Jumat, 10 Maret 2023

MENYOAL KEKUASAAN PARA BIROKRAT/TEKNOKRAT









Oleh Tarli Nugroho

Ramai-ramai berita mengenai harta kekayaan dan kepemilikan moge oleh Menteri Keuangan dan jajarannya, di luar soal kepatutan dan asal-usul perolehannya, kita mungkin akan terkejut jika mengulik betapa besarnya kekuasaan yang dikelola oleh para birokrat/teknokrat pemerintah itu. Kita sering membayangkan bahwa birokrasi itu seperti sekrup, atau lembaga yang sekadar menerima perintah, sebuah imajinasi inferior yang sebagian besarnya telah terbukti keliru.

Birokrasi, di dalam kehidupan politik dan pemerintahan sehari-hari, sangatlah superior. Peran sekretaris/sekretaris jenderal, di berbagai institusi pemerintahan, mulai dari tingkat desa hingga kementerian, misalnya, meski di atas kertas terlihat sebagai orang nomor sekian, namun dalam praktiknya bisa lebih berkuasa daripada pejabat publik yang dipilih langsung oleh masyarakat.
Masalahnya, meski di satu sisi mengelola kekuasaan yang sangat besar, namun di tengah bobroknya sistem hukum dan pengawasan, praktis kontrol yang bisa diberikan publik kepada mereka sangatlah minim. Berbeda dengan kontrol terhadap politisi, publik tidak bisa memberikan kontrol—apalagi ‘punishment’—apa-apa kepada birokrat/teknokrat yang menyelewengkan kekuasaannya, kecuali untuk soal-soal etis yang bersifat minor, sebagaimana kasus yang kini mencuat.
Lemahnya kontrol publik juga bisa kita lihat dari lemahnya sensitivitas masyarakat sipil terhadap isu-isu reformasi birokrasi. Kita, misalnya, langsung tanggap terhadap agenda perpanjangan masa jabatan presiden, atau isu tiga periode, namun tidak banyak mempersoalkan sejumlah teknokrat/birokrat yang sudah bercokol di kursi kekuasaannya untuk jangka waktu yang sangat lama. Sehingga muncul seloroh: rezim boleh datang silih berganti, namun para birokrat tadi bisa terus-menerus menggenggam kursi kekuasaannya tanpa rotasi. Padahal, baik politisi yang dipilih (elected representatives) maupun birokrat yang tidak dipilih langsung oleh publik (non-elected officials), keduanya sama-sama butuh dikontrol oleh logika sistem yang sama.
Selama ini isu-isu demokrasi yang kita diskusikan masih saja bertolak dari satu sudut pandang, yaitu bagaimana menjaga independensi birokrasi untuk mencegah terjadinya penyimpangan politik. Artinya, kebanyakan ilmuwan politik hanya melihat bahwa birokrasi adalah landasan bagi demokrasi—atau dalam bahasa lain sebagai penghalang bagi kembalinya otoritarianisme—dan tidak pernah dilihat sebaliknya. Memang benar, demokrasi yang sehat mensyaratkan independensi birokrasi. Namun, birokrasi yang terlalu mandiri juga jelas mendatangkan persoalan bagi demokrasi.
Jadi, menyimak kehangatan publik yang kini tengah ramai mempersoalkan kekayaan para birokrat di Kementerian Keuangan, kita mestinya mulai menyadari bahwa meski musim terus berganti dan iklim politik telah berubah, mamun sejarah kementerian ini hampir sepenuhnya bersifat monolitik. Sebagai contoh, dari 32 tahun kekuasaan Orde Baru, selama 30 tahun di antaranya jabatan bendahara negara Republik ini selalu dipegang oleh dosen-dosen dan alumni kampus kuning.
Bayangkan, selama tiga puluh tahun jabatan itu hanya berputar-putar di tangan empat orang dalam simpul satu fakultas dari sebuah perguruan tinggi saja. Kenyataan ini mestinya bisa menyorongkan sebuah imajinasi politik, bahwa yang bisa menimbun kekuasaan di negeri ini bukan hanya tentara/polisi dan politisi, tapi juga para teknokrat!
Bedanya, kalau tentara/polisi dan politisi sudah biasa dikontrol publik, tidak demikian halnya dengan para teknokrat. Satu kaki mereka yang masih berdiri di dunia universiter, kadang membuat banyak orang selalu melihat mereka sebagai orang-orang alim dan suci. Padahal, sebagai zoon politicon, mereka punya kecenderungan yang sama dengan para politisi lainnya.
Oya, mungkin ada yang akan mengajukan keberatan, bahwa itu kan gambaran di masa Orde Baru. Betulkah?
Jika Reformasi tahun 1998 dianggap sebagai milestone, maka hanya tujuh tahun pertama (hingga 2005) saja bangsa ini berani punya imajinasi berbeda dengan memilih para teknokrat non-kampus kuning untuk menduduki jabatan menteri keuangan. Selebihnya, artinya kurang lebih 18 tahun terakhir—dari 25 tahun usia Reformasi, jabatan itu tetap “dikembalikan” untuk dipegang oleh orang-orang dari kampus kuning.
Itupun, ini penting untuk dicatat, dari 18 tahun tersebut, 11 tahun di antaranya dipegang oleh satu orang saja, yaitu Sri Mulyani. Dalam catatan saya, sepanjang sejarah Republik ini, Sri Mulyani adalah menteri keuangan dengan periode dan durasi kekuasaan paling panjang.
Dari lama masa jabatan, Ali Wardhana memang tercatat berkuasa paling lama, yaitu 15 tahun. Namun, ia menjabat hanya di satu rezim saja selama 3 periode kabinet.
Sementara, jika menjabat hingga Oktober 2024 nanti, dari sisi durasi Sri Mulyani memang hanya menduduki kursi menteri keuangan selama kurang lebih 12 tahun 8 bulan saja. Namun, dari sisi periode kekuasaan, ia menduduki jabatan tersebut di dua rezim pemerintahan yang berbeda, yaitu rezim Presiden SBY dan Presiden Joko Widodo, dan di empat kabinet (mulai dari Kabinet Indonesia Bersatu, Kabinet Indonesia Bersatu II, Kabinet Kerja, hingga Kabinet Indonesia Maju).
Apa artinya?
Mungkin ada dua. Pertama, hanya Sri Mulyani adalah orang yang paling mumpuni untuk menduduki jabatan tersebut. Tidak ada orang Indonesia lainnya yang pantas menduduki jabatan itu.
Atau, kedua, imajinasi para pemimpin politik kita di sektor keuangan memang sangat sempit, sehingga mereka tidak mampu melihat kebutuhan lain di luar sosok Sri Mulyani.
Oya, sebelum Sri Mulyani, di masa lalu memang pernah ada dua menteri keuangan yang bertahan dalam empat kabinet, yaitu Mr. A.A. Maramis dan Soemarno. Namun, masa jabatan total mereka hanya kurang dari tiga tahun, dan mereka menjabat di era demokrasi parlementer yang bisa jatuh-bangun hanya dalam hitungan bulan.
Jadi, berhadapan dengan isu Rubicon dan Harley-Davidson, kita sebenarnya sedang melihat betapa ringkihnya publik dalam mengontrol kekuasaan para birokrat/teknokrat di pemerintahan.

Jakarta, 27 Februari 2023

Senin, 06 Maret 2023

SIONIL JOSÉ DAN TOKO BUKUNYA


Oleh Tarli Nugroho

Solidaridad adalah toko buku kecil yang didirikan dan dikelola oleh Francisco Sionil José, seorang sastrawan ternama Filipina. Sionil juga mestinya bukanlah nama asing bagi kita. Beberapa karyanya sejak lama telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti “Tokoh-tokoh Munafik” (1981)—yang diterjemahkan oleh Hartojo Andangdjaja, “Po-on” (1987), atau “Lelaki di Simpang Jalan” (1988).
Di negerinya, lelaki bertubuh subur itu sangat dihormati. Namanya selalu disebut setarikan nafas dengan Jose Rizal, Nick Joaquin, Paz Marquez, ataupun Gilda Cordero-Fernando dan rekan-rekan segenerasinya yang juga menjulang. Sebagai penulis, reputasi penerima Ramon Magsaysay tahun 1980 ini mendunia. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 20 bahasa. Sebagai catatan, selain menulis novel, cerpen, dan esai, Sionil juga menerjemahkan banyak sekali buku.
Sebelum mengunjungi toko buku ini, saya telah mendengar banyak cerita menarik mengenai Solidaridad Book Shop. Banyak tokoh dari berbagai negara, mulai dari pemimpin politik, pejabat tinggi pemerintah, dan tentu saja para penulis terkemuka, disebut pernah mengunjungi toko ini.
Suatu pagi, misalnya, Sionil baru saja membuka tokonya dan masih mengenakan celana pendek, ketika sebuah limousine Mercedes-Benz tiba-tiba berhenti di depan tokonya. Dari dalam kendaraan itu segera keluar Adam Malik. Saat itu ia masih menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia. Karena kiprah internasionalnya yang menonjol, Adam Malik cukup dikenal di luar negeri, termasuk di Filipina.
Sionil mengaku sangat tersanjung oleh kunjungan tersebut. Apalagi Adam Malik, yang belakangan naik menjadi Wakil Presiden Indonesia, mengatakan telah lama mendengar tentang toko buku miliknya, sehingga kemudian memutuskan untuk mampir.
Toko buku kecil ini juga menjadi langganan Ninoy Aquino, pejuang demokrasi Filipina. Bahkan, ketika Ninoy dipenjara oleh rezim Marcos, ujar Sionil, dia tak pernah berhenti mengumpulkan bacaan untuknya. Buku-buku itu akan diangkut ke penjara oleh Cory, istri Ninoy, untuk kemudian dipilihnya. Buku-buku yang tak dipilih akan dikembalikan lagi ke Solidaridad. Sionil berani mengklaim bahwa setengah dari koleksi perpustakaan Aquino berasal dari toko bukunya.



Meskipun pernah dikunjungi oleh tokoh-tokoh terkenal, termasuk oleh tiga orang pemenang Nobel Sastra, yaitu Wole Soyinka, Gunter Grass, dan Mario Vargas Llosa, pada kenyataannya toko buku ini telah lebih dulu dikenal orang sebelum dikunjungi oleh tokoh-tokoh tadi.
Sionil sendiri pada awalnya mungkin tak pernah membayangkan semua itu. Selepas dari pekerjannya yang membosankan sebagai petugas informasi di kantor Colombo Plan di Srilanka, Sionil, yang kini berusia 96 tahun, semula hanyalah ingin memiliki kantor penerbitan saja. Dengan memiliki penerbitan, ia membayangkan dirinya bisa terus menulis sekaligus memiliki kantor. Karena tabungannya cukup besar, atas saran mertuanya ia akhirnya membeli sebuah rumah di distrik Ermita, Manila.
Saran itu terbukti baik. Rumah yang terletak di Padre Faura Street, sebuah jalan yang kini terasa agak sempit itu, berada di pusat kota. Selain dikelilingi pusat perdagangan, jalan itu juga dekat dengan berbagai museum, kafe, galeri seni, dan pusat-pusat kebudayaan di Manila. Banyak yang menyebut kawasan itu mirip Montmartre di Paris, yang banyak digunakan oleh para seniman dan intelektual untuk berkumpul, mendirikan toko buku, dan menggelar pertemuan. Saya belum pernah ke Paris, tapi sepertinya setuju dengan penilaian tersebut.
Meskipun mimpinya hanyalah memiliki perusahaan penerbitan, namun karena rumah tua yang dibelinya agak terlalu besar, istrinya, Tessie, mengusulkan agar sebagian ruangan digunakan sebagai toko buku. Sionil langsung menyetujui usulan itu. Toko Buku Solidaridad pun resmi dibuka pada bulan Juni 1965. Saat itu, toko ini adalah toko buku keempat di kawasan Metro Manila. Dan Solidaridad Publishing House lahir tak lama sesudahnya.
Sebagai penulis, Sionil mengaku jika membuka toko buku adalah keputusan terbaik yang pernah dibuatnya. Melalui perantara tokonya, hingga kini ia jadi tetap terhubung kepada para penulis baru dan karyanya. Lebih dari itu, toko buku juga telah membuatnya terus-menerus dikelilingi buku, sebuah dunia yang sejak lama dicintainya.
Di toko bukunya ini, Sionil meniupkan ruh yang tak akan ditemui di toko buku lainnya. Ia menjadikan tokonya sebagai rumah bagi karya-karya sastra Filipina, mulai dari yang klasik hingga kontemporer. Di sini, pengunjung bisa menemui karya klasik seperti “Noli Me Tangere” (1887) karangan Jose Rizal, hingga membaca “Blue Angel, White Shadow” karya Charlson Ong. Tak seorangpun yang meragukan kalau Solidaridad adalah satu-satunya toko buku di Filipina yang paling banyak menjual karya penulis Pilipino.
Melalui Solidaridad, Siolin José ingin memberi kehidupan kepada “jiwa Filipina”. Sejak muda ia memang telah dikuntit kegelisahan. Orang Filipina, dalam penilaiannya, tidak lagi membaca para penulis mereka sendiri. Ia mengecam kenyataan tersebut sebagai telah melanggengkan kolonisasi pemikiran di negaranya.
Itu sebabnya, meskipun toko buku pada dasarnya adalah sebuah bisnis, namun Sionil sepertinya mengkurasi barang dagangannya tidak sebagai pengusaha, melainkan lebih sebagai penulis. Ia, misalnya, menolak untuk menjual buku-buku yang tak disukainya, meskipun buku itu laku di pasaran.
Semua buku yang dijual di Solidaridad memang harus dibaca dan diteliti Sionil terlebih dahulu. Jadi, meskipun mungkin Anda bisa menemukan sejumlah buku tak terduga di sini, namun bisa dipastikan Anda tak akan pernah menemukan novel "Twilight" di dalamnya. Untuk menghidupi jiwa Filipina, sejak awal ia memang berprinsip hanya akan memberi orang Filipina bacaan-bacaan terpilih.
Selain berisi karya-karya sastra dari para penulis Filipina, Sionil juga menyediakan ruang yang cukup besar bagi khazanah kesusastraan dunia, terutama para penulis Asia. Karya-karya penulis Asia Tenggara, Asia Selatan, Jepang, Korea dan Cina, mudah sekali kita jumpai di sini. Dan selain buku-buku sastra, secara selektif Solidaridad juga menyediakan buku-buku politik, sejarah, psikologi, sains dan kedokteran. Barangkali itu adalah cara lain agar orang-orang kampus tetap datang ke tokonya.
Tak heran, meskipun kecil, dengan misi yang diperjuangkan Sionil tadi, Solidaridad kemudian berkembang menjadi spot penting bagi para penulis dan juga dunia kepenulisan di Filipina. Apalagi, toko buku ini juga menjadi markas Philippine Center of International PEN (Poets and Playwrights, Essayists, Novelists), sebuah organisasi yang didirikan Sionil pada tahun 1957. Hingga kini, minimal sebulan sekali, para penulis, dramawan, penyair dan novelis, masih mengadakan pertemuan di Solidaridad, baik untuk berdiskusi maupun untuk meluncurkan buku.
Ketika saya mengunjungi toko ini, tak bisa disangkal ini memang tempat yang menyenangkan. Karya-karya terbaru dipajang di meja yang menghadap keluar di samping kiri dan kanan pintu masuk, sehingga bisa dilihat orang-orang yang lalu lalang di trotoar jalan. Karya-karya Sionil, yang jumlahnya lebih dari 30 buku, diletakkan tak jauh dari kasir.
Banyak foto, poster, lukisan, dan kutipan terpajang di rak, atau pada dinding-dinding yang tak tertutup rak. Saya segera jatuh hati pada kutipan Cicero yang dibingkai dan digantungkan pada sebuah rak. “Sebuah ruangan tanpa buku adalah ibarat tubuh tanpa jiwa,” ujarnya. Ah, siapa yang tak menyukai kutipan itu?!
Sebagai toko buku tua, yang kini telah berusia lebih dari setengah abad, Solidaridad juga banyak didatangi para kolektor dan sarjana asing untuk mencari buku-buku antik. Menurut cerita Sionil, banyak orang asing yang datang ke tokonya dan mengaku terkejut karena akhirnya bisa menemukan sejumlah buku yang telah lama dicari.
Namun, Sionil menolak konsep tentang "buku tua". Menurutnya, buku apapun, meskipun dicetak dua ribu tahun lalu, misalnya, jika belum pernah kita baca, harus dianggap sebagai buku baru. Itu sebabnya, menurutnya, tidak pernah ada yang namanya buku baru atau buku tua. Yang ada hanyalah buku yang sudah dibaca dan belum dibaca.
Sama seperti “bibliofili” lainnya, Sionil juga meyakini bahwa era perbukuan tak akan pernah bisa digantikan oleh teknologi digital. Orang boleh saja kian banyak yang berbelanja ebook, namun menurutnya toko buku konvensional akan terus ada. Sensasi memegang buku, bagaimanapun memang tak akan pernah bisa digantikan oleh gawai.
Sionil memang sangat mencintai buku, sama seperti ia mencintai profesinya sebagai penulis. Pada tahun 1968, ketika ia mendapat tawaran modal besar untuk membuka cabang di tempat lain, Sionil menolaknya. Ia tidak mau urusan bisnis toko buku akan memangkas waktunya untuk menulis, dan juga tak mau jatah waktu istrinya untuk mengasuh anak-anaknya jadi tersita untuk bisnis. Jadi, tawaran menarik itu dengan halus ditampiknya.
Mungkin semua cerita itulah yang telah menjadikan Solidaridad Book Shop banyak dibicarakan orang, dan kemudian bahkan dianggap sebagai “toko buku kecil terbaik di Asia”. Nyatanya, toko buku kecil itu memang punya jejak sejarah besar.

HANTU MÁRQUEZ

 


“Sesudah membaca ‘Love in the Time of Cholera’, seorang lelaki menulis surat cinta untuk perempuan yang ditaksirnya. Isinya pendek, dan sangat Márquez. ‘Satu-satunya penyesalanku saat sekarat nanti adalah ketika aku tak pernah mencintaimu. Sungguh, aku ingin menua bersamamu.’
Tapi surat itu tak pernah dikirimkannya. Dan perempuan itu tak pernah tahu, jika dirinya menjadi mimpi lelaki itu.
…”
Saya tak kunjung menyelesaikan cerita-cerita itu, kumpulan fragmen-fragmen kecil hasil pembauran ingatan yang telah mulai saya tulis sejak zaman mahasiswa. Menulis memang adalah proses pembauran ingatan. Dan ingatan itu bisa dipungut dari mana saja. Dari buku apik, dari film yang skripnya ditulis secara bertanggung jawab, dari lelehan air hujan di luar kaca jendela kereta api, atau dari sebuah pertemuan kecil di kedai kopi dengan orang-orang yang sebelumnya tak kita kenal.
Pertemuan dengan karya-karya Márquez termasuk salah satu yang meninggalkan ingatan panjang itu. Novelnya yang pertama saya baca adalah “One Hundred Years of Solitude”.
Waktu pertama kali membaca novel itu, terus terang saya hampir frustrasi. Ini novel yang mengguncang, bertenaga, tapi sekaligus juga menjengkelkan. Sumber kejengkelannya sepele saja: kita akan direpotkan oleh nama-nama enam generasi keluarga José Arcadio Buendia yang mirip satu sama lain. Nama-nama itu akan membuat pening setelah Anda melewati seratus lima puluh halaman pertama.
Coba bayangkan, José Arcadio Buendia punya tiga anak, Aureliano Buendia, José Arcadio dan Amaranta. Aureliano Buendia punya anak, salah satunya Aureliano José. José Arcadio punya anak, namanya Arcadio. Arcadio, cucu José Arcadio Buendia, punya tiga anak, yaitu Remedios, Aureliano Segundo, dan José Arcadio Segundo. Aureliano Segundo, anak kedua Arcadio, punya tiga anak, yaitu Renata Remedios, José Arcadio, dan Amaranta Ursula. Bayangkan, semakin jauh membaca, agar tak kehilangan jejak soal posisi generasional kita harus selalu kembali ke halaman pertama yang berisi silsilah keluarga José Arcadio Buendia, karena semakin banyak nama yang muncul secara bersamaan.
Itulah karya Gabriel García Márquez yang pertama saya baca.
Sebelum membaca novel itu, saya kebetulan sedang membaca risalah-risalah mengenai Taman Siswa dan sangat terkesan oleh sebuah karangan Ki Hadjar Dewantara yang terbit pada 1938. Dalam karangan mengenai pendidikan nasional dan azas-azas Taman Siswa itu, Ki Hadjar, mungkin dengan sedikit meminjam Tagore, menulis:
“Hidup kita adalah kutipan dari hidup orang Barat; suara kita adalah kumandang Eropa; kita ini yang seharusnya seorang intelek tidak boleh lebih daripada sebuah tas penuh keterangan-keterangan; dalam jiwa kita ada kekosongan, hingga kita tidak sanggup untuk meresapkan apa-apa yang indah dan bernilai.”
Saya adalah anak muda yang masih duduk di tahun-tahun awal kuliah dan memiliki kegairahan teramat sangat untuk mengetahui dan memahami apapun, waktu itu. Dan karangan itu berhasil mencuri kegelisahan saya.
Karenanya, ketika ketemu “One Hundred Years of Solitude”, sejak halaman pertama Márquez langsung menarik perhatian karena narasinya berhasil meletupkan kembali kegelisahan yang pertama kali diprovokasi Ki Hadjar tadi.
Marquez menulis,
“Bertahun-tahun kemudian, ketika Kolonel Aureliano Buendia menghadapi regu tembak, ia terkenang akan sebuah sore yang jauh, tatkala ia bersama ayahnya menyaksikan es untuk pertama kali. Pada waktu itu Macondo adalah sebuah desa dengan dua puluh rumah batu, berada di tepi sungai teramat jernih yang dasarnya dihuni oleh batu-batu berwarna putih, berkilauan dan besar-besar seperti telur-telur zaman purba. Dunia seakan baru saja diciptakan sehingga segala sesuatu belum mempunyai nama, dan untuk menyebut suatu benda, orang harus langsung menunjuknya.”
Bagi saya, waktu itu, cara Márquez membuka halaman pertama novelnya memiliki ikatan batin dengan cara Ki Hadjar merumuskan persoalan pendidikan nasional tahun 1938 itu, yang belakangan saya sebut sebagai “kekerabatan epistemik post-kolonial”.
Saya tidak ingat, apakah perkenalan dengan karya-karya Márquez mendahului perkenalan dengan karya-karya Jorge Luis Borges, atau sebaliknya. Tapi yang jelas, pada diri saya, ada tali yang mengikat dua narasi itu dengan sebuah puisi Borges.
“Terberai di kota-kota berjauhan
sendiri dan berlaksa
kita bermain sebagai Adam
(atau Hawa)
memberi nama segala.
Di lereng panjang malam hari
di tapal batas dini hari
kita mencari (masih kuingat) kata-kata
untuk bulan, untuk maut, untuk pagi”
Ketiga risalah tadi, merupakan tulisan-tulisan yang telah membentuk imajinasi awal saya mengenai “otonomi intelektual” dan “otentisitas”. Setiap orang yang merasa dirinya terpelajar harus terpanggil untuk menjadi Adam, atau Hawa, dengan berusaha “memberi nama segala”, dan tak gampang terikat kepada nama-nama yang telah terberi.
Selain “One Hundred Years of Solitude”, saya berkenalan dengan novel Márquez lainnya melalui sebuah film, “High Fidelity”. Ya, itu adalah filmnya John Cussack. Entah kenapa saya selalu menyukai untuk menonton semua “film brengsek” aktor yang satu ini.
Dalam film itu, Cussack membaca dan banyak menyebut novel “Love in the Time of Cholera”. Tentu saja, selain dari daftar pustaka buku-buku yang pernah dibaca, kita bisa menjadikan film sebagai referensi mencari buku bermutu. Saya juga melakukannya. Dari film “With Honour”, misalnya, saya mulai membaca Walt Whitman dan Emile Zola. Dari “The Unbearable Lightness of Being”, yang novel dan filmnya sama-sama membuat mabuk kepayang, saya belajar membaca Tolstoy.
Karya-karya Márquez mudah sekali meninggalkan jejak, sehingga sukar untuk dilupakan. Sebagai orang yang menikah, misalnya, saya kadang masih sering dibuat terguncang, ketika ia menulis bahwa hal terpenting dalam sebuah pernikahan bukanlah kebahagiaan, melainkan stabilitas. Ampuuunn...
Ya, itu terdengar seperti dakwaan yang mengeksekusi gairah. Sebab, kali lain dia juga menulis bahwa ketika seorang perempuan pada akhirnya memutuskan untuk tidur dengan seorang lelaki, jangankan tembok tebal, yang sudah pasti akan dirobohkannya, bahkan Tuhan pun tidak akan dicemaskannya.
Ah, setiap penulis apik, atau buku yang patut, memang mudah sekali menghantui pembacanya.

Jakarta, 13 Oktober 2017

Kamis, 09 Februari 2017

MEDIA DAN PERSEKUTUAN KAUM MAJIKAN


Oleh Tarli Nugroho
Institute for Policy Studies (IPS), Jakarta 

Pada 1921 organisasi itu lahir. Namanya “Ondernemersraad voor Nederlandsch-Indie”. Dalam terjemahan bahasa Indonesia yang digunakan masa itu, nama itu berarti “Dewan Majikan untuk Hindia Belanda”. Ya, organisasi ini adalah bentuk persekutuan kaum majikan. Meskipun didirikan di Belanda, anggotanya bukan hanya para kapitalis Belanda, namun para kapitalis besar Inggris, Amerika, Belgia, Jerman, Prancis, dan negara-negara Eropa lain.
Persekutuan kaum majikan ini bukan hanya bisa mendikte pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, namun juga bisa mengatur pemerintah Negeri Belanda. Itu menunjukkan betapa besarnya kekuasaan para majikan ini.
Sejak dulu, industri media memang telah jadi arena pertarungan kepentingan dari berbagai serikat dagang, baik asing maupun Bumiputera.
Seandainya kita hidup di Hindia Belanda sembilan puluh tahun yang lalu, niscaya kita tidak akan membaca Kompas, Media Indonesia, Jakarta Post, atau Koran Tempo, misalnya. Bacaan kita adalah “De Locomotief”, “Java Bode”, “Soerabajaasch Handelsblad”, “Nieuws van den Dag”, atau “AID de Preanger Bode”. 
Surat kabar-surat kabar ini adalah kepanjangan mulut dari serikat para majikan tadi. Sejak dulu, industri media memang telah jadi arena pertarungan kepentingan dari berbagai serikat dagang, baik asing maupun Bumiputera.
“AID de Preanger Bode”, misalnya, adalah juru bicaranya para majikan yang menguasai perkebunan teh, karet, dan kina. “Soerabajaasch Handelsblad”, adalah corongnya para majikan yang menguasai industri gula. Dan “Nieuws dan den Dag”, misalnya, adalah juru bicaranya para majikan yang menguasai sektor perdagangan.
Para tokoh pergerakan zaman itu menyebut surat kabar-surat kabar tadi sebagai corong imperialisme, yang kerjanya hanya menghasut untuk mengamankan kantong para majikannya. Ya, kepentingan mereka hanya mengamankan kantong saja, membuat perlindungan terhadap semua bentuk rongrongan yang bisa mengganggu “dividend” para tuan besar tadi.
Surat kabar-surat kabar itu bukan hanya galak terhadap kaum pergerakan, yang propaganda-propagandanya tentu saja sangat mengancam korporasi dan kepentingan para majikan tadi, melainkan juga galak terhadap pemerintah kolonial. Pejabat pemerintah yang tak cakap menyokong kepentingan mereka akan diserang habis-habisan.
... media adalah arena pertarungan kepentingan, dimana para majikan dan serikat dagang telah mengambil peran penting dalam memproduksi isu dan wacana.
Gubernur Jenderal de Graeff, misalnya, suatu kali pernah ditulis “Nieuws dan den Dag” sebagai “Ga weg, maak plats, Indie heeft krachtiger mannen noodig!”, yang berarti “Hengkanglah, enyahlah, Hindia membutuhkan orang-orang yang lebih bekerja keras!”
Apakah itu artinya de Graeff tak bisa kerja?
Tentu tidak. Itu artinya de Graeff kurang trengginas dalam menyokong dan mempertebal kantong para majikan tadi.


Bukan hanya memiliki surat-surat kabar di Hindia, mereka juga membangun dan menguasai berbagai lembaga penerangan, yang semuanya berjejaring dengan media-media di luar negeri, seperti “The New World” dan “Le Monde Nouveau”. Dengan sokongan industri media itu, para majikan mengamankan kepentingan dagangnya.
Itu sebabnya kenapa dulu Soekarno menerbitkan dan memimpin “Fikiran Ra’jat” serta “Soeloeh Indonesia Moeda”, dan Hatta bersama dengan Sjahrir menerbitkan “Daulat Ra’jat”. Pada masa yang lebih awal, Tirto Adisoerjo juga telah menerbitkan dan memimpin beberapa surat kabar dan majalah. Sejak dulu media adalah arena pertarungan kepentingan, dimana para majikan dan serikat dagang telah mengambil peran penting dalam memproduksi isu dan wacana.
Jadilah pembaca yang kritis dan cerdas, agar tak dimakan media-media kaum majikan.

Kamis, 01 Oktober 2015

KITA DAN AIDIT, HARI ITU



Hari itu, Minggu, 21 November 1965, hujan turun berderai-derai. Hari yang sendu, karena tak seorangpun menampakkan batang hidungnya waktu itu. Mungkin orang-orang sedang berteduh di rumahnya masing-masing, dan berpikir tak banyak hal berarti yang bisa dilakukan di bawah hujan semacam itu. Tapi tidak demikian halnya dengan serombongan lelaki berseragam loreng itu. Hujan tak membuat mereka surut berkeliaran di gang sempit itu. Mereka, Pasukan Siaga Brigif 4, setelah berhari-hari menyisir, akhirnya sampai di Gang Sidaredja, Sambeng, tak jauh dari Stasiun Solo Balapan tersebut.

Mereka tak pernah melepaskan pandangannya dari rumah lusuh milik seorang lelaki yang dipanggil Pak Kasim. Sudah berkali-kali mereka menyisir rumah itu, yang diduga menjadi tempat persembunyian seorang lelaki, namun hasilnya nihil. Anehnya, kacamata, radio dan tas yang diduga milik lelaki yang sedang dicari tadi ada di sana, sehingga mereka tak segera meninggalkan gang itu.

Setelah bertahan cukup lama, lelaki yang dipanggil Pak Kasim itupun akhirnya menyerah. Dia menunjukkan tempat persembunyian orang yang sedang dicari tadi: di balik lemari makan. Sejumlah lelaki berseragampun bersiaga.

Setelah mengambil nafas, Yasir, komandan Brigif 4, membuka lemari yang ditunjukkan itu. Untuk sesaat dia terdiam, sebelum kemudian memberikan sebuah hormat militer. Seorang lelaki berperawakan langsing keluar dari balik lemari.

"Apa Bapak ini Menko?" tanya Yasir.

"Ya, betul!" jawab lelaki dari balik lemari itu.

"Maaf, saya bertugas menjemput Bapak ke markas," terus Yasir.

Lelaki itu, yang menjabat Menteri Koordinator dan Wakil Ketua MPRS, menurut tanpa melawan. Sesampai di Lojigandrung, lelaki itu dipersilakan menuliskan pengalamannya sejak dari Jakarta hingga Solo. Begitulah prosedurnya.

Lelaki itu tak lain adalah Aidit. Hari itu Kolonel Yasir segera diperintahkan oleh atasannya untuk membawa tokoh penting tadi ke Semarang. Aidit dibawa dengan menggunakan sebuah Jeep. Yasir dan sopirnya duduk di depan, sementara Aidit duduk di belakang dengan pengawalan Letnan Prayitno. Di belakang Jeep menguntit sebuah mobil yang dikendarai Kapten Hartono, yang mengawal secara rapat.

Ketika Jeep sedang melaju, Letnan Prayitno memasang borgol ke tangan Aidit. Merasa jadi tawanan, Aidit memberontak. Ia tak terima diperlakukan sebagai tawanan. Karena terjadi keributan, iring-iringanpun terpaksa berhenti.

Yasir, yang geram dengan ulah tawanannya, akhirnya berkata dengan logat Banyumas kental, "Wes 'sembur' waelah! Setelah 'disembur', tinggal wae."

Begitulah.

Tak lama sesudahnya, Yasir datang melapor kepada Kolonel Widodo, Pangdam VII Diponegoro, yang kemudian segera meneruskan laporan itu kepada Mayjen Soeharto, yang waktu itu menjabat Menpangad. Soeharto meminta Yasir menemuinya di Gedung Agung, Yogyakarta, 24 November 1965. Menurut pengakuan Yasir, lama sesudah kejadian itu, ketika dilapori langsung kejadian tadi, Soeharto cuma diam saja. Ya, Cuma diam saja. Tak memberi tanggapan apapun.

Saya membaca cerita itu di Majalah Adil, No. 1/Th. 52, Oktober 1983, yang saya temukan di sebuah pojokan Kota Solo medio 2012 lalu. Setiap kali membaca cerita semacam itu, saya selalu murung. Itu adalah sejenis percampuran antara perasaan sedih, malu, marah, bingung, dan entah apalagi. Tapi saya kemudian lebih suka menyebutnya sebagai “murung”.

Saya selalu punya imajinasi kecil, bagaimana seandainya saya sendiri yang berada di pusaran zaman penuh cekcok itu? Apakah saya akan berposisi sama dengan pandangan saya hari ini?! Ataukah saya akan berada pada posisi yang berbeda, mungkin lebih baik, atau mungkin juga lebih buruk, siapa yang tahu?!


Bagi kita yang tak pernah mengalami jaman yang penuh percekcokan haibat semacam tadi, mengambil sikap apapun sepertinya memang mudah. Ya, mudah, karena ibarat buku, sejarah sudah sampai pada bab terakhirnya. Dan sebuah buku yang telah selesai ditulis memang mudah sekali disimpulkan...


Bagaimanakah saya pada hari itu ingin dan/atau akan dikenangkan oleh hari ini?! Bagaimanakah bayangan saya pada hari itu mengenai berbagai sudut pandang yang mungkin berkembang pada hari ini, termasuk kemungkinan bahwa posisi saya hari itu akan dilihat sebagai keliru, tidak tepat, dan bahkan tidak patut, yang akan menerbitkan bukannya kebanggaan pada masa lebih kemudian, melainkan justru rasa malu?! Bagaimana saya bisa mengetahui semua hal tadi pada hari itu?!

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu membuat saya murung.

Bagi kita yang tak pernah mengalami jaman yang penuh percekcokan haibat semacam tadi, mengambil sikap apapun sepertinya memang mudah. Ya, mudah, karena ibarat buku, sejarah sudah sampai pada bab terakhirnya. Dan sebuah buku yang telah selesai ditulis memang mudah sekali disimpulkan, untuk kemudian dinilai, apapun kesimpulan dan penilaian yang diambil.

Tapi coba bayangkan, bagaimana seandainya kita hidup dalam sebuah epos sejarah yang belum usai. Misalnya, kita hidup sejaman dengan Umar bin Khattab, ketika yang bersangkutan masih jadi bergajulan. Ah, imajinasi ini tiba-tiba saja lewat. Bagaimanakah kita akan menilai seorang Umar ketika yang bersangkutan berada pada tikungan hidupnya? Apakah kita akan menyambutnya, dengan memberi dukungan dan kedua tangan terbuka, karena menyadari bahwa setiap orang niscaya berubah; atau menjadi penghujatnya, sembari mengabarkan kepada dunia bahwa Umar hanyalah seorang bergajulan dan akan tetap demikian selamanya?! Bagaimana kita akan bersikap atau menarik kesimpulan dari sebuah sejarah yang masih berproses dan belum usai semacam itu?!


Seandainya kita hidup di tahun 1965, dan terlibat dalam semua percekcokan masa itu, kira-kira akan dimanakah posisi kita? Menjadi mereka yang dikejar-kejar, ataukah menjadi mereka yang mengejar-ngejar? 


Sejak di bangku sekolah menengah saya kadang membayangkan, sebagai muslim, jika hidup sejaman dengan Rasul, saya mungkin saja akan tergolong kepada mereka yang termasuk memusuhinya, bahkan mungkin menistakannya. Ya, kenapa tidak?! Apa yang menjamin saya, dan juga Anda, tak akan termasuk ke dalam golongan semacam itu?! Sebijak itukah kita, sehingga kita bisa mudah menerima begitu saja kebenaran-kebenaran baru yang tak terbayangkan sebelumnya dari seseorang yang hampir seluruh hidupnya kita saksikan, atau menerima tikungan-tikungan tajam hampir muskil dari kehidupan orang-orang yang juga kita kenal?!

Seandainya kita hidup di tahun 1965, dan terlibat dalam semua percekcokan masa itu, kira-kira akan dimanakah posisi kita? Menjadi mereka yang dikejar-kejar, ataukah menjadi mereka yang mengejar-ngejar? Kita mungkin saja menjadi mereka yang mengejar-ngejar, karena sebelumnya kita pernah jadi kelompok yang dikejar-kejar. Begitukah?! Akan sanggupkah kita bersikap jernih dan bijaksana dalam suasana persaingan dan pertarungan ideologi-politik yang menguras perasaan sebagaimana berlangsung pada dekade itu?

Ah, untungnya kita hidup pada hari ini, setelah epos-epos besar tadi telah liwat, yang masing-masing telah memberikan timbunan pengetahuan dan hikmat selama ribuan, ratusan, dan puluhan tahun, sehingga kita bisa lebih mudah untuk menilai dan bersikap atasnya.

Tapi, kadang saya bertanya-tanya, apakah epos-epos besar hanya terjadi di masa lalu?! Tidakkah sungai waktu yang sedang kita layari hari ini mungkin saja adalah sebuah epos besar juga bagi sesuatu hal, atau beberapa hal, untuk suatu masa yang lebih kemudian?!

Lalu pertanyaan yang membuat murung itupun akan kembali menguntit: sudah seberapa jernih dan bijaksana kita menimbang dan menilai jaman kita ini, kesekarangan ini? Sudah seberapa adil kita dalam melihat dan menimbang mereka yang saat ini berposisi berbeda, berseberangan, dan bahkan terlibat cekcok hebat dengan kita? Dengan cara bagaimana kita hendak menyudahi semua percekcokan hari ini? Dengan cara bagaimana kita akan dan hendak dilihat oleh masa tiga, atau empat generasi sesudah ini?

Membaca cerita kematian Aidit, dan keseluruhan tragedi masa itu, saya kadang berpikir bahwa mungkin saja kita sebenarnya tak sedang berada pada sungai sejarah yang mengalir. Seperti sungai yang kadang meluap, kita saat ini mungkin sedang berada dalam genangan dari luapan tadi, yang limpas pada 1965 itu. Genangan itu tak kunjung mengering, karena setiap kali mengering selalu mendapat limpasan baru, mungkin pada 1974, 1978, 1984, 1991, 1998 atau momen-momen sejarah lainnya yang membuat kita terus-menerus mencatat sejarah dengan memori traumatik.

Jadi, sementara sungai sejarah terus mengalir, kita tak pernah beranjak kemana-mana, karena masih berada dalam genangan yang sama, memutar secara berulang-ulang pirangan hitam berisi lagu rindu-dendam. Dan epos besar jaman ini barangkali adalah bagaimana mengalirkan kembali genangan itu kepada sungai sejarah. Mampukah kita?


 

Yogyakarta, 1 Oktober 2014

Rabu, 08 Oktober 2014

HAZAIRIN DAN DEMOKRASI DARI HONG KONG

























Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)

 

Namanya Hazairin (1906-1975). Sebuah perguruan tinggi terkemuka di Bengkulu kini mengabadikan namanya. Hazairin, yang lahir di Bukit Tinggi, 1906, adalah guru besar Hukum Adat dan Hukum Islam di Universitas Indonesia. Pada zamannya, bersama dengan Soepomo dan Mas Mukmin Djojodigoeno dari Universitas Gadjah Mada, ia adalah ahli hukum adat paling terkemuka. Pada awal Proklamasi, Hazairin pernah menjabat Bupati Sibolga (1946), lalu menjadi Residen Bengkulu (1950), sebelum kemudian diamanati jabatan Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo.

Berayahkan orang Bengkulu dan beribukan perempuan Minangkabau, Hazairin kemudian lebih dikenal sebagai seorang sarjana Minang terkemuka pada masanya. Dalam sejumlah seminar penting mengenai Minangkabau, seperti seminar legendaris “Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau” (1968), ketika para sarjana yang lebih kemudian, seperti Mochtar Naim, misalnya, masih ingusan, Hazairin telah menjadi tokoh senior, bersama dengan HAMKA, M. Nasroen, dan Soetan Haroen al Rasjid.

Saya membuka kembali file mengenai Hazairin setelah istilah “Demokrasi Pancasila” kembali disebut-sebut belakangan ini, ketika muncul cekcok politik terkait pemilihan kepala daerah, yaitu mengenai apakah sebaiknya kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) dipilih secara langsung ataukah cukup melalui DPRD. Cekcok itu telah menghidupkan kembali istilah yang telah lama mati, “Demokrasi Pancasila”.

Istilah “Demokrasi Pancasila” kembali dimunculkan sebagai identitas untuk merujuk model pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Secara sederhana, di kalangan mereka yang setuju dengan gagasan pemilihan secara tidak langsung, gagasan “Demokrasi Pancasila” dianggap sebagai gagasan mengenai demokrasi tidak langsung. Sementara, di kalangan mereka yang setuju dengan pemilihan secara langsung, istilah “Demokrasi Pancasila” dinilai secara peyoratif, bahkan hampir mirip comberan, karena diimajinasikan sebagai mewakili praktik politik rezim Orde Baru.





Benarkah demikian? Tepatkah dua anggapan itu?

Sepertinya, dua anggapan itu, yang bersifat klise dan stigmatik, sama-sama menunjukkan rendahnya mutu tradisi kesarjanaan di negeri kita. Baik yang klise maupun stigmatik sama-sama menunjukkan ciri betapa longgarnya standar kesarjanaan di Indonesia, karena keduanya sama-sama membangun pendiriannya bukan di atas penalaran yang metodik dan sistematis, melainkan sekadar berpijak pada ingatan dan stereotip.

Pandangan pertama, yang menganggap bahwa “Demokrasi Pancasila” adalah gagasan tentang demokrasi tidak langsung, bersifat klise, karena terlalu menyederhanakan persoalan dan dikemukakan hampir tanpa rujukan gagasan, kecuali kepada praktik yang pernah berlangsung di masa lalu. Istilah itu pada akhirnya lebih dikemukakan untuk menciptakan kesan stigmatik bahwa mereka yang berada pada posisi sebaliknya, dengan semua andaiannya, adalah “tidak Pancasila(is)”. Ini memang agak mirip dengan gaya Orde Baru dahulu.

Pandangan kedua, yang secara sembrono menyebut bahwa istilah “Demokrasi Pancasila” adalah ciptaan Orde Baru, yang dibuat untuk melegitimasi praktik politik totalitarian rezim tersebut, juga menunjukkan betapa cara pandang sarjana-sarjana kita pada umumnya masih bersifat stigmatik, dan bukannya analitik. Meskipun mereka yang memiliki anggapan ini merupakan kelompok yang sangat kritis, baik di masa lalu maupun masa kini, namun ironisnya modus berpikir mereka seringkali justru merepro modus berpikir dari rezim yang sering mereka kritik dan bahkan benci itu: stigmatik dan stereotipis.

Saya masih ingat bagaimana pada penghujung 1980-an terjadi kehebohan di Bandung terkait penjualan kaos oblong dan kalender bergambar arit. Ya, gambar arit. Pemerintah Orde Baru segera melarang penjualan kedua barang itu, karena keduanya memuat gambar yang dianggap dekat dengan simbol komunisme: palu-arit. Begitulah penalaran stigmatik.

Ironisnya, penalaran semacam itu juga yang pernah mendakwa Ahmad Dhani sebagai penyebar gagasan fasisme beberapa bulan silam, hanya karena yang bersangkutan memakai seragam Himmler dalam sebuah video klipnya. Padahal baju seragam itu, termasuk dengan berbagai simbol Perang Dunia II lainnya, telah menjadi produk fashion yang mendunia. Dan video klip yang dihebohkan itu bukanlah kali pertama Dhani menggunakan seragamnya tersebut.

Menghubungkan produk fashion dengan kampanye mengenai fasisme hanya mungkin lahir dari penalaran stigmatik, selain tentu saja bentuk serangan politik yang disengaja, karena kebetulan video Ahmad Dhani yang dipersoalkan itu adalah video klip kampanye politik dalam pemilihan presiden kemarin.

Dalam obrolan di lingkaran kecil kadang saya berkelakar: jangan-jangan, hanya karena Stalin kencing berdiri, maka semua orang yang kencing berdiri juga akan disebut Stalinis. Itu hanyalah contoh karikatural dari bagaimana menggelikannya cara berpikir stigmatik.

Kembali ke soal awal, menyebut bahwa “Demokrasi Pancasila” adalah ciptaan Orde Baru, dan bahkan menganggap bahwa konsep itu artinya tak lain adalah praktik tata pemerintahan sebagaimana yang berlangsung pada masa rezim tersebut, sepenuhnya merupakan produk pemikiran stigmatik. Dan pemikiran itu tentu saja keliru.

Persis di situ kita harus mengingat kembali Profesor Hazairin. Pada 27 hingga 30 Desember 1968, diadakan “Seminar Hukum Nasional II” yang diadakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) untuk membahas bagaimana konsep untuk menegakkan negara hukum di Indonesia. Para ahli hukum berkumpul untuk merumuskan konsep detail mengenai negara hukum, termasuk membicarakan sebuah topik yang disebut “Demokrasi Pancasila”. MPRS, melalui TAP MPRS XXXVII/1968 memang sudah menyinggung istilah itu. Namun, istilah itu tak diajukan sebagai konsep, sehingga tidak mengandung rumusan. Persis di situ perbincangan dalam seminar tersebut menjadi penting.

Hazairin, yang terlibat dalam seminar tersebut, pada 1969 menulis sebuah buku berjudul “Demokrasi Pancasila”. Dalam buku itu ia melakukan kritik terhadap sejumlah pendekatan yang berkembang pada masa itu yang mencoba melakukan konseptualisasi “Demokrasi Pancasila”. Melalui bukunya, Hazairin mencoba mengemukakan konsepnya sendiri. Secara teknis konsep yang dikemukakannya merupakan turunan dari sistem negara hukum sebagaimana yang ditetapkan setelah Proklamasi, dan secara filosofikal merupakan interpretasi filsafat hukum terhadap gagasan Pancasila.





Dalam buku itu, misalnya, Hazairin mengkritik penautan ide “Demokrasi Pancasila” kepada sila keempat Pancasila. Dalam penafsirannya, sila keempat memang mengandung rumusan mengenai gagasan demokrasi, namun Pancasila tidak bisa dipreteli kembali menjadi sila-sila penyokongnya. Artinya, gagasan “Demokrasi Pancasila” harus merujuk kepada kompleks-gagasan Pancasila secara utuh, bukannya kepada sila keempat secara terpisah. Hal demikian dianggapnya sebagai keliru secara metodik. Nah, uraian interpretif mengenai kompleks gagasan Pancasila itulah yang kemudian dipaparkan oleh bukunya. Tentu saja, itu dilakukan dengan sudut pandang filsafat hukum, sesuai bidang yang ditekuninya.

Selain Hazairin, sarjana kita yang terlibat membahas perumusan gagasan tersebut adalah Ismail Suny. Dibanding Hazairin yang lebih senior, nama Ismail Suny relatif masih cukup dikenal. Terkait dengan konseptualisasi “Demokrasi Pancasila”, Ismail Suny (1982) merangkumkannya menjadi tujuh prinsip, yaitu:

1. Rule of Law
2. Constitutionalism
3. Supremacy of the People’s Congress
4. Responsible Government
5. Democratic and Representative Government
6. Presidential Government
7. Parliamentary Control

Apakah yang dilakukan Hazairin dan Ismail Suny merupakan ikhtiar kesarjanaan untuk melegitimasi tata pemerintahan Orde Baru? Tentu saja itu tuduhan yang menggelikan.

Apa yang dilakukan Hazairin dan Ismail Suny adalah ikhtiar dari sebuah proyek kesarjanaan yang bisa kita sebut sebagai “mengilmukan Pancasila”, yang dasar-dasarnya telah dimulai oleh Notonagoro, terutama melalui karyanya, “Berita Pikiran Ilmiah tentang Kemungkinan Djalan Keluar dari Kesulitan mengenai Pantjasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia” (1957). Apa yang dilakukan oleh Notonagoro adalah sebuah kerja kesarjanaan untuk membawa perbincangan mengenai Pancasila keluar dari wilayah politik praktis dan memasuki arena baru: wilayah akademis. Sejak itulah berbagai kajian mengenai Pancasila berkembang. Selain “Demokrasi Pancasila”, kemudian juga lahir kajian “Ekonomi Pancasila”. Khusus mengenai kajian Ekonomi Pancasila bahkan sudah dimulai sejak 1965, jauh sebelum Mubyarto mulai membahasnya pada 1979. Profesor Ismail Suny termasuk salah satu elaborator awalnya, meski dia melakukannya dari sudut pandang ilmu hukum, dan bukan ekonomi.

Baik gagasan “Demokrasi Pancasila”, maupun gagasan “Ekonomi Pancasila” yang kemudian dihidupi oleh para sarjana terkemuka seperti Mubyarto, Hidajat Nataatmadja, M. Dawam Rahardjo dan Sri-Edi Swasono, adalah bagian dari kerja kesarjanaan untuk “mengilmukan Pancasila” itu tadi.

Apakah gagasan itu dilontarkan untuk melegitimasi rezim?

Gagasan Ekonomi Pancasila, yang tercatat pernah melahirkan polemik paling panjang dalam sejarah ilmu sosial di Indonesia, alih-alih merupakan legitimasi terhadap rezim, justru pertama kali dilontarkan sebagai kritik terhadap strategi pembangunan ekonomi pemerintah, selain sebagai kritik keilmuan terhadap ilmu ekonomi konvensional yang diimani oleh para teknokrat ekonomi. 






Memang, dengan kekuasaannya rezim kemudian bisa memanipulasi wacana tersebut. Dan berhasil. Setelah Mubyarto dan kawan-kawan diintimidasi untuk tak lagi menggunakan istilah itu di mimbar akademik, pelan-pelan wacana itu diproduksi ulang oleh pemerintah melalui Lemhanas. Pada awal 1990-an, wacana yang semula merupakan kritik terhadap pemerintah itupun kemudian berubah seolah menjadi label dari praktik kebijakan ekonomi pemerintah.

Hal yang sama juga terjadi pada gagasan Demokrasi Ekonomi. Setelah gagasan Ekonomi Pancasila “diistirahatkan” paksa, sejumlah ekonom kritis pada pertengahan 1980-an getol mengkritik kebijakan konglomerasi yang dilakukan pemerintah dengan mempopulerkan kembali gagasan Demokrasi Ekonomi. Apa ujungnya? Melalui tangan J.B. Sumarlin dan ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia), pemerintah kemudian mengeluarkan rumusan mengenai Demokrasi Ekonomi versi ISEI, yang isinya memberikan pembenaran terhadap praktik ekonomi konglomerasi.





Apa yang bisa kita catat dari soal-soal itu?

Persis di situlah seorang sarjana mestinya memposisikan dirinya tak ubahnya seorang rimbawan (forester). Meskipun seluruh sudut hutan kelihatan berwarna hijau, seorang rimbawan bisa membedakan antara satu pohon dengan pohon lainnya, satu tanaman dengan tanaman lainnya, termasuk semak-semaknya. Warna hijau sebuah hutan tak akan mengaburkan pandangan seorang rimbawan bahwa di balik warna itu terdapat berbagai spesies yang berlainan satu sama lain.

Begitu juga seharusnya seorang sarjana. Di hutan rimba gagasan, ia harus bisa memetakan pohon-pohon konsep, mengenali posisi tiap pohon konsep dalam kerajaan besar pohon gagasan, termasuk untuk menemu-kenali bentuk persilangan dari pohon-pohon konsep yang telah ada, dan bahkan mengenali spesies-spesies baru yang mungkin belum terpetakan. Dan itu tentu saja mensyaratkan kecermatan, selain pengetahuan yang sistematis dan luas.

Melakukan generalisasi bahwa semua wacana mengenai Pancasila yang lahir pada masa Orde Baru merupakan bagian dari perkakas rezim untuk melegitimasi kekuasaannya adalah sebuah kesimpulan sembrono. Ada banyak sekali produksi wacana mengenai Pancasila yang lahir dalam periode tiga dekade setelah kejatuhan Soekarno hingga kejatuhan Soeharto, dimana wacana-waana itu hadir dalam berbagai spektrum model interpretasi, baik yang serius, mendalam, hingga yang tak ubahnya sekadar pelumas bibir saja. Menunggalkan semua itu tak ada bedanya dengan menganggap bahwa semua tanaman yang berwarna hijau adalah serupa dan pasti berasal dari satu spesies. Betapa sembrononya kesimpulan itu.





Dalam sebuah karangannya, Taufik Abdullah pernah membahas bahwa salah satu sebab kenapa gagasan untuk mengilmukan Pancasila itu seolah melorot derajatnya dalam dunia akademik, tak lain adalah karena faktor Bardosono. Ketika Bardosono memimpin PSSI antara 1975 hingga 1977, ia memperkenalkan apa yang disebut “Sepakbola Pancasila”. Tentu saja, ide itu menjadi bahan tertawaan banyak kaum terdidik. Dan “Sepakbola Pancasila” kemudian telah menjadikan seluruh ikhtiar untuk mengilmukan Pancasila jadi terdengar seperti lelucon juga. Begitulah impak dari penalaran stigmatik.

Menyimak kenyataan begitu banyaknya sarjana kita hari ini yang tidak lagi mengetahui bahwa gagasan Demokrasi Pancasila pernah jadi proyek kesarjanaan Hazairin dan Ismail Suny, misalnya, tentu saja membuat miris. Itu semakin menunjukkan betapa rendahnya mutu tradisi kesarjanaan di Indonesia. Kealpaan itu hanya mungkin muncul dari absennya tradisi saling membaca dan membahas.

Apa yang celaka dari absennya kebiasaan saling membaca dan membahas itu?

Absennya kebiasaan untuk saling membaca dan membahas itulah yang telah menyuburkan penalaran stigmatik dalam dunia kesarjanaan kita. Tanpa kebiasaan saling membaca dan membahas, tradisi kesarjanaan kita hidup dengan daya jangkau ingatan yang pendek saja. Tak ada kerumitan analitikal dalam ingatan pendek semacam itu. Dan kondisi itu memang gampang memproduksi stigma.

Dalam kegaduhan politik hari ini, misalnya, orang gampang sekali menghakimi sebuah gagasan dari perilaku aktornya. Sebuah bentuk penalaran yang janggal. Betapa brengseknya semua gagasan jika begitu, karena kita selalu bisa menemukan anggota jamaah yang brengsek di belakang setiap rombongan pengusung ide, apapun idenya tersebut. Modus penilaian semacam itu lahir karena banyak orang umumnya enggan untuk memeriksa secara serius dan seksama anatomi gagasan yang hendak dinilai atau dikritiknya. Maka cara yang paling mudah untuk menjatuhkan gagasan yang tak disepakati adalah dengan meminjam modus berpikir stigmatik tadi. Apalagi, jika gagasan yang sedang disengketakan terkait dengan soal politik.

Jadi, jika kita hari ini menyaksikan para sarjana kita hanya sibuk berlomba memproduksi stigma dalam tulisannya, dan gagal melakukan problematisasi yang reflektif-mendalam, kita mengetahui sebabnya.

Daripada capek-capek meneruskan ikhtiar Hazairin dan Ismail Suny, memang lebih mudah mengimpor demokrasi dari Hong Kong. Bukan begitu, Pemirsa?




 

Yogyakarta, 3 Oktober 2014

Minggu, 05 Oktober 2014

POPULARITAS VERSUS INFRASTRUKTUR KEKUASAAN


Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat), Yogyakarta


Diskusi mengenai calon presiden yang menghangat sejak kurang lebih satu setengah tahun terakhir ini masih saja berkutat di soal popularitas dan elektabilitas. Sebagaimana telah dikeluhkan sejumlah sarjana dan pengamat, karena hanya berkutat di dua soal itu, demokrasi kita jadi minim memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Dan kontestasi popularitas yang tidak melibatkan pertarungan gagasan, agenda, dan program, pada akhirnya telah mereduksi demokrasi menjadi semacam ajang pencarian idola-politik saja.

Infrastruktur kekuasaan adalah perangkat yang menunjukkan seberapa jauh seorang tokoh politik menguasai simpul-simpul penting di lingkungan sosial, politik dan ekonomi yang bisa digunakannya sebagai kolega, alat penekan, alat penawar, serta alat lobi ketika yang bersangkutan sedang mengoperasikan kekuasaan pemerintahan.

Popularitas dan elektabilitas bisa saja mengantarkan seorang kandidat memenangi hari pemilihan. Namun, dalam proses politik selanjutnya, apakah yang bersangkutan akan bisa mengoperasikan kekuasaan pemerintahan atau tidak di rentang masa jabatannya, atau apakah dia bisa atau tidak mengerjakan agenda yang dititipkan publik kepadanya, tidak lagi tergantung kepada popularitasnya pada waktu kampanye dan pemilihan, melainkan pada penguasaannya atas hal lain, terutama penguasaan infrastruktur kekuasaan (power apparatus). Infrastruktur kekuasaan inilah yang sebetulnya akan menentukan posisi tawar seorang tokoh, atau kandidat, ketika berhadapan dengan kelompok kepentingan dalam proses perumusan kebijakan. Tanpa infrastruktur kekuasaan yang memadai, ia tak akan bisa mengoperasikan kekuasaan pemerintahan secara efektif seturut harapan publik yang dititipkan kepadanya.

Infrastruktur kekuasaan adalah perangkat yang menunjukkan seberapa jauh seorang tokoh politik menguasai simpul-simpul penting di lingkungan sosial, politik dan ekonomi yang bisa digunakannya sebagai kolega, alat penekan, alat penawar, serta alat lobi ketika yang bersangkutan sedang mengoperasikan kekuasaan pemerintahan. Infrastruktur kekuasaan hadir dalam bentuk jaringan sumber daya, dukungan politik, ekonomi, dan birokratik, yang kesemuanya bersifat organik dan formal. Secara umum, di alam demokrasi, infrastruktur kekuasaan terutama terlembagakan di dalam partai politik. Namun, seorang kandidat atau tokoh bisa juga menguasai infrastruktur kekuasaan di luar kelembagaan partai politik, misalnya melalui jejaring alumni perguruan tinggi, organisasi pergerakan, organisasi profesi, serta ikatan-ikatan keorganisasian lainnya, yang ketika ia memegang kekuasaan bisa dikonversi dan didayagunakan untuk membantu mengoperasikan kekuasaannya.


Padahal, seorang kandidat yang populer sekalipun, termasuk jika ia memiliki agenda dan program politik yang jelas, belum tentu bisa mengoperasikan kekuasaannya secara efektif jika yang bersangkutan tidak menguasai infrastruktur kekuasaan yang memadai.

Hanya saja, meskipun ada infrastruktur kekuasaan di luar kelembagaan partai politik, infrastruktur kekuasaan itu biasanya tidak digunakan secara langsung dan tiba-tiba untuk mengoperasikan kekuasaan. Infrastruktur tadi biasanya digunakan melalui kelembagaan partai politik juga. Tentunya bukan merupakan rahasia bahwa untuk menguasai infrastruktur kekuasaan yang terlembagakan di dalam partai politik, seorang tokoh memang harus memiliki modal infrastruktur kekuasaan lain yang telah disebut sebelumnya. Jadi, pada akhirnya, infrastruktur kekuasaan yang efektif digunakan untuk mengoperasikan kekuasaan pemerintahan adalah yang terlembagakan di dalam partai politik. Sebab, bagaimanapun partai politik merupakan miniatur kehidupan politik, sehingga ia memang menjadi basis perhitungan bagi infrastruktur kekuasaan pemerintahan.

Selain soal agenda dan program politik, soal infrastruktur kekuasaan ini tidak banyak diperhatikan dalam perbincangan politik di tanah air, terutama yang biasa ditampilkan di layar dan halaman media. Padahal, seorang kandidat yang populer sekalipun, termasuk jika ia memiliki agenda dan program politik yang jelas, belum tentu bisa mengoperasikan kekuasaannya secara efektif jika yang bersangkutan tidak menguasai infrastruktur kekuasaan yang memadai.


Demokrasi yang Efektif

Salah satu persoalan serius terkait pelembagaan demokrasi di era post-otoritarian saat ini adalah bagaimana mengefektifkan demokrasi. Bagaimanapun, demokrasi memang tidak otomatis menghasilkan pemerintahan yang bekerja untuk demos (rakyat). Apalagi jika pelembagaan demokrasi jauh dari efektif, akan membuatnya semakin berjarak dari kepentingan rakyat. Kita pernah mengalami masa demokrasi parlementer dengan puluhan partai, dan pasca-Reformasi kita hidup dalam sistem presidensial yang juga dengan puluhan (kini belasan) partai politik. Jumlah partai yang terlalu banyak ini telah membuat demokrasi jadi tidak efektif, karena kelompok kepentingan yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan juga jadi terlalu banyak.

Hadirnya gagasan Demokrasi Terpimpin dan Nasakom pada masa Soekarno dan dilakukannya fusi partai politik dan pemberlakuan asas tunggal pada masa Soeharto, di luar tuduhan stigmatik bahwa itu dilakukan untuk menegakkan otoritarianisme, sebenarnya bisa dibaca sebagai pilihan politik untuk mengefektifkan demokrasi. Hatta, yang sering diposisikan sebagai berseberangan dengan Soekarno terkait soal demokrasi, secara tegas menyebut bahwa gagasan Nasakom merupakan cara yang harus ditempuh untuk menghindari “free fight democracy”. Melalui Nasakom, demikian Hatta, maka kepentingan partai-partai politik yang jumlahnya puluhan coba diagregasikan, sehingga demokrasi tak menjadi arena pertempuran liar. Istilah free fight democracy, yang diperkenalkan Hatta, sepertinya mengadopsi istilah free fight capitalism yang telah diperkenalkan Soekarno lebih dahulu, dimana konsep yang terakhir terutama ditadaruskan untuk melegitimasi gagasan Ekonomi Terpimpin, sebuah gagasan yang juga turut disetujui Hatta.


Dukungan publik yang besar dalam pemilu memang tidak selalu bisa dikonversi untuk mengoperasikan kekuasaan secara efektif.

Namun, menyederhanakan jumlah partai politik, atau melakukan fusi ideologis sebagaimana yang pernah dilakukan pada masa lalu, bukanlah solusi untuk mengefektifkan demokrasi di masa kini, karena akan gampang dituduh menyalahi prinsip demokrasi dan bisa dicurigai sebagai hendak melembagakan oligarki. Persis di sinilah urgensi dan relevansi isu infrastruktur kekuasaan. Jika dan hanya jika calon presiden menguasai infrastruktur kekuasaan yang memadai, maka ia bisa efektif mengoperasikan kekuasaannya, atau dengan kata lain mengefektifkan demokrasi. Sebaliknya, tanpa infrastruktur kekuasaan yang memadai, kita akan selalu berhadapan dengan dilema free fight democracy. Bahkan, di level yang paling buruk, karena institusi politik semakin banyak menjadi kepanjangan tangan para pemodal, tanpa modal infrastruktur kekuasaan yang memadai, seorang calon presiden yang populis sekalipun akan mudah didikte oleh pasar.

Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana bisa popularitas dan dukungan publik yang besar dalam pemilu tidak bisa menjadi jaminan seorang kandidat atau tokoh bisa mengoperasikan kekuasaannya secara efektif?

Dukungan publik yang besar dalam pemilu memang tidak selalu bisa dikonversi untuk mengoperasikan kekuasaan secara efektif. Kasus kepemimpinan Jokowi-Basuki di DKI Jakarta merupakan contoh yang baik. Terlambatnya pengesahan APBD DKI tahun 2014, serta ditolaknya pengadaan truk sampah oleh DPRD DKI, menjadi contoh bahwa popularitas dan dukungan publik yang luas terhadap keduanya tidak menjamin mereka berada dalam posisi yang sangat kuat ketika harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik, dalam hal ini yang ada di DPRD.


... sekadar menjadi simpatisan politik saja tidak akan memberikan  perbedaan apapun, kecuali hanya di hari pemilihan.

Proses perumusan kebijakan secara teknis memang hanya melibatkan lembaga-lembaga kekuasaan formal, baik yang berada di wilayah politik maupun ekonomi. Posisi publik, seberapapun besar dan massifnya, hanya akan menempatkan mereka sebagai kelompok penekan (pressure group) saja. Tanpa penetrasi ke dalam lembaga-lembaga kekuasaan formal tadi, dukungan besar itu tidak bisa dikonversi menjadi infrastruktur kekuasaan.

Persis di sini publik harus menyadari bahwa sekadar menjadi simpatisan politik saja tidak akan memberikan  perbedaan apapun, kecuali hanya di hari pemilihan. Proses politik selanjutnya, dimana seorang pemimpin terpilih harus bernegosiasi dan bertanding dengan berbagai kepentingan dalam proses perumusan kebijakan, membutuhkan dukungan infrastruktur kekuasaan. Dan itu hanya bisa diperoleh melalui para partisipan, yaitu mereka yang terlibat di dalam institusi-institusi resmi pengambilan kebijakan, mulai dari lembaga politik, birokratik, dan sejenisnya. Para partisipan inilah yang bisa dijahit dan dikonversi menjadi infrastruktur kekuasaan. Dan hal yang sama tidak bisa terjadi pada dukungan para simpatisan.


Demokrasi Terbajak

Jika beberapa riset yang pernah dilakukan sejumlah lembaga survei menyebut bahwa jumlah swing voters (pemilih mengambang) dan golput merupakan penentu kekuatan perubahan, maka penilaian itu bernilai benar sejauh yang dimaksud sebagai perubahan itu sebatas yang terjadi di hari pemilihan. Kalau diperhatikan, angka golput dalam tiap Pemilu di Indonesia sejak Reformasi 1998 memang terus meningkat. Jika pada Pemilu 1999 angkanya hanya 10,21 persen, maka pada Pemilu 2004 dan 2009 masing-masing angkanya menjadi 23,34 persen dan 29,01 persen. Sedangkan, angka swing voters bisa dilihat dari fluktuasi perolehan suara partai-partai politik, yang angka dan konfigurasinya terus-menerus berubah. Jumlah swing voters ini berkisar antara 14 hingga 19 persen, jika dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam perolehan suara partai-partai politik sejak Pemilu 1999 hingga 2009.

Angka swing voters ini memang menjadi penentu perubahan, sekali lagi, jika yang dimaksud adalah perubahan di hari pemilihan. Pada Pemilu 2009 lalu, ketika suara Partai Golkar turun 8 persen, PDI-Perjuangan turun 4,5 persen, dan Partai Kebangkitan Bangsa turun 5,5 persen, pada saat yang bersamaan suara Partai Demokrat naik menjadi 14 persen. Pada Pemilu 2009, swing voters telah berhasil membuat Partai Demokrat menjadi pemenang Pemilu.

Tanpa infrastruktur kekuasaan yang kuat, seorang kandidat bisa sangat mudah dipaksa untuk mengerjakan agenda-agenda pemilik infrastruktur kekuasaan lain yang lebih kuat, meskipun mereka yang terakhir ini tidak pernah ikut Pemilu dan dipilih rakyat.

Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, karena kemenangan itu hanya ditentukan oleh para simpatisan saja, yang tak menjadi bagian organik dari kekuatan harian institusi politik dan ekonomi di tanah air, kemenangan itu tak bisa dikonversi oleh Partai Demokrat menjadi infrastruktur kekuasaan yang mampu menyokong mereka dalam menjalankan roda pemerintahan. Mereka masih harus menjalin berbagai koalisi yang kebanyakan tidak perlu, dan akhirnya memang tersandera dalam mengoperasikan kekuasaan pemerintahan secara efektif. Di luar faktor lemahnya kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana telah sering diulas selama ini, faktor penjelas yang mengena mengenai kenapa posisi Partai Demokrat tetap lemah meski memenangi Pemilu adalah bahwa kemenangan itu tak membuat infrastruktur kekuasaan mereka jadi lebih kuat. Kondisinya mirip dengan posisi PDI-Perjuangan pada Pemilu 1999. Meski bisa menjadi pemenang Pemilu dengan meraup suara hingga 33,75 persen, namun modal suara yang besar itu tak mampu mengantarkan Megawati ke kursi presiden, karena suara yang besar itu terbukti disumbang oleh swing voters, sekadar simpatisan, yang terbukti dalam Pemilu setelahnya mengalihkan dukungan politiknya ke partai lain.



Menghadapi pemilihan presiden 2014, para pemilih sebenarnya mudah saja untuk mengukur apakah para kandidat calon presiden yang bertarung memiliki kompetensi untuk merealisasikan janji dan programnya atau tidak, dengan melihat infrastruktur kekuasaan yang telah dibangun para kandidat. Jika mereka sudah cukup lama membangun infrastruktur kekuasaan, kita bisa menyebut bahwa kompetensi mereka jauh lebih baik daripada kandidat yang sekadar mengandalkan popularitas tapi belum apa-apa dalam menyiapkan infrastruktur kekuasaan. Tanpa infrastruktur kekuasaan yang kuat, seorang kandidat bisa sangat mudah dipaksa untuk mengerjakan agenda-agenda pemilik infrastruktur kekuasaan lain yang lebih kuat, meskipun mereka yang terakhir ini tidak pernah ikut Pemilu dan dipilih rakyat.

Jika yang terakhir itu kembali terjadi dalam Pemilu 2014 ini, maka demokrasi sesungguhnya kembali telah terbajak.


*) Tulisan ini dimuat di Tabloid The Politic No. 11/III, 04-17 April 2014, hal. 20.