
sedikit saja yang relevan dengan persoalan-persoalan yang ingin kita
pecahkan.
Pertanyaannya, sampai kapan kita akan meneruskan dan menghidupi tradisi kesarjanaan yang demikian?