Sabtu, 11 Maret 2023

BOBO DAN MIMPI YANG TERPELIHARA









Oleh Tarli Nugroho


Seberapa besar pengaruh bacaan pada hidup seseorang? Saya bisa menjawab: sangat besar!
Sebagai anak yang dibesarkan oleh dua kakek-nenek buta huruf, dilahirkan dari kedua orang tua yang juga tak mengenyam bangku sekolahan; bisa membaca, dan kemudian bisa berkelana di tengah belantara kata-kata, selalu saya anggap sebagai keajaiban. Itu sebabnya, sejak pertama kali bisa mengeja, saya bukan hanya takjub kepada kata-kata yang bertaburan di halaman-halaman buku, tapi juga takjub kepada bentuk fisik buku, koran, majalah, serta semua kertas bertulisan lainnya.
Alasannya sederhana. Jika kata-kata adalah keajaiban, maka keajaiban yang bisa ditenteng tentulah tak kalah menakjubkannya. Begitulah saya memandang buku, koran, majalah, serta semua kertas bertulisan lainnya, sejak hari itu, hari ketika nama Budi, serta Wati benar-benar bisa saya eja sendiri, tak sekadar menirukan suara dari mulut orang lain. Dan pandangan itu tak banyak berubah hingga kini.
Sayangnya, di tengah kampung nelayan miskin, tak banyak keajaiban yang bisa ditenteng-tenteng. Di sekolah, satu-satunya sumber bacaan yang tersedia hanyalah tumpukan buku pelajaran dan Majalah Suara Daerah yang ada di meja guru. Suara Daerah adalah majalah kecil seukuran Intisari yang diterbitkan PGRI Jawa Barat. Isinya, dalam penilaian saya ketika itu, adalah tulisan-tulisan membosankan dengan tata letak yang jauh dari menarik. Satu-satunya rubrik yang saya sukai hanyalah kumpulan lelucon pendek yang bertebaran mengisi ruang-ruang halaman yang kosong. Dan ruang-ruang kosong itu jumlahnya ternyata cukup banyak.
Saya sering membawa pulang majalah-majalah itu. Tanpa izin tentunya. Bukan karena saya nakal, tetapi karena saat itu saya masih sangat pemalu. Saya bahkan rela menahan kencing di kelas hingga anyang-anyangen hanya karena malu untuk meminta izin pergi ke kali. Bukti lainnya, majalah-majalah itu selalu saya kembalikan.
Sebagaimana halnya sekolah-sekolah kampung lainnya, tentu saja tak pernah ada yang namanya perpustakaan sekolah. Ah, jangan jauh-jauh perpustakaan, ruang kelas saya saja temboknya jebol di mana-mana, sehingga saat jam sekolah usai kelas-kelas itu bisa dimasuki oleh gerombolan kambing dan domba milik warga sekitar. Di ruang guru memang ada cukup banyak lemari. Tetapi saya tidak tahu apa isinya, dan enggan mencari tahu. Sebab, ketika itu, umumnya hanya ada dua jenis murid yang bisa dan biasa berurusan dengan ruang guru, yaitu murid nakal, serta murid yang suka cari perhatian. Dan saya tidak termasuk keduanya.
Namun, ketika dalam sebuah acara kerja bakti sekolah saya dan teman-teman diminta untuk membersihkan ruang guru, mungkin terjadi saat kelas 4, saya tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mencari tahu apa isi lemari di sana. Dengan otoritas yang diberikan, seluruh lemaripun saya geledah.
Ternyata ada banyak sekali buku di sana. Sebagian besarnya bahkan kelihatan belum pernah digunakan sama sekali. Tetapi, kecuali buku-buku pelajaran, serta bacaan-bacaan pendukung yang terlihat monoton, saya hanya menemukan sebuah buku saja yang pantas untuk disebut menarik. Buku itu bercerita tentang tiga detektif cilik Indonesia, Triona. Ceritanya mirip dengan serial Trio Detektif-nya Alfred Hitchcock, serta Lima Sekawan-nya Enid Blyton yang pernah saya baca. Buku itupun segera saya bawa pulang.
Berbeda dengan Majalah Suara Daerah, buku itu tak pernah saya kembalikan. Tepatnya, tak pernah kembali. Cerita karangan Dwianto Setyawan itu seingat saya sangat menarik. Mungkin karena setingnya lokal, jadi terasa begitu dekat. Saking senangnya ketemu buku itu, saya tak tahan untuk menceritakannya ke teman sebangku. Ternyata ia jadi penasaran dan minta dipinjami.
Meski cenderung rewel, saya tak pernah pelit dalam berbagi bacaan. Apalagi, buku itu sebenarnya milik sekolah. Konon, tak mau berbagi hasil kejahatan adalah kejahatan yang sebenar-benarnya. Akhirnya buku "hasil kejahatan" itupun saya pinjamkan. Masalahnya, sesudah selesai di teman sebangku tadi, buku itu tak pernah kembali, karena kemudian ada lagi yang meminjamnya. Lagi, dan lagi, sampai akhirnya saya tak tahu lagi siapa yang memegangnya.
Rasa takjub pada buku kian menjadi sesudah saya membaca Majalah Bobo No. 1/XVI, 16 April 1988. Itu adalah edisi khusus ulang tahun Bobo ke-15. Jika biasanya majalah itu terbit 34 halaman, maka pada edisi itu jumlah halamannya menjadi berlipat dua. Jika menengok kembali pengalaman hidup yang telah silam, saya bisa mengatakan, inilah majalah yang besar sekali pengaruhnya pada perjalanan hidup saya.
Di edisi khusus itu Bobo berbagi kecap dapur. Apa dan bagaimana proses pembuatan majalah itu dikupas habis dalam artikel sepanjang 4 halaman. Itulah pertama kalinya saya mengenal istilah ‘editor’, ‘rapat redaksi’, ‘dummy’, ‘pelat’, dan sejenisnya. Membayangkan proses penerbitan tersebut, terus terang memancing sebentuk kegairahan dalam diri saya. Tiba-tiba saya jadi begitu menginginkan bisa menjadi bagian dari semua itu. Saya ingin terlibat dalam memproduksi “keajaiban yang bisa ditenteng” semacam itu.
Jadi, jauh sebelum mengenal nama Adinegoro, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, B.M. Diah, atau Goenawan Mohamad, sejak membaca Bobo edisi khusus itu, saya mulai membayang-bayangkan diri menjadi jurnalis. Ini adalah profesi pertama yang saya ketahui paling dekat dengan kata-kata. Saya belum punya bayangan jika menulis bisa dilakukan oleh profesi lainnya.
Imajinasi menjadi jurnalis itu bukan hanya dilamunkan. Saya lalu mulai membuat koran sendiri dari lembaran-lembaran buku gambar. Logonya saya buat dengan spidol, kadang dengan huruf-huruf yang digunting dari koran bekas, sementara beritanya disusun dari guntingan berita di koran yang kemudian disusun ulang. Di kemudian hari saya baru menyadari jika perkenalan saya dengan praktik mengkliping sebenarnya dimulai dari pura-pura menjadi penerbit surat kabar tadi. Saya masih ingat nama-nama media yang pernah dibuat, yaitu Harian ‘Seputar Indonesia’, Majalah ‘WOW’, Harian ‘Aktual’, Majalah ‘Info’, Tabloid ‘Tegas’, Mingguan ‘Cakrawala’, dan masih banyak lainnya.

Nama beberapa media yang saya "terbitkan" saat SMP.
Buku mimpi ini masih terus saya simpan.
 

















Saat duduk di bangku SMP, teknik yang saya gunakan untuk membuat media juga mengalami peningkatan. Jika semula menggunakan kertas dari buku gambar, maka sejak SMP mulai dipakailah kertas HVS. Judul-judul berita juga dibuat dengan rugos, tak lagi dari guntingan koran. Sejak saat itu pula saya mulai belajar menulis esai dan membuat berita sendiri. Setelah jadi, masternya lalu saya fotokopi. Hasil fotokopian itulah yang kemudian dibagikan ke beberapa kawan dekat. Saat sedang membaca media-media fotokopian itu, saya selalu membayangkan sedang membaca media seperti Kompas, Tempo, atau Republika, dengan nama saya tercantum di boks redaksinya.
Saya masih sering terkekeh kalau mengingatnya. Betapa ganjilnya imajinasi semacam itu. Ya, bagi sebagian besar orang, aktivitas tadi mungkin dianggap lebih dekat pada keanehan daripada keajaiban. Tetapi, mau bagaimana lagi? Hal-hal aneh semacam itulah yang telah membuat masa kecil dan remaja saya penuh dengan kebahagiaan.
Saya ingat, ketika diterima kuliah di Universitas Gadjah Mada, tempat yang pertama kali saya kunjungi adalah kantor penerbitan mahasiswanya, dan barang pertama yang saya beli di toko buku adalah majalah mahasiswanya. Saya sama sekali tak pernah punya bayangan masuk BEM atau Senat. Bukan karena merasa tak layak, atau tidak tertarik pada politik kemahasiswaan, tetapi karena sejak lama saya sudah menunggu-menunggu kesempatan itu, yaitu masuk ke dunia penerbitan yang sebenar-benarnya. Memang, ketika SMP dan SMA ada majalah dinding di sekolah. Tetapi, itu bukanlah sebentuk keajaiban yang bisa ditenteng-tenteng sebagaimana imajinasi masa kecil saya tentang buku dan bacaan. Jadi, ketika akhirnya kesempatan itu datang, saya tak ingin menduakannya dengan hal lain. Saya hanya ingin bergiat di penerbitan kampus. Titik.
Makanya, ketika sesudah Ospek sejumlah mahasiswa senior datang ke kosan untuk membujuk agar saya masuk ke organisasi ekstra yang mereka ikuti, dengan terus terang saya sampaikan bahwa imajinasi saya di dunia universiter sepertinya akan tertambat hanya pada dunia penerbitan, bukan pada aktivitas lainnya. Meskipun belakangan saya tak meneruskan mimpi menjadi jurnalis tadi, toh pergeseran itupun sebenarnya tak pernah membuat dunia saya menjauh.
Jadi, kalau hari ini ada yang bertanya seberapa besar pengaruh bacaan pada hidup seseorang, ketika membuka lagi Majalah Bobo No. 1/XVI, saya tahu, pengaruhnya bisa sangat besar dan tak terbayangkan. Majalah ini, yang pertama kali dibaca saat kelas 4 sekolah dasar, adalah saksinya. Bacaan kanak-kanak ini telah banyak mempengaruhi kompas kehidupan saya. #AkuDanMedia

22 Januari 2021

Jumat, 10 Maret 2023

GARA-GARA BUKU PRAM, IA PERNAH DISIKSA TENTARA









Oleh Tarli Nugroho

Suatu siang saya diundang mampir ke salah satu rumah Pak Imam Yudotomo yang terletak di belakang Polda DIY, daerah Condong Catur, Yogyakarta. Rumah besar yang menghadap sawah itu terdiri dari beberapa bangunan.
Bangunan dua lantai di bagian belakang dijadikan kos-kosan ekslusif, dengan area parkir mobil dan motor cukup lapang di tengahnya, sementara bangunan paling depan, yang juga terdiri dari dua lantai dan dibagi menjadi beberapa ruangan, difungsikan sebagai kantor. Di rumah itulah Pak Imam biasa menjamu para tamunya. Di rumah itu pula dulu kawan saya, Rudi Casrudi Soedjono, tinggal sebagai penghuninya.
Pak Imam sendiri tidak meninggali rumah itu. Bersama dengan istrinya, mereka tinggal di daerah Janti, Banguntapan.
Meski dikenal sebagai aktivis kiri hingga hari tuanya, Pak Imam memang tergolong hidup berkecukupan. Kemakmuran itu, sebagaimana pernah diakuinya, terutama berasal dari istrinya yang berprofesi sebagai notaris.

Imam Yudotomo (kiri) sedang berbincang dengan
sahabatnya, M. Dawam Rahardjo
















“Sebagai aktivis, saya ini miskin. Tapi, karena istri saya notaris, ya, bisalah saya mentraktir mahasiswa atau aktivis-aktivis miskin lainnya untuk sesekali ngopi di Starbucks,” kelakarnya, suatu ketika.
Saat sampai di rumah di bilangan Condong Catur itu, saya melihat Pak Imam sudah datang dan tengah duduk berbincang dengan Mas Rudi dan seorang lelaki. Saya tidak kenal lelaki itu. Ia mengenakan kemeja putih bergaris. Perawakannya tidak terlalu tinggi. Di sela-sela kumisnya yang tipis, mulai tumbuh uban di sana-sini. Suara tawanya cukup lantang.
“Mas Tarli, kenalkan, ini kawan saya. Namanya Bambang Isti Nugroho. Kalau Anda kini bisa bebas mengkoleksi buku-buku Pram, maka Bung Isti ini dulu pernah merasakan bagaimana disiksa tentara hanya gara-gara menyimpan dan mengedarkan fotokopian buku-buku Pram,” ujar Pak Imam, memperkenalkan lelaki yang duduk di sampingnya.
Saya segera menyalami lelaki itu.
Meski baru pertama kali bertemu, nama Bambang Isti tidak sepenuhnya asing. Saya pertama kali mengetahui nama itu saat duduk di bangku sekolah menengah, melalui Majalah Tempo. Di beberapa edisi Tempo akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, berita mengenai Bambang Isti Nugroho memang pernah berseliweran ditulis. Namanya ketika itu selalu disebut setarikan nafas dengan nama Bonar Tigor Naipospos.

Bambang Isti Nugroho
























“Anda tahu, ada satu cerita yang selalu bisa membuat saya menangis sekaligus tertawa mengenai Bung Isti ini. Jadi, salah satu siksaan paling jahat dan menyakitkan waktu dia ditahan adalah jempol kakinya ditindihi kaki meja, lalu beberapa orang tentara duduk-duduk di atasnya sembari menginterogasi dirinya,” ujar Pak Imam.
Mukanya tiba-tiba menjadi keruh. Saya bisa membayangkan, betapa bengisnya siksaan itu.
“Namun, sesudah para tentara itu keluar ruangan, Bung Isti ini malah menari-nari sambil menyanyi, ‘tiidak sakit, tiidak sakit,…’” lanjut Pak Imam, kali ini sembari terkekeh. “Padahal, itu sakitnya pasti luar biasa sekali,” imbuhnya.
Bambang Isti Nugroho, yang duduk di samping Pak Imam, hanya tertawa kecut mendengar cerita itu.
Lelaki ini, sesudah saya mencari tahu kisahnya lebih jauh, memang liat luar biasa. Anak pensiunan tentara ini hanya lulusan SMP, tidak pernah menyelesaikan SMA-nya, namun bersama dengan dua orang temannya, Ons Untoro dan Panji Patah, ia bisa membesarkan sebuah kelompok studi yang isinya adalah para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Pada tahun 1980-an, Kelompok Studi Sosial Palagan cukup terkenal di Yogya.
Banyak intelektual Yogya, seperti Mochtar Mas’oed, Nasikun, Loekman Soetrisno, dan sejumlah nama lain, yang mengaku bangga pernah menghadiri diskusi-diskusi yang digelar oleh kelompok diskusi ini. Dan salah satu sumber kekaguman mereka terhadap kelompok ini adalah karena Kelompok Studi Sosial Palagan ternyata dipimpin dan digerakan salah satunya oleh seorang anak muda yang karena alasan ekonomi tidak sempat menyelesaikan SMA-nya, namun berhasil bisa menggerakan anggotanya yang merupakan para mahasiswa.
Sesudah ayahnya meninggal pada tahun 1977, Bambang Isti sempat terputus sekolahnya. Agar bisa meneruskan sekolahnya, ia harus bekerja sebagai tukang batu dan tukang cat tembok di siang hari. Ia memilih SMP Yayasan Usaha Buruh yang membuka kelas malam hari sebagai tempat melanjutkan pelajaran.
Pada tahun 1980, saat masih duduk di bangku SMP, ia melamar menjadi pesuruh di Laboratorium Analis Kimia Fisika Pusat, Universitas Gadjah Mada. Sesudah melalui testing, ia akhirnya diterima bekerja di sana.
Saat lulus SMP pada tahun 1981, Bambang Isti kemudian meneruskan pelajarannya di SMA YUB, juga kelas malam, agar siang harisnya bisa tetap bekerja mencari nafkah. Namun, karena asyik bergulat dengan dunia sastra dan kesenimanan, belum sempat lulus, ia kemudian memutuskan berhenti sekolah.
Lingkungan kerjanya, yaitu UGM, menurut pengakuan Bambang Isti, telah memperkenalkannya pada dunia pemikiran dan kesadaran sosial. Apalagi, tiap hari ia bergaul dengan intelektual kampus dan para mahasiswa.
Iapun semakin asyik dengan dunia kepenulisan. Ia menulis puisi, cerpen, kritik sastra, teater dan naskah drama anak. Sejak usia 17 tahun Bambang Isti sudah menulis naskah teater. Tak heran, pada tahun 1982, saat usianya belum genap 21 tahun, ia telah dipercaya menjadi redaktur sastra dan kebudayaan di Harian Masa Kini.
Ada banyak cerita dan kesaksian yang menunjukkan jika Bambang Isti pada masanya memang sangat disegani oleh kawan-kawannya, yang sebagian besar adalah mahasiswa UGM. Pengetahuannya mengenai kesusastraan dianggap sangat menonjol.
Kasus yang menjerat Bambang Isti mungkin agak sulit dibayangkan oleh generasi yang lahir sesudah Reformasi. Tak lama sesudah novel “Bumi Manusia” terbit pada bulan Agustus 1980, pemerintah Orde Baru melalui Surat Edaran Nomor 73106/Sekjen PDK/1980 tanggal 27 September 1980 segera menjadikan novel tersebut sebagai buku terlarang. Karena ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, seorang tahanan Pulau Buru, oleh pemerintah novel itu dituduh menyebarkan ideologi komunisme.
Karena dilarang, publik intelektual dan penikmat sastra terpaksa harus bergerilya dan kucing-kucingan dengan aparat agar bisa membaca karya tersebut. Sebab, siapapun yang ketahuan menyimpan, apalagi mendistribusikan karya tersebut, mereka bakal menghadapi tuduhan serius. Tuduhan itu pula yang telah menjerat Bambang Isti Nugroho dan beberapa kawannya. Gara-gara mengedarkan karya Pram, Bambang Isti divonis 8 tahun penjara
Buku ini, “Memperjuangkan Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia” (1991), merupakan pledoi yang disampaikan Bambang Isti Nugroho di hadapan Pengadilan Negeri Yogyakarta pada tanggal 16 Agustus 1989. Dalam kata pengantarnya, Kuntowijoyo tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sosok Bambang Isti Nugroho.
Gara-gara ditahan itu, Bambang Isti bukan hanya kehilangan kebebasannya. Ia juga jadi kehilangan seluruh isi perpustakan pribadinya.

1 Agustus 2022

BERNAS, KORAN YANG ENAM KALI GANTI NAMA









Oleh Tarli Nugroho

Saat saya awal kuliah di Yogya, ibu kos saya, yang juga membuka warung di depan rumahnya, berlangganan dua buah surat kabar, yaitu Kedaulatan Rakyat dan Bernas. Tiap hari, sebelum berangkat ke kampus, sembari sarapan saya selalu numpang baca koran di warungnya. Jika saya masuk pagi dan warungnya belum buka, saya membaca kedua koran itu pada siang atau sore harinya. Dua koran ini hampir merupakan bacaan wajib masyarakat Yogya. Di pojokan kampung, pos ronda, atau tempat-tempat nongkrong warga, salah satu dari dua koran ini selalu dipajang sebagai koran dinding.
Sebelum berhenti terbit pada 1 Maret 2018 silam, Harian Bernas bisa disebut sebagai bacaan kedua masyarakat Yogyakarta. Bacaan pertama orang Yogya tentu saja adalah Kedaulatan Rakyat, atau biasa disebut “KR”. Kedaulatan Rakyat adalah korannya orang Yogya. Bahkan, saking menyatunya orang Yogya dengan koran tersebut, mereka menyebut semua “koran” dengan kata “KR”. Misalnya, koran Kompas atau Jawa Pos, disebut sebagai “KR Kompas” dan “KR Jawa Pos”.
Pendek kata, KR sudah dianggap sebagai bagian dari budaya dan keseharian masyarakat Yogya. Sehingga, setiap koran baru, atau koran dari luar, akan selalu dianggap nomor dua. Ini juga terjadi pada Bernas. Padahal, koran ini sebenarnya telah terbit di Yogya sejak 15 November 1946. Artinya, umurnya tak berselisih jauh dari KR yang pertama kali terbit 27 September 1945.
Meskipun sejak 13 Agustus 1990 Bernas pernah berada di bawah naungan manajemen Indopersda, salah satu divisi Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang menaungi koran-koran daerah, namun bos Kompas, Jakob Oetama, juga tidak pernah menginginkan koran ini menjadi nomor satu, apalagi sampai membunuh KR. Bernas memang harus maju dan berkembang, tetapi mengingat hubungan baik antara Jakob dengan Wonohito—pendiri KR, pemimpin Kompas itu menginginkan Bernas mencari segmen pembaca yang berbeda dari KR. Itu sebabnya, Bernas kemudian membidik segmen pembaca kelas menengah ke atas serta sivitas akademika di kampus.















Pada dekade 1990-an, karena keberaniannya dalam mengulik berita dan menggali fakta, koran ini pernah menjadi bacaan favorit mahasiswa dan aktivis kampus. Banyak aktivis mahasiswa zaman itu yang nyambi menjadi wartawan Bernas. Salah satu yang menonjol adalah Rizal Mallarangeng. Ketika terjadi Perang Teluk 1991, Rizal pernah ikut menjadi rombongan perdamaian internasional ke Irak. Laporan-laporan pandangan mata yang ditulisnya dari Baghdad sempat membuat Bernas laku keras.
Keberanian Bernas dalam menulis berita pada masa itu juga diwakili oleh tragedi yang menimpa salah satu wartawannya, yaitu Fuad Muhammad Syafruddin, alias Udin. Pada tanggal 13 Agustus 1996, Udin dianiaya orang tak dikenal di depan rumahnya sendiri, di Dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis km 13. Tiga hari kemudian ia dinyatakan meninggal dunia. Kendati kasus kematiannya secara hukum tidak pernah menemukan jalan terang hingga kini, namun banyak orang melihat jika kematiannya ada kaitannya dengan berita-berita yang ditulisnya di Bernas.
Meski berumur tua, nama Bernas sebenarnya baru dipakai setelah 10 November 1991. Seperti yang sudah disinggung, Bernas memang merupakan koran tua yang terbit di Yogya. Ia telah terbit sejak tahun 1946. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, koran ini pernah berganti nama beberapa kali, sehingga banyak orang jadi tidak menyadari jejak panjang yang telah ditorehkan oleh koran ini.
Saat pertama kali terbit, 15 November 1946, koran ini bernama Nasional. Salah satu pendirinya adalah Soemanang, seorang tokoh pers nasional yang juga merupakan pendiri LKBN Antara. Nama Nasional terus digunakan hingga tahun 1966.
Pada tanggal 26 Maret 1965, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Penerangan No. 29/SK/M/65, yang isinya mewajibkan setiap surat kabar untuk berafiliasi dengan partai politik atau ormas anggota Front Nasional. Pada saat itu, Harian Nasional memilih bergabung dengan PNI (Partai Nasional Indonesia). Pilihan itu tidaklah kebetulan, karena Soemanang sendiri memang merupakan tokoh PNI.
Kebijakan afiliasi Harian Nasional kepada PNI ini kemudian membawa konsekuensi. Mengingat sejak tahun 1953 PNI telah memiliki koran nasional bernama Suluh Indonesia (Sulindo) di Jakarta, banyak sumber kemudian menyebut bahwa koran Nasional kemudian berubah menjadi Suluh Indonesia edisi Yogyakarta. Hingga akhir tahun 1960-an, koran-koran yang terbit di Indonesia memang lazim memiliki edisi nasional dan edisi daerah.
Tetapi dari arsip yang saya punya, hingga bulan September 1965, koran Nasional ternyata masih terbit menggunakan identitas aslinya. Artinya, koran Nasional tidak berganti nama menjadi Suluh Indonesia edisi Yogyakarta sebagaimana yang disebut oleh banyak sumber, termasuk oleh Ensiklopedia Pers Indonesia yang disusun oleh Dewan Pers.
Banyak referensi digital juga menyebutkan bahwa koran Suluh Indonesia berganti nama menjadi Suluh Marhaen pada tanggal 1 Juni 1965. Perubahan itu disebut telah diikuti juga oleh Suluh Indonesia edisi Yogya, yang berganti nama menjadi Suluh Marhaen edisi Yogyakarta. Namun, dari arsip yang saya miliki, hingga tanggal 28 Juli 1965, koran Suluh Indonesia masih terbit menggunakan nama yang sama. Sehingga, menurut saya, informasi-informasi mengenai perubahan-perubahan ini perlu diluruskan atau diperiksa kembali.
Saya menduga, koran Nasional hanya pernah berganti nama menjadi Suluh Marhaen edisi Yogyakarta saja, namun tidak pernah ganti nama menjadi Suluh Indonesia edisi Yogyakarta sebagaimana yang disebut oleh banyak sumber. Perubahan nama Harian Nasional menjadi Suluh Marhaen edisi Yogyakarta itu terjadi pada tahun 1966, seiring terbitnya peraturan-peraturan baru mengenai media massa pasca-tragedi 1965.
Koran Nasional sendiri memiliki catatan menarik terkait peristiwa tragis tersebut. Ketika peristiwa G-30-S meletus, koran Nasional diperintahkan untuk memuat pengumuman pembentukan dan susunan Dewan Revolusi. Namun, pemimpin redaksi dan seluruh stafnya menolak perintah tersebut. Akibatnya, kantor mereka di Jalan Tanjung 21, Yogyakarta, digeruduk oleh massa pro-komunis. Menghadapi tekanan tersebut, awak koran Nasional memilih untuk tidak terbit.
Peralihan dari rezim Demokrasi Terpimpin ke rezim Orde Baru ikut mempengaruhi nasib koran Nasional yang telah berganti nama menjadi Suluh Marhaen. Seiring tersingkirnya Presiden Soekarno dari kursi kekuasaannya, PNI, yang identik dengan Soekarno, juga ikut terkena imbasnya. Seluruh koran yang berafiliasi kepada PNI mengalami kesulitan, tak terkecuali Suluh Marhaen. Selain menghadapi tekanan dari pihak penguasa baru, seiring surutnya popularitas Bung Karno, koran Suluh Marhaen juga semakin ditinggalkan pembacanya. Jadilah kesulitan-kesulitan yang dialami menjadi berlipat-lipat.
Untungnya, melalui SK No. 01/MENPEN/1969, Departemen Penerangan kemudian mengeluarkan ketentuan yang menghapus kewajiban suratkabar berafiliasi dengan partai politik. Kebijakan itu segera digunakan oleh Suluh Marhaen edisi Yogyakarta untuk kembali berganti nama. Semula, mereka ingin kembali menggunakan nama “Nasional”. Namun, karena nama tersebut sudah terlanjur digunakan oleh sebuah koran yang terbit di Ambon, mereka kemudian menyiasatinya dengan menyelipkan kata “Berita” di depannya, sehingga menjadi “Berita Nasional”.
Jadi, perubahan nama dari koran Nasional menjadi Suluh Marhaen edisi Yogyakarta hanya berlangsung antara medio 1966 hingga 1969 saja. Sejak tahun 1969 hingga 1991, mereka terbit dengan nama Berita Nasional.
Kurang lebih setahun sejak Berita Nasional melakukan kerjasama dengan KKG, tepat pada Hari Pahlawan, 10 November 1991, koran itu kembali berganti nama menjadi “Bernas”. Nama Bernas ini punya dua makna. Pertama, Bernas bisa diartikan sebagai akronim dari “Berita Nasional”. Dan kedua, dalam bahasa Jawa, “bernas” sendiri berarti “mentes”, alias padat berisi.
Ternyata, perubahan nama dari Berita Nasional menjadi Bernas pada 1991 itu bukan menjadi perubahan nama terakhir kalinya. Sesudahnya, seiring pergantian manajemen, koran ini kembali berganti nama sebanyak dua kali.
Pada tanggal 29 Agustus 2004, seiring masuknya manajemen baru, koran ini berganti nama menjadi Bernas Jogja. Penerbitnya, yang semula PT Bernas, berubah menjadi PT Media Bernas Jogja. Semenjak berubah nama menjadi Bernas Jogja, sejak itu pula Bernas yang semula terbit 9 kolom mengubah penampilannya menjadi koran berukuran 7 kolom.
Perubahan terakhir koran cetak ini terjadi pada 10 Juli 2015. Lagi-lagi di bawah pemilik dan manajemen baru, koran ini kembali berganti nama menjadi Harian Bernas. Dengan membuang embel-embel “Jogja”, koran itu, menurut klaim para pengasuhnya, ingin menghilangkan kesan sebagai koran daerah.
Sayangnya, kurang dari tiga tahun sesudahnya, Harian Bernas harus berpamitan dari panggung media cetak. Pada bulan Februari 2018, manajemen koran tersebut mengumumkan bahwa Harian Bernas menghentikan edisi cetaknya terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018. Sesudahnya, mereka hanya akan hadir dalam bentuk media daring.
Hingga saat ini, Bernas barangkali adalah koran yang paling sering berganti nama. Sejak 1946 hingga 2018, koran ini tak kurang telah ganti nama sebanyak enam kali, mulai dari Nasional, Suluh Marhaen, Berita Nasional, Bernas, Bernas Jogja, hingga Harian Bernas.
Saat koran ini pamitan, sayang sekali saya tak sempat mendokumentasikannya. Tujuh tahun terakhir memang ada banyak hal yang terjadi di Jakarta yang telah menjauhkan saya dari Yogya. Aih... #AkuDanMedia
5 Agustus 2022