Oleh Tarli Nugroho
Saya menilai respon serta ketersinggungan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil atas
pertanyaan seorang guru SMK di Cirebon di akun Instagramnya, yang telah membuat
sang guru akhirnya jadi kehilangan pekerjaan, adalah bentuk arogansi. Kang Emil
telah mengadili pertanyaan guru itu dengan asumsi-asumsi linguistik yang jika
kita periksa lebih dalam sebenarnya tidak cukup kuat untuk
dipertanggungjawabkan. Bahkan, respon itu secara kultural sangatlah keliru.
Sebelum kita membahas soal linguistik dan kultural tersebut, ada beberapa
alasan kenapa saya berpendapat jika respon Kang Emil tadi adalah bentuk
arogansi.
Pertama, sebagai pejabat eksekutif tertinggi di Jawa Barat, Kang Emil mestinya
paham jika semua ucapan, tulisan, ekspresi emosional, dan bahkan gestur yang
diperlihatkannya selalu akan direspon dengan serius oleh jajaran birokrasi di
bawahnya. Sehingga, berbeda dengan pembelaan dirinya yang mengklaim tidak
pernah memerintahkan pemecatan terhadap guru bersangkutan, dari sisi
kelembagaan kita bisa melihat dengan jelas jika aksi pemecatan tadi merupakan
bentuk respon birokrasi atas tanggapan yang diberikan oleh gubernur, terlepas
dari apakah gubernur memaksudkannya demikian atau tidak.
Jika Kang Emil memang benar-benar tidak memaksudkannya demikian, alih-alih
terus berapologi, ia mestinya berusaha untuk menyelesaikan persoalan ini. Misalnya
dengan memfasilitasi agar guru yang telah kehilangan pekerjakan itu bisa segera
mengajar kembali, baik di tempat kerjanya semula, ataupun di tempat lain yang
sesuai dengan kompetensinya.
Kedua, kritik yang disampaikan oleh guru SMK di Cirebon itu sebenarnya jauh
dari kata tidak sopan. Apa yang disampaikannya, “Dalam zoom ini, Maneh teh keur
jadi gubernur Jabar ato kader partai ato pribadi @ridwankamil???” (ditulis
ulang sesuai posting asli), menurut saya justru sangat sopan, karena dilakukan
bukan dengan menghakimi (judging), melainkan dengan mempertanyakan (questioning)
fakta yang dilihatnya. Dan pertanyaan itu memang pantas untuk dilontarkan.
Kita tahu, jas berwarna kuning bukanlah pakaian yang lazim digunakan oleh
pejabat publik dalam sebuah acara resmi. Kang Emil bukan alumni UI yang jas
almamaternya berwarna kuning. Sehingga, orangpun pantas bertanya, apa alasan
Kang Emil pakai jas kuning saat melakukan zoom bersama para siswa SMPN 3 Kota
Tasikmalaya pada hari Selasa, 14 Maret 2023 lalu?!
Meskipun jas itu tak berlogo, atau mengandung kata-kata tertentu, secara
semiotik semua orang tentunya paham bahwa warna kuning tersebut tidak dipilih
secara acak, melainkan dipakai karena mewakili identitas politik tertentu. Dan
poin ini memang pantas untuk dipertanyakan.
Terakhir, yang ketiga, berbeda dengan pandangan Kang Emil, pertanyaan yang
disampaikan oleh guru SMK di Cirebon itu justru sangat pantas dilontarkan oleh
seseorang yang berprofesi guru. Sebagai guru, ia setidaknya merasa bertanggung
jawab untuk melindungi siswa—meskipun mereka bukan siswa sekolah tempatnya
mengajar—dari potensi kampanye politik terselubung seorang pejabat publik.
Sikap dan keberaniannya melontarkan pertanyaan itu bahkan harus dipuji.
Tanggapan Kang Emil bahwa “Tidak pantas seorang guru seperti itu”, sangatlah tidak
tepat. Guru SMK di Cirebon itu justru telah memberi contoh baik kepada para
siswanya terkait pentingnya bersikap kritis. Sejak kapan bersikap kritis
dianggap sebentuk kejahatan atau perbuatan tidak senonoh?! Bahaya sekali jika
anak-anak kita diajari untuk tabu bersikap kritis.
Dari sisi linguistik, yang sejauh ini selalu dijadikan pembenaran oleh Kang Emil atas respon yang diberikannya, kata
“maneh” juga bukanlah kata ganti orang kedua yang bersifat kasar. Berbagai
kamus bahasa Sunda dengan jelas menunjukkan jika kosakata itu tergolong sebagai
bahasa Sunda ‘loma’, alias biasa, atau akrab. Memang, kosakata “maneh” tidak
termasuk ke dalam bahasa Sunda halus. Namun, mencapnya sebagai kata yang
“kasar” jelas manipulatif dan tidak sesuai dengan praktik berbahasa
sehari-hari.
Kitapun pantas bertanya: jika Kang Emil merasa panggilan “maneh” untuk dirinya
adalah kasar, dia sebenarnya sedang menempat dirinya sebagai apa?! Pantaskah
seorang pejabat publik meninggikan dirinya semacam itu di depan rakyatnya?!
Lalu, ini juga penting, agar Kang Emil tidak tersinggung,
rakyat Jawa Barat lantas harus memanggilnya dengan sebutan apa?!
Ketersinggungan Kang Emil secara politik kebudayaan justru buruk bagi kohesi
politik Jawa Barat, karena ketersinggungannya itu—maaf—sangat “bias Priangan”.
Ia mungkin mengira seluruh wilayah Jawa Barat sama dengan Priangan, terutama secara
kultur dan bahasa, sehingga rasa berbahasa orang Bandung akan sama dengan rasa
berbahasa orang Cirebon. Padahal, itu adalah asumsi kebudayaan yang sepenuhnya
keliru.
Kalau kita membaca buku Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Le
Carrefour Javanais), menarik untuk memperhatikan bagaimana sejarawan Perancis
itu membagi masyarakat pulau Jawa ke dalam tiga entitas kebudayaan, yaitu
Sunda, Jawa dan pesisir. Menurut Lombard, masyarakat pesisir pulau Jawa, baik
yang bermukim di Jawa Barat, Jawa Tengah, atau Jawa Timur, memang tidak bisa
sepenuhnya diidentikan sebagai Sunda atau Jawa. Jadi, meski berada di tengah
masyarakat Sunda, orang Karawang, Indramayu, atau Cirebon, misalnya, tidak bisa
disamakan dengan orang Sunda pedalaman sebagaimana yang bermukim di Priangan.
Begitu juga dengan orang Pekalongan, atau Rembang, tidak bisa disamakan dengan
orang Jawa di pedalaman sebagaimana yang bermukim di Solo atau Yogyakarta.
Satu ciri menonjol yang membedakan masyarakat pantai utara pulau Jawa dengan
kebudayaan Sunda dan Jawa di pedalaman, menurut Lombard, adalah mereka jauh
lebih egaliter. Pada zaman dulu, pesisir memang menjadi pintu masuk persilangan
berbagai kebudayaan. Perjalanan sejarah ini kemudian telah membentuk masyarakat
pantai utara Jawa sebagai kultur tersendiri, yang meskipun memiliki ciri
kesundaan, atau kejawaan, namun kesundaan dan kejawaan itu memiliki perbedaan
dengan kebudayaan Sunda dan Jawa yang tumbuh di wilayah pedalaman.
Jadi, bagi telinga Bandungnya Kang Emil, “maneh” mungkin saja terdengar agak
“kasar”. Tetapi mungkin tidak demikian halnya bagi masyarakat pesisiran Jawa
Barat, seperti Cirebon, atau Karawang. Persis di situ, sebagai pemimpin Jawa
Barat mestinya Kang Emil bisa bersikap arif. Nilai rasa bahasa yang dijadikan
patokan olehnya untuk menghakimi diksi guru SMK di Cirebon itu bukanlah nilai
rasa bahasa yang berlaku universal.
Sepatunya Kang Emil, jelas tidak sama dengan ukuran sepatunya Sabil Fadillah,
guru SMK di Cirebon yang kini kehilangan pekerjaannya itu. Sehingga, sebaiknya Partai Golkar
juga bersikap bijak dengan berhenti melakukan pembelaan. Mereka perlu segera menyadari bahwa sosok Kang Emil mungkin tidak bisa
diorbitkan ke level lebih jauh, jika ia tak berusaha memperbaiki
keakraban di tengah masyarakat Jawa Barat yang dalam beberapa hari terakhir
telah dirusaknya, meskipun pada mulanya ia sendiri mungkin tak memaksudkannya demikian.
Kenapa Kang Emil bisa dianggap sebagai telah "merusak" keakraban itu?
Menurut pengakuan Sabil, ia memilih diksi "maneh" itu bukanlah untuk menghina, melainkan justru karena merasa Kang Emil adalah sosok egaliter yang tak pernah berjarak dengan para penggemarnya di dunia maya, di mana ia termasuk salah satunya. Jadi, janganlah keakraban yang sudah terbentuk itu dirusak kembali oleh prasangka-prasangka kebudayaan dan linguistik yang dangkal.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Karawang, 18 Maret 2023