Sabtu, 11 Maret 2023

JAKARTA-JAKARTA DAN UTANG SAYA KE PAK WARDI

 















Oleh Tarli Nugroho

Lelaki paruh baya itu bernama Pak Wardi, atau sebut saja begitu. Sekilas, perawakannya selalu mengingatkan saya pada pelawak Darto Helm. Bagian depan kepalanya botak, dengan rambut tipis beruban di samping dan belakang. Suara baritonnya agak menggelegar. Jika sedang tersenyum, bibirnya akan mengembang, dan matanya menyipit, yang membuatnya jadi mirip Pak Harto. Namun, saat sedang ketus, saya mengingatnya sebagai sosok yang menakutkan. Satu kali saya pernah dihardiknya hanya gara-gara menyilangkan kaki di sofa rumahhya saat sedang numpang menonton televisi. Itu sebabnya, tiap kali jajan permen Cocorico, yang memang hanya dijual di tokonya, saya lebih suka dilayani oleh pembantunya, atau keponakannya, daripada oleh Pak Wardi.
Meskipun tinggal di kampung, penampilannya berbeda dengan penampilan orang kampung pada umumnya, atau orang seumurannya. Di rumahnya, ia selalu bercelana panjang dan memakai singlet. Sangat jarang, bahkan hampir tak pernah, saya melihatnya mengenakan sarung. Namun, yang paling membuatnya terlihat berbeda adalah sebuah kacamata berbingkai tebal yang selalu terkalung di lehernya. Dengan kacamata seperti itu, Pak Wardi bukan hanya terlihat seperti orang kaya, tapi juga terlihat intelek.
Dulu, kalau melihat Pak Wardi memakai kacamatanya, saya selalu membayangkan mungkin demikianlah tampang para profesor di perguruan tinggi yang anekdotnya sering saya baca di majalah-majalah dan koran. Mereka pastilah bertampang dingin dan angkuh seperti Pak Wardi. Terlalu banyak tahu, konon memang seringkali lebih bahyak mendatangkan beban daripada kebahagiaan.
Beberapa kali saya diceritai kakek kalau Pak Wardi adalah orang berpendidikan tinggi. Dia seharusnya menjadi jaksa di ibukota, atau profesi-profesi yang terkait dengan bidang hukum lainnya, kalau saja tidak ada peristiwa 1965. Menurut kakek, Pak Wardi tinggal di kampung kami karena diungsikan oleh ayahnya, Pak Kaning. Waktu itu ia masih mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.
Konon, jika tak diungsikan, Pak Wardi mungkin tak akan selamat, atau setidaknya tak mungkin lagi bisa menikmati udara bebas. Saya tak pernah mengingat keterangan yang cukup jelas mengenai apa dan bagaimana status Pak Wardi sehingga harus diungsikan seperti itu. Keterangan semacam itu sebenarnya mungkin pernah saya dengar, namun terlalu rumit untuk dicatat oleh pikiran anak kecil.
Yang jelas, ketika SMA, saya memiliki dugaan kalau Pak Wardi adalah anggota CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Statusnya yang masih mahasiswa saat pindah ke kampung kami adalah dasarnya. Dugaan ini juga saya sesuaikan dengan keterangan yang didengar belakangan, bahwa Pak Wardi diungsikan karena di kampusnya ia terkait dengan organisasi yang berhubungan dengan PKI. Artinya, ia bukan aktivis partai. Selain CGMI, saya kesulitan mencari kemungkinan status Pak Wardi di masa lalu.
Dugaan jika Pak Wardi termasuk golongan kiri memang bukan sekadar gosip. Saya merasa menemukan buktinya pada Pemilu 1999. Itu adalah pemilu pertama sesudah Reformasi, sekaligus menjadi pemilu pertama yang saya ikuti. Pada saat penghitungan suara, di TPS tempat saya mencoblos Partai Rakyat Demokratik (PRD) mendapatkan dukungan satu suara. Itu adalah satu-satunya suara PRD di TPS kami, dan belakangan diketahui juga merupakan satu-satunya suara PRD di kampung saya.
Di tengah para pemilih yang masih tak beranjak dari Golkar, PPP, dan PDI-P, satu suara untuk PRD tentu saja sangat istimewa. Apalagi, selain 3 partai sisa Orde Baru tadi, partai lain yang bisa mendapatkan suara di desa saya hanya PAN dan PKB. Di TPS saya, PAN hanya dapat 5 suara. Semuanya disumbang oleh keluarga saya.
Ketika nama PRD disebut dalam penghitungan suara, saya segera tahu. Itu pasti suara Pak Wardi, demikian batin saya kala itu. Tak mungkin itu hasil salah coblos, karena PRD mendapatkan persis satu suara untuk masing-masing level perwakilan, mulai dari DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, hingga DPR RI.
Sebenarnya, orang-orang tua di desa saya juga tak tahu apa persisnya organisasi yang pernah diikuti Pak Wardi. Dan saya kira mereka juga tak mungkin menanyakannya. Selain karena naif untuk mengulik hal yang coba disembunyikan itu, juga karena mereka sendiri mungkin tak terlalu ambil pusing. Bagi orang-orang desa, kejahatan politik pada dasarnya bukanlah sejenis kejahatan yang mudah diterima. Jangankan Pak Wardi, yang kesalahannya—kalau memang benar-benar ada—bersifat abstrak, bahkan Waryamin, seorang preman kampung yang dikenal bengis dan kerap merampok pun, karena tak pernah bikin onar dan melakukan kejahatan di kampungnya sendiri, ia tak pernah diusik oleh orang-orang kampung kami.
Ketika dia ditembak mati polisi pada suatu malam di sebuah komplek pelacuran yang hanya berjarak sepelemparan batu dari kantor kepala desa, sebenaranya tak ada orang yang membocorkan keberadaannya. Penangkapan yang berujung eksekusi itu sepenuhnya karena ketelatenan polisi saja. Mereka konon sudah mengintai selama berhari-hari dengan menyamar sebagai tukang mancing. Ketika berhasil mengkonfirmasi buronannya, mereka segera mengepung lokalisasi tempat Waryamin berada. Tetapi lelaki bertato itu tak mau menyerah.
Ia memang punya ilmu kebal. Saya pernah melihatnya dengan mata kepala sendiri. Suatu ketika ia sedang mabuk di warung kopi di sebelah rumah. Entah apa alasannya, ia lalu menyabet-nyabetkan celurit ke tangannya sendiri. Tidak, ia tak menyakiti orang lain ketika itu. Saya lihat, tak ada sedikitpun luka di tangannya. Kesaktiannya memang sering dibicarakan orang.
Namun, saat dikepung malam itu, Waryamin menemui ajalnya. Konon, ia ditembak dengan peluru emas, atau peluru yang sudah dijampi-jampi kyai. Ada juga yang bercerita kalau itu adalah hari apesnya.
Saya ingat, malam itu saya terbangun karena kaget mendengar bunyi ledakan dari seberang sungai. Bunyi ledakan seperti petasan itu terjadi beberapa kali. Tapi, mustahil itu petasan, batin saya kala itu. Siapa orang gila yang menyalakan petasan di tengah malam buta seperti itu? Waktu itu saya duduk di kelas lima. Esoknya, kabar kematian Waryamin jadi pembicaraan semua orang, termasuk teman-teman di sekolah. Ternyata, bunyi ledakan yang saya dengar malam itu adalah suara tembakan.
Kembali ke Pak Wardi, ia adalah anak seorang tuan tanah yang disegani. Sawah dan empangnya sangat luas. Bahkan, bisa dikatakan kalau lebih dari separuh empang di desa saya dulunya adalah tanah keluarga Pak Wardi. Barangkali, ini juga yang kemudian membuat Pak Wardi aman tinggal di kampung saya. Secara ekonomi, ayahnya, yang tinggal di kampung lain, sangat dihormati orang-orang di kampung kami. Jadilah kemudian Pak Wardi penduduk di kampung kami.
Dengan tanah yang luas, serta usaha tokonya yang maju, Pak Wardi kemudian bisa menyekolahkan para keponakannya hingga ke perguruan tinggi. Saat itu, bisa sekolah hingga ke perguruan tinggi sangatlah luar biasa. Saya ingat, jika sedang musim liburan, para keponakannya selalu pulang berlibur di rumah Pak Wardi. Tampang mereka klimis-klimis. Dandanannya juga parlente. Beberapa berstatus sebagai mahasiswa dan mahasiswi, sebagian lainnya masih SMA. Jumlahnya mungkin empat atau lima orang, saat itu.
Tiap pagi, mereka akan menggantikan tugas Pak Wardi menimbangi udang yang dijual para petambak. Pak Wardi hanya akan duduk menyaksikan sembari membaca koran. Saya bisa tahu, karena sebelum berangkat ke sekolah, tiap pagi selalu disuruh kakek untuk menjual udang terlebih dahulu ke rumah Pak Wardi. Melihat mereka yang terlihat ganteng dan cantik itu, kadang muncul rasa iri. Kapan ya, saya bisa bersekolah di kota seperti mereka?!
Pak Wardi sendiri dengan isterinya tak dikaruniai anak. Dari sekian keponakan dan anak saudaranya yang lain yang dibiayai sekolah hingga ke perguruan tinggi, ada satu anak yang mereka adopsi sejak kecil. Namanya, sebut saja Sugandi. Usianya dua tahun di bawah saya. Karena hanya berselisih umur sedikit, sejak sekolah dasar ia menjadi teman sepermainan saya. Ketika saya duduk di kelas tiga sekolah dasar, Gandi duduk di kelas satu.
Anak ini terkenal royal dan boros. Ia sering mentraktir teman-temannya. Apalagi, sejak dini ia sudah memelihara semacam anak buah, yaitu anak-anak seumuran, atau lebih tua darinya, yang akan mengikutinya ke manapun dengan imbalan jajan dan makan gratis. Sehingga, meski uang sakunya besar, saya sering mendengar ia berutang ke orang lain. Urusan uang ini pula yang kemudian mempertemukan saya untuk pertama kalinya dengan Majalah Jakarta-Jakarta.
Ceritanya begini. Ketika duduk di kelas tiga SD, minat baca saya terus berkembang. Jika semula hanya puas membaca komik dan majalah anak-anak, saya kemudian juga mulai membaca majalah-majalah remaja dan dewasa, termasuk koran. “Peningkatan” obyek bacaan itu sebenarnya bukan terutama karena dorongan pribadi, melainkan karena minimnya bacaan yang tersedia.
Saat itu, satu Majalah Bobo, Kawanku, Ananda, Tomtom, atau Siswa, biasanya habis saya baca hanya dalam hitungan jam. Masalahnya, tak setiap hari saya bisa membeli majalah-majalah itu. Pedagang komik dan majalah juga tak setiap hari, bahkan tak setiap minggu mampir ke sekolah. Itu membuat saya jadi sering kehabisan bacaan. Buntutnya, saat sedang “sakau” membaca, saya kemudian jadi membaca apapun. Karena kebetulan ibu berjualan koran bekas kiloan di warung kelontongnya, maka jika sedang kehabisan bacaan, koran-koran itu jadi pelampiasannya.
Biasanya yang saya cari adalah Pos Kota atau koran hari minggu, karena di sana saya bisa menemukan komik, tulisan-tulisan ringan, atau lembaran untuk anak-anak. Koran minggu favorit saya ketika itu adalah Buana Minggu dan Suara Karya Minggu (SKM). Kedua koran itu memang punya tampilan yang catchy di edisi minggunya. Secara fisik, tampilan Suara Pembaruan dan Kompas kalah jauh. Selain banyak memuat gosip selebritas, kedua koran minggu itu kerap memajang foto perempuan-perempuan seksi dengan ukuran besar di halaman pertamanya. Pokoknya, wah!
Koran-koran bekas itu dijual untuk para pedagang nasi, atau tukang gorengan, sebagai pembungkus makanan, atau pelapis daun dan kertas nasi. Ibu sendiri membelinya dalam bentuk bal-balan di pasar. Kurang lebih, tiap bal beratnya sekitar 30 kilogram. Koran-koran itu kemudian dijual kembali dalam bentuk kiloan lebih kecil, yaitu seperempat kilogram, setengah kilogram, dan satu kilogram. Sesudah saya sekolah dan bisa menggunakan timbangan, kurang lebih sejak kelas dua SD, pekerjaan menimbangi koran itu diserahkan pada saya.
Sebenarnya, kalau diingat-ingat kembali, sesudah komik, saya lebih dulu belajar membaca koran daripada majalah, meskipun rubrik yang dibaca memang masih terbatas pada komik, atau lembaran untuk anak-anak. Majalah pertama yang saya baca adalah Majalah Bobo. Dan majalah itupun saya temukan pertama kali ketika sedang menimbangi koran. Sesudah ketemu dengan benda bernama majalah itulah saya jadi keranjingan membaca.
Alasannya sederhana. Isi majalah lebih ringan daripada koran, lebih mudah ditenteng daripada tabloid, dan jauh lebih bervariasi daripada komik. Itulah yang membuat saya keranjingan membaca majalah saat kelas tiga sekolah dasar. Kebetulan, pada saat bersamaan, sekolah saya kerap didatangi oleh pedagang komik dan majalah bekas. Lelaki berperawakan kecil itu tak pernah saya ingat namanya, dan ini sering saya sesali hingga kini. Menilik logat sundanya yang kental dan halus, saya kira ia datang dari tempat yang jauh di girang. Dialah pedagang majalah pertama di sekolah saya.
Selain Bobo, Kawanku, Si Kuncung, serta majalah anak-anak lainnya, ia juga membawa komik-komik terbitan Gramedia, Dian Rakyat, Misurind, dan sejumlah penerbit lain. Di situlah saya pertama kali berkenalan dengan komik-komik berwarna dan berukuran besar seperti Deni Manusia Ikan, Storm, Asterix, Agen Polisi 212, Mimin, Nina, Winnetou, Karl May, atau seri Album Cerita Ternama. Sebelumnya, saya hanya mengenal komik-komik silat, Petruk Gareng, superhero, atau komik-komik H.C. Andersen yang semuanya hitam putih dan berukuran kecil.
Karena majalah dan komik-komik itu bisa saya selesaikan hanya dalam hitungan jam, maka tiap kali si mamang yang jualan datang ke sekolah, saya selalu membeli banyak, sekitar sepuluh atau lima belas biji. Jumlah itu saya anggap cukup untuk mengisi hari-hari saya hingga pedagangnya muncul kembali di sekolah. Rupanya kebiasaan membeli majalah dan komik dalam jumlah besar semacam itu dianggap tidak lazim oleh sejumlah orang. Saya ingat, seorang pedagang nasi di sekolah, yang kebetulan kenal dengan nenek, pernah melaporkan kebiasaan saya memborong bacaan semacam itu seolah itu adalah sebentuk kejahatan. Saya kadang geli jika mengingatnya.
Memang, harga majalah dan komik ketika itu antara Rp100 hingga Rp200 per eksemplar. Sementara, harga sepiring kecil nasi goreng yang dijual di sekolah, misalnya, ketika itu hanya Rp75. Mungkin, karena harga bacaan tadi lebih mahal dari sepiring nasi yang dijualnya, pedagang nasi itu menganggap kebiasaan saya membeli banyak-banyak bahan bacaan sebagai pemborosan. Tapi, saya tidak peduli.
Uang saku saya sendiri ketika itu hanya Rp300. Hingga lulus SD, jumlahnya tak pernah berubah. Saya bisa membeli bacaan dalam jumlah banyak karena tiap hari, setelah membantu ibu di warungnya, saya selalu minta uang seratus atau dua ratus rupiah untuk dikumpulkan. Uang itulah, bersama dengan uang jajan Rp300 dari nenek, yang digunakan untuk belanja majalah dan komik.
Ketika Gandi masuk SD, dia jadi tahu kegilaan saya belanja bacaan di sekolah. Mengetahui hal itu, suatu sore, sepulang sekolah, dia datang ke rumah sembari menyodorkan sebuah majalah.
“Li, di rumahku ada banyak majalah seperti ini. Kalau kamu tertarik, aku mau menjualnya,” ujarnya.
Saya menerima majalah itu dengan antusias. Sampulnya seorang prajurit Amerika sedang diseret seorang rekannya. Di sampulnya yang rame dengan tulisan, yang mengingatkan saya pada sampul Majalah Kawanku Stil yang baru saja terbit dan iklannya sering saya lihat di koran-koran bekas, semua judul tulisannya diakhiri tanda seru. Nama majalah itu Jakarta-Jakarta. Terus terang, saya belum pernah melihat majalah seperti itu sebelumnya.
Namun, yang membuat saya segera tertarik pada majalah itu adalah tanggal terbitnya. Saat Gandi membawa majalah itu ke rumah saya, waktunya hanya berselang dua minggu sesudah majalah itu terbit.
“Wah, akhirnya bisa baca majalah baru,” batin saya, senang.
Bukan apa-apa, hingga sejauh itu, semua majalah yang pernah saya baca memang berselisih minimal tiga atau empat tahun ke belakang tanggal terbitnya. Sehingga, bisa membaca majalah yang hanya berselang belasan hari sejak terbit, rasanya jadi luar biasa. Ada rasa senang yang tiba-tiba membuncah saat mengalami hal itu.
Perasaan semacam itu belakangan terulang kembali saat saya duduk di bangku SMP. Sekolah saya ternyata dijangkau oleh tukang koran keliling, sehingga untuk pertama kalinya saya jadi bisa merasakan membaca koran persis pada tanggal terbitnya. Rasanya luar biasa.
Perasaan senang semacam itu mungkin terasa aneh untuk mereka yang sejak lahir telah hidup di pusat-pusat peradaban. Namun, kalau Anda lahir dan tumbuh di daerah pinggiran, percayalah, momen-momen kebahagiaan semacam itu memang benar-benar bisa terjadi.
Soal isi Jakarta-Jakarta, ketika itu sepertinya saya tak hirau benar. Apa sih yang bisa dipikirkan anak kelas tiga SD dari majalah seperti Jakarta-Jakarta? Saya memang tahu sedang ada Perang Teluk nun jauh di sana dari berita radio dan juga acara Dunia Dalam Berita yang ditonton di rumah Gandi. Saya tahu Presiden Irak bernama Saddam Husein. Namun, saat membuka-buka majalah itu, tulisan yang terasa dekat hanyalah mengenai Steven Seagal yang filmnya pernah ditayangkan RCTI itu.
Tanpa pikir panjang, saya setuju untuk membeli majalah-majalah itu. Awalnya Gandi menawarkan harga tinggi, Rp300. Tapi kemudian dia setuju untuk menjualnya seratus rupiah saja per majalah. Yang menyenangkan adalah Gandi berjanji akan rutin membawa majalah-majalah baru yang sudah selesai dibaca ayahnya, Pak Wardi. Saya tentu saja senang mendengarnya.
Pak Wardi memang rutin pergi ke kota. Bahkan, hampir tiap minggu. Kebanyakan, sepertinya untuk keperluan belanja isi tokonya. Setiap kembali dari kota itulah ia selalu membawa sejumlah koran atau majalah yang baru terbit, majalah-majalah yang kemudian dijual Gandi kepada saya. Agar tidak ketahuan, saya menyuruh Gandi menjualnya sesudah lebih dari satu minggu. Kalau masih seminggu, atau kurang dari itu, takutnya masih dicari oleh ayahnya. Gandi menuruti saran itu.
Belakangan, saya tahu kalau majalah yang dibeli Pak Wardi bukan hanya Jakarta-Jakarta, atau Majalah Kartini serta Femina untuk isterinya, tapi juga Majalah Tempo serta majalah-majalah berbahasa Inggris. Namun, ketika itu saya lebih menyukai Jakarta-Jakarta daripada Tempo. Sebab, selain lebih berwarna, porsi untuk fotonya juga lebih besar daripada porsi teksnya. Saya jadi seperti menonton berita kalau memegang majalah tersebut.
Hubungan jual beli majalah berita antara saya dengan Gandi berjalan terus hingga saya lulus SD. Setelahnya, saya kebetulan melanjutkan sekolah ke kecamatan yang agak jauh, yang mengharuskan saya indekos. Hanya dua minggu sekali, atau sebulan sekali, saya bisa pulang ke rumah. Ketika SMP itulah, seperti sudah disinggung, saya mulai berlangganan koran dan majalah sendiri. Bacaan saya jadi lebih up to date dibanding Pak Wardi, karena tiap hari saya membaca koran baru.
Saya ingat, entah bagaimana ceritanya, yang jelas ketika SMP itulah tiap kali saya sedang pulang ke rumah, Pak Wardi sering mampir ke rumah kakek, tempat saya tinggal. Selain ngobrol ke sana ke mari dengan kakek, ia mulai meminjam bacaan-bacaan yang saya bawa pulang. Ketika itu saya memang sudah rutin membaca Tabloid Paron, Tabloid Aksi, Tabloid Adil, dan juga Majalah Forum. Untuk koran, hampir semua koran nasional yang dibawa tukang koran langganan, juga saya langgani, mulai dari Kompas, Republika, Merdeka, hingga Media Indonesia. Setiap liburan, bacaan-bacaan itu saya bawa pulang. Pak Wardi merasa senang bisa meminjam bacaan-bacaan itu.
Ketika saya diterima kuliah di UGM, Pak Wardi adalah satu-satunya orang bukan anggota keluarga yang sangat gembira menerima kabar itu. “Akhirnya ada anak kampung sini yang bisa kuliah,” ujarnya. Selama saya kuliah, tak banyak percakapan yang saya ingat dengan Pak Wardi. Satu-satunya percakapan yang saya ingat adalah ketika dia meminta saya mampir ke rumahnya dan kami ngobrol hingga berjam-jam lamanya.
Alasan dia meminta saya mampir benar-benar tak terbayangkan. Saya waktu itu baru saja ditinggal kawin oleh pacar yang kebetulan orang sekampung. Pak Wardi mengaku sangat khawatir hal itu akan mempengaruhi studi saya. Saat mendengar pengakuannya itu, selain terharu—karena merasa diperhatikan, saya kontan tertawa terbahak-bahak.
Tentu saja saya berterima kasih kepadanya karena sudah memperhatikan. Namun, saya menjelaskan kalau sejujurnya peristiwa itu tak punya pengaruh besar apapun. Justru saya jadi merasa sangat ringan ketika itu.
Melihat ekspresi saya yang tak dibuat-buat, Pak Wardi terlihat lega. Dia kemudian bercerita mengenai sesuatu yang juga saya dengar dari orang lain. Ceritanya membuat saya kian lega. Sesudahnya, kami ngobrol kesana kemari, tentang politik, ekonomi, dan juga Pram.
Meskipun sempat terpikir untuk bertanya mengenai masa lalunya, hal itu kemudian saya urungkan. Saya lihat, Pak Wardi begitu menikmati percakapan kami. Saya tidak ingin merusaknya. Sebab, siapa tahu, hal itu mungkin bukan hal yang ingin ia ceritakan kembali. Ya, siapa yang tahu?!
Beberapa pekan setelah saya kembali ke Yogya, adik saya mengabari kalau Pak Wardi berpulang. Ketika mendengarnya, tiba-tiba saya merasa sangat sedih. Tanpa sepengetahuannya, ia telah ikut menyumbang bacaan-bacaan yang kemudian menghidupi saya. Dia pergi sebelum saya sempat mengucapkan terima kasih, atau membuat “pengakuan dosa” atas kontrak jual-beli majalah antara saya dengan anaknya.
Sekira dua tahun yang lalu, Sugandi juga telah pergi menyusul ayahnya. Menurut adik saya, ia tiba-tiba jatuh pingsan saat sedang bekerja shif malam. Sebelum sampai di rumah sakit, nyawanya tidak tertolong. Kata dokter, ia terkena serangan jantung. Karena sedang berada di luar kota, saya tak sempat mengantarkannya ke pemakaman.
Hingga kini, setiap kali saya melihat Majalah Jakarta-Jakarta No. 240, 2-8 Februari 1991 ini, saya akan selalu teringat kembali pada almarhum Pak Wardi dan Sugandi. Ini adalah Majalah Jakarta-Jakarta yang pertama kali saya baca, dan majalah ini sampai ke tangan saya melalui keduanya.
Semoga Allah mengasihi keduanya. #AkuDanMedia

1 Februari 2021

MISTERI HILANGNYA SENOPATI PAMUNGKAS













Oleh Tarli Nugroho

Ketika manajemen Majalah Kawanku diambil alih oleh Gramedia pada tahun 1990, majalah anak-anak ini membangun segmen baru yang berbeda dengan Bobo, Ananda, Siswa, atau Tomtom. Pembaca Kawanku adalah mereka yang tak lagi bisa menikmati Bobo, namun masih terlalu muda untuk membaca Hai. Ia menyasar segmen yang kemudian dikenal sebagai ABG, alias Anak Baru Gede, yaitu anak-anak usia belasan tahun awal yang umumnya duduk di bangku kelas enam SD hingga kelas tiga SMP. Pada umumnya mereka memang tak lagi mau dianggap sebagai “anak-anak”.

Majalah Kawanku versi baru ini, mem-branding dirinya sebagai “Kawanku STIL”. Kata “STIL” merupakan akronim dari “Sudah Tidak Ingusan Lagi”, sesuai segmen usia pembaca yang dibidiknya. Jika dibaca, kata “STIL” ini berasosiasi kuat dengan kata “Style”. Kawanku kini kian “stylish”, atau bergaya. Branding ini, menurut saya sangat kuat dan cerdas.

Majalah Kawanku versi baru nomor perdana, 1990.



Pengalaman saya sendiri, sejak duduk di bangku kelas 5, membaca dongeng, legenda, atau cerita pahlawan, yang lazim mengisi halaman majalah anak-anak, memang sudah mulai terasa membosankan. Saya ingin sebuah bacaan baru yang berbeda. Ketika itu saya mulai tertarik membaca cerpen-cerpen romantis, traveling dan petualangan. Di situlah saya ketemu Majalah Aneka Ria, Anita Cemerlang, termasuk Majalah Kawanku dalam versi baru.
Aneka dan Anita sebenarnya usia pembacanya satu segmen dengan Hai. Namun, bagi pembaca kanak-kanak seperti saya, membaca cerita remaja, sebagaimana yang mendominasi halaman Majalah Aneka dan Anita di awal tahun 1990-an, jauh lebih menarik perhatian daripada membaca artikel-artikel yang membahas persoalan remaja. Itu sebabnya, saya baru bisa menikmati Hai, dengan ulasan-ulasan musiknya yang memikat itu, agak belakangan sesudah mulai bosan dengan Kawanku, Aneka dan Anita.
Sesudah diambil alih Gramedia, Kawanku mencoba mengkopi resep keberhasilan Arswendo di Majalah Hai. Wendo memang arsitek penting di balik kesuksesan Hai dan sejumlah media yang diterbitkan Gramedia lainnya. Di Kawanku, ia didapuk menjadi Wakil Pemimpin Umum dan Wakil Pemimpin Perusahaan. Di tangan Wendo, Kawanku ikut menjual Lupus dan cerita Senopati Pamungkas, yang menjadi trade mark Majalah Hai di awal tahun 1980-an. Bahkan, rubrik tebak-tebakan di Majalah Hai, yaitu “Antara Kawan”, juga diboyong ke Kawanku menjadi rubrik “Asbak”, alias “Asal Tebak”. Saya pernah mengirim satu kali tebak-tebakan di Majalah Kawanku saat kelas 6 sekolah dasar. Tapi tidak dimuat.
Tentu ada sedikit modifikasi dalam resep-resep yang ditiru tadi. Jika Majalah Hai memuat Senopati Pamungkas sebagai cerita serial, maka Kawanku memuatnya sebagai komik, dengan ilustrator Teguh Santosa. Dan, jika Hai memuat Lupus sebagai anak SMA, maka di Majalah Kawanku Si Lupus-nya masih SMP. Keriuhannyapun seputar kebengalan anak SMP.
Sebagai penikmat komik-komik Teguh Santosa di Majalah Ananda, kehadiran komik Senopati Pamungkas di Kawanku tentunya segera memikat saya juga. Dua rubrik ini, yaitu komik Senopati Pamungkas, dan juga Lupus, bahkan bisa disebut merupakan mantra pemikat untuk merebut pembaca pertama Majalah Kawanku versi baru ini.

Iklan Kawanku yang menggunakan Senopati Pamungkas
sebagai nilai jual.

















Sayangnya, sesudah terbit beberapa edisi, komik Senopati Pamungkas tiba-tiba menghilang dari Majalah Kawanku. Dulu, hilangnya komik ini sangat membingungkan saya. Sebagai pembaca yang hanya bisa menikmati majalah-majalah ibukota dari tukang majalah bekas, saya tak bisa menemukan keterangan kenapa komik ini tiba-tiba putus di tengah jalan.
Kita tahu, pada awal 1990-an, cerita Senopati Pamungkas telah mulai dibukukan menjadi novel berjilid-jilid tebalnya. Iklan penerbitannya juga menghiasi nomor-nomor awal Kawanku versi baru. Lha, tapi kok komiknya putus begitu saja sebelum tamat?!
Puluhan tahun kemudian, sesudah saya tak lagi kanak-kanak, saya baru mengerti jika hilangnya komik Senopati Pamungkas dari Majalah Kawanku STIL terjadi sebagai efek kasus Monitor. Kasus Tabloid Monitor bukan hanya menjadikan Arswendo sebagai pesakitan, melainkan juga berimplikasi pada pencopotan dirinya dari berbagai jabatan dan posisi di Grup Gramedia. Dan ternyata bukan hanya itu. Komik yang diangkat dari karya Arswendo di Majalah Kawanku juga ikut digusur. Oalah
Ketika saya bisa memiliki kembali edisi lengkap setengah tahun pertama Majalah Kawanku STIL, saya baru tahu komik Senopati Pamungkas mulai hilang di Majalah Kawanku No. 16, 29 Oktober 1990, yang sampul depannya Richard Dean Anderson, pemeran utama serial televisi MacGyver. Nomor ini terbit sepekan sesudah Tabloid Monitor dibredel. Sesudah saya telusuri, hilangnya komik Senopati Pamungkas dari Majalah Kawanku ini memang tanpa keterangan sama sekali. Di Majalah Kawanku No. 17, secara bersayap redaksi memang sempat menyinggung soal “mendung itu kelabu”.
Saya yakin, ketika itu sebenarnya ada banyak sekali surat pembaca yang pastinya mempertanyakan kenapa komik Senopati Pamungkas tak lagi dimuat Kawanku. Namun, sejauh yang bisa saya periksa dari koleksi Kawanku yang ada di rumah, surat semacam itu tak ada satupun yang pernah dimuat. Senopati Pamungkas benar-benar menghilang tanpa keterangan.
Kadang saya berpikir begini. Apa yang dilakukan Wendo dengan angketnya di Tabloid Monitor dulu memang sangat ceroboh. Tetapi, apakah perlu ia diperlakukan semacam itu oleh korporasi yang telah menikmati hasil dari jerih payah dan tangan dinginnya? #AkuDanMedia

16 Juni 2021


BOBO DAN MIMPI YANG TERPELIHARA









Oleh Tarli Nugroho


Seberapa besar pengaruh bacaan pada hidup seseorang? Saya bisa menjawab: sangat besar!
Sebagai anak yang dibesarkan oleh dua kakek-nenek buta huruf, dilahirkan dari kedua orang tua yang juga tak mengenyam bangku sekolahan; bisa membaca, dan kemudian bisa berkelana di tengah belantara kata-kata, selalu saya anggap sebagai keajaiban. Itu sebabnya, sejak pertama kali bisa mengeja, saya bukan hanya takjub kepada kata-kata yang bertaburan di halaman-halaman buku, tapi juga takjub kepada bentuk fisik buku, koran, majalah, serta semua kertas bertulisan lainnya.
Alasannya sederhana. Jika kata-kata adalah keajaiban, maka keajaiban yang bisa ditenteng tentulah tak kalah menakjubkannya. Begitulah saya memandang buku, koran, majalah, serta semua kertas bertulisan lainnya, sejak hari itu, hari ketika nama Budi, serta Wati benar-benar bisa saya eja sendiri, tak sekadar menirukan suara dari mulut orang lain. Dan pandangan itu tak banyak berubah hingga kini.
Sayangnya, di tengah kampung nelayan miskin, tak banyak keajaiban yang bisa ditenteng-tenteng. Di sekolah, satu-satunya sumber bacaan yang tersedia hanyalah tumpukan buku pelajaran dan Majalah Suara Daerah yang ada di meja guru. Suara Daerah adalah majalah kecil seukuran Intisari yang diterbitkan PGRI Jawa Barat. Isinya, dalam penilaian saya ketika itu, adalah tulisan-tulisan membosankan dengan tata letak yang jauh dari menarik. Satu-satunya rubrik yang saya sukai hanyalah kumpulan lelucon pendek yang bertebaran mengisi ruang-ruang halaman yang kosong. Dan ruang-ruang kosong itu jumlahnya ternyata cukup banyak.
Saya sering membawa pulang majalah-majalah itu. Tanpa izin tentunya. Bukan karena saya nakal, tetapi karena saat itu saya masih sangat pemalu. Saya bahkan rela menahan kencing di kelas hingga anyang-anyangen hanya karena malu untuk meminta izin pergi ke kali. Bukti lainnya, majalah-majalah itu selalu saya kembalikan.
Sebagaimana halnya sekolah-sekolah kampung lainnya, tentu saja tak pernah ada yang namanya perpustakaan sekolah. Ah, jangan jauh-jauh perpustakaan, ruang kelas saya saja temboknya jebol di mana-mana, sehingga saat jam sekolah usai kelas-kelas itu bisa dimasuki oleh gerombolan kambing dan domba milik warga sekitar. Di ruang guru memang ada cukup banyak lemari. Tetapi saya tidak tahu apa isinya, dan enggan mencari tahu. Sebab, ketika itu, umumnya hanya ada dua jenis murid yang bisa dan biasa berurusan dengan ruang guru, yaitu murid nakal, serta murid yang suka cari perhatian. Dan saya tidak termasuk keduanya.
Namun, ketika dalam sebuah acara kerja bakti sekolah saya dan teman-teman diminta untuk membersihkan ruang guru, mungkin terjadi saat kelas 4, saya tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mencari tahu apa isi lemari di sana. Dengan otoritas yang diberikan, seluruh lemaripun saya geledah.
Ternyata ada banyak sekali buku di sana. Sebagian besarnya bahkan kelihatan belum pernah digunakan sama sekali. Tetapi, kecuali buku-buku pelajaran, serta bacaan-bacaan pendukung yang terlihat monoton, saya hanya menemukan sebuah buku saja yang pantas untuk disebut menarik. Buku itu bercerita tentang tiga detektif cilik Indonesia, Triona. Ceritanya mirip dengan serial Trio Detektif-nya Alfred Hitchcock, serta Lima Sekawan-nya Enid Blyton yang pernah saya baca. Buku itupun segera saya bawa pulang.
Berbeda dengan Majalah Suara Daerah, buku itu tak pernah saya kembalikan. Tepatnya, tak pernah kembali. Cerita karangan Dwianto Setyawan itu seingat saya sangat menarik. Mungkin karena setingnya lokal, jadi terasa begitu dekat. Saking senangnya ketemu buku itu, saya tak tahan untuk menceritakannya ke teman sebangku. Ternyata ia jadi penasaran dan minta dipinjami.
Meski cenderung rewel, saya tak pernah pelit dalam berbagi bacaan. Apalagi, buku itu sebenarnya milik sekolah. Konon, tak mau berbagi hasil kejahatan adalah kejahatan yang sebenar-benarnya. Akhirnya buku "hasil kejahatan" itupun saya pinjamkan. Masalahnya, sesudah selesai di teman sebangku tadi, buku itu tak pernah kembali, karena kemudian ada lagi yang meminjamnya. Lagi, dan lagi, sampai akhirnya saya tak tahu lagi siapa yang memegangnya.
Rasa takjub pada buku kian menjadi sesudah saya membaca Majalah Bobo No. 1/XVI, 16 April 1988. Itu adalah edisi khusus ulang tahun Bobo ke-15. Jika biasanya majalah itu terbit 34 halaman, maka pada edisi itu jumlah halamannya menjadi berlipat dua. Jika menengok kembali pengalaman hidup yang telah silam, saya bisa mengatakan, inilah majalah yang besar sekali pengaruhnya pada perjalanan hidup saya.
Di edisi khusus itu Bobo berbagi kecap dapur. Apa dan bagaimana proses pembuatan majalah itu dikupas habis dalam artikel sepanjang 4 halaman. Itulah pertama kalinya saya mengenal istilah ‘editor’, ‘rapat redaksi’, ‘dummy’, ‘pelat’, dan sejenisnya. Membayangkan proses penerbitan tersebut, terus terang memancing sebentuk kegairahan dalam diri saya. Tiba-tiba saya jadi begitu menginginkan bisa menjadi bagian dari semua itu. Saya ingin terlibat dalam memproduksi “keajaiban yang bisa ditenteng” semacam itu.
Jadi, jauh sebelum mengenal nama Adinegoro, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, B.M. Diah, atau Goenawan Mohamad, sejak membaca Bobo edisi khusus itu, saya mulai membayang-bayangkan diri menjadi jurnalis. Ini adalah profesi pertama yang saya ketahui paling dekat dengan kata-kata. Saya belum punya bayangan jika menulis bisa dilakukan oleh profesi lainnya.
Imajinasi menjadi jurnalis itu bukan hanya dilamunkan. Saya lalu mulai membuat koran sendiri dari lembaran-lembaran buku gambar. Logonya saya buat dengan spidol, kadang dengan huruf-huruf yang digunting dari koran bekas, sementara beritanya disusun dari guntingan berita di koran yang kemudian disusun ulang. Di kemudian hari saya baru menyadari jika perkenalan saya dengan praktik mengkliping sebenarnya dimulai dari pura-pura menjadi penerbit surat kabar tadi. Saya masih ingat nama-nama media yang pernah dibuat, yaitu Harian ‘Seputar Indonesia’, Majalah ‘WOW’, Harian ‘Aktual’, Majalah ‘Info’, Tabloid ‘Tegas’, Mingguan ‘Cakrawala’, dan masih banyak lainnya.

Nama beberapa media yang saya "terbitkan" saat SMP.
Buku mimpi ini masih terus saya simpan.
 

















Saat duduk di bangku SMP, teknik yang saya gunakan untuk membuat media juga mengalami peningkatan. Jika semula menggunakan kertas dari buku gambar, maka sejak SMP mulai dipakailah kertas HVS. Judul-judul berita juga dibuat dengan rugos, tak lagi dari guntingan koran. Sejak saat itu pula saya mulai belajar menulis esai dan membuat berita sendiri. Setelah jadi, masternya lalu saya fotokopi. Hasil fotokopian itulah yang kemudian dibagikan ke beberapa kawan dekat. Saat sedang membaca media-media fotokopian itu, saya selalu membayangkan sedang membaca media seperti Kompas, Tempo, atau Republika, dengan nama saya tercantum di boks redaksinya.
Saya masih sering terkekeh kalau mengingatnya. Betapa ganjilnya imajinasi semacam itu. Ya, bagi sebagian besar orang, aktivitas tadi mungkin dianggap lebih dekat pada keanehan daripada keajaiban. Tetapi, mau bagaimana lagi? Hal-hal aneh semacam itulah yang telah membuat masa kecil dan remaja saya penuh dengan kebahagiaan.
Saya ingat, ketika diterima kuliah di Universitas Gadjah Mada, tempat yang pertama kali saya kunjungi adalah kantor penerbitan mahasiswanya, dan barang pertama yang saya beli di toko buku adalah majalah mahasiswanya. Saya sama sekali tak pernah punya bayangan masuk BEM atau Senat. Bukan karena merasa tak layak, atau tidak tertarik pada politik kemahasiswaan, tetapi karena sejak lama saya sudah menunggu-menunggu kesempatan itu, yaitu masuk ke dunia penerbitan yang sebenar-benarnya. Memang, ketika SMP dan SMA ada majalah dinding di sekolah. Tetapi, itu bukanlah sebentuk keajaiban yang bisa ditenteng-tenteng sebagaimana imajinasi masa kecil saya tentang buku dan bacaan. Jadi, ketika akhirnya kesempatan itu datang, saya tak ingin menduakannya dengan hal lain. Saya hanya ingin bergiat di penerbitan kampus. Titik.
Makanya, ketika sesudah Ospek sejumlah mahasiswa senior datang ke kosan untuk membujuk agar saya masuk ke organisasi ekstra yang mereka ikuti, dengan terus terang saya sampaikan bahwa imajinasi saya di dunia universiter sepertinya akan tertambat hanya pada dunia penerbitan, bukan pada aktivitas lainnya. Meskipun belakangan saya tak meneruskan mimpi menjadi jurnalis tadi, toh pergeseran itupun sebenarnya tak pernah membuat dunia saya menjauh.
Jadi, kalau hari ini ada yang bertanya seberapa besar pengaruh bacaan pada hidup seseorang, ketika membuka lagi Majalah Bobo No. 1/XVI, saya tahu, pengaruhnya bisa sangat besar dan tak terbayangkan. Majalah ini, yang pertama kali dibaca saat kelas 4 sekolah dasar, adalah saksinya. Bacaan kanak-kanak ini telah banyak mempengaruhi kompas kehidupan saya. #AkuDanMedia

22 Januari 2021

Jumat, 10 Maret 2023

GARA-GARA BUKU PRAM, IA PERNAH DISIKSA TENTARA









Oleh Tarli Nugroho

Suatu siang saya diundang mampir ke salah satu rumah Pak Imam Yudotomo yang terletak di belakang Polda DIY, daerah Condong Catur, Yogyakarta. Rumah besar yang menghadap sawah itu terdiri dari beberapa bangunan.
Bangunan dua lantai di bagian belakang dijadikan kos-kosan ekslusif, dengan area parkir mobil dan motor cukup lapang di tengahnya, sementara bangunan paling depan, yang juga terdiri dari dua lantai dan dibagi menjadi beberapa ruangan, difungsikan sebagai kantor. Di rumah itulah Pak Imam biasa menjamu para tamunya. Di rumah itu pula dulu kawan saya, Rudi Casrudi Soedjono, tinggal sebagai penghuninya.
Pak Imam sendiri tidak meninggali rumah itu. Bersama dengan istrinya, mereka tinggal di daerah Janti, Banguntapan.
Meski dikenal sebagai aktivis kiri hingga hari tuanya, Pak Imam memang tergolong hidup berkecukupan. Kemakmuran itu, sebagaimana pernah diakuinya, terutama berasal dari istrinya yang berprofesi sebagai notaris.

Imam Yudotomo (kiri) sedang berbincang dengan
sahabatnya, M. Dawam Rahardjo
















“Sebagai aktivis, saya ini miskin. Tapi, karena istri saya notaris, ya, bisalah saya mentraktir mahasiswa atau aktivis-aktivis miskin lainnya untuk sesekali ngopi di Starbucks,” kelakarnya, suatu ketika.
Saat sampai di rumah di bilangan Condong Catur itu, saya melihat Pak Imam sudah datang dan tengah duduk berbincang dengan Mas Rudi dan seorang lelaki. Saya tidak kenal lelaki itu. Ia mengenakan kemeja putih bergaris. Perawakannya tidak terlalu tinggi. Di sela-sela kumisnya yang tipis, mulai tumbuh uban di sana-sini. Suara tawanya cukup lantang.
“Mas Tarli, kenalkan, ini kawan saya. Namanya Bambang Isti Nugroho. Kalau Anda kini bisa bebas mengkoleksi buku-buku Pram, maka Bung Isti ini dulu pernah merasakan bagaimana disiksa tentara hanya gara-gara menyimpan dan mengedarkan fotokopian buku-buku Pram,” ujar Pak Imam, memperkenalkan lelaki yang duduk di sampingnya.
Saya segera menyalami lelaki itu.
Meski baru pertama kali bertemu, nama Bambang Isti tidak sepenuhnya asing. Saya pertama kali mengetahui nama itu saat duduk di bangku sekolah menengah, melalui Majalah Tempo. Di beberapa edisi Tempo akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, berita mengenai Bambang Isti Nugroho memang pernah berseliweran ditulis. Namanya ketika itu selalu disebut setarikan nafas dengan nama Bonar Tigor Naipospos.

Bambang Isti Nugroho
























“Anda tahu, ada satu cerita yang selalu bisa membuat saya menangis sekaligus tertawa mengenai Bung Isti ini. Jadi, salah satu siksaan paling jahat dan menyakitkan waktu dia ditahan adalah jempol kakinya ditindihi kaki meja, lalu beberapa orang tentara duduk-duduk di atasnya sembari menginterogasi dirinya,” ujar Pak Imam.
Mukanya tiba-tiba menjadi keruh. Saya bisa membayangkan, betapa bengisnya siksaan itu.
“Namun, sesudah para tentara itu keluar ruangan, Bung Isti ini malah menari-nari sambil menyanyi, ‘tiidak sakit, tiidak sakit,…’” lanjut Pak Imam, kali ini sembari terkekeh. “Padahal, itu sakitnya pasti luar biasa sekali,” imbuhnya.
Bambang Isti Nugroho, yang duduk di samping Pak Imam, hanya tertawa kecut mendengar cerita itu.
Lelaki ini, sesudah saya mencari tahu kisahnya lebih jauh, memang liat luar biasa. Anak pensiunan tentara ini hanya lulusan SMP, tidak pernah menyelesaikan SMA-nya, namun bersama dengan dua orang temannya, Ons Untoro dan Panji Patah, ia bisa membesarkan sebuah kelompok studi yang isinya adalah para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Pada tahun 1980-an, Kelompok Studi Sosial Palagan cukup terkenal di Yogya.
Banyak intelektual Yogya, seperti Mochtar Mas’oed, Nasikun, Loekman Soetrisno, dan sejumlah nama lain, yang mengaku bangga pernah menghadiri diskusi-diskusi yang digelar oleh kelompok diskusi ini. Dan salah satu sumber kekaguman mereka terhadap kelompok ini adalah karena Kelompok Studi Sosial Palagan ternyata dipimpin dan digerakan salah satunya oleh seorang anak muda yang karena alasan ekonomi tidak sempat menyelesaikan SMA-nya, namun berhasil bisa menggerakan anggotanya yang merupakan para mahasiswa.
Sesudah ayahnya meninggal pada tahun 1977, Bambang Isti sempat terputus sekolahnya. Agar bisa meneruskan sekolahnya, ia harus bekerja sebagai tukang batu dan tukang cat tembok di siang hari. Ia memilih SMP Yayasan Usaha Buruh yang membuka kelas malam hari sebagai tempat melanjutkan pelajaran.
Pada tahun 1980, saat masih duduk di bangku SMP, ia melamar menjadi pesuruh di Laboratorium Analis Kimia Fisika Pusat, Universitas Gadjah Mada. Sesudah melalui testing, ia akhirnya diterima bekerja di sana.
Saat lulus SMP pada tahun 1981, Bambang Isti kemudian meneruskan pelajarannya di SMA YUB, juga kelas malam, agar siang harisnya bisa tetap bekerja mencari nafkah. Namun, karena asyik bergulat dengan dunia sastra dan kesenimanan, belum sempat lulus, ia kemudian memutuskan berhenti sekolah.
Lingkungan kerjanya, yaitu UGM, menurut pengakuan Bambang Isti, telah memperkenalkannya pada dunia pemikiran dan kesadaran sosial. Apalagi, tiap hari ia bergaul dengan intelektual kampus dan para mahasiswa.
Iapun semakin asyik dengan dunia kepenulisan. Ia menulis puisi, cerpen, kritik sastra, teater dan naskah drama anak. Sejak usia 17 tahun Bambang Isti sudah menulis naskah teater. Tak heran, pada tahun 1982, saat usianya belum genap 21 tahun, ia telah dipercaya menjadi redaktur sastra dan kebudayaan di Harian Masa Kini.
Ada banyak cerita dan kesaksian yang menunjukkan jika Bambang Isti pada masanya memang sangat disegani oleh kawan-kawannya, yang sebagian besar adalah mahasiswa UGM. Pengetahuannya mengenai kesusastraan dianggap sangat menonjol.
Kasus yang menjerat Bambang Isti mungkin agak sulit dibayangkan oleh generasi yang lahir sesudah Reformasi. Tak lama sesudah novel “Bumi Manusia” terbit pada bulan Agustus 1980, pemerintah Orde Baru melalui Surat Edaran Nomor 73106/Sekjen PDK/1980 tanggal 27 September 1980 segera menjadikan novel tersebut sebagai buku terlarang. Karena ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, seorang tahanan Pulau Buru, oleh pemerintah novel itu dituduh menyebarkan ideologi komunisme.
Karena dilarang, publik intelektual dan penikmat sastra terpaksa harus bergerilya dan kucing-kucingan dengan aparat agar bisa membaca karya tersebut. Sebab, siapapun yang ketahuan menyimpan, apalagi mendistribusikan karya tersebut, mereka bakal menghadapi tuduhan serius. Tuduhan itu pula yang telah menjerat Bambang Isti Nugroho dan beberapa kawannya. Gara-gara mengedarkan karya Pram, Bambang Isti divonis 8 tahun penjara
Buku ini, “Memperjuangkan Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia” (1991), merupakan pledoi yang disampaikan Bambang Isti Nugroho di hadapan Pengadilan Negeri Yogyakarta pada tanggal 16 Agustus 1989. Dalam kata pengantarnya, Kuntowijoyo tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sosok Bambang Isti Nugroho.
Gara-gara ditahan itu, Bambang Isti bukan hanya kehilangan kebebasannya. Ia juga jadi kehilangan seluruh isi perpustakan pribadinya.

1 Agustus 2022

BERNAS, KORAN YANG ENAM KALI GANTI NAMA









Oleh Tarli Nugroho

Saat saya awal kuliah di Yogya, ibu kos saya, yang juga membuka warung di depan rumahnya, berlangganan dua buah surat kabar, yaitu Kedaulatan Rakyat dan Bernas. Tiap hari, sebelum berangkat ke kampus, sembari sarapan saya selalu numpang baca koran di warungnya. Jika saya masuk pagi dan warungnya belum buka, saya membaca kedua koran itu pada siang atau sore harinya. Dua koran ini hampir merupakan bacaan wajib masyarakat Yogya. Di pojokan kampung, pos ronda, atau tempat-tempat nongkrong warga, salah satu dari dua koran ini selalu dipajang sebagai koran dinding.
Sebelum berhenti terbit pada 1 Maret 2018 silam, Harian Bernas bisa disebut sebagai bacaan kedua masyarakat Yogyakarta. Bacaan pertama orang Yogya tentu saja adalah Kedaulatan Rakyat, atau biasa disebut “KR”. Kedaulatan Rakyat adalah korannya orang Yogya. Bahkan, saking menyatunya orang Yogya dengan koran tersebut, mereka menyebut semua “koran” dengan kata “KR”. Misalnya, koran Kompas atau Jawa Pos, disebut sebagai “KR Kompas” dan “KR Jawa Pos”.
Pendek kata, KR sudah dianggap sebagai bagian dari budaya dan keseharian masyarakat Yogya. Sehingga, setiap koran baru, atau koran dari luar, akan selalu dianggap nomor dua. Ini juga terjadi pada Bernas. Padahal, koran ini sebenarnya telah terbit di Yogya sejak 15 November 1946. Artinya, umurnya tak berselisih jauh dari KR yang pertama kali terbit 27 September 1945.
Meskipun sejak 13 Agustus 1990 Bernas pernah berada di bawah naungan manajemen Indopersda, salah satu divisi Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang menaungi koran-koran daerah, namun bos Kompas, Jakob Oetama, juga tidak pernah menginginkan koran ini menjadi nomor satu, apalagi sampai membunuh KR. Bernas memang harus maju dan berkembang, tetapi mengingat hubungan baik antara Jakob dengan Wonohito—pendiri KR, pemimpin Kompas itu menginginkan Bernas mencari segmen pembaca yang berbeda dari KR. Itu sebabnya, Bernas kemudian membidik segmen pembaca kelas menengah ke atas serta sivitas akademika di kampus.















Pada dekade 1990-an, karena keberaniannya dalam mengulik berita dan menggali fakta, koran ini pernah menjadi bacaan favorit mahasiswa dan aktivis kampus. Banyak aktivis mahasiswa zaman itu yang nyambi menjadi wartawan Bernas. Salah satu yang menonjol adalah Rizal Mallarangeng. Ketika terjadi Perang Teluk 1991, Rizal pernah ikut menjadi rombongan perdamaian internasional ke Irak. Laporan-laporan pandangan mata yang ditulisnya dari Baghdad sempat membuat Bernas laku keras.
Keberanian Bernas dalam menulis berita pada masa itu juga diwakili oleh tragedi yang menimpa salah satu wartawannya, yaitu Fuad Muhammad Syafruddin, alias Udin. Pada tanggal 13 Agustus 1996, Udin dianiaya orang tak dikenal di depan rumahnya sendiri, di Dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis km 13. Tiga hari kemudian ia dinyatakan meninggal dunia. Kendati kasus kematiannya secara hukum tidak pernah menemukan jalan terang hingga kini, namun banyak orang melihat jika kematiannya ada kaitannya dengan berita-berita yang ditulisnya di Bernas.
Meski berumur tua, nama Bernas sebenarnya baru dipakai setelah 10 November 1991. Seperti yang sudah disinggung, Bernas memang merupakan koran tua yang terbit di Yogya. Ia telah terbit sejak tahun 1946. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, koran ini pernah berganti nama beberapa kali, sehingga banyak orang jadi tidak menyadari jejak panjang yang telah ditorehkan oleh koran ini.
Saat pertama kali terbit, 15 November 1946, koran ini bernama Nasional. Salah satu pendirinya adalah Soemanang, seorang tokoh pers nasional yang juga merupakan pendiri LKBN Antara. Nama Nasional terus digunakan hingga tahun 1966.
Pada tanggal 26 Maret 1965, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Penerangan No. 29/SK/M/65, yang isinya mewajibkan setiap surat kabar untuk berafiliasi dengan partai politik atau ormas anggota Front Nasional. Pada saat itu, Harian Nasional memilih bergabung dengan PNI (Partai Nasional Indonesia). Pilihan itu tidaklah kebetulan, karena Soemanang sendiri memang merupakan tokoh PNI.
Kebijakan afiliasi Harian Nasional kepada PNI ini kemudian membawa konsekuensi. Mengingat sejak tahun 1953 PNI telah memiliki koran nasional bernama Suluh Indonesia (Sulindo) di Jakarta, banyak sumber kemudian menyebut bahwa koran Nasional kemudian berubah menjadi Suluh Indonesia edisi Yogyakarta. Hingga akhir tahun 1960-an, koran-koran yang terbit di Indonesia memang lazim memiliki edisi nasional dan edisi daerah.
Tetapi dari arsip yang saya punya, hingga bulan September 1965, koran Nasional ternyata masih terbit menggunakan identitas aslinya. Artinya, koran Nasional tidak berganti nama menjadi Suluh Indonesia edisi Yogyakarta sebagaimana yang disebut oleh banyak sumber, termasuk oleh Ensiklopedia Pers Indonesia yang disusun oleh Dewan Pers.
Banyak referensi digital juga menyebutkan bahwa koran Suluh Indonesia berganti nama menjadi Suluh Marhaen pada tanggal 1 Juni 1965. Perubahan itu disebut telah diikuti juga oleh Suluh Indonesia edisi Yogya, yang berganti nama menjadi Suluh Marhaen edisi Yogyakarta. Namun, dari arsip yang saya miliki, hingga tanggal 28 Juli 1965, koran Suluh Indonesia masih terbit menggunakan nama yang sama. Sehingga, menurut saya, informasi-informasi mengenai perubahan-perubahan ini perlu diluruskan atau diperiksa kembali.
Saya menduga, koran Nasional hanya pernah berganti nama menjadi Suluh Marhaen edisi Yogyakarta saja, namun tidak pernah ganti nama menjadi Suluh Indonesia edisi Yogyakarta sebagaimana yang disebut oleh banyak sumber. Perubahan nama Harian Nasional menjadi Suluh Marhaen edisi Yogyakarta itu terjadi pada tahun 1966, seiring terbitnya peraturan-peraturan baru mengenai media massa pasca-tragedi 1965.
Koran Nasional sendiri memiliki catatan menarik terkait peristiwa tragis tersebut. Ketika peristiwa G-30-S meletus, koran Nasional diperintahkan untuk memuat pengumuman pembentukan dan susunan Dewan Revolusi. Namun, pemimpin redaksi dan seluruh stafnya menolak perintah tersebut. Akibatnya, kantor mereka di Jalan Tanjung 21, Yogyakarta, digeruduk oleh massa pro-komunis. Menghadapi tekanan tersebut, awak koran Nasional memilih untuk tidak terbit.
Peralihan dari rezim Demokrasi Terpimpin ke rezim Orde Baru ikut mempengaruhi nasib koran Nasional yang telah berganti nama menjadi Suluh Marhaen. Seiring tersingkirnya Presiden Soekarno dari kursi kekuasaannya, PNI, yang identik dengan Soekarno, juga ikut terkena imbasnya. Seluruh koran yang berafiliasi kepada PNI mengalami kesulitan, tak terkecuali Suluh Marhaen. Selain menghadapi tekanan dari pihak penguasa baru, seiring surutnya popularitas Bung Karno, koran Suluh Marhaen juga semakin ditinggalkan pembacanya. Jadilah kesulitan-kesulitan yang dialami menjadi berlipat-lipat.
Untungnya, melalui SK No. 01/MENPEN/1969, Departemen Penerangan kemudian mengeluarkan ketentuan yang menghapus kewajiban suratkabar berafiliasi dengan partai politik. Kebijakan itu segera digunakan oleh Suluh Marhaen edisi Yogyakarta untuk kembali berganti nama. Semula, mereka ingin kembali menggunakan nama “Nasional”. Namun, karena nama tersebut sudah terlanjur digunakan oleh sebuah koran yang terbit di Ambon, mereka kemudian menyiasatinya dengan menyelipkan kata “Berita” di depannya, sehingga menjadi “Berita Nasional”.
Jadi, perubahan nama dari koran Nasional menjadi Suluh Marhaen edisi Yogyakarta hanya berlangsung antara medio 1966 hingga 1969 saja. Sejak tahun 1969 hingga 1991, mereka terbit dengan nama Berita Nasional.
Kurang lebih setahun sejak Berita Nasional melakukan kerjasama dengan KKG, tepat pada Hari Pahlawan, 10 November 1991, koran itu kembali berganti nama menjadi “Bernas”. Nama Bernas ini punya dua makna. Pertama, Bernas bisa diartikan sebagai akronim dari “Berita Nasional”. Dan kedua, dalam bahasa Jawa, “bernas” sendiri berarti “mentes”, alias padat berisi.
Ternyata, perubahan nama dari Berita Nasional menjadi Bernas pada 1991 itu bukan menjadi perubahan nama terakhir kalinya. Sesudahnya, seiring pergantian manajemen, koran ini kembali berganti nama sebanyak dua kali.
Pada tanggal 29 Agustus 2004, seiring masuknya manajemen baru, koran ini berganti nama menjadi Bernas Jogja. Penerbitnya, yang semula PT Bernas, berubah menjadi PT Media Bernas Jogja. Semenjak berubah nama menjadi Bernas Jogja, sejak itu pula Bernas yang semula terbit 9 kolom mengubah penampilannya menjadi koran berukuran 7 kolom.
Perubahan terakhir koran cetak ini terjadi pada 10 Juli 2015. Lagi-lagi di bawah pemilik dan manajemen baru, koran ini kembali berganti nama menjadi Harian Bernas. Dengan membuang embel-embel “Jogja”, koran itu, menurut klaim para pengasuhnya, ingin menghilangkan kesan sebagai koran daerah.
Sayangnya, kurang dari tiga tahun sesudahnya, Harian Bernas harus berpamitan dari panggung media cetak. Pada bulan Februari 2018, manajemen koran tersebut mengumumkan bahwa Harian Bernas menghentikan edisi cetaknya terhitung mulai tanggal 1 Maret 2018. Sesudahnya, mereka hanya akan hadir dalam bentuk media daring.
Hingga saat ini, Bernas barangkali adalah koran yang paling sering berganti nama. Sejak 1946 hingga 2018, koran ini tak kurang telah ganti nama sebanyak enam kali, mulai dari Nasional, Suluh Marhaen, Berita Nasional, Bernas, Bernas Jogja, hingga Harian Bernas.
Saat koran ini pamitan, sayang sekali saya tak sempat mendokumentasikannya. Tujuh tahun terakhir memang ada banyak hal yang terjadi di Jakarta yang telah menjauhkan saya dari Yogya. Aih... #AkuDanMedia
5 Agustus 2022