Senin, 06 Maret 2023

HANTU MÁRQUEZ

 


“Sesudah membaca ‘Love in the Time of Cholera’, seorang lelaki menulis surat cinta untuk perempuan yang ditaksirnya. Isinya pendek, dan sangat Márquez. ‘Satu-satunya penyesalanku saat sekarat nanti adalah ketika aku tak pernah mencintaimu. Sungguh, aku ingin menua bersamamu.’
Tapi surat itu tak pernah dikirimkannya. Dan perempuan itu tak pernah tahu, jika dirinya menjadi mimpi lelaki itu.
…”
Saya tak kunjung menyelesaikan cerita-cerita itu, kumpulan fragmen-fragmen kecil hasil pembauran ingatan yang telah mulai saya tulis sejak zaman mahasiswa. Menulis memang adalah proses pembauran ingatan. Dan ingatan itu bisa dipungut dari mana saja. Dari buku apik, dari film yang skripnya ditulis secara bertanggung jawab, dari lelehan air hujan di luar kaca jendela kereta api, atau dari sebuah pertemuan kecil di kedai kopi dengan orang-orang yang sebelumnya tak kita kenal.
Pertemuan dengan karya-karya Márquez termasuk salah satu yang meninggalkan ingatan panjang itu. Novelnya yang pertama saya baca adalah “One Hundred Years of Solitude”.
Waktu pertama kali membaca novel itu, terus terang saya hampir frustrasi. Ini novel yang mengguncang, bertenaga, tapi sekaligus juga menjengkelkan. Sumber kejengkelannya sepele saja: kita akan direpotkan oleh nama-nama enam generasi keluarga José Arcadio Buendia yang mirip satu sama lain. Nama-nama itu akan membuat pening setelah Anda melewati seratus lima puluh halaman pertama.
Coba bayangkan, José Arcadio Buendia punya tiga anak, Aureliano Buendia, José Arcadio dan Amaranta. Aureliano Buendia punya anak, salah satunya Aureliano José. José Arcadio punya anak, namanya Arcadio. Arcadio, cucu José Arcadio Buendia, punya tiga anak, yaitu Remedios, Aureliano Segundo, dan José Arcadio Segundo. Aureliano Segundo, anak kedua Arcadio, punya tiga anak, yaitu Renata Remedios, José Arcadio, dan Amaranta Ursula. Bayangkan, semakin jauh membaca, agar tak kehilangan jejak soal posisi generasional kita harus selalu kembali ke halaman pertama yang berisi silsilah keluarga José Arcadio Buendia, karena semakin banyak nama yang muncul secara bersamaan.
Itulah karya Gabriel García Márquez yang pertama saya baca.
Sebelum membaca novel itu, saya kebetulan sedang membaca risalah-risalah mengenai Taman Siswa dan sangat terkesan oleh sebuah karangan Ki Hadjar Dewantara yang terbit pada 1938. Dalam karangan mengenai pendidikan nasional dan azas-azas Taman Siswa itu, Ki Hadjar, mungkin dengan sedikit meminjam Tagore, menulis:
“Hidup kita adalah kutipan dari hidup orang Barat; suara kita adalah kumandang Eropa; kita ini yang seharusnya seorang intelek tidak boleh lebih daripada sebuah tas penuh keterangan-keterangan; dalam jiwa kita ada kekosongan, hingga kita tidak sanggup untuk meresapkan apa-apa yang indah dan bernilai.”
Saya adalah anak muda yang masih duduk di tahun-tahun awal kuliah dan memiliki kegairahan teramat sangat untuk mengetahui dan memahami apapun, waktu itu. Dan karangan itu berhasil mencuri kegelisahan saya.
Karenanya, ketika ketemu “One Hundred Years of Solitude”, sejak halaman pertama Márquez langsung menarik perhatian karena narasinya berhasil meletupkan kembali kegelisahan yang pertama kali diprovokasi Ki Hadjar tadi.
Marquez menulis,
“Bertahun-tahun kemudian, ketika Kolonel Aureliano Buendia menghadapi regu tembak, ia terkenang akan sebuah sore yang jauh, tatkala ia bersama ayahnya menyaksikan es untuk pertama kali. Pada waktu itu Macondo adalah sebuah desa dengan dua puluh rumah batu, berada di tepi sungai teramat jernih yang dasarnya dihuni oleh batu-batu berwarna putih, berkilauan dan besar-besar seperti telur-telur zaman purba. Dunia seakan baru saja diciptakan sehingga segala sesuatu belum mempunyai nama, dan untuk menyebut suatu benda, orang harus langsung menunjuknya.”
Bagi saya, waktu itu, cara Márquez membuka halaman pertama novelnya memiliki ikatan batin dengan cara Ki Hadjar merumuskan persoalan pendidikan nasional tahun 1938 itu, yang belakangan saya sebut sebagai “kekerabatan epistemik post-kolonial”.
Saya tidak ingat, apakah perkenalan dengan karya-karya Márquez mendahului perkenalan dengan karya-karya Jorge Luis Borges, atau sebaliknya. Tapi yang jelas, pada diri saya, ada tali yang mengikat dua narasi itu dengan sebuah puisi Borges.
“Terberai di kota-kota berjauhan
sendiri dan berlaksa
kita bermain sebagai Adam
(atau Hawa)
memberi nama segala.
Di lereng panjang malam hari
di tapal batas dini hari
kita mencari (masih kuingat) kata-kata
untuk bulan, untuk maut, untuk pagi”
Ketiga risalah tadi, merupakan tulisan-tulisan yang telah membentuk imajinasi awal saya mengenai “otonomi intelektual” dan “otentisitas”. Setiap orang yang merasa dirinya terpelajar harus terpanggil untuk menjadi Adam, atau Hawa, dengan berusaha “memberi nama segala”, dan tak gampang terikat kepada nama-nama yang telah terberi.
Selain “One Hundred Years of Solitude”, saya berkenalan dengan novel Márquez lainnya melalui sebuah film, “High Fidelity”. Ya, itu adalah filmnya John Cussack. Entah kenapa saya selalu menyukai untuk menonton semua “film brengsek” aktor yang satu ini.
Dalam film itu, Cussack membaca dan banyak menyebut novel “Love in the Time of Cholera”. Tentu saja, selain dari daftar pustaka buku-buku yang pernah dibaca, kita bisa menjadikan film sebagai referensi mencari buku bermutu. Saya juga melakukannya. Dari film “With Honour”, misalnya, saya mulai membaca Walt Whitman dan Emile Zola. Dari “The Unbearable Lightness of Being”, yang novel dan filmnya sama-sama membuat mabuk kepayang, saya belajar membaca Tolstoy.
Karya-karya Márquez mudah sekali meninggalkan jejak, sehingga sukar untuk dilupakan. Sebagai orang yang menikah, misalnya, saya kadang masih sering dibuat terguncang, ketika ia menulis bahwa hal terpenting dalam sebuah pernikahan bukanlah kebahagiaan, melainkan stabilitas. Ampuuunn...
Ya, itu terdengar seperti dakwaan yang mengeksekusi gairah. Sebab, kali lain dia juga menulis bahwa ketika seorang perempuan pada akhirnya memutuskan untuk tidur dengan seorang lelaki, jangankan tembok tebal, yang sudah pasti akan dirobohkannya, bahkan Tuhan pun tidak akan dicemaskannya.
Ah, setiap penulis apik, atau buku yang patut, memang mudah sekali menghantui pembacanya.

Jakarta, 13 Oktober 2017

Kamis, 09 Februari 2017

MEDIA DAN PERSEKUTUAN KAUM MAJIKAN


Oleh Tarli Nugroho
Institute for Policy Studies (IPS), Jakarta 

Pada 1921 organisasi itu lahir. Namanya “Ondernemersraad voor Nederlandsch-Indie”. Dalam terjemahan bahasa Indonesia yang digunakan masa itu, nama itu berarti “Dewan Majikan untuk Hindia Belanda”. Ya, organisasi ini adalah bentuk persekutuan kaum majikan. Meskipun didirikan di Belanda, anggotanya bukan hanya para kapitalis Belanda, namun para kapitalis besar Inggris, Amerika, Belgia, Jerman, Prancis, dan negara-negara Eropa lain.
Persekutuan kaum majikan ini bukan hanya bisa mendikte pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, namun juga bisa mengatur pemerintah Negeri Belanda. Itu menunjukkan betapa besarnya kekuasaan para majikan ini.
Sejak dulu, industri media memang telah jadi arena pertarungan kepentingan dari berbagai serikat dagang, baik asing maupun Bumiputera.
Seandainya kita hidup di Hindia Belanda sembilan puluh tahun yang lalu, niscaya kita tidak akan membaca Kompas, Media Indonesia, Jakarta Post, atau Koran Tempo, misalnya. Bacaan kita adalah “De Locomotief”, “Java Bode”, “Soerabajaasch Handelsblad”, “Nieuws van den Dag”, atau “AID de Preanger Bode”. 
Surat kabar-surat kabar ini adalah kepanjangan mulut dari serikat para majikan tadi. Sejak dulu, industri media memang telah jadi arena pertarungan kepentingan dari berbagai serikat dagang, baik asing maupun Bumiputera.
“AID de Preanger Bode”, misalnya, adalah juru bicaranya para majikan yang menguasai perkebunan teh, karet, dan kina. “Soerabajaasch Handelsblad”, adalah corongnya para majikan yang menguasai industri gula. Dan “Nieuws dan den Dag”, misalnya, adalah juru bicaranya para majikan yang menguasai sektor perdagangan.
Para tokoh pergerakan zaman itu menyebut surat kabar-surat kabar tadi sebagai corong imperialisme, yang kerjanya hanya menghasut untuk mengamankan kantong para majikannya. Ya, kepentingan mereka hanya mengamankan kantong saja, membuat perlindungan terhadap semua bentuk rongrongan yang bisa mengganggu “dividend” para tuan besar tadi.
Surat kabar-surat kabar itu bukan hanya galak terhadap kaum pergerakan, yang propaganda-propagandanya tentu saja sangat mengancam korporasi dan kepentingan para majikan tadi, melainkan juga galak terhadap pemerintah kolonial. Pejabat pemerintah yang tak cakap menyokong kepentingan mereka akan diserang habis-habisan.
... media adalah arena pertarungan kepentingan, dimana para majikan dan serikat dagang telah mengambil peran penting dalam memproduksi isu dan wacana.
Gubernur Jenderal de Graeff, misalnya, suatu kali pernah ditulis “Nieuws dan den Dag” sebagai “Ga weg, maak plats, Indie heeft krachtiger mannen noodig!”, yang berarti “Hengkanglah, enyahlah, Hindia membutuhkan orang-orang yang lebih bekerja keras!”
Apakah itu artinya de Graeff tak bisa kerja?
Tentu tidak. Itu artinya de Graeff kurang trengginas dalam menyokong dan mempertebal kantong para majikan tadi.


Bukan hanya memiliki surat-surat kabar di Hindia, mereka juga membangun dan menguasai berbagai lembaga penerangan, yang semuanya berjejaring dengan media-media di luar negeri, seperti “The New World” dan “Le Monde Nouveau”. Dengan sokongan industri media itu, para majikan mengamankan kepentingan dagangnya.
Itu sebabnya kenapa dulu Soekarno menerbitkan dan memimpin “Fikiran Ra’jat” serta “Soeloeh Indonesia Moeda”, dan Hatta bersama dengan Sjahrir menerbitkan “Daulat Ra’jat”. Pada masa yang lebih awal, Tirto Adisoerjo juga telah menerbitkan dan memimpin beberapa surat kabar dan majalah. Sejak dulu media adalah arena pertarungan kepentingan, dimana para majikan dan serikat dagang telah mengambil peran penting dalam memproduksi isu dan wacana.
Jadilah pembaca yang kritis dan cerdas, agar tak dimakan media-media kaum majikan.

Kamis, 01 Oktober 2015

KITA DAN AIDIT, HARI ITU



Hari itu, Minggu, 21 November 1965, hujan turun berderai-derai. Hari yang sendu, karena tak seorangpun menampakkan batang hidungnya waktu itu. Mungkin orang-orang sedang berteduh di rumahnya masing-masing, dan berpikir tak banyak hal berarti yang bisa dilakukan di bawah hujan semacam itu. Tapi tidak demikian halnya dengan serombongan lelaki berseragam loreng itu. Hujan tak membuat mereka surut berkeliaran di gang sempit itu. Mereka, Pasukan Siaga Brigif 4, setelah berhari-hari menyisir, akhirnya sampai di Gang Sidaredja, Sambeng, tak jauh dari Stasiun Solo Balapan tersebut.

Mereka tak pernah melepaskan pandangannya dari rumah lusuh milik seorang lelaki yang dipanggil Pak Kasim. Sudah berkali-kali mereka menyisir rumah itu, yang diduga menjadi tempat persembunyian seorang lelaki, namun hasilnya nihil. Anehnya, kacamata, radio dan tas yang diduga milik lelaki yang sedang dicari tadi ada di sana, sehingga mereka tak segera meninggalkan gang itu.

Setelah bertahan cukup lama, lelaki yang dipanggil Pak Kasim itupun akhirnya menyerah. Dia menunjukkan tempat persembunyian orang yang sedang dicari tadi: di balik lemari makan. Sejumlah lelaki berseragampun bersiaga.

Setelah mengambil nafas, Yasir, komandan Brigif 4, membuka lemari yang ditunjukkan itu. Untuk sesaat dia terdiam, sebelum kemudian memberikan sebuah hormat militer. Seorang lelaki berperawakan langsing keluar dari balik lemari.

"Apa Bapak ini Menko?" tanya Yasir.

"Ya, betul!" jawab lelaki dari balik lemari itu.

"Maaf, saya bertugas menjemput Bapak ke markas," terus Yasir.

Lelaki itu, yang menjabat Menteri Koordinator dan Wakil Ketua MPRS, menurut tanpa melawan. Sesampai di Lojigandrung, lelaki itu dipersilakan menuliskan pengalamannya sejak dari Jakarta hingga Solo. Begitulah prosedurnya.

Lelaki itu tak lain adalah Aidit. Hari itu Kolonel Yasir segera diperintahkan oleh atasannya untuk membawa tokoh penting tadi ke Semarang. Aidit dibawa dengan menggunakan sebuah Jeep. Yasir dan sopirnya duduk di depan, sementara Aidit duduk di belakang dengan pengawalan Letnan Prayitno. Di belakang Jeep menguntit sebuah mobil yang dikendarai Kapten Hartono, yang mengawal secara rapat.

Ketika Jeep sedang melaju, Letnan Prayitno memasang borgol ke tangan Aidit. Merasa jadi tawanan, Aidit memberontak. Ia tak terima diperlakukan sebagai tawanan. Karena terjadi keributan, iring-iringanpun terpaksa berhenti.

Yasir, yang geram dengan ulah tawanannya, akhirnya berkata dengan logat Banyumas kental, "Wes 'sembur' waelah! Setelah 'disembur', tinggal wae."

Begitulah.

Tak lama sesudahnya, Yasir datang melapor kepada Kolonel Widodo, Pangdam VII Diponegoro, yang kemudian segera meneruskan laporan itu kepada Mayjen Soeharto, yang waktu itu menjabat Menpangad. Soeharto meminta Yasir menemuinya di Gedung Agung, Yogyakarta, 24 November 1965. Menurut pengakuan Yasir, lama sesudah kejadian itu, ketika dilapori langsung kejadian tadi, Soeharto cuma diam saja. Ya, Cuma diam saja. Tak memberi tanggapan apapun.

Saya membaca cerita itu di Majalah Adil, No. 1/Th. 52, Oktober 1983, yang saya temukan di sebuah pojokan Kota Solo medio 2012 lalu. Setiap kali membaca cerita semacam itu, saya selalu murung. Itu adalah sejenis percampuran antara perasaan sedih, malu, marah, bingung, dan entah apalagi. Tapi saya kemudian lebih suka menyebutnya sebagai “murung”.

Saya selalu punya imajinasi kecil, bagaimana seandainya saya sendiri yang berada di pusaran zaman penuh cekcok itu? Apakah saya akan berposisi sama dengan pandangan saya hari ini?! Ataukah saya akan berada pada posisi yang berbeda, mungkin lebih baik, atau mungkin juga lebih buruk, siapa yang tahu?!


Bagi kita yang tak pernah mengalami jaman yang penuh percekcokan haibat semacam tadi, mengambil sikap apapun sepertinya memang mudah. Ya, mudah, karena ibarat buku, sejarah sudah sampai pada bab terakhirnya. Dan sebuah buku yang telah selesai ditulis memang mudah sekali disimpulkan...


Bagaimanakah saya pada hari itu ingin dan/atau akan dikenangkan oleh hari ini?! Bagaimanakah bayangan saya pada hari itu mengenai berbagai sudut pandang yang mungkin berkembang pada hari ini, termasuk kemungkinan bahwa posisi saya hari itu akan dilihat sebagai keliru, tidak tepat, dan bahkan tidak patut, yang akan menerbitkan bukannya kebanggaan pada masa lebih kemudian, melainkan justru rasa malu?! Bagaimana saya bisa mengetahui semua hal tadi pada hari itu?!

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu membuat saya murung.

Bagi kita yang tak pernah mengalami jaman yang penuh percekcokan haibat semacam tadi, mengambil sikap apapun sepertinya memang mudah. Ya, mudah, karena ibarat buku, sejarah sudah sampai pada bab terakhirnya. Dan sebuah buku yang telah selesai ditulis memang mudah sekali disimpulkan, untuk kemudian dinilai, apapun kesimpulan dan penilaian yang diambil.

Tapi coba bayangkan, bagaimana seandainya kita hidup dalam sebuah epos sejarah yang belum usai. Misalnya, kita hidup sejaman dengan Umar bin Khattab, ketika yang bersangkutan masih jadi bergajulan. Ah, imajinasi ini tiba-tiba saja lewat. Bagaimanakah kita akan menilai seorang Umar ketika yang bersangkutan berada pada tikungan hidupnya? Apakah kita akan menyambutnya, dengan memberi dukungan dan kedua tangan terbuka, karena menyadari bahwa setiap orang niscaya berubah; atau menjadi penghujatnya, sembari mengabarkan kepada dunia bahwa Umar hanyalah seorang bergajulan dan akan tetap demikian selamanya?! Bagaimana kita akan bersikap atau menarik kesimpulan dari sebuah sejarah yang masih berproses dan belum usai semacam itu?!


Seandainya kita hidup di tahun 1965, dan terlibat dalam semua percekcokan masa itu, kira-kira akan dimanakah posisi kita? Menjadi mereka yang dikejar-kejar, ataukah menjadi mereka yang mengejar-ngejar? 


Sejak di bangku sekolah menengah saya kadang membayangkan, sebagai muslim, jika hidup sejaman dengan Rasul, saya mungkin saja akan tergolong kepada mereka yang termasuk memusuhinya, bahkan mungkin menistakannya. Ya, kenapa tidak?! Apa yang menjamin saya, dan juga Anda, tak akan termasuk ke dalam golongan semacam itu?! Sebijak itukah kita, sehingga kita bisa mudah menerima begitu saja kebenaran-kebenaran baru yang tak terbayangkan sebelumnya dari seseorang yang hampir seluruh hidupnya kita saksikan, atau menerima tikungan-tikungan tajam hampir muskil dari kehidupan orang-orang yang juga kita kenal?!

Seandainya kita hidup di tahun 1965, dan terlibat dalam semua percekcokan masa itu, kira-kira akan dimanakah posisi kita? Menjadi mereka yang dikejar-kejar, ataukah menjadi mereka yang mengejar-ngejar? Kita mungkin saja menjadi mereka yang mengejar-ngejar, karena sebelumnya kita pernah jadi kelompok yang dikejar-kejar. Begitukah?! Akan sanggupkah kita bersikap jernih dan bijaksana dalam suasana persaingan dan pertarungan ideologi-politik yang menguras perasaan sebagaimana berlangsung pada dekade itu?

Ah, untungnya kita hidup pada hari ini, setelah epos-epos besar tadi telah liwat, yang masing-masing telah memberikan timbunan pengetahuan dan hikmat selama ribuan, ratusan, dan puluhan tahun, sehingga kita bisa lebih mudah untuk menilai dan bersikap atasnya.

Tapi, kadang saya bertanya-tanya, apakah epos-epos besar hanya terjadi di masa lalu?! Tidakkah sungai waktu yang sedang kita layari hari ini mungkin saja adalah sebuah epos besar juga bagi sesuatu hal, atau beberapa hal, untuk suatu masa yang lebih kemudian?!

Lalu pertanyaan yang membuat murung itupun akan kembali menguntit: sudah seberapa jernih dan bijaksana kita menimbang dan menilai jaman kita ini, kesekarangan ini? Sudah seberapa adil kita dalam melihat dan menimbang mereka yang saat ini berposisi berbeda, berseberangan, dan bahkan terlibat cekcok hebat dengan kita? Dengan cara bagaimana kita hendak menyudahi semua percekcokan hari ini? Dengan cara bagaimana kita akan dan hendak dilihat oleh masa tiga, atau empat generasi sesudah ini?

Membaca cerita kematian Aidit, dan keseluruhan tragedi masa itu, saya kadang berpikir bahwa mungkin saja kita sebenarnya tak sedang berada pada sungai sejarah yang mengalir. Seperti sungai yang kadang meluap, kita saat ini mungkin sedang berada dalam genangan dari luapan tadi, yang limpas pada 1965 itu. Genangan itu tak kunjung mengering, karena setiap kali mengering selalu mendapat limpasan baru, mungkin pada 1974, 1978, 1984, 1991, 1998 atau momen-momen sejarah lainnya yang membuat kita terus-menerus mencatat sejarah dengan memori traumatik.

Jadi, sementara sungai sejarah terus mengalir, kita tak pernah beranjak kemana-mana, karena masih berada dalam genangan yang sama, memutar secara berulang-ulang pirangan hitam berisi lagu rindu-dendam. Dan epos besar jaman ini barangkali adalah bagaimana mengalirkan kembali genangan itu kepada sungai sejarah. Mampukah kita?


 

Yogyakarta, 1 Oktober 2014