Kamis, 01 Mei 2014

SEJARAH, INGATAN DAN NOVEL



Oleh Tarli Nugroho
Penyuka sastra; Bekas penonton film


Membaca sejarah itu seperti membaca novel. “By its very nature, the novel indicates that we are becoming. There is no final solution. There is no last word.” Begitu yang ditelatahkan Carlos Fuentes. Namun, kita seringkali menyalahpahami sejarah. Kita sering mengaburkan “history” dengan “memory”, membaurkan sejarah dengan ingatan. Dan sebagai ujungnya, impak dari “penyejarahan ingatan”, kita hanya mampu melihat sungai waktu dari kacamata oposisi biner: ingat-lupa, pelaku-korban, atau baik-jahat. Persoalannya, sejarah hanya bisa memberi pelajaran jika kita mampu membacanya secara metodik, tak sekadar ingat dan lupa. Sebab, dalam banyak hal, kita cenderung hanya mengingat apa yang ingin kita ingat saja, tanpa menguji kualitas ingatan itu. Dan cara macam itu tak akan mengajari kita apapun selain sekadar merawat penalaran yang hanya penuh dengan penyangkalan, antitesis, dan menghardik-hardik. Inilah yang telah membuat cara kita bersikap kepada sejarah banyak didominasi oleh perasaan kebencian, penolakan, dan negativitas.


Kesalahpahaman itu barangkali telah berlangsung sejak lama, sejak Sutan Takdir Alisjahbana menghardik-hardik Sriwijaya dan Majapahit dalam Polemik Kebudayaan yang terjadi di pertengahan dekade 1930-an. Bagi Takdir, masalah Indonesia di kuartal kedua abad keduapuluh adalah “kurang individualis”, “kurang materialis”, dan “kurang egois”. Dan semua ikatan yang menyandera itu terhubung kepada Sriwijaya, Majapahit, Hinduisme, Buddhisme, dan Islamisme. Pendek kata, Takdir sedang mendakwa kejumudan di masa itu sebagai buah dari masa lalu, yang penanggung jawabnya merentang hingga ke zaman Sriwijaya.





Dan untuk keluar dari belenggu masa lalu itu, Takdir langsung melancong ke masa depan dengan melupakan tautan keduanya. Apa yang dimaksud dengan “masa depan” tentunya tiada lain adalah Barat. Persoalannya, persis pada titik sebagaimana dikemukakan Takdir masa itu, Barat telah menjadi bukan lagi kategori geografis maupun sosial yang netral, melainkan telah menjadi sebuah kategori yang superior: ia adalah masa depan dari kekinian yang tersebar di koloni-koloni. Ia adalah tempat kemana kita akan beranjak. Imaji yang demikian, hadir tanpa ironi dalam tulisan-tulisan Takdir. Karena yang modern ada di luar sana, maka ia harus diimpor. Lalu dimulailah gerilya pengejaran terhadap modernitas dengan melakukan kremasi terhadap masa lampau. Pendek kata, di Indonesia, modernitas dilakukan dengan penyangkalan terhadap masa lalu dan pengejaran terhadap sesuatu yang berada di luar sana.

Barangkali, persis di sinilah kekerabatan post-kolonial kita dengan Amerika Latin berselisih jalan. Hampir seperempat abad silam, pada kuliah Nobel Kesusastraan-nya, Octavio Paz, mencoba menelatahkan kediriannya dengan lebih baik. “Kami adalah orang Eropa, walaupun bukan!” ujarnya ironik. Dalam sungai waktu, Amerika Latin memang telah dipisahkan dari Dunia Lama-nya, tapi di sisi lain mereka juga tak bisa sepenuhnya menjadi Eropa. Itulah petaka yang senantiasa menguntit pergunjingan mereka mengenai identitas. Lalu, ke manakah mereka harus menginduk? Mereka bergumam dalam bahasa Eropa, kesusastraan mereka juga dicetak dengan huruf yang diangkut oleh kapal-kapal Eropa, tapi kesemua-miripan itu tak menjadikan mereka orang Eropa.




Namun, dan ini yang membedakannya dengan kita, Amerika Latin cepat tersadar untuk segera berhenti menguntit Barat, menjadi bayang-bayang Eropa, dan tak pernah menghardik-hardik masa lalunya. Meski kuil-kuil dan dewa-dewa Meksiko Pra-Kolombia telah tinggal onggokan artefak, kata Paz, namun roh yang meniupkan kehidupan ke dunia itu belum punah; ia masih berbicara kepada mereka dalam bahasa hermetik: mitos, legenda, seni rakyat, dan adat istiadat. Dan lewat bahasa hermetik itu Amerika Latin diam-diam melakukan pemberontakan atas Eropa. Benar kata Pablo Neruda, Spanyol boleh saja telah mengambil emas mereka, tapi mereka juga mendapatkan emas Eropa: kata-kata. Tidak heran, jika pemberontakan itu secara sengit kemudian, terutama, dikerjakan lewat kesusastraan.

Maka, demikian kata Paz, dalam kaitannya dengan modernitas, alih-alih dicari dengan menemukannya di luar, mereka justru menemukannya di dalam; terkubur, namun masih hidup. Mereka tidak menyalahkan masa lalu, menanggalkan, atau menyangkalnya, melainkan mengolahnya sebagai ramuan untuk merumuskan kedirian dan kekinian mereka.

Sungguh kontras sekali dengan kita. Sejak kita menghapus bahasa dan gelar Belanda dari perguruan tinggi pasca-Proklamasi, sejak rezim Soeharto mengajari kita untuk mengkhawatirkan apapun yang berhubungan dengan Soekarno yang merupakan pendahulunya, pada hari ini kita juga masih saja bertegak risau dengan segala hal yang berhubungan dengan Soeharto. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa sejarah Indonesia modern adalah sejarah yang bertarung dengan masa lalunya. Sejarah kita selalu berisi kerisauan terhadap masa lalunya. Dan sebagian kaum terpelajar kita menghelat pertarungan terhadap masa lalu itu sebagai proyek personal pencerahannya.

Apakah semua itu, kecenderungan kita untuk selalu bertarung dengan masa lalu, atau penyangkalan terhadapnya, merupakan sebab kita tak pernah tanggap pada masa depan dan bingung mendefinisikan hari ini? Entahlah.

Cara bersikap demikian itu mungkin terjadi karena historiografi kita terlampau bersifat politik-sentris, dimana pembabakannya hingga kini masih saja ditandai oleh tapal batas pergantian rezim. Dengan model historiografi yang demikian, sudut pandang kitapun rentan mengidap penyakit oposisi biner, yang bersifat terlalu “politis”—dalam pengertiannya yang sangat peyoratif, sebagaimana telah disebut di awal.

Persis di soal ini, kita kabur dalam membedakan sejarah dari ingatan. Dalam “Insider”, sebuah film yang dibintangi Russell Crowe dan Al Pacino, ada dialog yang menarik antara Crowe dengan Pacino, mengenai bagaimana kebanyakan orang sesungguhnya tidak peduli kepada apa yang telah dilakukan orang lain seumur hidupnya, yang merupakan representasi dari “history”, karena mereka hanya akan mengingat apa yang terakhir kali dilakukannya saja. Ada Tembok Berlin yang memisahkan “history” dengan “memory”. Namun, tak banyak orang yang menyadarinya.




Sekarang, bagaimana kita mendefinisikan “yang terakhir kali” itu?! Di hadapan sungai waktu, “terakhir kali” adalah sebuah konsep yang sangat mengambang. Apa yang terakhir kali dilakukan hari ini akan menjadi masa lampau keesokan harinya. Dan setiap hari, apa yang disebut “terakhir kali” itu terus-menerus diciptakan. Tentu saja, ingatan mengenai masa lalu sangat penting, agar kita tidak menjadi seorang pelupa. Tapi, kita juga sebaiknya tidak melupakan satu hal: sejarah bukanlah sebuah penjara dimana mereka yang terkurung di dalamnya mustahil untuk bebas atau melarikan diri. Sejarah bukan hanya mengenai apa yang telah jauh melampau, karena bukankah sejarah juga terus-menerus dicatatkan setiap hari?!

Persis di situ kita harus bisa membedakan “sejarah” dari “ingatan”. Sejarah selalu memproduksi “terakhir kali” yang lain. Setiap hari. Sementara ingatan, ia memenjarakan kita di kelampauan.


*) Tulisan ini bisa dibaca juga di http://www.geotimes.co.id/blog/994-sejarah,-ingatan,-dan-novel.html