Oleh Tarli Nugroho
Ramai-ramai berita mengenai harta kekayaan dan kepemilikan moge oleh Menteri Keuangan dan jajarannya, di luar soal kepatutan dan asal-usul perolehannya, kita mungkin akan terkejut jika mengulik betapa besarnya kekuasaan yang dikelola oleh para birokrat/teknokrat pemerintah itu. Kita sering membayangkan bahwa birokrasi itu seperti sekrup, atau lembaga yang sekadar menerima perintah, sebuah imajinasi inferior yang sebagian besarnya telah terbukti keliru.
Birokrasi, di dalam kehidupan politik dan pemerintahan sehari-hari, sangatlah superior. Peran sekretaris/sekretaris jenderal, di berbagai institusi pemerintahan, mulai dari tingkat desa hingga kementerian, misalnya, meski di atas kertas terlihat sebagai orang nomor sekian, namun dalam praktiknya bisa lebih berkuasa daripada pejabat publik yang dipilih langsung oleh masyarakat.
Masalahnya, meski di satu sisi mengelola kekuasaan yang sangat besar, namun di tengah bobroknya sistem hukum dan pengawasan, praktis kontrol yang bisa diberikan publik kepada mereka sangatlah minim. Berbeda dengan kontrol terhadap politisi, publik tidak bisa memberikan kontrol—apalagi ‘punishment’—apa-apa kepada birokrat/teknokrat yang menyelewengkan kekuasaannya, kecuali untuk soal-soal etis yang bersifat minor, sebagaimana kasus yang kini mencuat.
Lemahnya kontrol publik juga bisa kita lihat dari lemahnya sensitivitas masyarakat sipil terhadap isu-isu reformasi birokrasi. Kita, misalnya, langsung tanggap terhadap agenda perpanjangan masa jabatan presiden, atau isu tiga periode, namun tidak banyak mempersoalkan sejumlah teknokrat/birokrat yang sudah bercokol di kursi kekuasaannya untuk jangka waktu yang sangat lama. Sehingga muncul seloroh: rezim boleh datang silih berganti, namun para birokrat tadi bisa terus-menerus menggenggam kursi kekuasaannya tanpa rotasi. Padahal, baik politisi yang dipilih (elected representatives) maupun birokrat yang tidak dipilih langsung oleh publik (non-elected officials), keduanya sama-sama butuh dikontrol oleh logika sistem yang sama.
Selama ini isu-isu demokrasi yang kita diskusikan masih saja bertolak dari satu sudut pandang, yaitu bagaimana menjaga independensi birokrasi untuk mencegah terjadinya penyimpangan politik. Artinya, kebanyakan ilmuwan politik hanya melihat bahwa birokrasi adalah landasan bagi demokrasi—atau dalam bahasa lain sebagai penghalang bagi kembalinya otoritarianisme—dan tidak pernah dilihat sebaliknya. Memang benar, demokrasi yang sehat mensyaratkan independensi birokrasi. Namun, birokrasi yang terlalu mandiri juga jelas mendatangkan persoalan bagi demokrasi.
Jadi, menyimak kehangatan publik yang kini tengah ramai mempersoalkan kekayaan para birokrat di Kementerian Keuangan, kita mestinya mulai menyadari bahwa meski musim terus berganti dan iklim politik telah berubah, mamun sejarah kementerian ini hampir sepenuhnya bersifat monolitik. Sebagai contoh, dari 32 tahun kekuasaan Orde Baru, selama 30 tahun di antaranya jabatan bendahara negara Republik ini selalu dipegang oleh dosen-dosen dan alumni kampus kuning.
Bayangkan, selama tiga puluh tahun jabatan itu hanya berputar-putar di tangan empat orang dalam simpul satu fakultas dari sebuah perguruan tinggi saja. Kenyataan ini mestinya bisa menyorongkan sebuah imajinasi politik, bahwa yang bisa menimbun kekuasaan di negeri ini bukan hanya tentara/polisi dan politisi, tapi juga para teknokrat!
Bedanya, kalau tentara/polisi dan politisi sudah biasa dikontrol publik, tidak demikian halnya dengan para teknokrat. Satu kaki mereka yang masih berdiri di dunia universiter, kadang membuat banyak orang selalu melihat mereka sebagai orang-orang alim dan suci. Padahal, sebagai zoon politicon, mereka punya kecenderungan yang sama dengan para politisi lainnya.
Oya, mungkin ada yang akan mengajukan keberatan, bahwa itu kan gambaran di masa Orde Baru. Betulkah?
Jika Reformasi tahun 1998 dianggap sebagai milestone, maka hanya tujuh tahun pertama (hingga 2005) saja bangsa ini berani punya imajinasi berbeda dengan memilih para teknokrat non-kampus kuning untuk menduduki jabatan menteri keuangan. Selebihnya, artinya kurang lebih 18 tahun terakhir—dari 25 tahun usia Reformasi, jabatan itu tetap “dikembalikan” untuk dipegang oleh orang-orang dari kampus kuning.
Itupun, ini penting untuk dicatat, dari 18 tahun tersebut, 11 tahun di antaranya dipegang oleh satu orang saja, yaitu Sri Mulyani. Dalam catatan saya, sepanjang sejarah Republik ini, Sri Mulyani adalah menteri keuangan dengan periode dan durasi kekuasaan paling panjang.
Dari lama masa jabatan, Ali Wardhana memang tercatat berkuasa paling lama, yaitu 15 tahun. Namun, ia menjabat hanya di satu rezim saja selama 3 periode kabinet.
Sementara, jika menjabat hingga Oktober 2024 nanti, dari sisi durasi Sri Mulyani memang hanya menduduki kursi menteri keuangan selama kurang lebih 12 tahun 8 bulan saja. Namun, dari sisi periode kekuasaan, ia menduduki jabatan tersebut di dua rezim pemerintahan yang berbeda, yaitu rezim Presiden SBY dan Presiden Joko Widodo, dan di empat kabinet (mulai dari Kabinet Indonesia Bersatu, Kabinet Indonesia Bersatu II, Kabinet Kerja, hingga Kabinet Indonesia Maju).
Apa artinya?
Mungkin ada dua. Pertama, hanya Sri Mulyani adalah orang yang paling mumpuni untuk menduduki jabatan tersebut. Tidak ada orang Indonesia lainnya yang pantas menduduki jabatan itu.
Atau, kedua, imajinasi para pemimpin politik kita di sektor keuangan memang sangat sempit, sehingga mereka tidak mampu melihat kebutuhan lain di luar sosok Sri Mulyani.
Oya, sebelum Sri Mulyani, di masa lalu memang pernah ada dua menteri keuangan yang bertahan dalam empat kabinet, yaitu Mr. A.A. Maramis dan Soemarno. Namun, masa jabatan total mereka hanya kurang dari tiga tahun, dan mereka menjabat di era demokrasi parlementer yang bisa jatuh-bangun hanya dalam hitungan bulan.
Jadi, berhadapan dengan isu Rubicon dan Harley-Davidson, kita sebenarnya sedang melihat betapa ringkihnya publik dalam mengontrol kekuasaan para birokrat/teknokrat di pemerintahan.
Jakarta, 27 Februari 2023