Kamis, 01 Mei 2014

PENDIDIKAN SEBAGAI STRATEGI KEBUDAYAAN: ESAI UNTUK DAOED JOESOEF



Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta


Pendidikan adalah pilar kebangsaan. Dan sejarah Republik ini telah membuktikannya. Kurang dari lima puluh tahun sejak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan Politik Etis (Etische Politiek) pada awal abad ke-20, kebijakan itu telah melahirkan revolusi sosial di tanah jajahan mereka, berupa munculnya gerakan kebangsaan yang kian liat memperjuangkan kemerdekaannya. Pendidikan, yang merupakan salah satu dari trilogi Politik Etis (lainnya adalah “irigasi” dan “migrasi”), meski pada desain dasarnya dimaksudkan untuk melanggengkan praktik kolonialisme, pada akhirnya ternyata menjadi bumerang bagi kolonialisme itu sendiri. Pendidikan telah menumbuhkan lahirnya kesadaran baru, yaitu kebangsaan, sehingga akhirnya mampu mengubah semangat “perlawanan terhadap pemerintah kolonial”—yang telah hadir sejak jauh hari sebelum Politik Etis—menjadi semangat baru, “perlawanan terhadap kolonialisme”. Dengan nada ironi kita bisa mengatakan bahwa kebijakan pendidikan pemerintahan kolonial Belanda telah “membantu” melahirkan semangat kebangsaan Indonesia.

Pentingnya pendidikan juga disadari betul oleh para pendiri Republik. Inilah yang telah mendorong, misalnya, Mohammad Hatta, untuk mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (kemudian dikenal sebagai PNI-Baru) pada 1931,[1] sebuah organ gerakan yang menitikberatkan pendidikan sebagai alat perjuangan kemerdekaan. Posisi vital pendidikan juga diakui dan diabadikan dalam Pembukaan (Preambule) Undang Undang Dasar 1945, melalui kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang merupakan salah satu dari beberapa tujuan pokok kemerdekaan Indonesia. Jauh sebelum Hatta, Tan Malaka, Bapak Republik yang lain, juga telah menggunakan pendidikan sebagai alat untuk perjuangan kemerdekaan.

Jika di masa lalu pendidikan dijadikan alat untuk menumbuh-kembangkan benih kebangsaan, kini, setelah lebih dari enam dekade usia Proklamasi, masihkah pendidikan kita menghidupi semangat yang sama?!

Pertanyaan ini penting untuk diajukan, terutama untuk menjaga agar ironi dalam wajah sebaliknya tidak akan terjadi dalam sistem pendidikan kita. Yang dimaksud dengan “ironi dalam wajah sebaliknya” itu adalah bahwa jika di masa lalu kebijakan pendidikan kolonial telah “membantu” menyemai benih kebangsaan Indonesia, bukan tidak mungkin, karena kekurangcermatan kita, justru setelah kita memproklamasikan kemerdekaan, kebijakan pendidikan kita malah melumpuhkan semangat kebangsaan itu. Atau, dalam versi yang paling buruk, justru setelah kita merdeka kebijakan pendidikan kita—sekali lagi, bukan tidak mungkin—malah memfasilitasi sebentuk kolonialisme dalam bentuk yang tidak kita sadari.

salah satu cara untuk menaklukan sebuah bangsa adalah dengan menguasai pendidikannya

Dalam salah satu karya tetraloginya, Jejak Langkah, Pramoedya Ananta Toer pernah menguraikan bahwa salah satu cara untuk menaklukan sebuah bangsa adalah dengan menguasai pendidikannya. Pernyataan tersebut kian menegaskan bahwa pendidikan, dalam kediriannya (in it self), memang merupakan pilar kebangsaan. Rapuhnya pendidikan akan berimplikasi serius bukan hanya pada persoalan mental-intelektual, yang termasuk ke dalam aspek individual, melainkan juga secara sosial akan berimplikasi pada rontoknya ikatan kebangsaan. Hanya saja, memang, diperlukan sejumlah syarat agar pendidikan berimplikasi positif pada tegaknya kebangsaan, dan bukan sebaliknya. Salah satu syarat penting dimaksud tak lain adalah bahwa pendidikan harus berdiri di atas nilai-nilai kebudayaan-ibunya sendiri.

Melalui berbagai karangannya, Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1978-1983, kerap menulis bahwa salah satu sebab lapuknya pendidikan adalah ketika ia dicerabut dari akar kebudayaannya.[2] Dalam pandangan Daoed Joesoef, pendidikan adalah bagian konstitutif, jika bukannya integratif, dari kebudayaan. Pemisahan pendidikan dari kebudayaan akan bersifat destruktif bagi keduanya. Sebab, untuk dapat menjalankan fungsi-fungsinya, pendidikan memerlukan nilai-nilai instrumental, dan nilai-nilai tersebut tidak bisa lain harus digali dari kebudayaan inangnya. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa sistem pendidikan yang kita kembangkan untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”—sesuai amanat Proklamasi—adalah bagian utuh dari kebudayaan.

Lebih jauh mengenai hubungan keduanya, Daoed menegaskan bahwa pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan, dan bukan sebaliknya.[3] Artinya, sebelum “pendidikan” diberi pengertian, baik pengertian dalam arti makna-kata, makna-proses, maupun jangkauan tujuannya, terlebih dahulu harus dipahami apa yang dimaksud dengan “kebudayaan”, karena dalam pengertian kebudayaan terkandung penjelasan bagi pendidikan. Oleh karenanya, tanpa terlebih dahulu menjala pengertian kebudayaan dan menyelaminya, pendidikan akan tercampak dari makna hakikinya sebagai bagian dari kebudayaan.

Masalahnya kemudian, meskipun mungkin hampir semua orang menyetujui penegasan tersebut, dalam kenyataannya praktik pendidikan kita tidak selalu menghiraukan persoalan tadi. Salah satu persoalan yang mewakili dan sering disoroti oleh para pakar di bidang pendidikan, misalnya, adalah kebijakan mengenai adanya “kelas internasional” dan “sekolah berstandar internasional” dalam sistem pendidikan kita. Di kelas internasional, dan di sekolah berstandar internasional, bahasa pengantar kegiatan pendidikan menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Tentu saja tidak ada yang tidak sepakat bahwa penguasaan bahasa asing kian menempati posisi penting dalam pergaulan dunia saat ini. Hanya saja, menurut sejumlah pakar pendidikan, pemakaian bahasa asing sebagai pengantar dalam kegiatan pendidikan telah melumpuhkan posisi pendidikan sebagai bagian integral dari kebudayaan. Bahasa bukan hanya merupakan alat komunikasi, melainkan merupakan “alat kebudayaan”. Sehingga, pemakaian bahasa asing sebagai bahasa pengantar dalam proses pendidikan telah memutus akar kebudayaan dari kegiatan pendidikan itu sendiri. Meminjam bahasa Soedjatmoko, ketika kita mendatangkan traktor untuk membajak sawah-sawah kita, yang kita datangkan sebenarnya bukan hanya traktor, melainkan kebudayaan yang telah menciptakan traktor-traktor itu, yaitu industrialisme.[4] Dengan analogi serupa, jika kegiatan pendidikan kita maksudkan merupakan sarana untuk menghidupi kebudayaan, maka prosesnya tentu saja harus menggunakan alat dari kebudayaan yang hendak dihidupi itu, tidak bisa lain. Pendidikan nasional Indonesia, tidak bisa tidak, harus disampaikan hanya dengan bahasa Indonesia.

Kadang kita sering melupakan bahwa pendidikan kita, karena memiliki predikat “nasional”, pertama-tama tentunya harus berdimensi nasional (dalam hal ini untuk kepentingan negara-bangsa), selain juga berdimensi individual (dalam hal merupakan hak warga negara perseorangan). Berarti, kejelasan citra dari komunitas nasional yang diidam-idamkan harus ada lebih dulu. Dan, citra yang dimaksud tak lain adalah kebangsaan.[5]

Sampai di sini kita bisa melihat bahwa antara substansi pendidikan dengan praksis pendidikan ternyata tidak selalu ada jaminan untuk saling berkait. Bahkan, antara keduanya bisa sama sekali bertentangan. Pertanyaannya kuncinya kemudian adalah, bagaimana hal itu bisa terjadi?

Menyimak uraian pendahuluan di muka, nampak tegas bahwa antara pendidikan, kebangsaan, dan kebudayaan terdapat sebuah mata rantai yang menghubungkan. Hanya saja, perkembangan dunia kontemporer telah mengaburkan—atau lebih tepatnya “membuatnya seakan-akan kabur”—ikatan-ikatan itu tadi. Paling tidak ada dua hal yang bisa menjelaskan kenapa hal itu bisa terjadi.




Pertama, makin kuatnya dominasi “ekonomisme” dalam kehidupan kontemporer. Dominasi tersebut telah mereduksi berbagai lembaga dan instrumen sosial menjadi lebih bersifat ekonomistik. Atau, agar lebih mengena, kita bisa menyebutnya sebagai gejala kian merajalelanya komersialisme, sebuah gejala yang oleh John Madeley (2005) disebut sebagai masa “keranjingan berdagang” (hungry for trade).[6] Kegiatan perdagangan memang telah menjadi wajah mutakhir dari praktik dominasi dalam dunia modern. Ia, menurut Rosecrance (1991), telah menggantikan ekspansi wilayah dan invasi militer, sebuah corak dalam wacana kolonialisme lama.[7] Implikasi dari merajalelanya komersialisme adalah ia telah membuat pendidikan tidak lagi terhubung pada akar substantifnya, yaitu kebudayaan dalam bingkai kebangsaan, melainkan menggantikannya dengan sebuah hubungan langsung kepada institusi pasar. Munculnya konsep “link and match” dalam dunia pendidikan pada awal dekade 1990-an mewakili kecenderungan tersebut. Pendidikan kemudian tak lagi pertama-tama menjadi rantai kebudayaan, karena telah dirantai oleh pasar.

Hal kedua adalah kian terlipatnya dunia menjadi sebuah desa global. Globalisasi tidak hanya menjadi gejala dalam dunia teknologi informasi, melainkan telah menjalar ke berbagai bidang sehingga menjadi sebuah kecenderungan umum. Hari ini kita berkomunikasi dengan telepon seluler merek Finlandia yang diproduksi di India dengan jasa operator Singapura. Kita minum kopi Swiss yang dipetik dari perkebunan kopi di Brazil dan dihidangkan di sebuah kedai Amerika. Dunia menjadi ringkas. Inilah dunia yang oleh Kenichi Ohmae (1992) disebut sebagai “the borderless world”.[8] Pada akhirnya, berbagai kecenderungan tadi telah menempatkan imaji soal dunia tanpa tapal batas menjadi kian konkret, dan di sisi yang berseberangan, menempatkan imaji kebangsaan dalam posisi yang “problematis”. Dalam bidang ekonomi, pertanyaan provokatif yang sering dikemukakan oleh mereka yang biasa disebut sebagai kaum fundamentalis pasar (market fundamentalist) adalah: apakah nasionalisme (nasion = bangsa) masih relevan di tengah perekonomian dunia yang kian terintegrasi?!

Jika melihat dengan jernih, globalisasi yang kini mengepung kita pada dasarnya adalah “kebangsaan yang mengglobal”

Dua perkembangan tadi, yaitu meruaknya ekonomisme dan mengkisutnya dunia oleh globalisasi, telah membuat imaji mengenai kebudayaan dan kebangsaan menjadi seolah-olah kabur. Dan kekaburan itu bisa membuat dunia pendidikan kehilangan kompasnya. Tinggal, pertanyaannya kemudian, apakah kondisi itu baru sekadar potensial, atau sudah menjadi kenyataan faktual?!

Sebagai pilar penting bagi kebudayaan-kebangsaan, dunia pendidikan kita dituntut untuk segera merefleksikan kembali eksistensinya. Dunia memang kian menjadi seperti desa global, namun nampaknya keliru jika mengira globalisasi transportasi dan telekomunikasi telah membuat identitas kebangsaan menjadi tak lagi relevan. Jika melihat dengan jernih, globalisasi yang kini mengepung kita pada dasarnya adalah “kebangsaan yang mengglobal”. Dalam dunia perdagangan, misalnya, apa yang dimaksud dengan “merek global” pada dasarnya adalah “merek-kebangsaan yang mengglobal”. Oleh karenanya, meski dipabrikasi di Semarang, Coca-Cola tetaplah sebuah merek minuman ringan dengan identitas Amerika. Begitu juga dengan ayam goreng Kentucky, meski ayam potongnya berasal dari peternakan di Bandung, misalnya, imajinya tetap identitas Amerika. Dengan demikian, dunia pendidikan tidak boleh tercerabut dari akar kebudayaan ibunya, serta harus membela dan menghidupi identitas kebangsaannya, meskipun dunia kontemporer seakan-akan telah melumatkan pelbagai bentuk tapal batas.


[1] Hatta pada waktu itu sebenarnya masih berada di negeri Belanda. Hanya saja, terbentuknya Pendidikan Nasional Indonesia merupakan usulan Hatta melalui sebuah kawat dari Belanda ketika Golongan Merdeka sedang menggelar kongres di Yogyakarta, 25-27 Desember 1931. Golongan Merdeka adalah gabungan organ pergerakan di luar Partindo, yang terdiri dari berbagai studie club, yang sejak awal memang memupuk semangat kemerdekaan melalui bidang pendidikan. Lihat Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 1995), hal. 348-350.

[2] Lihat, misalnya, Daoed Joesoef, “Sangkan Paraning Dumadi”, dalam Harian Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2004; dan Daoed Joesoef, “Konsep Dulu, Baru Uang”, dalam Harian Kompas, Rabu, 3 September 2008.

[3] Daoed Joesoef, Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Oktober 1980-Maret 1981 (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), hal. 305.

[4] Soedjatmoko, Economic Development as a Cultural Problem (Ithaca: Modern Indonesia Project, Cornell University, 1958).

[5] Joesoef, “Sangkan…”, op.cit.

[6] John Madeley, Loba, Keranjingan Berdagang: Kaum Miskin Tumbal Perdagangan Bebas (Yogyakarta: Cindelaras, 2005).

[7] Richard Rosecrance, Kebangkitan Negara Dagang (Jakarta: Gramedia, 1991).

[8] Kenichi Ohmae, The Borderless World: Power and Strategy in the Interlinked Economy (London: Fontana, 1992).

KEBUDAYAAN DAN ABSENNYA KERJA KESARJANAAN


Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM


Dalam sebuah tulisannya, Daoed Joesoef pernah melontarkan sebuah pertanyaan bernada menggugat: kenapa di Indonesia seorang ilmuwan tidak bisa secara otomatis diakui sebagai budayawan, dimana kerja kesarjanaan mereka sebenarnya dapat dipersamakan sebagai sebuah karya kebudayaan.

Gagasan yang mencoba menautkan ilmu pengetahuan (sebuah produk dari kerja kesarjanaan) dengan kebudayaan (dimana berbagai pengetahuan telah melesap pada berbagai praktik yang pada umumnya tak lagi dipikirkan) sebenarnya telah tertabalkan pada karya banyak sarjana kita. Pada 1954, Soedjatmoko, misalnya, menulis sebuah risalah di majalah Konfrontasi yang menguar gagasan persis seperti apa yang terpacak sebagai judulnya: “Pembangunan sebagai Masalah Kebudayaan”. Ketika kita mendatangkan traktor untuk membajak sawah-sawah kita, demikian tulis Soedjatmoko, tanpa disadari sebenarnya kita juga sedang mendatangkan kebudayaan yang telah menciptakan traktor-traktor tadi. Dengan kata lain, pengetahuan dan teknologi pembuatan traktor tidak bisa disapih—sebagaimana diyakini oleh kebanyakaan orang—dari kebudayaan yang telah melahirkannya. Sederhananya, Anda tidak bisa menerima traktor tapi menolak inangnya, yaitu industrialisme.



Pada 1955 dan 1956 terbit pula dua jilid buku terjemahan karangan Kahrudin Yunus, seorang sarjana (Ph.D.) minang yang mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar, Mesir, hingga Universitas Columbia, Amerika. Disebut terjemahan karena pada mulanya buku itu ditulis dan disiarkan di luar negeri dalam bahasa arab. Dari tak kurang tujuh ratus halaman tulisannya, Yunus mengutarakan gagasan pokok bahwa “sistem ekonomi berakar di kebudayaan”. Oleh karenanya, bukan tanpa alasan jika dalam versi terjemahan Indonesia Yunus memilih judul Sistem Ekonomi Kemakmuran Bersama. Untuk meringkus seluruh teori yang disusunnya, Yunus hanya membutuhkan sebuah kata, "bersamaisme". Sebab, dalam pandangannya, kebudayaan masyarakat Indonesia secara umum memang berciri kelembagaan. Kini kita bisa mencatat bahwa pengakuan atas fakta sosial sejenis pula yang telah mendorong kenapa para ahli ekonomi pertanian kita pada awal dekade 1980-an menubuatkan bahwa unit analisis kajian ekonomi perdesaan bukanlah individu petani, melainkan rumah tangga petani (Kasryno, dkk. 1984).

Selain Soedjatmoko dan Yunus, Hidayat Nataatmadja, Daoed Joesoef, dan Mubyarto adalah sarjana lain yang juga pernah mengemukakan pertautan antara ilmu pengetahuan dengan kebudayaan. Pada akhir dekade 1970-an hingga akhir 1980-an, Hidayat berpolemik dengan banyak sarjana ihwal apakah ideologi merupakan bagian dari kebudayaan atau merupakan entitas yang terpisah darinya. Melalui banyak bukunya, Hidayat mengajukan pandangan bahwa ideologi merupakan bagian dari kebudayaan. Menurutnya kebudayaan adalah rumah pikiran, sehingga dengan sendirinya ideologi (dan anak kandungnya, ilmu pengetahuan) merupakan bagian darinya. Gagasan Ekonomi Pancasila sebagaimana yang dipopulerkan oleh Mubyarto sebenarnya juga bisa dipahami melalui kerangka ini. Dengan menggunakan nama Pancasila, Mubyarto mencoba menjadikan “kebudayaan” sebagai determinan dalam proyek keilmuannya, sebuah intensi yang akan mengingatkan kita pada pesan seorang ekonom Cambridge, Joan Robinson: “the very nature of economics is rooted in nationalism”. Daoed Joeosef sendiri, sebagaimana terbaca dalam banyak tulisannya, mengimani gagasan bahwa di balik ilmu pengetahuan adalah kebudayaan. 

+++

Jika kebudayaan adalah basis persoalan dari mana ilmu pengetahuan menstrukturasi gagasannya, kenapa para sarjana kita, atau ilmuwan kita, tidak bisa secara otomatis diakui sebagai budayawan, sebagaimana dipersoalkan oleh Daoed Joesoef?

Ada dua cara untuk mendiskusikan kemungkinan jawaban dari pertanyaan ini. Pertama adalah dengan menganggap bahwa pertanyaan tersebut ditujukan kepada publik kebudayaan, dimana soal diakui atau tidaknya seorang sarjana sebagai budayawan tergantung pada pengakuan yang diberikan oleh publik kebudayaan terhadap hasil kerja kesarjanaannya. Dalam kacamata ini, pertanyaan atau gugatan tadi dianggap sebagai persoalan otorisasi dan definisional. Artinya, soal masuk dan tidaknya kerja kesarjanaan sebagai sebuah karya kebudayaan adalah tergantung kepada apa yang dimaksud dengan kebudayaan dan budayawan oleh para hambanya sendiri. Dengan demikian, jika saat ini para sarjana atau ilmuwan kita tidak bisa secara otomatis diakui sebagai budayawan, maka itu disebabkan oleh definisi budayawan (dan karya kebudayaan) yang masih sempit dan terbatas. Sudut pandang ini kemudian melahirkan kritik bahwa pengertian budayawan dan kebudayaan harus mengalami perluasan makna dengan menyertakan ilmuwan dan kerja kesarjanaan sebagai bagian darinya. Secara sederhana, kita bisa menyebut ini sebagai “kritik kebudayaan”.


Cara pandang kedua adalah yang menganggap bahwa gugatan tadi sebenarnya ditujukan kepada publik kesarjanaan. Bila dibandingkan dengan sudut pandang pertama, sudut pandang ini sepertinya lebih jarang, untuk tidak menyebutnya sama sekali tidak-diperhatikan atau dianggap ada. Melalui sudut pandang ini, gugatan yang diintroduksi oleh Daoed Joesoef sebenarnya lebih banyak tertuju kepada para ilmuwan dan kerja kesarjanaan mereka. Maksudnya, telah seberapa jauhkah para ilmuwan atau sarjana kita melibatkan kebudayaan dalam kerja keilmuan mereka selama ini? Jika kerja kesarjanaan mereka hanya sedikit atau sama sekali tidak melibatkan kebudayaan yang menjadi inangnya, maka memang sudah sepatutnya mereka tidak layak untuk menyandang gelar sebagai budayawan atau kerja kesarjanaan mereka dihargai sebagai karya kebudayaan. Sebagaimana sudah disampaikan, kebudayaan adalah rumah pikiran, inang dalam mana ilmu pengetahuan menjadi bagian darinya, sehingga jika sampai sebuah kerja kesarjanaan tak melibatkan kebudayaan inangnya sebagai referensi, maka tradisi kesarjanaan yang demikian pada prinsipnya sedang membangun istananya di awan.

Tapi bisakah kerja kesarjanaan melepaskan dirinya dari kebudayaan sama sekali? Ia mungkin saja bisa terlepas dari kebudayaan ibunya, tapi mustahil ia sama sekali tidak terikat dengan kebudayaan lain. Artinya, persetubuhan sebuah tradisi kesarjanaan dengan kebudayaan mustahil disangkal, hanya saja apakah kebudayaan itu adalah kebudayaan “ibunya” atau bukan, itu adalah masalah yang berbeda.

Sudut pandang kedua ini membekali kita sebuah kritik bahwa bisa jadi tradisi kesarjanaan yang kita hidupi selama ini sama sekali tidak atau belum melibatkan kebudayaan ibu kita sendiri, sehingga karenanya para ilmuwan atau sarjana kitapun tak bisa otomatis disebut sebagai budayawan. Lebih jauh, tradisi yang demikian adalah tradisi kesarjanaan yang tidak didukung oleh “kerja kesarjanaan”, yaitu kerja dalam rangka penciptaan-otonom, karena meskipun inspirasi perkembangan ilmu pengetahuan bisa berasal atau dicari dari kebudayaan manapun, namun sebagai sarjana kita dibebani kewajiban (meminjam bahasa Soedjatmoko) untuk mencari dan membangkitkan di dalam kebudayaan kita sendiri asas-asas otonom, yang dengannya kita bisa mengembangkan dinamika sosial kita sendiri. Ringkasnya, hanya individu otonom yang bisa membangun tradisi kesarjanaan otonom. Tanpa sikap otonom kita hanya akan menjadi epigon, peniru, yang sekadar membebek pada tradisi orang lain. Kita bisa menyebut ini sebagai “kritik ideologi” atau “keilmuan”.


+++

Masalah kebudayaan dan kerja kesarjanaan ini mendesak untuk diperhatikan karena kita kini kian gemar mengamputasi sebuah konsep dari konteks kebudayaan (atau semesta gagasan) yang telah melahirkannya. Sehingga tidak heran jika pernah ada manifes dari sejumlah sarjana kita yang memacak Ekonomi Pasar Sosial (Social Market Economy) sebagai visi politik ekonomi, tapi di sisi lain mereka menolak neoliberalisme, tanpa memperhatikan bahwa keduanya merupakan saudara kembar (bdk. Giersch, 1968). Konsep-konsep yang seharusnya telah terikat kepada pengertian tertentu yang sudah baku tiba-tiba diadopsi seolah merupakan kosakata generik yang belum diberi pengertian. Semua itu disebabkan oleh absennya kerja kesarjanaan. Alih-alih bekerja untuk menyusun dan menemukan konsep sendiri secara otonom, para sarjana kita lebih suka mengkonsumsi dan mengadopsi konsep-konsep yang sudah jadi, itupun dengan cara yang ceroboh.

Oleh karena itu, jika ada kritik kenapa kebudayaan kita hanya sedikit sekali melahirkan ilmu pengetahuan, maka perlu disadari bahwa kritik itu sebenarnya bukan hanya ditujukan kepada domain kebudayaan, sebagaimana telah terlalu sering dibahas, melainkan terutama kritik terhadap tradisi kesarjanaan. Sehingga, kritik kebudayaan dan kritik keilmuan, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, harus dikerjakan secara serentak. Tanpa kritik keilmuan, kita hanya akan terperosok menjadi Sutan Takdir Alisjahbana yang baru, yang berhasil mendekonstruksi kebudayaan prae-Indonesia tapi gagal bersikap kritis terhadap kebudayaan baru (modernisme) yang dibelanya. Demikian juga dengan kritik keilmuan, tanpa dibarengi kritik kebudayaan, kritik keilmuan hanya akan menjadi seperti proyek hi-tech Habibie, yang gagal menjawab pertanyaan sederhana: “apakah yang kita butuhkan; pergi ke Singapura dengan pesawat buatan dalam negeri, atau pergi ke pasar dengan sandal jepit buatan sendiri?

Jadi, itulah sebab kenapa budayawan kita belum lagi pantas memakai toga, dan sarjana kita belum juga layak menjadi budayawan, hingga kini.


*) Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Kabare KAGAMA, No. 169/Vol. XXXVII, November 2008

DEMOKRASI, KEBUDAYAAN DAN SIKAP OTONOM: SURAT KEPADA KAWAN



Oleh Tarli Nugroho 


Kawan, masalah kita dengan demokrasi, bukanlah soal asli atau asing, tradisional atau modern, apalagi Timur atau Barat, sebagaimana yang sering kau risaukan. Kita tahu, kubisme Picasso mengambil inspirasi dari seni lukis tradisional afrika, puisi Sutardji mencuri mantera melayu, dan bunyi parikan sunda kuat mewarnai syair-syair Hartojo Andangdjaja. Apakah kubisme menjadi palsu hanya karena ia memindai bentuk seni yang sudah menjadi tradisi sebuah suku di afrika sejak masa yang lebih silam?! Mana yang asli menurutmu, mantera melayu atau permainan bunyi puisi Sutardji?! Mana yang tradisional dan modern, bunyi parikan atau syair Hartojo?!


Sejauh yang berkaitan dengan penciptaan, menurut saya, pertanyaan mengenai asal-usul memang tak lagi relevan. Sebuah penciptaan hanya harus berhadapan dengan pertanyaan mengenai otonomi: sejauh mana si pengarang, atau si perupa, atau si pemikir, mampu bersikap otonom dalam proses kreatifnya. Sebab tanpa otonomi tidak akan pernah lahir kreativitas. Kreativitas inilah yang membuat "tiruan" tak lagi sama dengan "aslinya"; dan sekaligus menjadi ukuran apakah "sang tiruan" layak disebut sebagai "asli yang lain". Kubisme, melalui otonomi-kreatif Picasso, sama aslinya dengan bentuk seni rupa yang ditirunya. Sehingga, lagi-lagi (seperti biasa) meminjam Borges, setiap pengutip Shakespeare, dalam batas tertentu, adalah Shakespeare (yang lain). Bahkan, Berger, dalam Capitalist Revolution (1986), dengan yakin menyebut bahwa kapitalisme di asia timur bukanlah merupakan "perluasan" kapitalisme Barat, karena keduanya melibatkan kebudayaan yang berbeda yang masing-masing berkembang secara otonom.

Dan seperti halnya Berger, Thurow dalam beberapa bukunya yang mengkaji berbagai corak kapitalisme (misalnya Head to Head: The Coming Economic Battle among Japan, Europe, and America; dan Zero-Sum Society), akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa masing-masing bentuk kapitalisme yang ada, yang diwakili oleh model Amerika, Eropa (Jerman), dan Jepang, tadi tidak lagi merupakan satu bangunan yang sama, melainkan telah menjadi perkampungan otonom yang berbeda.

Ini juga yang membuat kenapa komunisme Cina tidak rontok seperti halnya komunisme Soviet. Karena keduanya tak lagi sama. Di Cina, komunisme berhasil "didomestifikasi" dengan tradisi agraris dan filsafat konfusian. Di sini kita menyaksikan bahwa gagasan baru bisa diserap dari manapun, tapi pada akhirnya dia harus tumbuh dengan cara seturut otonomi kebudayaan yang mengadaftasinya. Bukan kebetulan jika Soedjatmoko, yang pernah berucap bahwa ide punya kaki, dalam sebuah tulisannya mendudukkan otonomi (dimana Koko menyebutnya sebagai "mempertahankan identitas") sebagai "kebutuhan asasi kebudayaan". Otonomi bertanggung jawab untuk menjauhkan penciptaan dari keterdominasian, sebuah kondisi yang hanya akan menciptakan pengikut yang sekadar membebek, atau--jika tidak--paling jauh hanya akan menghasilkan mimikri yang kenes.

Pertanyaannya kemudian, apakah pilihan kita atas demokrasi-liberal (istilah ini harus ditekankan, karena pengertian demokrasi tidaklah tunggal) lahir dari sikap otonom? Saya selalu yakin jika jawabannya adalah tidak. Bahkan, jika kita membaca lagi tulisan asli yang menimbulkan percekcokan kita ini, pertanyaan yang bermaksud untuk menggugat keabsahan demokrasi pun masih saja mengandaikan adanya sebuah "model".




Oleh karena itu, saya tidak terkejut, misalnya, ketika dalam sebuah pentas wicara di televisi beberapa tahun lalu, Jeffrie Geovanie, menyebut bahwa sebaiknya kita tidak usah separo-separo meniru demokrasi Amerika. Baginya, demokrasi liberal itu seperti software, ia bisa di-install di komputer manapun, entah itu buatan IBM, Dell, atau komputer jangkrik rakitan glodok. Bagi Jeffrie, bangun tata negara dan tata sosial hanyalah soal peniruan dan pemilihan model belaka. Apa yang disampaikan Jeffrie paling tidak memberi kita dua referensi. Pertama, itu adalah ucapan paling sembrono dari seseorang yang diposisikan sebagai kaum terpelajar. Dan kedua, ucapan itu membuktikan kalau praktik tata negara kita saat ini memang sekadar mencangkok, alias adopteren, yaitu peniruan bulat-bulat dari praktik dan pengalaman negara lain. (Kosakata Belanda membedakan 'adopteren' dengan 'adapteren', dimana yang terakhir bermakna meniru dengan melakukan perubahan, sehingga produk akhirnya bisa dianggap baru sama sekali)

Tentu saja kita bisa dan boleh mengambil inspirasi dari kemajuan praktik demokrasi di Amerika, atau di negara lain manapun. Tapi, jangan lupa, tujuan yang sama tidak selalu bisa dikerjakan dengan jalan yang sama di ruang dan waktu yang belainan. Persis di sini sikap otonom dan kreativitas dibutuhkan, atau apa yang disebut seorang kawan kita sebagai "peran inovatif yg kontekstual dari aktor yg menciptanya".

Bukan tujuan dari tanggapan ini untuk menggugat keabsahan "norma demokrasi" ataupun mendukungnya, kawan. Kegelisahan mengenai praktik demokrasi, dengan sampel prosesi pemilu yang lalu, terlalu jauh untuk dihubungkan secara langsung sebagai cacat dari "norma demokrasi" yang diandaikan menjadi hulunya. Bagaimanapun, demokrasi adalah sebuah proyek untuk menciptakan tatanan sosial dimana, setidaknya menurut Plato, kewarasan bisa menjinakkan naluri kebinatangan manusia, dan bukan sebaliknya. Jika inti demokrasi adalah gagasan mengenai tatanan yang dibangun oleh kewarasan, maka kebrengsekan pemilu lalu, alih-alih menunjukkan kegagalan demokrasi, sebenarnya lebih tepat disebut sebagai "penyimpangan demokrasi dengan membajak bendera demokrasi".

Kenapa disebut penyimpangan demokrasi? Karena pesta pemungutan suara itu dikerjakan tidak dalam kerangka menghadirkan order, tatanan. Ia hanyalah pesta para kawanan (herd) yang sepenuhnya anarkis. Bahkan anarki sepertinya merupakan istilah yang lebih tepat (daripada demokrasi) untuk menggambarkan praktik statecraft kita itu; atau, lebih tepatnya lagi: "anarki dengan pemungutan suara". Ketika kita gagal menjawab dengan tegas pertanyaan mengenai apakah sistem pemerintahan kita berkelamin presidensial atau parlementer, atau semi-presidensil (jika konsep ini diterima), persis di situ gagasan mengenai tatanan telah absen, dan kita patut meragukan jika yang sedang dipraktikkan adalah demokrasi.

Jika kita membaca perundang-undangan politik pasca-Reformasi, misalnya, termasuk amandemen empat kali atas UUD '45, kita tidak akan menemukan gagasan mengenai apa yang disebut dengan struktur, bangun, tatanan, order, dalam seluruh produk perundangan itu. Sehingga bisa dikatakan, desain politik kita adalah desain-tanpa-desain (bahkan cenderung anti-desain). Ia sepenuhnya merayakan anarki, persis seperti yang dipertontonkan oleh seluruh proses pemilu sejauh ini. Banyak orang latah menyebutnya demokrasi, padahal yang sesungguhnya terjadi adalah media-krasi dan korporatokrasi, dimana yang berdaulat adalah segerombolan "Mafia Ohio" (hampir semua pentolan lembaga konsultan politik dan lembaga survei politik adalah alumni Ohio State University) yang bersekongkol dengan kaum pengusaha.

Lantas apa selanjutnya, membatalkan demokrasi?! Gagasan itu, bahkan dengan menyadari bahwa sebagai sebuah modus berpolitik demokrasi juga tidak lepas dari kekurangan, tetap saja terlalu prematur. Bukankah kita tidak perlu mengganti lemari pakaian di rumah hanya karena baju kita bau?!

Sampai di sini, pertanyaan kita mestinya adalah bagaimana menghadirkan kembali tatanan dalam praktik politik kita. Ada perlunya kita merenungkan kembali konsep "Ratu-Adil" yang populer di masyarakat Jawa. Hanya saja, jika kita masih membayangkan "Ratu-Adil" sebagai persona, dan bukan gagasan mengenai sistem, pertanyaan itu sepertinya tidak akan terjawab. Di sinilah repotnya. Kita kadung menganggap "Ratu-Adil" adalah mitos dalam pengertian yang inferior. Padahal, persis di sana, ketika mitos tetap dimaknai sebagai mitos, kita telah jatuh sebagai si tertakluk (dari rasionalisme Eropa) yang kehilangan otonomi untuk melakukan reinterpretasi-imajinatif atas warisan kebudayaan ibu kita sendiri. Ketiadaan sikap otonom dan imajinatif itulah yang telah membuat kita kehilangan khazanah warisan sendiri, dan kehilangan itu pada akhirnya membuat kita harus mengemis ke Barat dan ke Timur-Tengah untuk mencari jawab atas persoalan-persoalan yang kita hadapi.

Jadi, masalah kita bukanlah demokrasi, kawan. Masalah kita adalah otonomi. Kita bukan individu dan bangsa yang otonom lagi. Kita tidak lagi menciptakan pilihan, melainkan hanya sekadar memilih apa yang telah diciptakan orang lain; sekadar menjadi resipien, dan bukannya produsen. Demokrasi tanpa sikap otonom hanya akan menghasilkan dunia yang tunggang-langgang. 

Tabik.

MENYELAMATKAN ARTEFAK ATAU PEMBACA?


Oleh Tarli Nugroho
Mubyarto Institute, Yogyakarta


Menyunting sebuah buku lama berbahasa Indonesia dengan maksud untuk menghidangkannya kembali kepada khalayak pembaca hari ini, bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Kesulitan itu pula yang dihadapi penyunting ketika diminta untuk menyunting kembali buku ini, yang terbit pertama kali pada 1941. Sumber kesulitannya, jika dirumuskan, ada beberapa.

Pertama, ada persoalan tata bahasa yang tak gampang diatasi. Apa yang kini disebut sebagai bahasa Indonesia, dalam perjalanan hidupnya, telah mengalami banyak sekali perkembangan serta sejumlah pergeseran dari waktu ke waktu. Dari segi ejaan saja, misalnya, sejak diperkenalkannya “Ejaan van Ophuijsen” pada 1901, yang kemudian digantikan oleh “Edjaan Republik” atau “Edjaan Soewandi” pada 1947, hingga kemudian dipungkasi “Ejaan Yang Disempurnakan” pada 1972, bahasa Indonesia telah mengalami tiga kali perubahan. Dan perubahan ejaan tentunya membawa konsekuensi perubahan tata bahasa, yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pemaknaan (signifying) atas teks dimaksud. Pergeseran-pergeseran itu telah membuat proses penyuntingan harus melewati proses berjenjang yang tak bisa diringkas, yaitu mulai dari pemaknaan atas teks awal hingga mentranslasikan gramatika awalnya kepada gramatika baru yang digunakan hari ini, dan semua itu harus dilakukan sedemikian rupa agar makna awalnya tak bergeser.

Tapi, sesuai kaidah, semua ejaan nama orang dan nama surat kabar dalam buku ini dipertahankan menurut ejaan van Ophuijsen. Sedangkan ejaan nama lembaga disesuaikan dengan EYD.





Kedua, soal penggunaan istilah. Kita hari ini, misalnya, lazim menggunakan kata “penelitian” sebagai terjemahan dari kata “research” dalam bahasa Inggris, dengan pengertian yang kurang lebih sama. Tapi kata “penelitian” tidak akan kita temukan dalam sumber-sumber tertulis berbahasa Indonesia sebelum tahun 1950-an. Dan itu bukan karena pada masa itu orang belum mengenal kegiatan penelitian, melainkan karena pada masa itu orang menggunakan istilah yang berbeda dengan yang digunakan pada hari ini. Kata yang lazim digunakan pada masa itu adalah “penyelidikan”, sebuah kata yang pada hari ini makna dan penggunaannya semakin menyempit digunakan dalam bidang hukum. Jadi, “penyelidikan”, dalam risalah-risalah lama, adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada kegiatan penelitian, atau riset. Istilah lain yang mencolok adalah “kerajinan”. Dalam risalah-risalah lama, termasuk dalam buku ini, kata “kerajinan” tidak sama maksudnya dengan penggunaan dan pemaknaan yang kita kenal hari ini. Di masa lalu, kata “kerajinan” merupakan padanan dari istilah “industry” dalam bahasa Inggris, atau “nijverheid” dalam bahasa Belanda. Artinya, pergeserannya sangat jauh sekali. Begitu juga dengan kata “jabatan”. Dalam edisi pertama buku ini, kata “jabatan” digunakan untuk menyebut beberapa maksud yang berlainan, tergantung konteks kalimatnya. Kata ini, misalnya, digunakan untuk menyebut “kedudukan”, dalam makna sebagaimana yang kita pahami hari ini. Namun, kata “jabatan” juga digunakan untuk menunjuk kepada lembaga, sehingga maksudnya tak lain adalah “jawatan”. Pada bagian lain, kata ini juga digunakan untuk merujuk kepada konsep “pejabat”, dalam pengertian sebagaimana yang kita pahami hari ini.

Contoh lain adalah istilah “bahan barang”. Istilah yang banyak digunakan pada masa lalu ini, dalam kosa kata hari ini tak lain maksudnya adalah “bahan baku”. Atau juga “barang cat”, yang maksudnya tak lain adalah “bahan pewarna”.

Kadang-kadang pergeseran makna itu menerbitkan geli, dan bahkan gelak. Technische Hogeschool, misalnya, yang kini menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung), dahulu disebut sebagai “sekolah tukang”, tak lain karena pada masa itu padanan atas kata “tehnic” atau “engineering” dalam bahasa Inggris, atau “technische” dalam bahasa Belanda, adalah “tukang”. Maka jadilah ITB pada masa itu dikenal sebagai “sekolah pertukangan”. Jadi, ada banyak sekali kosa kata yang terlibat dalam pergeseran-pergeseran semacam itu, dan kesemuanya menuntut perhatian yang benar-benar.

Ketiga, soal penggunaan singkatan. Dalam edisi pertama buku yang sedang dipegang pembaca ini, penulis menggunakan beberapa singkatan (akronim) tanpa memberikan kepanjangan atau artinya. Untuk konteks masa ketika buku ini ditulis dan diterbitkan, singkatan-singkatan itu mungkin telah lazim diketahui orang, sehingga penulis kemudian merasa tidak perlu lagi memberikan keterangan. Persoalan muncul ketika buku ini dibaca lagi hari ini, singkatan-singkatan itu bisa membuat pembaca “kehilangan jejak”. Misalnya, dalam sejumlah uraian penulis banyak menyebut singkatan “B.B.”. Tanpa membuka-buka kembali arsip-arsip atau buku-buku lama, termasuk koran-koran atau majalah-majalah yang terbit ketika singkatan ini digunakan, mustahil kita bisa menemukan arti dari singkatan ini. “B.B.” tak lain adalah singkatan dari binnenlandsche bestuur, yang artinya adalah “pamong praja”, atau yang hari ini biasa kita sebut pegawai negeri sipil (PNS). Singkatan lain yang digunakan tanpa keterangan, misalnya, adalah “S.S.”. Melihat konteks penggunaannya, serta mencocokan dengan masa ketika singkatan itu digunakan, dan itu semua memerlukan waktu, baru kemudian diketahui bahwa yang dimaksud tak lain adalah “staatspoor”, alias “kereta api negara”, atau bisa juga dirujukkan kepada “jawatan kereta api”.

Hingga proses penyuntingan ini selesai, ada satu singkatan yang hampir saja tak bisa ditemukan kepanjangannya, yaitu “PBKBT”, sebuah singkatan nama pusat koperasi kredit di Tasikmalaya, yang dipimpin oleh R. Danoemihardja. Dalam buku Hanan Hardjasasmita (1982), Danoemihardja—yang disebut memiliki nama lengkap R. Kosim Danoemihardja—adalah ketua Bank Koperasi Simpan Pinjam Bumiputera. Setelah berbagai koperasi di Tasik membentuk sejumlah pusat koperasi, yang disesuaikan dengan ruang geraknya (yaitu kredit, konsumsi, dan produksi), maka pusat-pusat koperasi yang baru terbentuk itu kemudian membentuk PKKT (Pusat Koperasi Kredit Tasikmalaya). PKKT ini banyak disebut oleh sejumlah buku mengenai koperasi, seperti buku karangan Teko Sumodiwirjo (1954), tapi keterangan mengenai PBKBT ini nihil. Tentunya PBKBT ini tak sama dengan PKKT, karena jika dilihat statusnya sebagai “pusat koperasi kredit”, maka PBKBT adalah bagian dari PKKT. Apakah PBKBT adalah singkatan dari “Pusat Bank Koperasi Bumiputera Tasikmalaya”? Ternyata bukan! PBKBT tak lain adalah singkatan dari “Persatuan Bank Koperasi Bumiputera Tasikmalaya”. Keterangan ini diperoleh dari skema yang disusun pengarang buku ini mengenai hubungan antara koperasi-koperasi primer (disebut juga koperasi biasa) dengan koperasi-koperasi pusat (centrales) di bagian akhir buku yang sedang dipegang pembaca ini.





Keempat, penyuntingan ini harus memperhatikan konteks penggunaan bahasa dan peristilahan pada masa ketika buku ini pertama kali terbit, atau sesuai konteks peristiwa dan masa sebagaimana yang diceritakan oleh buku ini. Misalnya, dalam edisi pertama buku ini banyak sekali digunakan bahasa Belanda untuk menyebut jabatan, pekerjaan, dan nama lembaga pemerintahan. Dan itu semua digunakan dengan tidak menyebutkan padanannya dalam bahasa Indonesia. Istilah dalam bahasa Belanda itu tentu saja tidak bisa begitu saja diterjemaahkan menggunakan kamus (tepat-makna), melainkan harus dicarikan padanannya sesuai konteks penggunaannya (tepat-waktu). Dan padanan yang dimaksud tentu saja bukan padanannya dalam konteks hari ini, melainkan padanannya pada konteks-masa sebagaimana yang dinarasikan.

Binnenlandsche Handel”, misalnya, tidak bisa diterjemahkan menjadi “perdagangan dalam negeri” (meskipun secara “tepat-makna” adalah benar), karena istilah ini digunakan untuk menunjuk kepada sebuah bagian dari kementerian kolonial yang menangani urusan tertentu. Namun, pada masa ketika istilah ini berlaku, kata “dagang” dan “perdagangan” tidak lazim digunakan sebagai padanan kata “handel”. Istilah bahasa Indonesia yang digunakan pada masa itu adalah “perniagaan”, dan inilah istilah resmi yang dipergunakan pada banyak buku dan arsip resmi. Sehingga, padanan yang tepat dengan penggunaan pada masa itu bagi “Binnenlandsche Handel” adalah “Perniagaan Dalam Negeri”.

Contoh lain adalah kata “dienst”. Kata ini tidak bisa begitu saja diterjemahkan sebagai “dinas” dalam bahasa Indonesia. Sebab, kata ini digunakan melekat pada kata lain atau istilah lain yang merujuk nama lembaga di masa lalu. Misalnya, Visserijdienst, karena ini berkaitan dengan nama lembaga, maka tidak bisa diterjemahkan menjadi “Dinas Perikanan”, sebab pada masa ketika istilah ini digunakan, padanannya dalam bahasa Indonesia memang bukan itu, melainkan “Jawatan Perikanan”. Kata “dinas” baru dikenal dan digunakan belakangan. Menemukan padanan-padanan sesuai konteks masanya tadi adalah pekerjaan yang paling lama dan rumit dalam penyuntingan buku ini.

Namun, khusus untuk kata “banteras” yang banyak digunakan dalam buku ini, terutama ketika membahas schuldbevrijdingscooperatie, atau “koperasi pemberantas utang”, setelah penyebutan pertama kata itu, dalam uraian setelahnya kata itu telah diganti dengan kata “berantas”, agar pembaca tak menganggapnya sebagai salah ketik. Perlu diketahui, baik “banteras” maupun “berantas” sama-sama merupakan kosa kata bahasa Indonesia, dan pengertian keduanya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sama.

Dan kelima, setiap penyuntingan ulang buku-buku lama pasti akan ketemu dengan dilema antara mempertahankan gaya tutur dari masa ketika buku itu pertama kali terbit, dengan gaya tutur masa kini yang lebih memudahkan pembaca untuk memahaminya. Dilema ini memang tak berlaku untuk seluruh karya atau pengarang. Buku-buku atau karangan-karangan Mohammad Hatta, misalnya, tidak akan banyak mengalami dilema ini karena gaya tutur dan tata bahasa Indonesia yang digunakan Hatta, bahkan sejak 1930-an, karena demikian tertib dan tertatanya, relatif cukup dekat jaraknya dengan gaya tutur dan tata bahasa yang kini lazim kita pergunakan, sehingga penyuntingan ulang karya-karya Hatta hanya akan melibatkan konversi ejaan saja daripada translasi tata bahasa.

Berhadapan dengan dilema ini, dalam proses penyuntingan buku ini penyunting akhirnya mencari jalan keluar dengan tetap mempertahankan gaya tutur dan tata bahasa asli yang digunakan oleh pengarang, tapi dengan memberikan tambahan keterangan melalui sejumlah catatan (anotasi), baik dalam bentuk catatan kaki maupun dalam bentuk kurung-siku ([…]). Semua keterangan dalam tanda kurung-siku di buku ini berasal dari penyunting. Catatan-catatan itu diberikan untuk memudahkan para pembaca memahami apa yang disampaikan oleh teks asli, terutama ketika bertemu dengan sejumlah persoalan sebagaimana telah diuraikan di atas.

Mempertahankan gaya tutur asli buku ini adalah sangat penting, meski dengan risiko akan “dipersalahkan” menurut sudut pandang tata bahasa Indonesia hari ini. Hanya saja, sebuah buku, dan juga bahasa, tidak bisa dinilai hanya dari tata bahasanya, kejelasan informasi yang disampaikannya, atau dari kemudahan pembaca menyimaknya. Sebuah buku, dan juga bahasa, karena ia adalah bagian dari artefak, sehingga cukup penting juga untuk dipertahankan sebisa mungkin bentuk aslinya. Dan demikianlah cara buku ini kemudian disajikan kembali ke hadapan pembaca. Oleh karenanya, pembaca akan berjumpa dengan pilihan kata “girang hati” daripada “gembira”, serta banyak bertemu dengan sapaan “tuan”, sehingga suasana kebatinan yang antik dari buku ini tetap bertahan.

Sebagai buah dari catatan yang ditulis penyunting untuk menerangkan berbagai-bagai kata, istilah, atau uraian asli dari pengarang buku ini, pada akhirnya perlu disusunkan sebuah glosari untuk melengkapi buku ini. Glosari ini sekaligus untuk lebih memudahkan pembaca agar tidak kehilangan kompas. Dalam hal penyusunan glosari dan pemberian padanan atas istilah-istilah Belanda, buku-buku berikut harus disebut karena memberikan bantuan yang sangat besar (sesuai abjad nama pengarang):

  1. A. Hanan Hardjasasmita, Sejarah Lahirnya Gerakan Koperasi Indonesia dan Perkembangannya sampai dengan Awal Periode ’80-an (Bandung: Armico, 1983);
  2. Almanak Pertanian 1953 (Djakarta: Badan Usaha Penerbit Almanak Pertanian, 1953)
  3. Almanak Pertanian 1954 (Djakarta: Badan Usaha Penerbit Almanak Pertanian, 1954)
  4. J. Thomas Lindblad (Editor), New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia (Leiden: Programme of Indonesian Studies, 1993);
  5. Kamaralsjah, Tentang Pengertian Hal Organisasi Perkumpulan Ko-operasi (Djakarta: J.B. Wolters, 1954);
  6. Margono Djojohadikusumo, Kenang-kenangan dari Tiga Zaman: Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis (Jakarta: Indira, [cetak ulang tanpa tahun; edisi pertama terbit pada 1969]);
  7. Mohammmad Hatta, Menindjau Masalah Kooperasi (Djakarta: Pembangunan, 1954);
  8. Pandu Suharto, Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat (Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1988);
  9. Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen (Editor), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987);
  10. Sagimun M.D., Koperasi Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 1984);
  11. Sugiarta Sriwibawa (Editor), 100 Tahun Margono Djojohadikusumo (Jakarta: UI-Press, 1994);
  12.  Sumitro Djojohadikusumo, Kredit Rakyat di Masa Depresi (Jakarta: LP3ES, 1989);
  13. Suradjiman, Ideologi Koperasi membentuk Masjarakat Adil dan Makmur (Bandung: Ganaco, 1963);
  14. Teko Sumodiwirjo, Ko-operasi dan Artinja bagi Masjarakat Indonesia (Djakarta: GKBI, 1954); dan
  15. Tim Penyusun Buku Sejarah 100 Tahun BRI, Seratus Tahun Bank Rakyat Indonesia, 1895-1995 (Jakarta: Humas BRI, 1995);

Satu hal yang perlu ditambahkan, pada edisi baru ini semua tabel statistik telah dinomori ulang dan diberi judul oleh penyunting, karena pada edisi aslinya tabel-tabel itu sebagian tidak bernomor dan ditampilkan tanpa judul. Pemberian nomor dan judul tabel ini sangat penting karena merupakan sejenis standar akademis, yang meskipun pada masa ketika buku ini pertama kali ditulis standar itu belum berlaku, namun karena buku ini termasuk karya akademik yang berbobot, sebagaimana ditulis oleh pengantar M. Dawam Rahardjo untuk buku ini, maka penyesuaian itu harus dilakukan.

Demikian keterangan yang harus disampaikan terkait penyuntingan buku ini. Selamat membaca!

Maguwoharjo-Yogyakarta, November 2012



*) Karangan ini adalah tulisan pengantar saya sebagai penyunting bagi buku Margono Djojohadikusumo, Sepuluh Tahun Koperasi, 1930-1940. Buku ini pertama kali terbit pada 1941, mula-mula ditulis dalam bahasa Belanda, sebelum kemudian diterjemahkan oleh H.B. Jassin dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ini adalah buku klasik yang menuliskan perkembangan gerakan koperasi di Indonesia dalam lima puluh tahun pertama perkembangannya. Sebagai pegawai Jawatan Koperasi (sebelumnya bekerja di Jawatan Perkreditan Rakyat), Margono bekerja di bawah supervisi sarjana-sarjana Belanda terkemuka, seperti Boeke, Fruin dan van der Kolff, yang memiliki banyak simpati terhadap masyarakat Bumiputera. Pengantar edisi terbaru buku ini diberikan oleh M.Dawam Rahardjo, dengan tetap menyertakan kata pengantar edisi pertamanya, yang diberikan oleh J.J. Ochse, Kepala Jawatan Koperasi dan Perniagaan Dalam Negeri masa itu. Karena pengantar mengenai isi buku sudah diberikan, saya "hanya" bisa menuliskan pengantar sebagai penyunting bahasa.

WARISAN MUBYARTO DAN UTANG UGM KEPADANYA


Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta


Ketika sekira tiga minggu yang lalu muncul pemikiran untuk mengadakan peringatan sewindu wafatnya Profesor Mubyarto, yang pertama kali dilontarkan Pak Bambang Ismawan, spontan muncul berbagai ide mengenai bagaimana momen itu akan diperingati. Sejumlah usulan acarapun bermunculan, mulai dari mengadakan sarasehan, diskusi buku, pemutaran film, hingga pameran buku. Semua usulan itu hampir menjadi trademark dari kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan dan Mubyarto Institute. Namun, ada satu lagi kegiatan yang sepertinya telah agak lama dilupakan, tapi kini sepertinya mulai bergairah kembali di Bulaksumur B-2—tempat dimana Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (d.h. Pusat Studi Ekonomi Pancasila, PUSTEP) yang didirikan almarhum Profesor Mubyarto berkantor, yaitu: penerbitan buku.

Selama hampir tiga tahun memimpin PUSTEP, hampir setiap bulan Profesor Mubyarto menerbitkan buku. Sehingga ketika ia berpulang pada 24 Mei 2005, sudah puluhan buku karyanya, baik yang ditulisnya sendiri maupun bersama tim peneliti yang lain, yang telah diterbitkan oleh lembaga yang didirikan dan dipimpinnya itu. Sejak kepergiannya itu pula program penerbitan buku oleh PUSTEP seperti berhenti berdenyut, sehingga meninggalkan kesan bahwa produksi pemikiran Ekonomi Pancasila sudah berhenti. Tentu saja itu anggapan yang keliru, karena produksi gagasan Ekonomi Pancasila sebenarnya terus berlanjut dan terpublikasikan, meski tak lagi melalui PUSTEP.

Oleh karena itu, bersamaan dengan munculnya gagasan untuk mengadakan peringatan sewindu wafatnya Profesor Mubyarto, muncul pula gagasan untuk menerbitkan buku terkait peringatan itu. Pertanyaan yang pertama kali muncul kemudian adalah: buku mengenai apa?

Sejak sebelum Pak Muby berpulang sebenarnya telah beredar gagasan di sejumlah kolega dan bekas muridnya untuk menerbitkan sebuah buku penghormatan yang akan diterbitkan bersamaan dengan ulang tahunnya yang ke-70. Sayangnya takdir berkehendak lain, beliau sudah pergi mendahului ketika usianya belum lagi genap 67 tahun. Namun itu tak membuat acara peringatan ulang tahunnya yang ke-70, 3 September 2008, dilewatkan begitu saja. Tepat pada hari itu malah disepakati berdirinya Yayasan Mubyarto, sebuah lembaga yang didirikan untuk merawat dan meneruskan warisan pemikiran almarhum. Ketika itu, gagasan untuk menerbitkan buku penghormatan telah bergeser menjadi penerbitan biografi almarhum. Sayangnya, mimpi itu bahkan hingga hari ini belum terwujud.

Oleh karena itu, ketika muncul gagasan untuk menerbitkan buku bertepatan dengan peringatan sewindu wafatnya Pak Muby, muncul pertanyaan yang sudah disebut tadi: buku mengenai apa? Mengingat waktu yang sangat mepet, tentunya tidak mungkin mengorganisasikan sebuah proyek penulisan baru. “Kalau sekarang baru ditulis, mau terbit kapan?” ucap seorang rekan. Maka satu-satunya pilihan yang mungkin dilakukan adalah mengolah tulisan-tulisan yang sudah ada. Dan pilihan itu jatuh pada mengkolek tulisan obituari Pak Muby. Sebagai pelengkap kemudian turut disertakan sejumlah tulisan, termasuk wawancara panjang dengan almarhum yang pernah dimuat sebuah jurnal mahasiswa, dimana dari kumpulan tulisan ini diharapkan bisa tercapai sejumlah maksud.

Pertama, bagi mereka yang telah mengenalnya, maka kumpulan tulisan ini diharapkan bisa mengingatkan kembali mengenai sosok Pak Muby dan pemikirannya. Meski buku peringatan sewindu wafatnya almarhum ini bertajuk “Warisan Pemikiran Mubyarto”, judul yang tepat bagi mereka yang pernah mengenalnya, terutama bagi bekas murid-muridnya, adalah: “Utang Kita kepada Mubyarto”. Ya, setelah mengingat kembali almarhum, sepertinya masing-masing kita kemudian memiliki utang, yaitu utang untuk meneruskan cita-cita dan menghidupi warisannya. Utang ini tentu saja tidak berlaku bagi mereka yang tak setuju dengan pemikirannya.

Kedua, bagi mereka yang tak sempat mengenal Mubyarto, maka buku ini bisa dijadikan semacam pengantar untuk memperkenalkan apa dan siapa guru besar Fakultas Ekonomi UGM tersebut. Melalui kesan-kesan yang ditinggalkan oleh Mubyarto pada sejumlah orang yang karangan atau komentarnya dimuat dalam buku ini, bisa disimak bahwa Pak Muby bukan hanya seorang pemikir yang tangguh, melainkan juga pribadi yang menyenangkan, dan guru yang banyak memfasilitasi murid-muridnya untuk maju. Pada sosok Mubyarto memang terdapat pengertian seorang “guru” yang sebenarnya, di mana di lingkungan perguruan tinggi kini tak lagi banyak yang tersisa orang-orang semacam ini. Bagi Pak Muby menjadi pendidik bukanlah pertama-tama soal pekerjaan, melainkan dedikasi.

Ketiga, buku ini disusun dengan keyakinan bahwa setiap pemikiran akan punah jika tak terus-menerus ditulis atau dibahas. Dan terbitnya buku ini, selain dimaksudkan untuk terus mengawetkan dan menghidupi pemikiran Mubyarto, juga dimaksudkan untuk mengingatkan kita bahwa tanpa kita sadari dalam usianya yang “baru” menginjak enam dekade, Universitas Gadjah Mada sepertinya telah kehilangan banyak pemikiran penting yang pernah dilahirkan oleh para begawannya. Apa fasal? Di usianya yang kepala enam, ada berapakah buku semacam ini yang pernah terbit di lingkungan Kampus Bulaksumur?! Semakin sedikit jumlah buku semacam ini yang pernah terbit, bisa dijadikan indikasi punahnya sejumlah pemikiran yang pernah dilahirkan di kampus ini. Siapa masih ingat Profesor Sardjito, Profesor Herman Johanes, Profesor Jacob atau Profesor Koesnadi?! Jika nama-nama itu disebut, sebagian besar orang mungkin masih mengingatnya, karena kebetulan mereka pernah jadi rektor UGM, alias mantan “pejabat”. Namun jika ditanyakan, apakah sumbangan pemikiran mereka bagi dunia keilmuan yang pernah tercatat, banyak orang pasti gelagapan. Salah satu sumber gelagapan itu adalah karena kita tidak pernah mencatatkan hal-hal terkait pemikiran tokoh-tokoh tadi secara baik. Jika hari ini ada yang hendak mencari karya-karya Mubyarto, orang masih bisa pergi ke perpustakaan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) atau perpustakaan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM. Namun, kemana kita bisa mencari karya-karya Herman Johanes, Djojodigoeno, Iman Soetiknjo, atau Soedarsono Hadisapoetro?! Pada masanya sumbangan pemikiran dan karya mereka sangat besar artinya bagi bidang keilmuan yang ditekuninya, dan bagi kemanusiaan secara umum. Namun, sekali lagi, dimana karya-karya mereka tersimpan?! Adakah yang merawat karya-karya mereka?!

Tanpa ikhtiar yang serius dan terus-terus untuk merawat dan menghidupi sebuah pemikiran, dalam dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan pemikiran Mubyarto juga mungkin akan bernasib sama. Dan agar hal itu tidak terjadi, maka buku semacam ini harus diterbitkan. Tentu saja kami menyadari bahwa penerbitan buku ini adalah ikhtiar paling sederhana dari upaya untuk merawat dan menghidupi pemikiran Pak Muby.

Akhir kata, buku ini adalah hasil gotong royong dari banyak pihak. Mas Satriyantono Hidayat telah mengirimkan foto-foto yang dimuat sebagai ilustrasi dalam buku ini. Pak Puthut Indroyono telah menyumbangkan transkrip wawancara dengan Pak Sartono dan Pak Koesnadi ketika kedua beliau itu masih sugeng. Sebuah wawancara yang langka dan telah menjadi antik. Dan ucapan terima kasih juga tak lupa disampaikan kepada kolega dan bekas murid Pak Muby yang karangannya bersedia dicuplik untuk buku ini.

Terakhir, kepada Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, dan Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Prof. Dr. Wihana Kirana Jaya, yang telah mendukung dan memberikan fasilitas bagi acara peringatan sewindu wafatnya Prof. Dr. Mubyarto, kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga buku ini ada manfaatnya.

Yogyakarta, Mei 2013


*) Ini adalah tulisan kata pengantar saya untuk buku "Warisan Pemikiran Mubyarto: Memperingati Sewindu Wafatnya Prof. Dr. Mubyarto, MA" (Mubyarto Institute & Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, 2013)

ESAI UNTUK HIDAYAT



Oleh Tarli Nugroho
Mantan Asisten Dr. Hidajat Nataatmadja (2006-2009)


Tradisi keilmuan di Indonesia barangkali memang tidak dihidupi oleh kegairahan untuk membangun otentisitas. Indikasinya bisa dilihat dari miskinnya kegiatan kritik teori maupun tiadanya tendensi strukturasi teori baru yang dilakukan oleh para sarjana kita. Kegiatan penelitian maupun penalaran didominasi oleh vak verifikasi, yang pada dasarnya hanya mempraktikkan, lalu menegaskan kembali gagasan orang lain. Hampir tidak ada problematisasi serius atas berbagai persoalan keilmuan. Seandainyapun ada sebentuk kegiatan kritik teori, maka kegiatan tersebut pun pada dasarnya sukar dibedakan dari sekadar epigon atas pergulatan kritik serupa yang dilakukan para sarjana di luar negeri. Jadi, seandainya ada, atau pernah ada, kritik itu hadir tanpa problematisasi yang otentik.

Bagi sebagian orang, tendensi otentisitas barangkali tidak relevan dibicarakan dalam kegiatan keilmuan. Apalagi, sejarah kelahiran dunia universiter di kita memang pertama-tama bukan untuk melahirkan pencerahan, melainkan sekadar untuk menyediakan ambtenaar, para pekerja di birokrasi pemerintahan. Sehingga, fungsi perguruan tinggi tidak pernah beranjak dari produsen tenaga kerja, dan bukannya produsen ilmu pengetahuan. Sebagaimana bisa kita lihat pada berbagai perbincangan yang menyoal state of the art ilmu sosial di Indonesia, seperti yang pernah mengemuka di tahun 1970-an dan awal 1980-an, sebagian besar sarjana kita berpendirian bahwa tidak ada yang salah dengan ilmu dan teori, yang keliru adalah penerapannya; sehingga mempersoalkan keabsahan ilmu dan teori adalah pekerjaan yang tidak berguna.

Namun, tentu saja itu adalah pendapat yang sepenuhnya salah. Bahkan sangat salah karena secara tak sadar sedang mendudukkan positivisme sebagai proto dari state of the art keilmuan itu sendiri. Hidayat Nataatmadja (1932-2009), terlepas dari kesepakatan atau ketidaksepakatan orang terhadap hasil pemikirannya, adalah satu dari sedikit orang yang gigih melakukan perlawanan terhadap kejumudan dunia kesarjanaan. Melalui sikap otonom yang teguh, Hidayat berusaha membongkar benteng regularitas diskursif. Dia hanya ingin mengajukan dan mempersoalkan apa-apa yang belum pernah diajukan dan dipersoalkan orang lain, demikian tulisnya suatu ketika. 




Memang, setiap pemikir berdiri di atas pundak pemikir lainnya, sama seperti halnya setiap tradisi kesarjanaan bertumpu di atas tradisi kesarjanaan pendahulunya yang lebih klasik. Tapi kait-kelindan itu bukan pembenaran terhadap perayaan—meminjam Galbraith—conventional wisdom dan pemujaan terhadap—mencuri Kuhn—normal science. Seperti diimani Borges, setiap pengutip Shakespeare adalah Shakespeare itu sendiri. Dan ilmu pengetahuan, hampir serupa sastra, membangun dirinya dari model serupa itu: penciptaan yang terus-menerus, karena pada dasarnya setiap orang adalah pencipta.

Pada diri Hidayat, etos itu hadir sangat kental. Apalagi, bagi Hidayat, kebudayaan adalah rumah pikiran, sehingga setiap tradisi keilmuan mestinya berakar di kebudayaan inangnya. Tapi tidak berarti Hidayat tak jernih dalam memahami distingsi ihwal universalitas dan partikularitas. Persoalan universalitas dan partikularitas itu justru merupakan salah satu kata kunci dari segepok hasil pemikirannya. Kemanusiaan, misalnya, mungkin bersifat universal. Tapi bagaimana kemanusiaan itu dipelihara, pastinya itu bersifat partikular. Ini sama seperti halnya bahwa semua manusia lahir ke dunia dalam keadaan telanjang. Dengan apa ia akan menutupi tubuh telanjangnya, sangat tergantung pada dimana ia lahir. Bayi yang lahir di kutub barangkali harus dibungkus dengan mantel bulu yang tebal, sementara bayi yang lahir di pesisir Jawa cukup ditutupi jarik tipis. Dan persis di titik partikular itu otonomi kesarjanaan dan tendensi otentisitas, sebagaimana yang melingkupi pemikiran Hidayat, menemukan relevansinya.

Tentu saja otentisitas dalam dunia keilmuan sebagaimana yang dihidupi Hidayat berbeda dengan, misalnya, otentisitas sebagaimana yang diimani dalam karya kesenian. Otentisitas dalam dunia keilmuan, meminjam istilah Daoed Joesoef (1986), adalah otentisitas dalam hal menemukan tata-hubungan prioritas yang baru yang lebih memuaskan dalam memberikan pemahaman terhadap sesuatu . Newton dikatakan telah menyumbang pengetahuan karena analisis ilmiahnya mampu menunjukkan hubungan antara gerakan bulan dan benda-benda langit dengan jatuhnya buah apel. Padahal, gerakan benda-benda langit merupakan pengetahuan astronomis yang sudah lazim, bahkan sejak masa yang lebih lampau. Artinya, gagasan Newton sebenarnya berangkat dari bahan-bahan yang telah lazim diketahui, hanya tata-hubungan dan struktur yang dikemukakan bersifat baru.

Tanpa tendensi otentisitas, ilmu pengetahuan sekadar menjadi kegiatan adopsi, verifikasi, yang pada akhirnya hanya membebek pada kebakuan. Pada titik itu, dunia kesarjanaan sebenarnya sedang sebatas mendudukkan ilmu pengetahuan sekadar sebagai produk yang tinggal dikonsumsi, bukan sebagai proses yang terus-menerus diolah.

+ + +

Bagi generasi yang dilahirkan sesudah dekade 1980-an, Hidayat adalah khazanah intelektual yang terselip. Namanya hampir tidak tercatatkan. Tapi memang, dalam semua tradisi keilmuan, selalu dibutuhkan orang besar untuk memperkenalkan orang besar lainnya, dimana ke-besar-an dalam dunia keilmuan dipelihara melalui siklus bertukar simak dan kaji. Dan tradisi kesarjanaan di Indonesia, apa lacur, tidak mengenal keduanya: keterbukaan untuk menyimak, dan ketekunan untuk mengkaji, yang menjadi prasyarat bagi lahirnya pemikir dan pemikiran besar.




Untuk memahami gagasan Hidayat memang dibutuhkan sebuah ketekunan sekaligus empati intelektual yang tinggi, karena gagasan-gagasannya dituliskan dalam banyak sekali buku dan dalam bahasa yang seringkali “tidak lazim”. Kalau menyimak judul buku-bukunya, menurut ukuran masa kini, atau menurut kebiasaan yang menguntit, dengan mudah kita akan menemukan “ketidaklaziman” itu. Tanpa empati-intelektual, kita akan dengan mudah terpeleset menuduh Hidayat sekadar sedang mencari sensasi, atau memancing kontroversi, sehingga pada akhirnya meluputkan substansi serta argumentasi kokoh yang dengan sangat serius sebenarnya sedang coba dia tuturkan. Begitu juga, dengan tanpa ketekunan untuk menyimak keseluruhan karya-karyanya, kita hanya akan menemukan penggalan-penggalan gagasan penting yang tidak padu. Bangunan penting gagasan Hidayat tersimpan (kadang tersembunyi) dengan rapi dalam keseluruhan karyanya, yang meskipun ada berbagai pengulangan dalam tiap tulisannya, pembaca yang tekun akan menemukan bahwa ada lebih banyak lagi argumen dan uraian penting yang tidak dia tuturkan ulang pada tulisan-tulisannya yang lebih kini. Tanpa menyimak keseluruhan karyanya, kita mungkin hanya akan ketemu kesimpulan-kesimpulan tanpa argumentasi, karena berbagai argumen yang mendasari kesimpulan-kesimpulan itu sudah dia paparkan dalam karya-karyanya yang telah silam.

+ + +

Selasa, 13 Januari 2009, lebih dari setahun silam, Hidayat berpulang, setelah sebelumnya selama lebih dari satu semester bolak-balik ke rumah sakit karena berbagai komplikasi. Tak ada satu obituaripun yang mengantarkannya. Tapi sebenarnya yang dibutuhkan oleh Hidayat memang bukan sebuah obituari, melainkan sebuah ucapan selamat datang. Ketika beberapa bekas murid Hidayat, yang kini telah profesor, mengabari untuk memperkenalkan lagi pemikiran gurunya, itu mungkin adalah ucapan yang lama ditunggunya.

Selamat datang kembali ke dunia universiter, Pak Hidayat!

MENJAJAKAN MINAT BACA, MENAFKAHI TRADISI INTELEKTUAL



Oleh Tarli Nugroho
Pencinta Buku
 

Ibarat tubuh, perpustakaan adalah jantungnya universitas. Dari jantung-perpustakaan inilah ilmu pengetahuan dipompa ke sekujur tubuh-universitas sehingga kehidupan akademik terus berdenyut. Menuju ke jantung ini pula hasil seluruh pertengkaran ilmiah dikirimkan untuk diperiksa, dikaji-ulang, dikuliti, dikembangkan, lalu disebarkan kembali. Sebagai organ vital, ia tak boleh berhenti berdetak, karena perguruan tinggi secara “medis” akan mati.

Sayangnya, dalam deretan meja kosong dan kursi-kursi menjelujur rapi sebagaimana rutin dijumpai di perpustakaan kita, jantung ilmu pengetahuan tadi dibiarkan sekarat. Beberapa orang boleh jadi tidak terlampau khawatir, sebab toh perguruan tinggi bisa terus memproduksi ribuan sarjana tiap tahun meski perpustakaannya sunyi senyap. Tapi itu tentu saja pikiran yang menghinakan. Sebab pada titik yang demikian, perguruan tinggi tak ubahnya seolah sebatang bangkai: tubuh yang tak lagi bernyawa.

Tulisan ini hendak menyoroti posisi perpustakaan dalam kaitannya dengan tradisi intelektual di perguruan tinggi. Jika selama ini masalah minat baca didudukkan sebagai persoalan teknis yang harus dipecahkan pustakawan, maka tulisan ini berpendapat bahwa masalah tersebut merupakan masalah seluruh elemen perguruan tinggi.




Perpustakaan dan Dunia Ilmiah

Kekeliruan berpikir paling mendasar ketika membincangkan perpustakaan adalah mendudukkan perpustakaan semata sebagai unit teknis dari institusi perguruan tinggi. Ketika perpustakaan hanya dibicarakan sebagai sebuah unit teknis (untuk melayani kebutuhan baca dan pinjam-meminjam pustaka), maka perpustakaan telah dicabut dari kompleksitas keterkaitannya dengan dunia ilmiah.

Sudut pandang ini membuat segenap persoalan yang berkaitan dengan perpustakaanpun kemudian dianggap teknis, bukan sebagai persoalan yang menyangkut dunia ilmiah. Ini bisa ditengarai dari minimnya respon sebagian besar aparatus akademik terhadap segala persoalan yang berkaitan dengannya. Mereka mengira bahwa perpustakaan adalah urusannya pengelola lembaga yang bersangkutan—yaitu pustakawan, tidak ada sangkut-pautnya dengan akademisi. Kalaupun ada tenaga akademik terlibat, biasanya mereka adalah yang sedang menjabat di struktur birokrasi perguruan tinggi.

Pikiran serupa juga dimiliki oleh para pustakawan. Mereka menganggap wilayah kerjanya bersifat mandiri dan bebas dari campur tangan non-pustakawan. Sehingga, setiap persoalan yang berkaitan dengan perpustakaan hanya akan diselesaikan lewat perspektif profesi mereka. Pada akhirnya penyelesaian akan ditarik ke soal profesionalitas serta teknik manajerial, wilayah yang sangat teknis sifatnya. Soal minimnya pengunjung perpustakaan, misalnya. Dengan sudut pandang profesi, mereka akan cenderung melihat persoalan ini sebagai tantangan untuk meningkatkan pelayanan dan fasilitas yang ada agar pengguna menjadi lebih nyaman dan tertarik datang.

Peningkatan profesionalitas layanan dan penambahan fasilitas tentu saja bukan hal yang tidak berguna. Hal itu memang bisa berimplikasi positif terhadap antusiasme pengguna. Hanya saja, hal itu akan lebih berguna jika ditunjang oleh hal lain yang lebih vital sifatnya, yaitu minat baca penghuni kampus. Dalam kaitannya dengan minat baca inilah perpustakaan memiliki hubungan non-teknis dengan dunia ilmiah.




Ilmu Pengetahuan dan Buku

Kegiatan ilmiah merupakan kegiatan mengubah fakta menjadi teori—membuat masalah (fakta) menjadi permasalahan (teori), mengerjakannya dan merumuskan pemecahannya (Daoed Joesoef, 1986). Jadi, ilmu pengetahuan terbentuk dari dorongan untuk memecahkan masalah. Kegiatan yang relevan dengan tujuan untuk memecahkan masalah adalah meneliti, investigasi, serta mengkaji secara mendalam suatu persoalan.

Pengertian mengenai kegiatan ilmiah sengaja dikemukakan untuk memperjelas bahwa minat baca sebenarnya tidak semata “bawaan sejak lahir” sebagaimana yang umumnya kita bayangkan. Dari pengertian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa aktivitas membaca merupakan tuntutan kegiatan ilmiah. Apakah seseorang mewarisi bakat atau tidak untuk membaca, ketika dia berkecimpung di dunia ilmiah maka dia wajib terlibat dalam aktivitas menekuri buku-buku daras.

Tetapi, sebagaimana juga diingatkan oleh Daoed Joesoef, tidak setiap kegiatan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan adalah kegiatan ilmiah. Bekerja di laboratorium atau di perpustakaan ataupun memberikan kuliah, misalnya, bukan merupakan kegiatan ilmiah. Pada aktivitas mengajar, misalnya, tidak ada proses sebagaimana pengertian kegiatan ilmiah di muka. Mengajar adalah aktivitas menyampaikan ilmu pengetahuan yang telah jadi (ilmu pengetahuan sebagai produk), sementara kegiatan ilmiah merupakan proses untuk mencari dan merumuskan pengertian. Demikian pula dengan bekerja di laboratorium, jika sekadar mempraktikkan pengetahuan yang telah jadi, maka itu bukanlah kegiatan ilmiah. Jadi, persyaratannya terletak pada ada atau tidak adanya motif untuk mengubah fakta menjadi teori, memecahkan masalah untuk merumuskan kerangka teoritiknya, dan bukannya segala hal yang berkaitan dengan pengetahuan.

Kembali ke perbincangan awal mengenai perpustakaan, jelas tidak ada kegiatan ilmiah yang bisa lepas dari buku. Buku adalah tempat dimana segala pengetahuan dicatatkan, dipersoalkan, dikaji, dihabisi, untuk kemudian dituliskan kembali. Lewat buku seorang ilmuwan bisa terpandu untuk menemukan jawaban atas persoalan yang ditelitinya, lewat buku pula para ilmuwan menemukan inspirasi masalah yang harus dipecahkan. Kegiatan ilmiah pada akhirnya bermuara pada teks: sebuah cara dalam mana pengetahuan diabadikan.

Jika kegiatan ilmiah tidak bisa dipisahkan dari teks, maka aparatus akademik jelas memiliki tanggung jawab pada persoalan yang berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut minat baca. Irisan keduanya sangat besar. Sehingga, secara tidak langsung segenap dinamika yang terjadi di perpustakaan juga harus masuk dalam radar aparatus akademik, karena masa depan kegiatan ilmiah turut ditentukan oleh aktivitas yang berkaitan dengannya.




Integritas Kesarjanaan

Dari uraian ringkas di atas kita bisa menyimpulkan bahwa menumbuhkan minat baca pertama-tama adalah perkara memperbaiki etos intelektual dan bukannya menambah fasilitas ataupun perbaikan teknis manajerial perpustakaan. Sebab tanpa etos intelektual, berbagai fasilitas yang lengkap hanya akan habis dimakan rayap dan digerus waktu, sementara peningkatan pelayanan akan sia-sia karena hasilnya tidak akan optimal.

Setelah memahami posisi demikian, persoalannya sekarang adalah kenapa minat baca rendah sehingga perpustakaan kita sepi pengunjung?!

Barangkali beberapa orang akan menolak penilaian bahwa perpustakaan kita sepi pengunjung. Mereka yang menolak ini akan mengajukan argumen berupa hitung-hitungan kuantitatif mengenai jumlah pengunjung ataupun jumlah buku yang dipinjam.

Kinerja perpustakaan sejauh ini memang hanya diukur melalui parameter-parameter yang bersifat kuantitatif dan sederhana, seperti jumlah pengunjung, jumlah buku yang dipinjam, jumlah pertambahan buku, dan parameter sejenisnya. Karena terbatas di pengukuran kuantitatif semacam itu, para pengelola perpustakaan atau pejabat perguruan tinggi yang dilapori kinerja tadi menjadi tidak peka terhadap gejala-gejala penting yang terjadi di lapangan.

Boleh jadi, misalnya, secara kuantitatif penggunaan perpustakaan suatu ketika adalah tinggi. Tetapi itu tidak dengan sendirinya menunjukkan hal yang positif berkenaan dengan minat baca, apalagi dengan etos intelektual atau modus ilmiah. Jika aktivitas di dalam perpustakaan kita golongkan menjadi dua, yaitu aktivitas membaca dan menulis, misalnya, di lapangan akan terlihat kalau masing-masing kategori akan didominasi oleh tiga materi bacaan, yaitu skripsi/tesis/disertasi, buku teks, serta koran dan majalah. Urutannya bisa berubah-ubah, tapi unsurnya tetap tiga materi tercetak tadi.

Jika dipikirkan, ini jelas merupakan gejala memprihatinkan. Meskipun tradisi baca masyarakat kita memang rendah, tetapi kegiatan membaca skripsi/tesis/disertasi, buku teks dan koran di perpustakaan di perguruan tinggi kita bukanlah merupakan bentuk kemajuan budaya baca. Alasannya sederhana saja. Sudah bukan merupakan rahasia jika para mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhir, keseluruhan atau sebagian besar dasar teorinya tidak diambil dari buku sumbernya, melainkan dari skripsi/tesis/disertasi pendahulunya. Sehingga, kalau mahasiswa rajin membuka-buka skripsi/tesis/disertasi yang bertumpuk di perpustakaan, itu sebenarnya bukanlah bentuk ke-rajin-an, melainkan bentuk kemalasan membaca buku-buku daras. Begitu pula halnya dengan buku-buku teks dan majalah. Sayangnya, tak banyak yang memperhatikan fenomena ini, baik aparatus akademik maupun pengelola perpustakaan. Atau, kalaupun memperhatikan tidak ada respon yang berarti terhadap fenomena ini. Lebih celaka lagi kalau gejala ini malah direstui.

Kegiatan membaca dan menulis sebagaimana yang dipertontonkan di perpustakaan kita sejauh ini baru merupakan rutinitas akademik: mengerjakan tugas, mencari hiburan, atau memenuhi tuntutan kelulusan. Jadi, jauh untuk bisa disebut sebagai kegiatan ilmiah yang berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam bahasa lain bisa disebutkan bahwa aktivitas tersebut hanya sekadar memenuhi syarat minimal (necessary condition) saja, tapi sangat tidak memenuhi syarat kecukupan (suficient condition) untuk bisa disebut menegakkan etos ilmiah.

Buku teks, misalnya, jelas bukan merupakan sumber utama untuk menguliti sisik-melik ilmu pengetahuan. Buku teks hanyalah sumber sekunder—atau bahkan tersier berkaitan dengan sistem gagasan, apapun bidang keilmuannya. Sedapat mungkin mahasiswa mestinya bersentuhan langsung dengan sumber-sumber utama, yaitu buku-buku yang ditulis oleh para penggagas teori atau buku-buku diskursif yang mendedahkan suatu persoalan secara lebih kompleks dan utuh.

Kecenderungan kian merebaknya praktik “mencari” skripsi/tesis/disertasi di perpustakaan dan utuhnya buku-buku non-textbook ataupun buku-buku berbahasa asing, meskipun sangat awal bisa jadi merupakan gejala longgarnya kultur akademik kita. Meskipun hakikat perguruan tinggi adalah menjadi cagar alam intelektualitas—menjadi pengembang ilmu pengetahuan, dalam praktiknya hakikat itu ternyata dikerjakan dengan standar yang teramat longgar.

perguruan tinggi sebenarnya diharapkan bisa memupuk lahirnya sarjana-sarjana mental yang memiliki etos intelektual dan bukan hanya sarjana-sarjana formal yang hanya memiliki ijazah semata
Tanpa etos intelektual, pergulatan dengan buku hanyalah sekadar rutinitas akademik yang secara substansial tak berarti. Jika itu yang terjadi, yaitu kegiatan akademik telah menjadi rutin, maka integritas perguruan tinggi sebenarnya tengah terancam. Inilah yang akan membuat sebuah universitas kehilangan ruh, atau tubuh yang tak lagi bernyawa sebagaimana disebut di bagian awal tulisan ini.

Melonggarnya kultur akademik jelas merusak integritas kesarjanaan. Seorang sarjana diharapkan bisa tampil tidak hanya sebagai intelegensia yang menguasai bidang keilmuan profesional, melainkan juga bisa menjadi seorang intelektual yang senantiasa kritis terhadap ilmu pengetahuan dan struktur masyarakatnya. Jadi selain memiliki komitmen yang kuat terhadap nalar dan proses pencarian kebenaran, seorang sarjana juga diharapkan memiliki komitmen moral yang kuat, dalam arti memiliki keprihatinan mendalam terhadap nilai-nilai budaya dan sejarah dari masyarakatnya.

Artinya, perguruan tinggi sebenarnya diharapkan bisa memupuk lahirnya sarjana-sarjana mental yang memiliki etos intelektual dan bukan hanya sarjana-sarjana formal yang hanya memiliki ijazah semata. Di sinilah aparatus akademik memegang peranan penting dalam membantu lahirnya kultur akademik di perguruan tinggi. Tanpa terlebih dahulu lahir kultur akademik, etos intelektual hanya akan menjadi bintang di langit dan integritas kesarjanaan patut dipersoalkan.

Aparatus akademik bukan hanya agen penyampai ilmu pengetahuan yang telah jadi sebagaimana dominan dipahami selama ini, melainkan perlu terlibat menjadi agen intelektual yang berkomitmen terhadap ditegakkannya etika kesarjanaan dan terciptanya etos serupa di kalangan mahasiswa. Dengan cara demikian maka perpustakaan dengan sendirinya akan mengail dinamika aktivitas ilmiah yang membanggakan, tidak sunyi senyap sebagaimana yang ada sekarang.




Menegakkan Etos Intelektual

Jika masalah pokok pengembangan perpustakaan adalah minat baca—dalam keterkaitannya yang kompleks dengan tradisi ilmiah sebagaimana yang telah kita bicarakan, maka persoalan ini tidak hanya merupakan pekerjaan rumah buat pustakawan, melainkan juga buat aparatus akademik. Tanggung jawab para pendidik tak hanya sebatas di ruang kelas atau ruang ujian, melainkan di seluruh sudut tempat bekerjanya kegiatan ilmiah.

intelektual bukanlah sebuah kelas sosial tersendiri, sebagaimana halnya konsep “buruh”, “borjuis” atau “kelas menengah” yang sering diperbincangkan. Intelektual bukanlah persoalan latar belakang, melainkan soal sikap mental dan etos. Artinya, seorang intelektual bisa saja datang dari kelas buruh, petani, militer, dan lain sebagainya
Ketatnya kultur akademik atau tradisi ilmiah merupakan pemicu bagi terbentuknya etos intelektual. Pada titik itu, minat baca dan segenap keperluan untuk menegakkan saintisme akan berjalan secara inheren dengan sendirinya. Segenap insan akademik yang ada di kampus akan memiliki kegairahan untuk menjelajahi setiap jengkal wawasan yang tercetak di halaman berjilid-jilid buku yang menumpuk di perpustakaan. Tuntutan akademik tidak lagi dipenuhi sekadar untuk formalitas—sehingga mahasiswa terpaku mengejar kelulusan dengan cukup hanya membaca skripsi, tesis, dan disertasi pendahulunya atau dosen hanya asyik mengajar dan mengejar pangkat tanpa pernah mempublikasikan karya penting—melainkan untuk menjaga integritas keintelektualan. Jika kesadaran mengenai integritas ini telah terpupuk dan terpelihara, baku-dalih ilmiah akan lebih berwibawa karena lebih kaya wacana.

Hal penting yang kadang dilupakan, dalam menciptakan kultur yang demikian contoh dan teladan dari aparatus akademik tidak bisa diabaikan, termasuk penghargaan mereka terhadap perpustakaan. Penghargaan di sana termasuk di antaranya dengan mengunjungi dan mempergunakan jasa perpustakaan. Di sinilah kemudian hal-hal sekunder yang juga telah kita bicarakan mengemuka, yaitu peningkatan pelayanan dan penambahan koleksi.

Sebelumnya, perlu dipahami kalau intelektual bukanlah sebuah kelas sosial tersendiri, sebagaimana halnya konsep “buruh”, “borjuis” atau “kelas menengah” yang sering diperbincangkan. Intelektual bukanlah persoalan latar belakang, melainkan soal sikap mental dan etos. Artinya, seorang intelektual bisa saja datang dari kelas buruh, petani, militer, dan lain sebagainya. Sehingga dalam kaitannya dengan intelektualisme, kebutuhan dosen dan mahasiswa pada prinsipnya sama. Dalam hal ini, tidak ada alasan bagi aparatus akademik untuk enggan datang ke perpustakaan. Persoalannya tinggal apakah perpustakaan telah menyediakan kebutuhan mereka secara memadai atau belum. Hal-hal yang memadai itu adalah hal-hal yang di bagian terdahulu disebut teknis-manajerial (profesionalitas pelayanan, penambahan fasilitas, koleksi pustaka, dan lain-lain). Di sini kita melihat pertemuan antara berbagai hal yang sebelumnya sering diperpsepsikan tak saling berhubungan.




Kelompok Panel Penimbang Buku

Kelemahan sistem pendukung perpustakaan yang ada selama ini adalah terletak pada hal-penambahan buku. Perpustakaan selama ini lebih mengedepankan fungsi sirkulasi, yaitu menyediakan peminjaman buku-buku teks perkualiahan. Sedangkan fungsi referensi, yaitu penyediaan koleksi-koleksi pustaka yang lebih berbobot, seperti jurnal dan buku-buku babon (magnum opus) masih minim. Fungsi sirkulasi dan referensi di sini hendaknya tidak diterjemahkan secara teknis sebagai koleksi yang bisa dipinjam dan hanya bisa dibaca di tempat, melainkan sebagai ukuran mengenai kualifikasi bahan pustaka.

Pengadaan buku selama ini sangat minim melibatkan elemen-elemen kampus lainnya, terutama aparatus akademik dan mahasiswa. Memang di perpustakaan disediakan lembaran usulan pengadaan buku untuk mahasiswa, tetapi bisa dipastikan kalau tingkat partisipasinya tidak optimal. Ini bisa disebabkan karena beberapa hal.

Pertama, sistem pengadaan lembar usulan itu memakai sistem kuota. Artinya, meskipun buku yang diusulkan mahasiswa sangat penting bobot kualifikasinya, kalau dia mengusulkan seorang diri atau hanya dengan sedikit orang secara kuantitatif akan dianggap tidak penting. Kedua, mahasiswa yang terlibat dalam pengisian lembar usulan kebanyakan hanya terbatas mengajukan judul buku-buku teks.

Keterlibatan aparatus akademikpun serupa. Beberapa dari mereka yang peduli barangkali akan mengusulkan atau menyumbangkan salinan literatur penting yang mereka miliki untuk perpustakaan. Tetapi hal ini saja tidak cukup untuk membuat perpustakaan menjadi tempat nyaman buat eksplorasi intelektual. Karena itu pengelola perpustakaan harus mencari jalan keluar lain yang lebih kreatif.

Sebuah jalan yang bisa dicoba mungkin dengan membentuk semacam “Kelompok Panel Penimbang Buku” (KPPB), yaitu sebuah tim yang bertugas untuk menggodok materi literatur yang akan dibeli perpustakaan. Tim ini berisi perwakilan pengelola perpustakaan, dosen, dan mahasiswa. Untuk skup fakultas, perwakilan dosen dan mahasiswa harus merepresentasikan jurusan yang ada di fakultas yang bersangkutan.

Sistem pemilihan tim ini adalah dengan seleksi, seperti pembuatan paper, wawancara yang “mengukur” kecintaan seseorang pada buku (seperti koleksi bacaannya, atau penguasaan literaturnya) dan berbagai parameter lain yang terutama mengukur intelektualitas seseorang dan apresiasinya pada buku. Seleksi diadakan setiap dua tahun sekali untuk memberi keleluasaan kerja bagi KPPB. Tugas KPPB adalah menjaring aspirasi dari elemen yang diwakilinya, atau bisa juga dengan pertimbangannya sendiri dia mengusulkan kira-kira bahan pustaka apa yang harus dibeli perpustakaan.

Anggota KPPB harus bisa mengemukakan argumen yang jelas berkaitan dengan setiap usulan pustaka yang diajukannya. Selain itu, anggota KPPB juga harus kritis terhadap usulan yang diajukan oleh rekan setimnya, sehingga tidak ada dominasi selera dari keputusan yang diambil KPPB secara keseluruhan. Dengan adanya KPPB diharapkan pengadaan buku di perpustakaan bisa lebih dipertanggungjawabkan dan pengguna menjadi lebih tertarik karena isinya berbobot dan variatif.




Epilog

Perpustakaan memang merupakan jantung perguruan tinggi, sehingga menjadi tanggung jawab seluruh sivitas akademik untuk menjaga kelangsungan hidup lembaga ini. Kelangsungan hidup perpustakaan bukan hanya diukur dari eksistensi fisiknya, melainkan kontribusinya dalam dinamika kegiatan ilmiah di perguruan tinggi. Dalam hal ini, selain fungsi teknis sebagai penyedia layanan pinjam-meminjam dan menyediakan ruang baca, perpustakaan adalah simbol dari kegairahan terhadap etos intelektual. Jika sebuah perguruan tinggi telah melemah etos intelektualnya, maka perpustakaan hanya akan menjadi kumpulan rak yang sunyi senyap, dan universitas tengah meregang nyawa dan bersiap menjadi bangkai. Semoga itu tidak terjadi pada kita.


Karanggayam, 8 September 2006