Tarli Nugroho
Rendahnya kebiasaan untuk
saling membaca dan membahas di kalangan sarjana kita sebelum ini selalu
saya tulis sebagai hal yang telah menyebabkan pembentukan dan
pengembangan tradisi pemikiran di perguruan tinggi kita tidak pernah beranjak
jauh selama ini. Tanpa ikhtiar untuk saling membaca dan membahas,
siklus hidup setiap ide dan pemikiran akan menjadi pendek saja, sehingga
tidak bisa berakumulasi.
Pagi tadi, ketika membaca berita ini [http://bit.ly/1wCOMyX],
saya baru 'ngeh' bahwa rendahnya kebiasaan untuk saling membaca dan
membahas di kalangan sarjana kita ternyata mewakili "daya apresiasi"
mereka. Hanya pada mereka yang memiliki daya apresiasi tinggi maka
kesediaan untuk saling membaca dan membahas akan muncul. Dan rendahnya
kesediaan untuk mempraktikkan itu sesungguhnya menjadi cermin dari
absennya sikap apresiatif tersebut.
Persoalannya, rendahnya kemampuan
apresiasi ini ternyata tidak hanya berimplikasi pada soal akumulasi
pengetahuan dan tradisi pemikiran saja, melainkan juga berimplikasi pada
bagaimana para sarjana kita bersikap dan berperilaku di ruang publik.
Kemampuan apresiasi yang rendah cenderung membuat seseorang gampang
merendahkan, baik orang maupun gagasan. Mereka tidak akan pernah
berusaha mengetahui apa yang tidak diketahuinya, atau melihat dari sisi
sebaliknya, karena mereka memiliki anggapan bahwa apa yang telah
diketahuinya bersifat cukup dan lengkap.
Saya kira, jika
menyimak jejaknya, Rocky Gerung mustahil merupakan pendukung Prabowo.
Namun, sikap yang dia ambil terhadap forum di Paramadina itu menunjukkan
bahwa baginya, di luar soal preferensi politik yang seringkali bersifat
dangkal dan dikotomis, setiap orang tak boleh kehilangan kemampuan
apresiasinya. Apalagi acara diskusi itu dihelat di sebuah perguruan
tinggi dan dihadiri oleh para sarjana yang mestinya merawat dan bekerja
dengan "apresiasi" itu tadi. Ia tak segan mengkritik dan meninggalkan
forum meskipun yang dihujat di forum itu sebenarnya adalah orang yang mungkin
tak disukainya. Acara yang dimoderatori oleh Mohamad Sobary itu, kalau
saya baca Koran Tempo hari ini, menghadirkan pembicara Daniel Dhakidae,
Burhanuddin Muhtadi, Hermawan Sulistyo dan Hamdi Muluk.
Jadi, hilang dimana ya apresiasi kita? Sepertinya banyak orang tak lagi merisaukannya...
Yogyakarta, 20 Juli 2014
Tarli Nugroho
Setiap kali membaca tulisan-tulisan Ernst Schumacher, saya selalu
merasa tak habis pikir, betapa jernih dan mendalamnya orang ini dalam
memikirkan segala sesuatu. Begitu juga ketika dia membahas Francis
Bacon. Sejak jaman antik, demikian Schumacher, tujuan ilmu pengetahuan
adalah untuk menemukan kearifan. Ya. Dia menyebut "kearifan", bukan
"kebenaran", karena relasi ilmu pengetahuan dengan
kebenaran sesungguhnya sangat problematis. Kebenaran itu seperti bulan,
dan kebenaran ilmu pengetahuan hanyalah seperti jari yang menunjuk
bulan, bukan bulan itu sendiri. Jadi, kearifan adalah kesadaran bahwa
kita hanyalah pemilik jari yang sekadar sedang menunjuk bulan.
Namun, sejak Bacon mentadaruskan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan,
sejak itu pula, menurut Schumacher, maka ilmu pengetahuan telah berubah
menjadi manipulatif. "Peradaban Barat berdiri di atas kekeliruan
filosofis bahwa sains manipulatif adalah kebenaran," ujarnya suatu kali.
Maka, sejak itu ilmu pengetahuan berubah secara radikal menjadi alat
untuk mendominasi dan menguasai, bukan lagi alat untuk menemukan
kearifan.
Manusia sudah menemukan demokrasi untuk mengontrol
kekuasaan politik. Tapi sepertinya kita belum memiliki alat kontrol
terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan. Satu-satunya kontrol terhadap ilmu
pengetahuan sejauh ini hanyalah bencana. Ya, bencana. Sama seperti
halnya satu-satunya kontrol terhadap ilmu ekonomi adalah krisis dan
depresi.
Oleh karenanya, membaca perdebatan seputar survei dan
quick count, yang kemudian melebar dari soal etik dan metodologi ke soal
kredibilitas, selain teringat kepada tulisan-tulisan Schumacher, saya
juga teringat kepada Kurt Gödel. Ilmu pengetahuan mustahil membenarkan
dirinya sendiri, demikian ujar matematikawan Austria tersebut.
Yogyakarta, 15 Juli 2014
Tarli Nugroho
"Dalih", jika kita membuka kamus, diberi pengertian sebagai alasan yang
dicari-cari untuk membenarkan suatu perbuatan [yang sudah terjadi].
Sementara, "dalil" adalah keterangan atau argumentasi yang dijadikan
bukti atau alasan untuk mempertahankan suatu pendapat yang diajukan
sebagai suatu kebenaran.
Ketika tiba-tiba muncul distingsi antara "netral" dan "independen" untuk menjelaskan
karut-marutnya praktik dan etika jurnalistik dalam dua tahun terakhir,
itu adalah contoh dalih. Ketika tiba-tiba muncul distingsi antara "real
count" dengan "official count", di luar "quick count" dan "exit poll",
itu juga adalah contoh dalih. Meminjam bahasa penjahit langganan saya,
dalih adalah ikhtiar yang dilakukan untuk melonggarkan tali kolor yang
mulai seret, entah karena kekenyangan atau kegemukan.
Ringkasnya, dalih adalah ikhtiar pembenaran, bukan ikhtiar untuk mencari
kebenaran. Ia juga bisa menjadi ikhtiar untuk melarikan persoalan, dari
satu ke yang lainnya. Belakangan ini, kita menyaksikan ada banyak
sekali dalih yang diproduksi. Semua itu dilakukan sekadar untuk
melonggarkan standar kita atas segala sesuatu.
Lalu, apa contoh "dalil" yang bisa kita temukan belakangan ini?
Ehm, begini. Ketika aku menulis puisi dan surat-surat imajiner untukmu,
Nun, itu adalah contoh dalil dari betapa fasisnya cintaku padamu. Dan
itu adalah sebuah kebenaran. Bukankah kamu bisa dan sudah mengujinya,
selama ini? Aih...
Yogyakarta, 15 Juli 2014