Jumat, 10 Maret 2023

BERNAS, KORAN YANG ENAM KALI GANTI NAMA









Oleh Tarli Nugroho

Saat saya awal kuliah di Yogya, ibu kos saya, yang juga membuka warung di depan rumahnya, berlangganan dua buah surat kabar, yaitu Kedaulatan Rakyat dan Bernas. Tiap hari, sebelum berangkat ke kampus, sembari sarapan saya selalu numpang baca koran di warungnya. Jika saya masuk pagi dan warungnya belum buka, saya membaca kedua koran itu pada siang atau sore harinya. Dua koran ini hampir merupakan bacaan wajib masyarakat Yogya. Di pojokan kampung, pos ronda, atau tempat-tempat nongkrong warga, salah satu dari dua koran ini selalu dipajang sebagai koran dinding.
Sebelum berhenti terbit pada 1 Maret 2018 silam, Harian Bernas bisa disebut sebagai bacaan kedua masyarakat Yogyakarta. Bacaan pertama orang Yogya tentu saja adalah Kedaulatan Rakyat, atau biasa disebut “KR”. Kedaulatan Rakyat adalah korannya orang Yogya. Bahkan, saking menyatunya orang Yogya dengan koran tersebut, mereka menyebut semua “koran” dengan kata “KR”. Misalnya, koran Kompas atau Jawa Pos, disebut sebagai “KR Kompas” dan “KR Jawa Pos”.
Pendek kata, KR sudah dianggap sebagai bagian dari budaya dan keseharian masyarakat Yogya. Sehingga, setiap koran baru, atau koran dari luar, akan selalu dianggap nomor dua. Ini juga terjadi pada Bernas. Padahal, koran ini sebenarnya telah terbit di Yogya sejak 15 November 1946. Artinya, umurnya tak berselisih jauh dari KR yang pertama kali terbit 27 September 1945.
Meskipun sejak 13 Agustus 1990 Bernas pernah berada di bawah naungan manajemen Indopersda, salah satu divisi Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang menaungi koran-koran daerah, namun bos Kompas, Jakob Oetama, juga tidak pernah menginginkan koran ini menjadi nomor satu, apalagi sampai membunuh KR. Bernas memang harus maju dan berkembang, tetapi mengingat hubungan baik antara Jakob dengan Wonohito—pendiri KR, pemimpin Kompas itu menginginkan Bernas mencari segmen pembaca yang berbeda dari KR. Itu sebabnya, Bernas kemudian membidik segmen pembaca kelas menengah ke atas serta sivitas akademika di kampus.















Pada dekade 1990-an, karena keberaniannya dalam mengulik berita dan menggali fakta, koran ini pernah menjadi bacaan favorit mahasiswa dan aktivis kampus. Banyak aktivis mahasiswa zaman itu yang nyambi menjadi wartawan Bernas. Salah satu yang menonjol adalah Rizal Mallarangeng. Ketika terjadi Perang Teluk 1991, Rizal pernah ikut menjadi rombongan perdamaian internasional ke Irak. Laporan-laporan pandangan mata yang ditulisnya dari Baghdad sempat membuat Bernas laku keras.
Keberanian Bernas dalam menulis berita pada masa itu juga diwakili oleh tragedi yang menimpa salah satu wartawannya, yaitu Fuad Muhammad Syafruddin, alias Udin. Pada tanggal 13 Agustus 1996, Udin dianiaya orang tak dikenal di depan rumahnya sendiri, di Dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis km 13. Tiga hari kemudian ia dinyatakan meninggal dunia. Kendati kasus kematiannya secara hukum tidak pernah menemukan jalan terang hingga kini, namun banyak orang melihat jika kematiannya ada kaitannya dengan berita-berita yang ditulisnya di Bernas.
Meski berumur tua, nama Bernas sebenarnya baru dipakai setelah 10 November 1991. Seperti yang sudah disinggung, Bernas memang merupakan koran tua yang terbit di Yogya. Ia telah terbit sejak tahun 1946. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, koran ini pernah berganti nama beberapa kali, sehingga banyak orang jadi tidak menyadari jejak panjang yang telah ditorehkan oleh koran ini.
Saat pertama kali terbit, 15 November 1946, koran ini bernama Nasional. Salah satu pendirinya adalah Soemanang, seorang tokoh pers nasional yang juga merupakan pendiri LKBN Antara. Nama Nasional terus digunakan hingga tahun 1966.
Pada tanggal 26 Maret 1965, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Penerangan No. 29/SK/M/65, yang isinya mewajibkan setiap surat kabar untuk berafiliasi dengan partai politik atau ormas anggota Front Nasional. Pada saat itu, Harian Nasional memilih bergabung dengan PNI (Partai Nasional Indonesia). Pilihan itu tidaklah kebetulan, karena Soemanang sendiri memang merupakan tokoh PNI.
Kebijakan afiliasi Harian Nasional kepada PNI ini kemudian membawa konsekuensi. Mengingat sejak tahun 1953 PNI telah memiliki koran nasional bernama Suluh Indonesia (Sulindo) di Jakarta, banyak sumber kemudian menyebut bahwa koran Nasional kemudian berubah menjadi Suluh Indonesia edisi Yogyakarta. Hingga akhir tahun 1960-an, koran-koran yang terbit di Indonesia memang lazim memiliki edisi nasional dan edisi daerah.
Tetapi dari arsip yang saya punya, hingga bulan September 1965, koran Nasional ternyata masih terbit menggunakan identitas aslinya. Artinya, koran Nasional tidak berganti nama menjadi Suluh Indonesia edisi Yogyakarta sebagaimana yang disebut oleh banyak sumber, termasuk oleh Ensiklopedia Pers Indonesia yang disusun oleh Dewan Pers.
Banyak referensi digital juga menyebutkan bahwa koran Suluh Indonesia berganti nama menjadi Suluh Marhaen pada tanggal 1 Juni 1965. Perubahan itu disebut telah diikuti juga oleh Suluh Indonesia edisi Yogya, yang berganti nama menjadi Suluh Marhaen edisi Yogyakarta. Namun, dari arsip yang saya miliki, hingga tanggal 28 Juli 1965, koran Suluh Indonesia masih terbit menggunakan nama yang sama. Sehingga, menurut saya, informasi-informasi mengenai perubahan-perubahan ini perlu diluruskan atau diperiksa kembali.
Saya menduga, koran Nasional hanya pernah berganti nama menjadi Suluh Marhaen edisi Yogyakarta saja, namun tidak pernah ganti nama menjadi Suluh Indonesia edisi Yogyakarta sebagaimana yang disebut oleh banyak sumber. Perubahan nama Harian Nasional menjadi Suluh Marhaen edisi Yogyakarta itu terjadi pada tahun 1966, seiring terbitnya peraturan-peraturan baru mengenai media massa pasca-tragedi 1965.
Koran Nasional sendiri memiliki catatan menarik terkait peristiwa tragis tersebut. Ketika peristiwa G-30-S meletus, koran Nasional diperintahkan untuk memuat pengumuman pembentukan dan susunan Dewan Revolusi. Namun, pemimpin redaksi dan seluruh stafnya menolak perintah tersebut. Akibatnya, kantor mereka di Jalan Tanjung 21, Yogyakarta, digeruduk oleh massa pro-komunis. Menghadapi tekanan tersebut, awak koran Nasional memilih untuk tidak terbit.
Peralihan dari rezim Demokrasi Terpimpin ke rezim Orde Baru ikut mempengaruhi nasib koran Nasional yang telah berganti nama menjadi Suluh Marhaen. Seiring tersingkirnya Presiden Soekarno dari kursi kekuasaannya, PNI, yang identik dengan Soekarno, juga ikut terkena imbasnya. Seluruh koran yang berafiliasi kepada PNI mengalami kesulitan, tak terkecuali Suluh Marhaen. Selain menghadapi tekanan dari pihak penguasa baru, seiring surutnya popularitas Bung Karno, koran Suluh Marhaen juga semakin ditinggalkan pembacanya. Jadilah kesulitan-kesulitan yang dialami menjadi berlipat-lipat.
Untungnya, melalui SK No. 01/MENPEN/1969, Departemen Penerangan kemudian mengeluarkan ketentuan yang menghapus kewajiban suratkabar berafiliasi dengan partai politik. Kebijakan itu segera digunakan oleh Suluh Marhaen edisi Yogyakarta untuk kembali berganti nama. Semula, mereka ingin kembali menggunakan nama “Nasional”. Namun, karena nama tersebut sudah terlanjur digunakan oleh sebuah koran yang terbit di Ambon, mereka kemudian menyiasatinya dengan menyelipkan kata “Berita” di depannya, sehingga menjadi “Berita Nasional”.
Jadi, perubahan nama dari koran Nasional menjadi Suluh Marhaen edisi Yogyakarta hanya berlangsung antara medio 1966 hingga 1969 saja. Sejak tahun 1969 hingga 1991, mereka terbit dengan nama Berita Nasional.
Kurang lebih setahun sejak Berita Nasional melakukan kerjasama dengan KKG, tepat pada Hari Pahlawan, 10 November 1991, koran itu kembali berganti nama menjadi “Bernas”. Nama Bernas ini punya dua makna. Pertama, Bernas bisa diartikan sebagai akronim dari “Berita Nasional”. Dan kedua, dalam bahasa Jawa, “bernas” sendiri berarti “mentes”, alias padat berisi.
Ternyata, perubahan nama dari Berita Nasional menjadi Bernas pada 1991 itu bukan menjadi perubahan nama terakhir kalinya. Sesudahnya, seiring pergantian manajemen, koran ini kembali berganti nama sebanyak dua kali.
Pada tanggal 29 Agustus 2004, seiring masuknya manajemen baru, koran ini berganti nama menjadi Bernas Jogja. Penerbitnya, yang semula PT Bernas, berubah menjadi PT Media Bernas Jogja. Semenjak berubah nama menjadi Bernas Jogja, sejak itu pula Bernas yang semula terbit 9 kolom mengubah penampilannya menjadi koran berukuran 7 kolom.
Perubahan terakhir koran cetak ini terjadi pada 10 Juli 2015. Lagi-lagi di bawah pemilik dan manajemen baru, koran ini kembali berganti nama menjadi Harian Bernas. Dengan membuang embel-embel “Jogja”, koran itu, menurut klaim para pengasuhnya, ingin menghilangkan kesan sebagai koran daerah.
Sayangnya, kurang dari tiga tahun sesudahnya, Harian Bernas harus berpamitan dari panggung media cetak. Pada bulan Februari 2018, manajemen koran tersebut mengumumkan bahwa Harian Bernas menghentikan edisi cetaknya terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018. Sesudahnya, mereka hanya akan hadir dalam bentuk media daring.
Hingga saat ini, Bernas barangkali adalah koran yang paling sering berganti nama. Sejak 1946 hingga 2018, koran ini tak kurang telah ganti nama sebanyak enam kali, mulai dari Nasional, Suluh Marhaen, Berita Nasional, Bernas, Bernas Jogja, hingga Harian Bernas.
Saat koran ini pamitan, sayang sekali saya tak sempat mendokumentasikannya. Tujuh tahun terakhir memang ada banyak hal yang terjadi di Jakarta yang telah menjauhkan saya dari Yogya. Aih... #AkuDanMedia
5 Agustus 2022

TEDAK SITEN









Oleh Tarli Nugroho

Dulu nenek sering bercerita, bahwa dalam acara selamatan Tedak Siten, ketika saya berumur 7 atau 8 bulan, barang yang saya ambil adalah kertas dengan pulpen. Saya tidak mengambil cincin, uang, cermin, kapas, serta benda-benda lainnya yang disediakan untuk dipilih.

Tedak Siten adalah upacara saat anak pertama kali diperkenankan menginjak tanah. Di tengah masyarakat desa yang masih memegang adat, anak memang baru diperkenankan untuk menapakan kakinya di atas tanah sesudah memasuki usia tertentu, ketika kakinya sudah cukup kuat untuk berdiri dan mulai belajar jalan.
Momen tersebut dianggap penting, sehingga dalam masyarakat Sunda dan Jawa momen itu dirayakan dengan sebuah upacara khusus, yang disebut Tedak Siten. Di desa saya, karena dodol merupakan menu utama dalam upacara, bahkan sebelum Si Anak ditetahkan ke atas tanah kakinya harus diinjakkan di atas dodol terlebih dahulu, upacara ini kemudian sering juga disebut sebagai “ndodol”.
Salah satu fragmen penting dalam upacara Tedak Siten ada kaitannya dengan prediksi masa depan anak. Pada fragmen ini, bayi yang akan ditetahkan kakinya akan dihadapkan kepada sejumlah barang untuk dipilih, di mana tiap-tiap barang dianggap mewakili simbol pekerjaan atau profesi tertentu. Secara tradisional, barang-barang yang disajikan biasanya adalah uang, cincin, alat tulis, cermin, padi dan kapas.
Di desa saya, barang-barang itu diikat/digantungkan dengan sejumlah hiasan kertas pada batang-batang kayu dari bambu yang ditancapkan pada sebutir kelapa hijau. Dalam kepercayaan masyarakat, konon jika anak mengambil cincin atau uang, maka anak tersebut di masa depan diperkirakan akan hidup bergelimang harta dan kemungkinan besar berprofesi sebagai pedagang. Jika yang diambilnya adalah padi atau kapas, anak itu diperkirakan akan jadi petani. Atau, jika yang diambil adalah buku, kertas, atau pensil, si anak dipercaya akan menjadi orang terpelajar atau menjadi priyayi.
Saya tidak tahu apakah prediksi saat upacara Tedak Siten memang benar-benar akurat, atau ini hanyalah kebetulan belaka. Yang jelas, sejak kecil—terutama sejak pertama kali bisa membaca—hidup saya memang tak pernah jauh dari buku. Pekerjaan saya tiap hari juga tidak pernah jauh-jauh dari buku.
Anak-anak saya, sayangnya tidak ada satupun yang pernah melewati upacara Tedak Siten. Mereka semua dibesarkan secara urban. Pilihan itu lahir bukan karena saya menolak tradisi, tetapi lebih karena saya melihat bahwa semua upacara itu ribet dan tidak praktis. Persis di situ, belakangan, sesudah dipikirkan kembali, kadang saya jadi merasa bersalah.

16 Agustus 2022

DUA TIKUNGAN WAJAH KEPOLISIAN















Oleh Tarli Nugroho

Secara global, ada dua momentum yang telah mendorong institusi kepolisian di seluruh dunia terperosok menjadi lembaga kuasi-militer berwajah otoriter.

Pertama, peristiwa 9/11 tahun 2001. Peristiwa tersebut memang telah mengubah wajah politik global selama dua dekade terakhir. Tak lama setelah peristiwa tersebut, pada 20 September 2001, Presiden AS George W. Bush, Jr. mendeklarasikan “perang terhadap teror” (war on terror). Bush telah menjadikan war on terror sebagai baju bagi berbagai kebijakan luar negeri AS. Dan AS tidak melakukannya sendirian, melainkan melibatkan semua sekutunya di dunia.
Kebijakan war on terror yang dikampanyekan AS ini telah melahirkan kerak yang tidak mudah dibersihkan berupa terseretnya lembaga kepolisian di seluruh dunia menjadi kuasi-militer secara serentak. Dengan dalih war on terror dan preemptive strike, aparat kepolisian kemudian dipersenjatai layaknya militer serta diperkenankan menerabas batas-batas privasi warga negara yang seharusnya mereka lindungi.
Semua orang yang diduga sebagai teroris, termasuk keluarga, serta orang-orang yang pernah kontak dengannya, tanpa kecuali menjadi obyek pengawasan polisi. Dalih pemberantasan terorisme telah menjadi tiket bagi lembaga kepolisian untuk bertindak sewenang-wenang terhadap hak-hak sipil.
Di Indonesia, ajakan Bush untuk memerangi terorisme ini telah disambut oleh pemerintah dengan pembentukan sejumlah lembaga baru kuasi-militer, seperti BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), serta Densus Anti Teror 88.
Dan momen kedua yang telah menyeret lembaga kepolisian ke jalan otoritarianisme adalah pandemi Covid-19. Kebijakan pembatasan, karantina, juga penguncian (lockdown) selama pandemi berlangsung, telah dimanfaatkan oleh rezim-rezim non-demokratis untuk melakukan pembatasan kebebasan sipil. Dengan menggunakan tangan polisi, rezim-rezim non-demokratis telah menarik mundur demokrasi di seluruh dunia.
Menurut data The Economist Intelligence Unit (EIU), pandemi Covid-19 memang telah membuat Indeks Demokrasi secara global merosot. Menurut IEU, sepanjang tahun 2020, yang merupakan tahun pertama terjadinya pandemi, skor rata-rata Indeks Demokrasi secara global turun menjadi 5,37 (dalam skala 0-10), yang merupakan skor terburuk sejak indeks tersebut pertama kali disusun pada 2006. Dari 167 negara yang disurvei, 116 di antaranya (hampir 70 persen) mengalami penurunan skor. Hanya 38 negara (22,6 persen) yang skornya mengalami perbaikan, sementara 13 lainnya skornya stagnan.
Menurut parameter yang disusun IEU, hampir separuh dari populasi dunia (49,4 persen) hidup di tengah sistem demokrasi, dan lebih dari sepertiga populasi hidup di bawah pemerintahan otoriter. Sesuai dengan indikator kemerosotan skor demokrasi secara global, jumlah negara yang masuk kategori rezim otoriter sepanjang tahun kemarin memang mengalami peningkatan, dari semula 54 (2019) menjadi 57.
Karena pandemi juga diperlakukan sebagai isu keamanan, kecenderungan-kecenderungan tadi telah menempatkan lembaga kepolisian pada posisi dengan kekuasaan sangat besar dalam mengatur warga sipil.
Butuh waktu untuk bisa membersihkan dua kerak sejarah tersebut.

Jakarta, 24 Agustus 2022

TRAGEDI NOL BUKU











Oleh Tarli Nugroho

Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, Aksara, anak saya, kian menunjukkan minatnya dalam membaca karya-karya sastra. Ia kerap bertanya mengenai buku sastra apa yang harus dibaca oleh anak-anak sepantarannya. Saya tentu saja senang melayani pertanyaan semacam itu.

Buku apapun, saya bilang, sebenarnya pantas untuk dibaca. Hanya saja, pada usianya, karya-karya yang tidak terlalu rumit dan panjang tentunya akan lebih enak dibaca dan lebih mudah dicerna. Saya kemudian merekomendasikan sejumlah buku kumpulan cerpen sebagai awalan, sebelum ia mulai terlibat dengan novel-novel panjang.
Saran itu diperhatikannya. Ia kemudian mulai membaca sendiri—atas dasar keinginannya, dan bukan atas dasar tugas sebagaimana yang sebelumnya saya berikan ketika ia masih sekolah dasar—sejumlah buku kumpulan cerpen, mulai dari antologi cerpen Amerika yang disusun Anton Kurnia, sebuah buku yang saya baca saat kuliah dulu, hingga majalah-majalah cerita pendek yang terbit pada dekade 1980-an hingga pertengahan 1990-an.
Selanjutnya, saya tidak tahu lagi apa yang dibacanya. Yang jelas, buku-buku yang dipegangnya tiap minggu dan hari terus-menerus berubah. Dan saya senang menyaksikan hal itu.
Membaca sastra, menurut saya, punya arti penting bagi tradisi literasi secara umum, yaitu tradisi baca-tulis dan apresiasi-teks, sesuatu yang menjadi urat nadi dunia keilmuan. Bagi anak-anak, karya sastra merupakan medium penting untuk menanamkan “ketagihan membaca”, di mana pada akhirnya mereka akan terangsang untuk membaca berbagai jenis karangan lainnya. Jika tradisi membaca sastra ini tak berkembang, maka akan putus jugalah semua rantai bacaan lainnya.
Kalau kita hari ini, misalnya, sering mengeluhkan hanya ada sedikit sekali sarjana di perguruan tinggi yang memiliki karya, berbeda dengan para sarjana di zaman lampau, maka kita bisa melacak sebab-sebabnya pada putusnya tradisi membaca sastra sejak usia dini tadi.
Selain itu, sastra juga punya hubungan erat dengan keterampilan berbahasa. Sama seperti halnya matematika, bahasa merupakan salah satu alat penalaran penting. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan dunia penalaran secara umum kita jika keterampilan berbahasa (dan juga matematika) anak-anak kita sangat rendah.
Lebih dari setengah abad lalu, tepatnya pada 1997, penyair Taufiq Ismail pernah merilis hasil penelitian mengenai jumlah buku sastra yang dibaca oleh siswa-siswa SMA di sejumlah negara. Dari survei terhadap lulusan SMA di 13 negara tersebut, ditemukan jika siswa-siswa SMA di Amerika Serikat membaca buku paling banyak jika dibandingkan teman-teman sebayanya di negara lain. Selama tiga tahun bersekolah, mereka rata-rata menyelesaikan 32 judul buku.
Sesudah Amerika, siswa SMA di Belanda menamatkan 30 judul buku, disusul oleh Perancis (20-30 judul buku), Jerman (22 judul buku), Jepang (15 judul buku), Swiss (15 judul buku), Kanada (13 judul buku), Rusia (12 judul buku), Brunei Darussalam (7 judul buku), Malaysia (6 judul buku), Singapura (6 judul buku), dan Thailand (5 judul buku).
Yang menarik adalah, dari survei tersebut siswa-siswa SMA di Indonesia ternyata tidak harus menamatkan satu judul bukupun untuk bisa lulus sekolah. Jadi, selama tiga tahun bersekolah, siswa-siswa kita hanya membaca nol judul!
Fakta tersebut tentu saja memprihatinkan. Sebab, jika kita bandingkan dengan pendidikan di masa kolonial, kualitas literasi pendidikan nasional kita bisa dikatakan lebih buruk. Sebagai perbandingan, siswa-siswa AMS (Algemene Middelbare School, kini sederajat dengan SMA) di masa Hindia Belanda bahkan masih membaca 25 judul buku sastra dalam tiga tahun. Artinya, pada zaman kolonial dulu kemampuan membaca siswa-siswa kita tak ada bedanya dengan kemampuan rekan-rekannya di Perancis, Belanda, Jepang, Rusia, atau Swiss.
Menurut Taufiq Ismail, bukan hanya dalam tradisi membaca kita tidak kalah dibandingkan dengan Eropa, tapi juga dalam tradisi menulis. Sebelum tahun 1950-an, siswa-siswa SMA kita masih diwajibkan menulis satu halaman karangan tiap minggu. Sehingga, dalam setahun mereka minimal menulis 36 karangan, atau menjadi 108 karangan selama tiga tahun bersekolah. Itu jumlah yang cukup banyak.
Celakanya, sesudah kita merdeka, saat kita sebenarnya punya kesempatan untuk membangun sistem pendidikan yang ideal, semua tradisi literasi itu justru runtuh. Menurut survei UNESCO, indeks tingkat membaca masyarakat kita hanya 0,001. Artinya, hanya ada satu orang dari 1.000 penduduk yang membaca buku secara serius.
Tragedi nol buku ini, yang telah membuat anak-anak kita tak harus menyelesaikan bacaan apapun saat mereka meninggalkan bangku sekolah menengah, seharusnya merisaukan kita. Itu sebabnya, saya senang sekali kalau melihat anak-anak asyik duduk terpukau oleh bacaannya.

21 Februari 2023

MENYOAL KEKUASAAN PARA BIROKRAT/TEKNOKRAT









Oleh Tarli Nugroho

Ramai-ramai berita mengenai harta kekayaan dan kepemilikan moge oleh Menteri Keuangan dan jajarannya, di luar soal kepatutan dan asal-usul perolehannya, kita mungkin akan terkejut jika mengulik betapa besarnya kekuasaan yang dikelola oleh para birokrat/teknokrat pemerintah itu. Kita sering membayangkan bahwa birokrasi itu seperti sekrup, atau lembaga yang sekadar menerima perintah, sebuah imajinasi inferior yang sebagian besarnya telah terbukti keliru.

Birokrasi, di dalam kehidupan politik dan pemerintahan sehari-hari, sangatlah superior. Peran sekretaris/sekretaris jenderal, di berbagai institusi pemerintahan, mulai dari tingkat desa hingga kementerian, misalnya, meski di atas kertas terlihat sebagai orang nomor sekian, namun dalam praktiknya bisa lebih berkuasa daripada pejabat publik yang dipilih langsung oleh masyarakat.
Masalahnya, meski di satu sisi mengelola kekuasaan yang sangat besar, namun di tengah bobroknya sistem hukum dan pengawasan, praktis kontrol yang bisa diberikan publik kepada mereka sangatlah minim. Berbeda dengan kontrol terhadap politisi, publik tidak bisa memberikan kontrol—apalagi ‘punishment’—apa-apa kepada birokrat/teknokrat yang menyelewengkan kekuasaannya, kecuali untuk soal-soal etis yang bersifat minor, sebagaimana kasus yang kini mencuat.
Lemahnya kontrol publik juga bisa kita lihat dari lemahnya sensitivitas masyarakat sipil terhadap isu-isu reformasi birokrasi. Kita, misalnya, langsung tanggap terhadap agenda perpanjangan masa jabatan presiden, atau isu tiga periode, namun tidak banyak mempersoalkan sejumlah teknokrat/birokrat yang sudah bercokol di kursi kekuasaannya untuk jangka waktu yang sangat lama. Sehingga muncul seloroh: rezim boleh datang silih berganti, namun para birokrat tadi bisa terus-menerus menggenggam kursi kekuasaannya tanpa rotasi. Padahal, baik politisi yang dipilih (elected representatives) maupun birokrat yang tidak dipilih langsung oleh publik (non-elected officials), keduanya sama-sama butuh dikontrol oleh logika sistem yang sama.
Selama ini isu-isu demokrasi yang kita diskusikan masih saja bertolak dari satu sudut pandang, yaitu bagaimana menjaga independensi birokrasi untuk mencegah terjadinya penyimpangan politik. Artinya, kebanyakan ilmuwan politik hanya melihat bahwa birokrasi adalah landasan bagi demokrasi—atau dalam bahasa lain sebagai penghalang bagi kembalinya otoritarianisme—dan tidak pernah dilihat sebaliknya. Memang benar, demokrasi yang sehat mensyaratkan independensi birokrasi. Namun, birokrasi yang terlalu mandiri juga jelas mendatangkan persoalan bagi demokrasi.
Jadi, menyimak kehangatan publik yang kini tengah ramai mempersoalkan kekayaan para birokrat di Kementerian Keuangan, kita mestinya mulai menyadari bahwa meski musim terus berganti dan iklim politik telah berubah, mamun sejarah kementerian ini hampir sepenuhnya bersifat monolitik. Sebagai contoh, dari 32 tahun kekuasaan Orde Baru, selama 30 tahun di antaranya jabatan bendahara negara Republik ini selalu dipegang oleh dosen-dosen dan alumni kampus kuning.
Bayangkan, selama tiga puluh tahun jabatan itu hanya berputar-putar di tangan empat orang dalam simpul satu fakultas dari sebuah perguruan tinggi saja. Kenyataan ini mestinya bisa menyorongkan sebuah imajinasi politik, bahwa yang bisa menimbun kekuasaan di negeri ini bukan hanya tentara/polisi dan politisi, tapi juga para teknokrat!
Bedanya, kalau tentara/polisi dan politisi sudah biasa dikontrol publik, tidak demikian halnya dengan para teknokrat. Satu kaki mereka yang masih berdiri di dunia universiter, kadang membuat banyak orang selalu melihat mereka sebagai orang-orang alim dan suci. Padahal, sebagai zoon politicon, mereka punya kecenderungan yang sama dengan para politisi lainnya.
Oya, mungkin ada yang akan mengajukan keberatan, bahwa itu kan gambaran di masa Orde Baru. Betulkah?
Jika Reformasi tahun 1998 dianggap sebagai milestone, maka hanya tujuh tahun pertama (hingga 2005) saja bangsa ini berani punya imajinasi berbeda dengan memilih para teknokrat non-kampus kuning untuk menduduki jabatan menteri keuangan. Selebihnya, artinya kurang lebih 18 tahun terakhir—dari 25 tahun usia Reformasi, jabatan itu tetap “dikembalikan” untuk dipegang oleh orang-orang dari kampus kuning.
Itupun, ini penting untuk dicatat, dari 18 tahun tersebut, 11 tahun di antaranya dipegang oleh satu orang saja, yaitu Sri Mulyani. Dalam catatan saya, sepanjang sejarah Republik ini, Sri Mulyani adalah menteri keuangan dengan periode dan durasi kekuasaan paling panjang.
Dari lama masa jabatan, Ali Wardhana memang tercatat berkuasa paling lama, yaitu 15 tahun. Namun, ia menjabat hanya di satu rezim saja selama 3 periode kabinet.
Sementara, jika menjabat hingga Oktober 2024 nanti, dari sisi durasi Sri Mulyani memang hanya menduduki kursi menteri keuangan selama kurang lebih 12 tahun 8 bulan saja. Namun, dari sisi periode kekuasaan, ia menduduki jabatan tersebut di dua rezim pemerintahan yang berbeda, yaitu rezim Presiden SBY dan Presiden Joko Widodo, dan di empat kabinet (mulai dari Kabinet Indonesia Bersatu, Kabinet Indonesia Bersatu II, Kabinet Kerja, hingga Kabinet Indonesia Maju).
Apa artinya?
Mungkin ada dua. Pertama, hanya Sri Mulyani adalah orang yang paling mumpuni untuk menduduki jabatan tersebut. Tidak ada orang Indonesia lainnya yang pantas menduduki jabatan itu.
Atau, kedua, imajinasi para pemimpin politik kita di sektor keuangan memang sangat sempit, sehingga mereka tidak mampu melihat kebutuhan lain di luar sosok Sri Mulyani.
Oya, sebelum Sri Mulyani, di masa lalu memang pernah ada dua menteri keuangan yang bertahan dalam empat kabinet, yaitu Mr. A.A. Maramis dan Soemarno. Namun, masa jabatan total mereka hanya kurang dari tiga tahun, dan mereka menjabat di era demokrasi parlementer yang bisa jatuh-bangun hanya dalam hitungan bulan.
Jadi, berhadapan dengan isu Rubicon dan Harley-Davidson, kita sebenarnya sedang melihat betapa ringkihnya publik dalam mengontrol kekuasaan para birokrat/teknokrat di pemerintahan.

Jakarta, 27 Februari 2023

Senin, 06 Maret 2023

SIONIL JOSÉ DAN TOKO BUKUNYA


Oleh Tarli Nugroho

Solidaridad adalah toko buku kecil yang didirikan dan dikelola oleh Francisco Sionil José, seorang sastrawan ternama Filipina. Sionil juga mestinya bukanlah nama asing bagi kita. Beberapa karyanya sejak lama telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti “Tokoh-tokoh Munafik” (1981)—yang diterjemahkan oleh Hartojo Andangdjaja, “Po-on” (1987), atau “Lelaki di Simpang Jalan” (1988).
Di negerinya, lelaki bertubuh subur itu sangat dihormati. Namanya selalu disebut setarikan nafas dengan Jose Rizal, Nick Joaquin, Paz Marquez, ataupun Gilda Cordero-Fernando dan rekan-rekan segenerasinya yang juga menjulang. Sebagai penulis, reputasi penerima Ramon Magsaysay tahun 1980 ini mendunia. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 20 bahasa. Sebagai catatan, selain menulis novel, cerpen, dan esai, Sionil juga menerjemahkan banyak sekali buku.
Sebelum mengunjungi toko buku ini, saya telah mendengar banyak cerita menarik mengenai Solidaridad Book Shop. Banyak tokoh dari berbagai negara, mulai dari pemimpin politik, pejabat tinggi pemerintah, dan tentu saja para penulis terkemuka, disebut pernah mengunjungi toko ini.
Suatu pagi, misalnya, Sionil baru saja membuka tokonya dan masih mengenakan celana pendek, ketika sebuah limousine Mercedes-Benz tiba-tiba berhenti di depan tokonya. Dari dalam kendaraan itu segera keluar Adam Malik. Saat itu ia masih menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia. Karena kiprah internasionalnya yang menonjol, Adam Malik cukup dikenal di luar negeri, termasuk di Filipina.
Sionil mengaku sangat tersanjung oleh kunjungan tersebut. Apalagi Adam Malik, yang belakangan naik menjadi Wakil Presiden Indonesia, mengatakan telah lama mendengar tentang toko buku miliknya, sehingga kemudian memutuskan untuk mampir.
Toko buku kecil ini juga menjadi langganan Ninoy Aquino, pejuang demokrasi Filipina. Bahkan, ketika Ninoy dipenjara oleh rezim Marcos, ujar Sionil, dia tak pernah berhenti mengumpulkan bacaan untuknya. Buku-buku itu akan diangkut ke penjara oleh Cory, istri Ninoy, untuk kemudian dipilihnya. Buku-buku yang tak dipilih akan dikembalikan lagi ke Solidaridad. Sionil berani mengklaim bahwa setengah dari koleksi perpustakaan Aquino berasal dari toko bukunya.



Meskipun pernah dikunjungi oleh tokoh-tokoh terkenal, termasuk oleh tiga orang pemenang Nobel Sastra, yaitu Wole Soyinka, Gunter Grass, dan Mario Vargas Llosa, pada kenyataannya toko buku ini telah lebih dulu dikenal orang sebelum dikunjungi oleh tokoh-tokoh tadi.
Sionil sendiri pada awalnya mungkin tak pernah membayangkan semua itu. Selepas dari pekerjannya yang membosankan sebagai petugas informasi di kantor Colombo Plan di Srilanka, Sionil, yang kini berusia 96 tahun, semula hanyalah ingin memiliki kantor penerbitan saja. Dengan memiliki penerbitan, ia membayangkan dirinya bisa terus menulis sekaligus memiliki kantor. Karena tabungannya cukup besar, atas saran mertuanya ia akhirnya membeli sebuah rumah di distrik Ermita, Manila.
Saran itu terbukti baik. Rumah yang terletak di Padre Faura Street, sebuah jalan yang kini terasa agak sempit itu, berada di pusat kota. Selain dikelilingi pusat perdagangan, jalan itu juga dekat dengan berbagai museum, kafe, galeri seni, dan pusat-pusat kebudayaan di Manila. Banyak yang menyebut kawasan itu mirip Montmartre di Paris, yang banyak digunakan oleh para seniman dan intelektual untuk berkumpul, mendirikan toko buku, dan menggelar pertemuan. Saya belum pernah ke Paris, tapi sepertinya setuju dengan penilaian tersebut.
Meskipun mimpinya hanyalah memiliki perusahaan penerbitan, namun karena rumah tua yang dibelinya agak terlalu besar, istrinya, Tessie, mengusulkan agar sebagian ruangan digunakan sebagai toko buku. Sionil langsung menyetujui usulan itu. Toko Buku Solidaridad pun resmi dibuka pada bulan Juni 1965. Saat itu, toko ini adalah toko buku keempat di kawasan Metro Manila. Dan Solidaridad Publishing House lahir tak lama sesudahnya.
Sebagai penulis, Sionil mengaku jika membuka toko buku adalah keputusan terbaik yang pernah dibuatnya. Melalui perantara tokonya, hingga kini ia jadi tetap terhubung kepada para penulis baru dan karyanya. Lebih dari itu, toko buku juga telah membuatnya terus-menerus dikelilingi buku, sebuah dunia yang sejak lama dicintainya.
Di toko bukunya ini, Sionil meniupkan ruh yang tak akan ditemui di toko buku lainnya. Ia menjadikan tokonya sebagai rumah bagi karya-karya sastra Filipina, mulai dari yang klasik hingga kontemporer. Di sini, pengunjung bisa menemui karya klasik seperti “Noli Me Tangere” (1887) karangan Jose Rizal, hingga membaca “Blue Angel, White Shadow” karya Charlson Ong. Tak seorangpun yang meragukan kalau Solidaridad adalah satu-satunya toko buku di Filipina yang paling banyak menjual karya penulis Pilipino.
Melalui Solidaridad, Siolin José ingin memberi kehidupan kepada “jiwa Filipina”. Sejak muda ia memang telah dikuntit kegelisahan. Orang Filipina, dalam penilaiannya, tidak lagi membaca para penulis mereka sendiri. Ia mengecam kenyataan tersebut sebagai telah melanggengkan kolonisasi pemikiran di negaranya.
Itu sebabnya, meskipun toko buku pada dasarnya adalah sebuah bisnis, namun Sionil sepertinya mengkurasi barang dagangannya tidak sebagai pengusaha, melainkan lebih sebagai penulis. Ia, misalnya, menolak untuk menjual buku-buku yang tak disukainya, meskipun buku itu laku di pasaran.
Semua buku yang dijual di Solidaridad memang harus dibaca dan diteliti Sionil terlebih dahulu. Jadi, meskipun mungkin Anda bisa menemukan sejumlah buku tak terduga di sini, namun bisa dipastikan Anda tak akan pernah menemukan novel "Twilight" di dalamnya. Untuk menghidupi jiwa Filipina, sejak awal ia memang berprinsip hanya akan memberi orang Filipina bacaan-bacaan terpilih.
Selain berisi karya-karya sastra dari para penulis Filipina, Sionil juga menyediakan ruang yang cukup besar bagi khazanah kesusastraan dunia, terutama para penulis Asia. Karya-karya penulis Asia Tenggara, Asia Selatan, Jepang, Korea dan Cina, mudah sekali kita jumpai di sini. Dan selain buku-buku sastra, secara selektif Solidaridad juga menyediakan buku-buku politik, sejarah, psikologi, sains dan kedokteran. Barangkali itu adalah cara lain agar orang-orang kampus tetap datang ke tokonya.
Tak heran, meskipun kecil, dengan misi yang diperjuangkan Sionil tadi, Solidaridad kemudian berkembang menjadi spot penting bagi para penulis dan juga dunia kepenulisan di Filipina. Apalagi, toko buku ini juga menjadi markas Philippine Center of International PEN (Poets and Playwrights, Essayists, Novelists), sebuah organisasi yang didirikan Sionil pada tahun 1957. Hingga kini, minimal sebulan sekali, para penulis, dramawan, penyair dan novelis, masih mengadakan pertemuan di Solidaridad, baik untuk berdiskusi maupun untuk meluncurkan buku.
Ketika saya mengunjungi toko ini, tak bisa disangkal ini memang tempat yang menyenangkan. Karya-karya terbaru dipajang di meja yang menghadap keluar di samping kiri dan kanan pintu masuk, sehingga bisa dilihat orang-orang yang lalu lalang di trotoar jalan. Karya-karya Sionil, yang jumlahnya lebih dari 30 buku, diletakkan tak jauh dari kasir.
Banyak foto, poster, lukisan, dan kutipan terpajang di rak, atau pada dinding-dinding yang tak tertutup rak. Saya segera jatuh hati pada kutipan Cicero yang dibingkai dan digantungkan pada sebuah rak. “Sebuah ruangan tanpa buku adalah ibarat tubuh tanpa jiwa,” ujarnya. Ah, siapa yang tak menyukai kutipan itu?!
Sebagai toko buku tua, yang kini telah berusia lebih dari setengah abad, Solidaridad juga banyak didatangi para kolektor dan sarjana asing untuk mencari buku-buku antik. Menurut cerita Sionil, banyak orang asing yang datang ke tokonya dan mengaku terkejut karena akhirnya bisa menemukan sejumlah buku yang telah lama dicari.
Namun, Sionil menolak konsep tentang "buku tua". Menurutnya, buku apapun, meskipun dicetak dua ribu tahun lalu, misalnya, jika belum pernah kita baca, harus dianggap sebagai buku baru. Itu sebabnya, menurutnya, tidak pernah ada yang namanya buku baru atau buku tua. Yang ada hanyalah buku yang sudah dibaca dan belum dibaca.
Sama seperti “bibliofili” lainnya, Sionil juga meyakini bahwa era perbukuan tak akan pernah bisa digantikan oleh teknologi digital. Orang boleh saja kian banyak yang berbelanja ebook, namun menurutnya toko buku konvensional akan terus ada. Sensasi memegang buku, bagaimanapun memang tak akan pernah bisa digantikan oleh gawai.
Sionil memang sangat mencintai buku, sama seperti ia mencintai profesinya sebagai penulis. Pada tahun 1968, ketika ia mendapat tawaran modal besar untuk membuka cabang di tempat lain, Sionil menolaknya. Ia tidak mau urusan bisnis toko buku akan memangkas waktunya untuk menulis, dan juga tak mau jatah waktu istrinya untuk mengasuh anak-anaknya jadi tersita untuk bisnis. Jadi, tawaran menarik itu dengan halus ditampiknya.
Mungkin semua cerita itulah yang telah menjadikan Solidaridad Book Shop banyak dibicarakan orang, dan kemudian bahkan dianggap sebagai “toko buku kecil terbaik di Asia”. Nyatanya, toko buku kecil itu memang punya jejak sejarah besar.

HANTU MÁRQUEZ

 


“Sesudah membaca ‘Love in the Time of Cholera’, seorang lelaki menulis surat cinta untuk perempuan yang ditaksirnya. Isinya pendek, dan sangat Márquez. ‘Satu-satunya penyesalanku saat sekarat nanti adalah ketika aku tak pernah mencintaimu. Sungguh, aku ingin menua bersamamu.’
Tapi surat itu tak pernah dikirimkannya. Dan perempuan itu tak pernah tahu, jika dirinya menjadi mimpi lelaki itu.
…”
Saya tak kunjung menyelesaikan cerita-cerita itu, kumpulan fragmen-fragmen kecil hasil pembauran ingatan yang telah mulai saya tulis sejak zaman mahasiswa. Menulis memang adalah proses pembauran ingatan. Dan ingatan itu bisa dipungut dari mana saja. Dari buku apik, dari film yang skripnya ditulis secara bertanggung jawab, dari lelehan air hujan di luar kaca jendela kereta api, atau dari sebuah pertemuan kecil di kedai kopi dengan orang-orang yang sebelumnya tak kita kenal.
Pertemuan dengan karya-karya Márquez termasuk salah satu yang meninggalkan ingatan panjang itu. Novelnya yang pertama saya baca adalah “One Hundred Years of Solitude”.
Waktu pertama kali membaca novel itu, terus terang saya hampir frustrasi. Ini novel yang mengguncang, bertenaga, tapi sekaligus juga menjengkelkan. Sumber kejengkelannya sepele saja: kita akan direpotkan oleh nama-nama enam generasi keluarga José Arcadio Buendia yang mirip satu sama lain. Nama-nama itu akan membuat pening setelah Anda melewati seratus lima puluh halaman pertama.
Coba bayangkan, José Arcadio Buendia punya tiga anak, Aureliano Buendia, José Arcadio dan Amaranta. Aureliano Buendia punya anak, salah satunya Aureliano José. José Arcadio punya anak, namanya Arcadio. Arcadio, cucu José Arcadio Buendia, punya tiga anak, yaitu Remedios, Aureliano Segundo, dan José Arcadio Segundo. Aureliano Segundo, anak kedua Arcadio, punya tiga anak, yaitu Renata Remedios, José Arcadio, dan Amaranta Ursula. Bayangkan, semakin jauh membaca, agar tak kehilangan jejak soal posisi generasional kita harus selalu kembali ke halaman pertama yang berisi silsilah keluarga José Arcadio Buendia, karena semakin banyak nama yang muncul secara bersamaan.
Itulah karya Gabriel García Márquez yang pertama saya baca.
Sebelum membaca novel itu, saya kebetulan sedang membaca risalah-risalah mengenai Taman Siswa dan sangat terkesan oleh sebuah karangan Ki Hadjar Dewantara yang terbit pada 1938. Dalam karangan mengenai pendidikan nasional dan azas-azas Taman Siswa itu, Ki Hadjar, mungkin dengan sedikit meminjam Tagore, menulis:
“Hidup kita adalah kutipan dari hidup orang Barat; suara kita adalah kumandang Eropa; kita ini yang seharusnya seorang intelek tidak boleh lebih daripada sebuah tas penuh keterangan-keterangan; dalam jiwa kita ada kekosongan, hingga kita tidak sanggup untuk meresapkan apa-apa yang indah dan bernilai.”
Saya adalah anak muda yang masih duduk di tahun-tahun awal kuliah dan memiliki kegairahan teramat sangat untuk mengetahui dan memahami apapun, waktu itu. Dan karangan itu berhasil mencuri kegelisahan saya.
Karenanya, ketika ketemu “One Hundred Years of Solitude”, sejak halaman pertama Márquez langsung menarik perhatian karena narasinya berhasil meletupkan kembali kegelisahan yang pertama kali diprovokasi Ki Hadjar tadi.
Marquez menulis,
“Bertahun-tahun kemudian, ketika Kolonel Aureliano Buendia menghadapi regu tembak, ia terkenang akan sebuah sore yang jauh, tatkala ia bersama ayahnya menyaksikan es untuk pertama kali. Pada waktu itu Macondo adalah sebuah desa dengan dua puluh rumah batu, berada di tepi sungai teramat jernih yang dasarnya dihuni oleh batu-batu berwarna putih, berkilauan dan besar-besar seperti telur-telur zaman purba. Dunia seakan baru saja diciptakan sehingga segala sesuatu belum mempunyai nama, dan untuk menyebut suatu benda, orang harus langsung menunjuknya.”
Bagi saya, waktu itu, cara Márquez membuka halaman pertama novelnya memiliki ikatan batin dengan cara Ki Hadjar merumuskan persoalan pendidikan nasional tahun 1938 itu, yang belakangan saya sebut sebagai “kekerabatan epistemik post-kolonial”.
Saya tidak ingat, apakah perkenalan dengan karya-karya Márquez mendahului perkenalan dengan karya-karya Jorge Luis Borges, atau sebaliknya. Tapi yang jelas, pada diri saya, ada tali yang mengikat dua narasi itu dengan sebuah puisi Borges.
“Terberai di kota-kota berjauhan
sendiri dan berlaksa
kita bermain sebagai Adam
(atau Hawa)
memberi nama segala.
Di lereng panjang malam hari
di tapal batas dini hari
kita mencari (masih kuingat) kata-kata
untuk bulan, untuk maut, untuk pagi”
Ketiga risalah tadi, merupakan tulisan-tulisan yang telah membentuk imajinasi awal saya mengenai “otonomi intelektual” dan “otentisitas”. Setiap orang yang merasa dirinya terpelajar harus terpanggil untuk menjadi Adam, atau Hawa, dengan berusaha “memberi nama segala”, dan tak gampang terikat kepada nama-nama yang telah terberi.
Selain “One Hundred Years of Solitude”, saya berkenalan dengan novel Márquez lainnya melalui sebuah film, “High Fidelity”. Ya, itu adalah filmnya John Cussack. Entah kenapa saya selalu menyukai untuk menonton semua “film brengsek” aktor yang satu ini.
Dalam film itu, Cussack membaca dan banyak menyebut novel “Love in the Time of Cholera”. Tentu saja, selain dari daftar pustaka buku-buku yang pernah dibaca, kita bisa menjadikan film sebagai referensi mencari buku bermutu. Saya juga melakukannya. Dari film “With Honour”, misalnya, saya mulai membaca Walt Whitman dan Emile Zola. Dari “The Unbearable Lightness of Being”, yang novel dan filmnya sama-sama membuat mabuk kepayang, saya belajar membaca Tolstoy.
Karya-karya Márquez mudah sekali meninggalkan jejak, sehingga sukar untuk dilupakan. Sebagai orang yang menikah, misalnya, saya kadang masih sering dibuat terguncang, ketika ia menulis bahwa hal terpenting dalam sebuah pernikahan bukanlah kebahagiaan, melainkan stabilitas. Ampuuunn...
Ya, itu terdengar seperti dakwaan yang mengeksekusi gairah. Sebab, kali lain dia juga menulis bahwa ketika seorang perempuan pada akhirnya memutuskan untuk tidur dengan seorang lelaki, jangankan tembok tebal, yang sudah pasti akan dirobohkannya, bahkan Tuhan pun tidak akan dicemaskannya.
Ah, setiap penulis apik, atau buku yang patut, memang mudah sekali menghantui pembacanya.

Jakarta, 13 Oktober 2017