Jumat, 10 Maret 2023

TEDAK SITEN









Oleh Tarli Nugroho

Dulu nenek sering bercerita, bahwa dalam acara selamatan Tedak Siten, ketika saya berumur 7 atau 8 bulan, barang yang saya ambil adalah kertas dengan pulpen. Saya tidak mengambil cincin, uang, cermin, kapas, serta benda-benda lainnya yang disediakan untuk dipilih.

Tedak Siten adalah upacara saat anak pertama kali diperkenankan menginjak tanah. Di tengah masyarakat desa yang masih memegang adat, anak memang baru diperkenankan untuk menapakan kakinya di atas tanah sesudah memasuki usia tertentu, ketika kakinya sudah cukup kuat untuk berdiri dan mulai belajar jalan.
Momen tersebut dianggap penting, sehingga dalam masyarakat Sunda dan Jawa momen itu dirayakan dengan sebuah upacara khusus, yang disebut Tedak Siten. Di desa saya, karena dodol merupakan menu utama dalam upacara, bahkan sebelum Si Anak ditetahkan ke atas tanah kakinya harus diinjakkan di atas dodol terlebih dahulu, upacara ini kemudian sering juga disebut sebagai “ndodol”.
Salah satu fragmen penting dalam upacara Tedak Siten ada kaitannya dengan prediksi masa depan anak. Pada fragmen ini, bayi yang akan ditetahkan kakinya akan dihadapkan kepada sejumlah barang untuk dipilih, di mana tiap-tiap barang dianggap mewakili simbol pekerjaan atau profesi tertentu. Secara tradisional, barang-barang yang disajikan biasanya adalah uang, cincin, alat tulis, cermin, padi dan kapas.
Di desa saya, barang-barang itu diikat/digantungkan dengan sejumlah hiasan kertas pada batang-batang kayu dari bambu yang ditancapkan pada sebutir kelapa hijau. Dalam kepercayaan masyarakat, konon jika anak mengambil cincin atau uang, maka anak tersebut di masa depan diperkirakan akan hidup bergelimang harta dan kemungkinan besar berprofesi sebagai pedagang. Jika yang diambilnya adalah padi atau kapas, anak itu diperkirakan akan jadi petani. Atau, jika yang diambil adalah buku, kertas, atau pensil, si anak dipercaya akan menjadi orang terpelajar atau menjadi priyayi.
Saya tidak tahu apakah prediksi saat upacara Tedak Siten memang benar-benar akurat, atau ini hanyalah kebetulan belaka. Yang jelas, sejak kecil—terutama sejak pertama kali bisa membaca—hidup saya memang tak pernah jauh dari buku. Pekerjaan saya tiap hari juga tidak pernah jauh-jauh dari buku.
Anak-anak saya, sayangnya tidak ada satupun yang pernah melewati upacara Tedak Siten. Mereka semua dibesarkan secara urban. Pilihan itu lahir bukan karena saya menolak tradisi, tetapi lebih karena saya melihat bahwa semua upacara itu ribet dan tidak praktis. Persis di situ, belakangan, sesudah dipikirkan kembali, kadang saya jadi merasa bersalah.

16 Agustus 2022

DUA TIKUNGAN WAJAH KEPOLISIAN















Oleh Tarli Nugroho

Secara global, ada dua momentum yang telah mendorong institusi kepolisian di seluruh dunia terperosok menjadi lembaga kuasi-militer berwajah otoriter.

Pertama, peristiwa 9/11 tahun 2001. Peristiwa tersebut memang telah mengubah wajah politik global selama dua dekade terakhir. Tak lama setelah peristiwa tersebut, pada 20 September 2001, Presiden AS George W. Bush, Jr. mendeklarasikan “perang terhadap teror” (war on terror). Bush telah menjadikan war on terror sebagai baju bagi berbagai kebijakan luar negeri AS. Dan AS tidak melakukannya sendirian, melainkan melibatkan semua sekutunya di dunia.
Kebijakan war on terror yang dikampanyekan AS ini telah melahirkan kerak yang tidak mudah dibersihkan berupa terseretnya lembaga kepolisian di seluruh dunia menjadi kuasi-militer secara serentak. Dengan dalih war on terror dan preemptive strike, aparat kepolisian kemudian dipersenjatai layaknya militer serta diperkenankan menerabas batas-batas privasi warga negara yang seharusnya mereka lindungi.
Semua orang yang diduga sebagai teroris, termasuk keluarga, serta orang-orang yang pernah kontak dengannya, tanpa kecuali menjadi obyek pengawasan polisi. Dalih pemberantasan terorisme telah menjadi tiket bagi lembaga kepolisian untuk bertindak sewenang-wenang terhadap hak-hak sipil.
Di Indonesia, ajakan Bush untuk memerangi terorisme ini telah disambut oleh pemerintah dengan pembentukan sejumlah lembaga baru kuasi-militer, seperti BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), serta Densus Anti Teror 88.
Dan momen kedua yang telah menyeret lembaga kepolisian ke jalan otoritarianisme adalah pandemi Covid-19. Kebijakan pembatasan, karantina, juga penguncian (lockdown) selama pandemi berlangsung, telah dimanfaatkan oleh rezim-rezim non-demokratis untuk melakukan pembatasan kebebasan sipil. Dengan menggunakan tangan polisi, rezim-rezim non-demokratis telah menarik mundur demokrasi di seluruh dunia.
Menurut data The Economist Intelligence Unit (EIU), pandemi Covid-19 memang telah membuat Indeks Demokrasi secara global merosot. Menurut IEU, sepanjang tahun 2020, yang merupakan tahun pertama terjadinya pandemi, skor rata-rata Indeks Demokrasi secara global turun menjadi 5,37 (dalam skala 0-10), yang merupakan skor terburuk sejak indeks tersebut pertama kali disusun pada 2006. Dari 167 negara yang disurvei, 116 di antaranya (hampir 70 persen) mengalami penurunan skor. Hanya 38 negara (22,6 persen) yang skornya mengalami perbaikan, sementara 13 lainnya skornya stagnan.
Menurut parameter yang disusun IEU, hampir separuh dari populasi dunia (49,4 persen) hidup di tengah sistem demokrasi, dan lebih dari sepertiga populasi hidup di bawah pemerintahan otoriter. Sesuai dengan indikator kemerosotan skor demokrasi secara global, jumlah negara yang masuk kategori rezim otoriter sepanjang tahun kemarin memang mengalami peningkatan, dari semula 54 (2019) menjadi 57.
Karena pandemi juga diperlakukan sebagai isu keamanan, kecenderungan-kecenderungan tadi telah menempatkan lembaga kepolisian pada posisi dengan kekuasaan sangat besar dalam mengatur warga sipil.
Butuh waktu untuk bisa membersihkan dua kerak sejarah tersebut.

Jakarta, 24 Agustus 2022

TRAGEDI NOL BUKU











Oleh Tarli Nugroho

Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, Aksara, anak saya, kian menunjukkan minatnya dalam membaca karya-karya sastra. Ia kerap bertanya mengenai buku sastra apa yang harus dibaca oleh anak-anak sepantarannya. Saya tentu saja senang melayani pertanyaan semacam itu.

Buku apapun, saya bilang, sebenarnya pantas untuk dibaca. Hanya saja, pada usianya, karya-karya yang tidak terlalu rumit dan panjang tentunya akan lebih enak dibaca dan lebih mudah dicerna. Saya kemudian merekomendasikan sejumlah buku kumpulan cerpen sebagai awalan, sebelum ia mulai terlibat dengan novel-novel panjang.
Saran itu diperhatikannya. Ia kemudian mulai membaca sendiri—atas dasar keinginannya, dan bukan atas dasar tugas sebagaimana yang sebelumnya saya berikan ketika ia masih sekolah dasar—sejumlah buku kumpulan cerpen, mulai dari antologi cerpen Amerika yang disusun Anton Kurnia, sebuah buku yang saya baca saat kuliah dulu, hingga majalah-majalah cerita pendek yang terbit pada dekade 1980-an hingga pertengahan 1990-an.
Selanjutnya, saya tidak tahu lagi apa yang dibacanya. Yang jelas, buku-buku yang dipegangnya tiap minggu dan hari terus-menerus berubah. Dan saya senang menyaksikan hal itu.
Membaca sastra, menurut saya, punya arti penting bagi tradisi literasi secara umum, yaitu tradisi baca-tulis dan apresiasi-teks, sesuatu yang menjadi urat nadi dunia keilmuan. Bagi anak-anak, karya sastra merupakan medium penting untuk menanamkan “ketagihan membaca”, di mana pada akhirnya mereka akan terangsang untuk membaca berbagai jenis karangan lainnya. Jika tradisi membaca sastra ini tak berkembang, maka akan putus jugalah semua rantai bacaan lainnya.
Kalau kita hari ini, misalnya, sering mengeluhkan hanya ada sedikit sekali sarjana di perguruan tinggi yang memiliki karya, berbeda dengan para sarjana di zaman lampau, maka kita bisa melacak sebab-sebabnya pada putusnya tradisi membaca sastra sejak usia dini tadi.
Selain itu, sastra juga punya hubungan erat dengan keterampilan berbahasa. Sama seperti halnya matematika, bahasa merupakan salah satu alat penalaran penting. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan dunia penalaran secara umum kita jika keterampilan berbahasa (dan juga matematika) anak-anak kita sangat rendah.
Lebih dari setengah abad lalu, tepatnya pada 1997, penyair Taufiq Ismail pernah merilis hasil penelitian mengenai jumlah buku sastra yang dibaca oleh siswa-siswa SMA di sejumlah negara. Dari survei terhadap lulusan SMA di 13 negara tersebut, ditemukan jika siswa-siswa SMA di Amerika Serikat membaca buku paling banyak jika dibandingkan teman-teman sebayanya di negara lain. Selama tiga tahun bersekolah, mereka rata-rata menyelesaikan 32 judul buku.
Sesudah Amerika, siswa SMA di Belanda menamatkan 30 judul buku, disusul oleh Perancis (20-30 judul buku), Jerman (22 judul buku), Jepang (15 judul buku), Swiss (15 judul buku), Kanada (13 judul buku), Rusia (12 judul buku), Brunei Darussalam (7 judul buku), Malaysia (6 judul buku), Singapura (6 judul buku), dan Thailand (5 judul buku).
Yang menarik adalah, dari survei tersebut siswa-siswa SMA di Indonesia ternyata tidak harus menamatkan satu judul bukupun untuk bisa lulus sekolah. Jadi, selama tiga tahun bersekolah, siswa-siswa kita hanya membaca nol judul!
Fakta tersebut tentu saja memprihatinkan. Sebab, jika kita bandingkan dengan pendidikan di masa kolonial, kualitas literasi pendidikan nasional kita bisa dikatakan lebih buruk. Sebagai perbandingan, siswa-siswa AMS (Algemene Middelbare School, kini sederajat dengan SMA) di masa Hindia Belanda bahkan masih membaca 25 judul buku sastra dalam tiga tahun. Artinya, pada zaman kolonial dulu kemampuan membaca siswa-siswa kita tak ada bedanya dengan kemampuan rekan-rekannya di Perancis, Belanda, Jepang, Rusia, atau Swiss.
Menurut Taufiq Ismail, bukan hanya dalam tradisi membaca kita tidak kalah dibandingkan dengan Eropa, tapi juga dalam tradisi menulis. Sebelum tahun 1950-an, siswa-siswa SMA kita masih diwajibkan menulis satu halaman karangan tiap minggu. Sehingga, dalam setahun mereka minimal menulis 36 karangan, atau menjadi 108 karangan selama tiga tahun bersekolah. Itu jumlah yang cukup banyak.
Celakanya, sesudah kita merdeka, saat kita sebenarnya punya kesempatan untuk membangun sistem pendidikan yang ideal, semua tradisi literasi itu justru runtuh. Menurut survei UNESCO, indeks tingkat membaca masyarakat kita hanya 0,001. Artinya, hanya ada satu orang dari 1.000 penduduk yang membaca buku secara serius.
Tragedi nol buku ini, yang telah membuat anak-anak kita tak harus menyelesaikan bacaan apapun saat mereka meninggalkan bangku sekolah menengah, seharusnya merisaukan kita. Itu sebabnya, saya senang sekali kalau melihat anak-anak asyik duduk terpukau oleh bacaannya.

21 Februari 2023